Jumat, 24 Desember 2021

SEMUA ITU ADA KARENA ADANYA KEBIJAKAN

Ternyata, sampai saat ini masih banyak komunitas relawan yang belum paham tentang mengapa dan bagaimana sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana (SRPB) Jawa Timur muncul dengan segala kiprahnya. Belum banyak yang tahu bahwa kemunculannya itu karena adanya kebijakan dari BPBD Provinsi Jawa Timur.

Banyak versi yang dikatakan oleh berbagai kalangan tentang keberadaan SRPB Jatim dengan segala aktivitasnya. Diantaranya, pembentukan SRPB itu diharapkan bisa merangkul berbagai komunitas/organisasi relawan dalam kegiatan bareng untuk meningkatkan kapasitas relawan, dan memudahkan koordinasi antara relawan dengan BPBD.  

Dengan demikian keberadaan SRPB akan memudahkan BPBD dalam melakukan pembinaan, dan mobilisasi dalam sebuah kegiatan yang berhubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana, maupun dalam aksi penanggulangan bencana di semua fase.

Itulah salah satu kebijakan yang dilontarkan oleh Kalaksa BPBD Provinsi Jawa Timur, waktu itu. Termasuk kebijakan yang “mengharuskan” Mas Lukman dengan lembaganya membantu proses kelahiran SRPB, sejak awal perencanaan sampai terpilihnya kepengurusan dalam sebuah kongres, dengan segala programnya. Jelaslah bahwa terbentuknya SRPB itu berdasar kebijakan BPBD, bukan keinginan sekelompok relawan.

Waktu itu, kongres yang diselenggarakan di Hotel Regent Park, Kota Malang. Dihadiri oleh banyak perwakilan dari berbagai komuitas/organisasi relawan yang ada di Jawa timur (data komunitas/organisasi relawan didapat dari BPBD Provinsi Jawa Timur). Mereka datang dari berbagai daerah dengan modal semangat untuk saling merapat, bukan saling menghujat, apalagi saling mengambil manfaat. 

Fasilitas yang didapat peserta hanyalah konsumsi dan tidur gratis di Hotel. Itu saja, tidak ada yang lain. Namun mereka semua bahagia, karena bisa berkumpul bersama, bersemuka untuk berbagi cerita.

Untuk memelihara semangat peserta sepulang dari kongres, pengurus mengambil langkah cepat menggelar pertemuan rutin, bertempat dimana saja untuk segera membuat kegiatan, diantaranya program  ‘jagong bareng’ yang diberi nama “Arisan Ilmu Nol Rupiah” (AINR). Kegiatan ini sebagai upaya mempererat tali silaturahmi yang telah terjalin saat kongres di Hotel Regent Park.

Di awal pelaksanaan AINR, tidak ada bahasan khusus. Saat itu yang penting bisa berkumpul, ngobrol bareng tukar pengalaman untuk kemudian mencoba menata agenda AIRN yang lebih bermakna. Dari situlah kemudian muncul nara sumber dari berbagai kalangan yang berkenan berbagi ilmu yang terkait dengan kebencanaan, secara gratisan.

Semangat gotong royong pun terbentuk. Utamanya menyangkut pengadaan konsumsi. Termasuk dalam hal pengadaan baju seragam secara urunan. Semua dilakukan secara transparan tanpa paksaan. Artinya semua “penikmat” kegiatan AINR tetap bergembira walau tidak mengenakan baju seragam SRPB dan tidak ikut urunan beli konsumsi.

Melihat aktivitas SRPB yang menarik itu, maka BPBD pun berkenan ikut mendukung dan membersamai relawan yang sedang belajar menikmati proses berorganisasi lewat SRPB, yang lahir atas sebuah kebijakan dari BPBD Provinsi Jawa Timur, bukan dari relawan yang punya ambisi tertentu.

