Selasa, 19 Juli 2022

MUKIDI BICARA TENTANG "THE SPHERE PROJECT"

Seperti biasa, Mukidi dan kawan-kawannya, menghabiskan malamnya dengan cangkruk’an di warkop langganan, untuk sekedar ngopi dan nggedabrus ngalor ngidul menunggu datangnya kantuk yang akan mengantar ke pelukan malam.

Ya, malam itu Mukidi datang sambil membawa buku tebal, yang dipinjam dari temannya. Saya sebagai teman akrabnya, yakin seyakin yakinnya, bahwa buku setebal 400 halaman itu tidak mungkin dibaca semua. Paling-paling yang dibaca hanya kata pengantar dan beberapa bagian yang dianggap menarik oleh Mukidi.

“Ini buku hebat, sangat penting untuk dimengerti oleh kita yang sering terlibat dalam kerja-kerja kemanusiaan. Namanya The Sphere Project, Humanitarian Charter and Minimum Standards In Humanitarian Response. Harus kita adakan acara bedah buku agar kita bisa memahaminya bersama-sama sebagai relawan yang bermartabat dan bermanfaat bagi umat,”. Katanya bersemangat.

“Wah bukunya berbobot sekali, abot banget. Sampiyan opo wis moco Cak?. Aku mendadak mual yen dikongkon moco, sampiyan critani wae yo Cak,” Kata Cak Kaspo sambil nyakot rondo royal (tape goreng) kesukaannya.

“Saya sih belum baca, ini buku lama terbitan tahun 2011. Saya pingin membaca edisi terbaru yang berbahasa Indonesia. Katanya bukunya lebih tipis,” Kata Mukidi tanpa ekspresi karena sibuk nyruput kopi.

“Walah Cak, tibaknya sami mawon. .... Buku lama maupun buku baru, jika judul dan bahasannya sama, ya pastilah sama. Paling yang berubah hanya redaksinya dan informasi terbaru yang akan melengkapinya,” Sindir Dhalbo, sambil membuka buka buku bersampul hijau.

Dengan gayanya, Mukidi bilang bahwa buku ini menjelaskan apa yang harus dilakukan untuk menjamin kehidupan yang bermartabat bagi warga yang terkena bencana. Diantaranya memberikan kecukupan akan kebutuhan: pasokan air, sanitasi, dan promosi kebersihan, ketahanan pangan dan gizi; hunian, dan bantuan non-pangan, serta kesehatan.

Masih kata Mukidi, pendekatan Sphere ini berbasis hak asasi dan berpusat pada masyarakat dalam aksi kemanusiaan. Sphere menekankan pentingnya keterlibatan penduduk yang terkena bencana dan pemerintah dalam seluruh tahapan tanggap darurat.

Dengan kata lain, Kegiatan membantu warga setempat, hendaknya dikomunikasikan dengan para pemuka masyarakat untuk mengetahui kapasitas warga lokal yang bisa dimanfaatkan untuka mendukung program sekaligus membangun kemandirian warga agar cepat pulih kehidupannya pasca bencana.

Sambil membuka halaman 29, dari buku Sphere yang lumayan tebal, Mukidi membaca dengan keras, Empat Prinsip Utama Perlindungan: 1. Hindari semakin terpaparnya penduduk terkena bencana terhadap ancaman sekunder sebagai akibat kegiatan atau bantuan Anda; 2. Jamin akses penduduk terkena bencana terhadap bantuan yang bersifat imparsial atau tidak membeda-bedakan – sesuai dengan proporsi kebutuhan dan tanpa diskriminasi;

Nomor 3. Lindungi penduduk terkena bencana dari bahaya fisik dan psikologis akibat kekerasan dan paksaan atau ancaman; dan 4. Bantu penduduk terkena bencana untuk pemenuhan hak asasinya, dapat mengakses bantuan dan segera dapat pulih dari dampak kekerasan atau penganiayaan.

“Cak Kaspo, sampiyan paham apa yang dikatakan Cak Mukidi ?,” Tanya saya sambil makan mie goreng yang menjadi makanan favorit relawan.

“Paham sih tidak, cumak terkesima oleh gaya Cak Mukidi berorasi. Kayak penjual jamu di pasar Kepanjen,” Katanya sambil menahan tawa.