Bahkan, beberapa pejabatnya berkenan menghadiri acara AINR dengan membawa konsumsi sendiri yang bisa dinikmati oleh seluruh peserta. Hebatnya lagi, mereka juga mau menjadi nara sumber gratisan. Bahkan tidak jarang memberi fasilitas yang menyenangkan bagi relawan.

Atas nama kebijakan pula, SRPB sering difasilitasi dalam melaksanakan programnya. Diantaranya seperti program sertifikasi relawan oleh LSP-PB. Beberapa pengurus juga dilibatkan dalam pelaksanaan program BPBD, serta difasilitasi untuk mengikuti kegiatan BPBD di luar provinsi. Sekali lagi, semua itu karena kebijakan (mungkin juga karena kedekatan yang telah dibangun).

Kini, usia SRPB sudah masuk tahun ke lima. Berbarengan dengan datangnya wabah covid-19, semua mulai berubah. tiada gading yang tak retak. Pelan-pelan mulai terkuak rasa ketidak adilan. Tanpa sadar, seiring semangat perubahan, semua mulai berulah dengan segala resistensinya, juga egonya yang tak mau salah, apalagi saling mengalah, sehingga terlontar segala sumpah serapah. Jadi ingat kata pepatah lama, “Klemben-klemben, roti-roti”.

Ya, ketika semua berubah, mulailah muncul suara untuk berbenah agar tidak salah kaprah. Artinya, ada yang menghimbau agar SRPB melebur diri ke dalam “rumah besar” yang diberi mandat oleh UU 24 tahun 2007 dan PP 21 tahun 2008. Mengingat relawan adalah bagian dari unsur masyarakat yang merupakan salah satu elemen pentahelix.

Di “rumah besar” itulah semua elemen pentahelix membangun sinergi, menyusun aksi yang saling menguatkan tanpa melemahkan, saling merangkul tanpa memukul, saling peduli tanpa membully, membangun kerjasama bukan berlomba mencari nama. Saling menghargai kapasitas tanpa upaya menindas. Ya, di “rumah besar” itulah semua elemen saling belajar, bukan saling menghajar sampai ambyar.

Nah, dari pada bersitegang berkepanjangan dengan saling sindir yang terkadang keluar dari konteks dan menyerang pribadi. Sebaiknya dikembalikan saja kepada si pembuat kebijakan. Artinya cabut dengan tegas semua kebijakan mengenai keberadaan SRPB, maka semua akan  beres. Termasuk mencabut segala atribut yang ada di BPBD Provinsi Jawa Timur, yang kala itu bisa terpasang karena kebijakan.

Pertanyaannya kemudian, seandainya kebijakan mencabut hak hidup SRPB Jawa Timur benar-benar dilakukan, apakah secara otomatis semua relawan dari berbagai komunitas/organisasi akan eksodus ke “rumah besar” ?.

Sebuah pertanyaan yang tidak mudah menjawabnya, karena banyak faktor yang ikut memengaruhi. Apalagi jika masalahnya sampai ke urusan hati yang tersakiti, urusan rasa yang teraniaya, dan kepentingan lain yang ikut bermain. Pasti akan panjang urusannya. Ya, itulah manusia, tempat bersemayamnya sikap emosional dan rasional, yang konon gampang-gampang susah mengelolanya.

Namun, yang jelas, diakui atau tidak, bahwa keberadaan SRPB yang masih seumur jagung itu pernah terlibat dalam mewarnai perjalanan berbagai pihak berkiprah dalam kerja-kerja kemanusiaan dengan segala suka dukanya. bersama-sama mengukir cerita penuh canda tawa, riang gembira.

Tidak ada salahnya jika keberadaan SRPB dicatat dalam sejarah perjalanan hidup para relawan yang pernah ikut meramaikannya, yang pernah simpati namun kini antipati, yang dulu bersusah payah ikut menghidupi, kini berbalik memaki dengan segala versi pribadi.