“Mungkin perlu ada lokakarya atau diskusi terbuka untuk berbagi pengalaman tentang praktek baikThe Sphere Project di lapangan. Karena saya yakin belum semua relawan tahu dan mengerti tentang Sphere ini. Pertanyaannya, siapa yang berani mensponsorinya?,” Kata Cak Dhalbo.

“Kalau saya yakin, bahwa apa yang ada di buku Sphere ini akan sulit dilakukan di lapangan karena berbagai kendala setempat. Misalnya adanya kepentingan politik lokal dan keterbatasan SDM,” Tambah Cak Kaspo.

“Ya jelaslah, antara teori dan praktek itu sering berbeda. Jangankan Sphere, masalah SKPDB, dan aktivasi renkon ke renop saja, serta penggunaan dana BTT, kata mBakyu Paitun, masih sering kedodoran,” Kata Mukidi, sambil membuka-buka buku Sphere. Entah dibaca atau sedang mencari gambar dan foto ilustrasi, yang ternyata tidak ada sama sekali. [eBas/SelasaLegi-19072022]

   

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

Kamis, 14 Juli 2022

NGOBROL ASIK TENTANG SPAB

            Seperti biasa, beberapa anggota Jamaah LC yang tidak sibuk, selalu menikmati malam dengan ngopi bareng di basecamp Keputih, Surabaya. Kali ini Kaspo datang sambil membawa sekilo gula pasir dan roti goreng. Sedang Mukidi membawa gorengan. Begitulah budaya gotong royong yang tercipta di kalangan anggota Jamaah LC. Saling berbagi tanpa paksaan, apalagi dipaksa. Semua berbasis keikhlasan.

Sambil menikmati kopi adukannya si Dhalbo, mereka ngobrol tentang program sosialisasi satuan pendidikan aman bencana (SPAB) yang akan dilaksanakan oleh Mukidi dan timnya. Ya, Mukidi memang salah satu anggota tim SPAB yang mumpuni sehingga dipercaya banyak pihak.

Dalam berbagai literatur, dikatakan bahwa konsep SPAB adalah satuan pendidikan yang menerapkan standar sarana dan prasarana serta budaya yang mampu melindungi warga satuan pendidikan dan lingkungan di sekitarnya dari bahaya bencana. Dengan tujuan, Meningkatkan kemampuan sumber daya di satuan pendidikan dalam menanggulangi dan mengurangi risiko bencana;, Melindungi investasi pada satuan pendidikan agar aman terhadap bencana,

Kemudian, meningkatkan kualitas sarana dan prasarana satuan pendidikan agar aman terhadap bencana, Memberikan perlindungan dan keselamatan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari dampak bencana di satuan Pendidikan, Memastikan keberlangsungan layanan pendidikan pada satuan pendidikan yang terdampak bencana,

Selanjutnya, memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik risiko bencana dan kebutuhan satuan Pendidikan, Memulihkan dampak bencana di satuan Pendidikan, dan Membangun kemandirian satuan pendidikan dalam menjalankan program SPAB.

Sayangnya, harapan yang indah itu belum seindah warna aslinya. Kata Cak Kaspo, yang dari tadi sibuk dengan gawainya, bahwa praktek SPAB selama ini masih terkesan asal jalan dan seremonial belaka tanpa tindak lanjut (sangat tergantung anggaran). Sebuah anggapan pribadi dari Cak Kaspo yang perlu dipahami tanpa emosi.

 “Menurut saya, program SPAB itu diutamakan untuk sekolah yang di daerahnya ada potensi bencana,” Kata si Dhalbo, menimpali anggapan Cak Kaspo, sebagai upaya meningkatkan wawasan. Minimal mengasah kemampuan berargumentasi (ngeyelan).

Masih kata Dhalbo, yang suka ngeyel itu, dalam program SPAB, yang dipentingkan adalah, pihak sekolah paham akan adanya potensi bencana di daerahnya, dan bagaimana mengurangi risikonya, serta apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana dan harus berbuat apa setelah bencana.

“Ingat lho, pendidik itu tugasnya sudah banyak. Disamping melaksanakan kegiatan belajar mengajar, juga harus menyelesaikan urusan administrasi untuk keberlangsungan kariernya agar tidak disemprit atasannya,” Ujarnya, sambil nyakot roti goreng.

Artinya, tiga modul SPAB yang meliputi Pilar 1, tentang Fasilitas Sekolah Aman, Pilar 2, tentang Pendidikan Pencegahan dan Pengurangan Risiko Bencana, serta Pilar 3, yang membahas Manajemen Bencana di Sekolah, tidak harus dikuasai oleh warga sekolah.

Untuk itu perlu ada kerjasama dengan forum pengurangan risiko bencana (F-PRB) setempat dalam melakukan pelatihan dan simulasi penanggulangan bencana, sesuai jenis potensi bencana yang ada. Termasuk membentuk tim siaga bencana sekolah dan menyusun berbagai dokumen yang diperlukan.

“Kayaknya tidak mungkin semua itu dibebankan ke pihak sekolah. Harus ada pihak ke tiga yang dilibatkan agar SPAB dapat benar-benar berkontribusi dalam upaya membangun budaya tangguh,” Tambahnya.

Semua peserta terkesima oleh ocehan si Dhalbo. Sudah mirip bicaranya nara sumber kebencanaan, yang biasa disewa oleh lembaga dan tidak tergantikan.

“Tumben omonganmu enak di denngar dan ada benarnya. Emang tadi pagi sarapan apa kok pinter,” Seloroh Mukidi, yang disambut gelak tawa lainnya. Seperti biasanya, si Dhalbo hanya nyengir kuda.

Tapi ingat, masih kata Mukidi, bahwa program SPAB itu sudah ada aturannya (dan anggarannya) yang harus dilakukan dengan baik agar tidak menjadi temuan saat ada pemeriksaan dari inspektorat, misalnya.

“Namanya program ya harus berjalan sesuai aturan dan ada laporannya sebagai bentuk pertanggungjawaban. Masalah program itu berdampak atau tidak kepada sasaran, itu urusan lain,” Ucapnya lagi.

Semakin malam, obrolanya semakin mengasyikkan. Walaupun tidak masuk dalam tataran ilmiah, namun seluruh peserta berani dengan merdeka mengemukakan pendapat bahkan saling mendebat untuk memperkuat pendapat tanpa menghujat.

Dalam kesempatan itu Mukidi juga bilang, bahwa dia pernah mendengar tentang konsep ketangguhan masyarakat dalam sebuah rapat yang digelar sambil saling merapat.

Dikatakan bahwa tanda masyarakat tangguh itu memiliki akses informasi tentang bencana sehingga bisa segera bersiap diri, kemudian memiliki daya antisipasi terhadap segala kemungkinan, lalu daya proteksi diri menghadapi bencana yang datang, memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan, sesuai konsep Living Harmony with Risk, serta memiliki daya lenting untuk segera pulih diri pasca bencana.

Semua ini tentu tidak mungkin bisa dikerjakan sendiri oleh pemerintah (dalam hal ini BPBD). Perlu menggandeng F-PRB sebagai mitra yang bisa diajak untuk melaksanakan program BPBD. Apalagi F-PRB Jawa timur memiliki program SDSB (sambang dulur sinau bareng). Itu bisa dimanfaatkan untuk menindak lanjuti program SPAB (dan destana) dalam rangka membangun budaya tangguh bencana.

Obrolan asik ngalor ngidul yang tidak ada simpulannya itu berlangsung sampai larut malam. Tanda bahwa anggota Jamaah LC senang jagongan bertukar pengalaman untuk menambah wawasan, sekaligus bergotong royong memperkuat pertemanan tanpa melemahkan, seperti yang sering disuarakan oleh banyak pihak. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/kamis Legi-14072022]

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

Jumat, 01 Juli 2022

MISI UNTUK INISIASI F-PRB TELAH USAI

Sungguh senang dan bangga rasanya, saya dilibatkan menjadi salah satu bagian dari grup whatsapp yang diberi nama Bibitan F-PRB Surabaya. Seluruh anggotanya sangat antusias melaksanakan tugas melakukan inisiasi pembentukan forum pengurangan risiko bencana (F-PRB) Kota Surabaya. Langkah-langkah yang dilakukan juga diupayakan sesuai dengan pedoman pembentukan F-PRB yang diterbitkan oleh Ninil Jannah, dan kawan-kawan.