Di masa pandemi covid-19 yang semakin melandai ini, keberadaan SRPB tidak semarak seperti dulu. Personilnya masih waspada terhadap kemungkinan lahirnya varian baru covid-19. Kegiatan ikonik AINR pun belum berani digelar kembali, baik daring maupun luring.

Namun, beberapa personil tetap dilibatkan oleh BPBD dalam melaksanakan programnya. Itu artinya, ditengah keterpurukan dan hujatan, SRPB masih dipercaya karena kinerjanya. Atas nama kerja-kerja kemanusiaan, SRPB tetap diberi peran oleh BPBD secara signifikan berdasar kemampuan.

Ada masukan bijak, agar ada pihak yang berkenan memfasilitasi sebuah pertemuan, seperti sarasehan multipihak, untuk membangun kesepahaman, dan mendudukkan peran masing-masing di dalam “rumah besar” yang bermartabat, agar program yang dicanangkan  membawa manfaat bagi semua pihak.

Berat memang, bahkan tidak mungkin terjadi. Karena diperlukan rasa legowo bagi semua pihak untuk membangun panggung bersama yang saling memberdayakan, sesuai konsep saling asah saling asih dan saling asuh di antara aktornya. Mimpi ini layak dibangun oleh semua pihak. Walau entah kapan bisa terwujud. Salam Tangguh Salam Kemanusiaan. [eBas/JumatWageMalamNatal-24122021]   

 

 

 

 

 

 

 

 

Minggu, 19 Desember 2021

BP-PAUD DIKMAS BERUBAH JADI BPMP JAWA TIMUR

Seperti biasa, minggu pagi, Mukidi, mengisi hari liburnya dengan cangkruk di warkop langganan. Sebagai calon penyandang pensiuan, Mukidi telah mulai belajar mengisi hari-harinya, salah satunya dengan cangkrukan di warkop langganan.

Bulan Desember telah bergulir mendekati tutup tahun 2021. Itu artinya, kurang empat bulan Mukidi menyudahi kiprahnya sebagai PNS. Sebagai calon pensiunan, tentu Mukidi mulai “disisihkan” dari segala aktivitas kantor yang ada kaitannya dengan program tahun 2022, yang saat ini sedang disusun.

Salah satu isuenya adalah, akan ada perubahan nama kantor. BP-PAUD DIKMAS akan berubah nama menjadi Balai Pengembangan Mutu Pendidikan. Namun isue tersebut belum final. Masih ada isue lain terkait perubahan nama kelembagaan. Termasuk kepindahan tempat kerja dari jalan Gebang Putih ke jalan Ketintang.

Ada yang bilang, jika nanti benar-benar semua personil pindah ke jalan Ketintang, maka akan terjadi masa transisi dan adaptasi antara penghuni lama dengan penghuni pindahan. Karena, sejatinyalah ke dua penghuni itu berbeda. Baik itu tentang kinerja, jam terbang, sasaran tusi dan karakter individunya. Tentu ini juga akan menjadi masalah tersendiri jika unsur manajemen gagal “mengelola” ke duanya.

Mukidi nyeruput kopinya yang semakin dingin. Dia berharap praktek “like and dislike” yang biasa dijalankan di Gebang Putih, tidak dibawa dan ditularkan di Ketintang, yang tentunya telah punya budaya kerja sendiri, dan bisa saja saling berbenturan.

Ada pula yang resah karena jarak tempuh dari kediamannya ke Ketintang semakin jauh, sedang angkutan umum selain ojek, grab dan taxi, tidak ada. Belum lagi masalah kemacetan selama perjalanan, serta genangan dimana-mana ketika hujan turun. Maka kemacetan pun semakin panjang.

Hari semakin siang, Warkop pun semakin ramai dengan pengunjung yang terdiri dari berbagai strata sosial. Mukidi enggan beranjak karena kopinya masih separo. Dalam bayangan Mukidi, hendaknya manajemen Kantor mengadakan semacam pelatihan untuk mengkondisikan karyawan Gebang Putih agar siap bergabung mengikuti irama kerja karyawan Ketintang.

Ini penting agar tidak terjadi friksi dikemudian hari. Sayangnya hal ini tidak dianggap penting dan dibiarkan berjalan sesuai takdirnya. Semua diserahkan kepada masing-masing untuk menjalin relasi membangun sinergi dalam pelaksanaan tusi.

Sambil nyruput kopi yang semakin dingin, Mukidi merasa semua isue tentang perubahan kelembagaan kantornya, tidak berpengaruh terhadap dirinya. Dia hanya menjadi pendengar yang baik ketika temannya membahas rencana kerja tahun 2022.

Bahkan kemungkinan saja Mukidi tidak sempat ikut menikmati hiruk pikuk perpindahan dari Gebang Putih ke Ketintang. Juga tidak ikut “berbenturan” dengan suasana baru. Semua itu karena Mukidi sudah masuk masa pensiun, dan tinggal menunggu waktu untuk dilupakan dan melupakan. 

jadi perubahan BP-PAUD DIKMAS ke BPMP JATIM itu tidak akan menghambat proses pensiun Mukidi yang tinggal menunggu waktu.

Gawai Mukidi berdering, ada pesan singkat dari istrinya yang minta diantar ke Pasar Grosir Surabaya, belanja "ubo rampe" untuk acara arisan PKK di kampungnya. Mukidi tidak berani membantah permintaan istrinya, daripada panjang urusannya. [eBas/ndlemingSeninKliwonSiangHari-2212021]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PERLUKAH KIPRAH RELAWAN DI SERTIFIKASI ?

Di warung kopi langganan relawan ngerumpi, siang itu mereka sedang jagongan berbagi pengalaman tentang keterlibatannya dalam operasi penanggulangan bencana banjir bandang di Kota Batu, beberapa waktu yang lalu.

Mulai dari evakuasi harta, benda bahkan warga dan ternak warga, mereka lakukan dengan penuh semangat, pendirian dapur umum, distribusi logistik dan membantu pendataan, juga dilakukan dengan bergotong royong, saling membelajarkan.

“Sungguh, apa yang telah kalian lakukan itu sepatutnya mendapat apresiasi positif terkait dengan kompetensi yang dimiliki dan sudah terbukti di lokasi,” Kata Mukidi, mencoba menyemangati cerita heroik temannya. Sambil nyruput kopi kesukaannya.

Mukidi teringat pada program sertifikasi relawan yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi profesi penanggulangan bencana (LSP-PB) beberapa waktu yang lalu sebelum pandemic covid-19. Entah bagaimana nasip relawan yang telah lulus dan mengantongi sertifikat profesi relawan.

Apakah sertifikatnya diterima di Pegadaian ?. Manfaat apa yang diterima oleh relawan pemegang sertifikat dari LSP-PB ?. Apakah relawan yang datang ke lokasi bencana wajib menunjukkan sertifikat kompetensi ?.

Pertanyaan-pertanyaan konyol itu akan terus bergulir tidak berkesudahan karena memang belum tampak kiprah nyata yang membedakan  antara relawan pemegang sertifikat saat pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana, dengan relawan yang tidak memiliki sertifikat kompetensi namun kiprahnya nyata bermanfaat dan bermartabat.

Mari tengok istilah sertifikasi kompetensi kerja di bidang penanggulangan bencana. Yaitu, sebagai pengakuan dan penghargaan dari Negara/Pemerintah (penanggulangan bencana sebagai sebuah profesi sebagaimana profesi-profesi yang lain).

Sementara, LSP-PB ikut serta membantu percepatan dalam menciptakan tenaga yang berjaminan mutu, memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap kerja secara memadai (memenuhi standar minimal).

LSP-PB dibentuk dengan Peraturan Kepala BNPB Nomor 7 Tahun 2014, yang bertujuan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, mewujudkan sumber daya manusia yang kompeten, serta memberikan pengakuan dan penghargaan profesi di bidang penanggulangan bencana.