Karena mayoritas anggota Bibitan ini terdiri dari “wong cilik” dan banyak yang kurang paham dengan apa itu forum (hanya berbekal semangat), maka mereka hanya bisa bergerak di kalangan komunitas wong cilik, untuk diajak jagongan menyamakan pemahaman akan pentingnya keberadaan Forum sebagai mitra kritis BPBD dalam melaksanakan program kebencanaan. Baik itu terkait dengan upaya PRB, maupun penanggulangan bencana.

Hasil dari jagongan itu selalu dikabarkan melalui media sosial agar diketahui banyak pihak, bahwa “wong cilik” telah bergerak mengkomunikasikan rencana pembentukan F-PRB Kota Surabaya, lewat pertemuan informal. Seperti lesehan di warung kopi pinggir kali, di daerah Buduran, Sidoarjo. Serta tempat lain yang tidak layak jika harus mengundang kaum borjuis.

Inginnya, grup Bibitan F-PRB Surabaya mengundang semua unsur pentahelix yang mewakili institusi. Namun dirasa tidaklah mungkin jika “wong cilik” mengajak jagongan “wong gedi”, takut kualat dan pasti tidak direwes. Konon, ada yang bilang bahwa sebaiknya inisiatornya itu mereka yang punya “Pengaruh” bukan “wong cilik” yang selalu dipandang sebelah mata.

Namun karena “wong cilik” lebih sat set wat wet, maka merekalah, atas bimbingan Ninil Jannah, bisa bergerak lebih dulu dan terus bergerak, bertukar ide, bersulang pengalaman, mengatur strategi serta menyusun peta jalan pembentukan forum. Tentu saja sambil ngopi.

Semua kelakuannya coba di dokumentasikan semampunya, sebagai bukti bahwa “wong cilik” telah berbuat menginisiasi pembentukan F-PRB Kota Surabaya, walaupun masih dalam konsep dan mencari jalan untuk bisa sowan ke pejabat yang membidanginya. Maklum “wong cilik” tidak punya akses ke “istana”.

Alhamdulillah, pesan yang dihasilkan lewat jagongan informal itu telah didengar oleh beberapa pihak yang punya akses. Sehingga gagasan pembentukan forum semakin mengkristal ditangan mereka yang handal. Ya, gagasannya “wong cilik” ditangkap sebagai peluang yang menjanjikan.

Konon, komunikasi tingkat tinggi sudah dimulai, dan rapat terbatas pun sudah dilaksanakan. Sementara itu, semakin banyak pihak yang ingin berkontribusi sendiri, dengan caranya sendiri tanpa mengajak “wong cilik”.

Harapannya “wong cilik”, tentulah pengurus forum yang akan dibentuk nanti berisikan perwakilan dari seluruh unsur pentahelix yang ikut berproses. Bukan pendatang baru yang nunggu di tikungan dengan segala konsep yang dibawa sesuai selera dan kepentingannya. Namanya juga harapan, jadi ya bisa saja tinggal harapan.

Dengan demikian, menurut saya, sudah waktunya “Tim Bibitan” yang terdiri dari berbagai komunitas “wong cilik” undur diri, karena misi menginisiasi telah selesai, sesuai janji saat deklarasi. Kini waktunya para pihak yang kompeten (dan mungkin yang punya ambisi) untuk berbuat membentuk F-PRB Kota Surabaya. Tentu disini “wong cilik” hanya sekedar angka ikut, yang boleh tidak diikutkan.

Ya, misi itu telah selesai. Semua telah berlalu, tinggal kenangan yang indah saat jagongan bersama mengawali kasak kusuk membentuk F-PRB Kota Surabaya, yang konon banyak relawannya, banyak akademisinya, banyak praktisinya dibidang kebencanaan, namun terlambat membentuk forum, entah karena apa.

Jelas kenangan itu akan abadi. Jejak digital akan menyimpan. Untuk kemudian disuatu saat nanti muncul kembali, entah kapan. Semoga, saat muncul kembali nanti, keberadaan F-PRB Kota Surabaya sudah beraksi dengan program-programnya membentuk ketangguhan warga Kota menghadapi potensi bencana yang ada, diantaranya, kebekaran dan genangan yang membahayakan  saat musim penghujan. [eBas/SabtuWage-02072022]