Pernah ada yang bilang bahwa relawan pemegang sertifikat kompetensi itu sama dengan memegang SIM. Sehingga, ketika ada operasi lalu lintas tidak kena tilang. Sementara relawan pemegang sertifikat belum tahu manfaatnya, dan tidak pernah kena “tilang”. (hehe analogi yang dipas-paskan).

Mari tengok peristiwa bencana Banjir bandang di Kota Batu dan erupsi Gunung Semeru. Adakah dari ratusan relawan yang mendarma baktikan waktu dan tenaganya untuk menolong sesamanya, sampai berhari-hari, bahkan ada yang sampai sakit karena kecapekan, itu perah ikut diklat bersrifikat ?. Coba tanya, apakah mereka juga berbekal sertifikat kompetensi yang dikeluarkan LSP-PB ?. Apakah pernah asesor dari LSP-PB melakukan monitoring kepada relawan pemegang sertifikat di lokasi bencana ?.

Sungguh, berbagai komunitas relawan yang berdatangan ke lokasi itu nawaitunya hanya satu, ingin menolong sesama sesuai kemampuannya. Apa yang mereka bisa lakukan pasti akan dilakukan, tanpa melihat kompetensi, yang penting semua berjalan sesuai dengan yang direncanakan bersama.

Artinya, jika sertifikat kompetensi sebagai sebuah keharusan, maka hanya sedikit relawan yang boleh ke lokasi. Tentu akan menjadi petaka bagi agen bencana dan TRC bentukan BPBD yang harus berjibaku sendiri menangani dampak bencana. Jelas mereka akan ambyar tidak bisa menangani, dan kerugiannya jelas bertambah dan tidak tertangani dengan baik.

Eh, ngomong-ngomong, apakah personil Agen Bencana dan anggota TRC (serta karyawan BPBD), sudah lulus sertifikasi kompetensi dari LSP-PB ?. Sesungguhnyalah, program sertifikasi yang gratisan sesuai kuota yang telah ditentukan saja minim peminat, apalagi harus berbayar. Hanya orang-orang “hebatlah” yang mau merogoh kocek pribadinya, untuk biaya sertifikasi kompetensi bidang penanggulangan bencana, yang manfaatnya masih dipertanyakan.

Kaspo, dari komunitas relawan yang kebetulan sabahatnya Mukidi itu, sering terlibat dalam berbagai penanganan bencana dimana-mana, mengatakan bahwa, sertifikasi kompetensi bidang penanggulangan bencana itu tidak sama dengan sertifikasi profesi lainnya yang dampaknya ternikmati, terkait dengan kesejahteraan.

Sementara relawan pemegang sertifikat kompetensi masih tetap seperti sedia kala, belum berdampak pada peningkatan kompetensi. Apalagi pada kesejahteraan, karena tidak adanya tindak lanjut pasca memperoleh sertifikat kompetensi profesi sebagai relawan yang bersertifikat.  Wallahu a’lam. [eBas/MingguWage-19122021]

 

 

 

 

 

Sabtu, 18 Desember 2021

BASECAMP JAMAAH LC

Basecamp Jamaah LC, saat ini sedang sepi tak berpenghuni. Aktivitas ngopi bareng untuk sekedar berbagi cerita, kini tidak ada. Semua karena adanya panggilan alam yang menggelitik rasa kemanusiaan. Hadir ke lokasi membantu evakuasi, membantu apa saja untuk mengurangi risiko bencana dalam arti luas.

Kamis, 4 November 2021, Kota Batu diterjang banjir bandang. Itulah salah satu panggilan alam untuk jiwa-jiwa relawan kemanusiaan yang memiliki kemampuan untuk hadir membantu sesama, berbuat sesuatu sesuai kemampuan.

Sabtu, 4 Desember 2021 Semeru memuntahkan materialnya. Merusak apa saja. Harta, benda, ternak, bahkan menelan korban jiwa. Ya, kali ini Semeru benar-benar marah. Jembatan Geladak Perak yang menjadi penghubung perekonomian antara Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang, luluh lantak, putus tidak berfungsi lagi.

Dua peristiwa bencana itulah yang membuat aktivitas Basecamp terhenti. Seluruh anggota Jamaah LC, kembali ke komunitasnya masing-masing untuk mengemban misi kemanusiaan. Hanya ada satu kata, bencana urusan bersama.

Basecamp memang sepi, namun arus informasi tentang perkembangan situasi di lokasi terus saling melengkapi dan saling mengisi, serta berbagi agar semua bisa belajar dari ke dua peristiwa bencana itu.

Mungkin nanti, ketika suasana sudah normal kembali, Basecamp akan ramai lagi dengan berbagai celoteh indah tanpa menggurui, tanpa menyakiti. Kegiatan pun akan disusun kembali agar semakin berarti. Semua mengalir begitu saja sambil menikmati secangkir kopi dan sepotong roti.

Mungkin saat itulah, perlu digelar ngopi bareng sambil bercerita tentang suka duka melakukan misi kemanusiaan di kedua jenis bencana yang berbeda. Pasti seru. Karena masing-masing individu punya cerita sendiri dalam melihat sebuah peristiwa. Saat terlibat dalam operasi bencana.

Pasti seru. Ya jelas seru, karena masing-masing punya pengalaman di lapangan saat menghadapi sesama relawan dari berbagai komunitas dan daerah, membantu evakuasi, mendampingi korban, merapikan posko, menyiapkan berbagai keperluan untuk mendukung kegiatan, dan kesibukan lain.

Untuk itulah, tidak ada salahnya jika seluruh dokumentasi hasil bidikan kamera dan gawai kawan-kawan, di simpan rapi dan diabadikan sebagai sebuah kenangan yang terindah.

Sukur-sukur ada catatan kecil yang bisa dirangkai menjadi sebuah buku berisikan aneka pengalaman sebagai bagian dari bangunan sejarah hidup masing-masing relawan yang sedang berjalan. Entah sampai kapan.  

Sebuah sejarah pengabdian dari seorang relawan kemanusiaan yang telah menyumbangkan segenap waktu, tenaga dan mungkin dana, untuk menolong sesama. semuanya pasti akan menjadi cerita indah bagi anak cucu kita.

Basecamp Jamaah LC, pagi ini masih tetap sepi. Mencoba menikmati sepi dengan secangkir kopi. Coba bayangkan aktivitas anggota Jamaah LC yang begitu sibuk menikmati takdir kehidupan dengan caranya sendiri.

Tandas sudah secangkir kopi yang dinikmati bersama sepi. Mungkin, ada mbak Kunti sedang menemani. Ya begitulah hidup, dari sepi kembali ke sepi. [eBas/MingguWage-19122021]

 

 

  

 

 

 

Jumat, 17 Desember 2021

POS BERSAMA WADAH KOORDINASI RELAWAN DI LOKASI BENCANA

Beberapa pakar kebencanaan, banyak yang bilang bahwa, berbagai bencana semakin sering menyapa kehidupan manusia dengan segala dampak kerugian yang ditimbulkannya. Jaraknya pun berdekatan dari satu bencana ke bencana yang lain.

Berbagai komunitas relawan penanggulangan bencana pun cukup keteter membagi waktu, tenaga dan sarpras pendukungnya. Belum kering keringat lelah penanganan banjir bandang Kota Batu. Sudah harus bergerak kembali manakala Gunung Semeru menggeliat membawa petaka yang diluar dugaan.

Banjir Banyuwangi, Jember, dan Lamongan, juga minta perhatian. Paling tidak relawan setempat (potensi SAR lokal) sudah bergerak mencoba menjinakkan banjir dengan segala dampaknya. Alhamdulillah, semua bisa di atasi oleh mereka sendiri tanpa harus memobilisasi potensi dari berbagai lokasi di luar dirinya.

Inilah salah satu bukti bahwa daerah semakin berdaya dan tangguh melakukan pengurangan risiko bencana secara mandiri. Tinggal bagaimana mendampingi semangat mereka. Misalnya, melalui program ‘Sapa Destana’, yang baru dilakukan FPRB Jawa Timur dan membawa dampak yang menggembirakan.

Dalam dua peristiwa bencana yang baru saja terjadi, FPRB Jawa Timur menginisiasi berdirinya Pos Bersama (POSMA), yang dikelola bersama-sama relawan dari berbagai komunitas dan lintas sektor. Posma ini menempati sebuah ruangan (bisa rumah, bisa juga tenda komando) yang digunakan untuk pendataan relawan yang datang ke lokasi, dalam rangka tertib administrasi.

Posma juga menerima donasi dan titipan bantuan dari berbagai pihak (bahkan jika perlu Posma juga mencari bantuan melalui jejaringnya), untuk kemudian disalurkan kepada mereka sesuai kebutuhan. Ini penting untuk menghindari penumpukan bantuan.

Disamping itu Posma juga berfungsi sebagai tempat koordinasi mengatur strategi, untuk merancang aksi. Melakukan pedataan jumlah warga terdampak yang ada disekitar Posma, mendata kelompok rentan, memberi usulan operasi kepada pihak terkait, berkenaan dengan penertiban para "wisatawan bencana", penghadangan/penjarahan bantuan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, serta mencegah terjadinya pencurian oleh oknum yang berbaju relawan, dan membuat laporan kegiatan rutin yang dikirimkan ke Pos Komando (pusdalops).

Mengapa menggunakan istilah Posma, tidak Posko. Hal ini menurut mBah Dharmo, sebagai upaya edukasi kepada semua komunitas relawan yang terlibat dalam operasi penanggulangan bencana agar patuh pada aturan. Termasuk aturan penggunaan istilah Pos Komando.

Dalam Perka BNPB nomor 14 tahun 2010, tentang Pedoman Pembentukan Pos Komando Tanggap Darurat Bencana, disebutkan bahwa Pos Komando Tanggap Darurat Bencana adalah institusi yang berfungsi sebagai pusat komando operasi tanggap darurat bencana, untuk mengkoordinasikan, mengendalikan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan tanggap darurat bencana.

Kemudian disebutkan pula bahwa Pos Komando Lapangan Tanggap Darurat Bencana merupakan institusi yang bertugas melakukan penanganan tanggap darurat bencana secara langsung di lokasi bencana.

Ada pula Pos Pendukung Tanggap Darurat Bencana, yaitu pos yang membantu kelancaran akses dan mobilisasi/distribusi bantuan tanggap darurat bencana.

Jika mengacu pada istilah Posko yang ada di dalam Perka tersebut, pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan tenda yang didirikan oleh berbagai komunitas yang ditulisi Posko anu, Posko itu, Posko genk, dan Posko lainnya yang terlihat keren, gagah, bersih, ramai dan menyenangkan itu?.

Termasuk penggunaan istilah trauma healing yang seharusnya diganti dengan layanan psikososial. Namun karena istilah trauma healing sudah lama dipakai dan sangat ‘familier’ di kalangan relawan, maka perlu waktu untuk menggantikannya dengan istilah layanan psikososial. Mungkin, inilah yang dikatakan Sekjen FPRB Jatim, bahwa penggunaan Posma itu sebagai upaya edukasi penyadaran penggunaan istilah dalam kebencanaan.

Harapannya tentu, seluruh anggota kemunitas relawan yang tergabung dalam rumah besar Forum PRB Jawa Timur bisa memulai menggunakan istilah Posma, mengganti istilah Posko yang selama ini digunakan. Termasuk mengganti istilah trauma healing dengan program layanan psikososial. Wallaho a’lam. Salam tangguh [eBas/SabtuPon-18122021]