Dalam
tulisannya di Koran terbesar di jawa Timur, Bagong Suyanto mengatakan
bahwa, memastikan agar bencana tidak
terjadi memang tidak mungkin. Bencana adalah sebuah keniscayaan; dan ketika
alam tiba-tiba marah, kita memang tidak bisa berbuat nanyak. Gempa bumi,
tsunami, banjir bandang, tanah longsor, dan sebagainya adalah berbagai bentuk
bencana yang datangnya tanpa permisi. Seperti mimpi buruk, bencana selalu hadir
tak terduga. Tetapi, berbeda dengan mimpi buruk yang hilang tatkala kita bangun,
bencana justru menjadi nyata dan berdampak luar biasa ketika kita bangun dari
tidur. (Jawapos, 2018)
Masih
kata dosen Universitas Airlangga ini, mitigasi tidak hanya sekedar memetakan
daerah rawan bencana dan membuat jalur evakuasi belaka. Namun, bagaimana
menyiapkan komunitas menghadapi risiko bencana dan tahu apa yang harus
dilakukan untuk mengurangi dampak bencana. baik secara mandiri maupun
bersama-sama komunitas.
Seperti
kita ketahui bersama, mitigasi nerupakan kegiatan sebelum bencana terjadi.
Contoh kegiatannya antara lain membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan
bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta
memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran komunitas akan potensi bencana
kepada warga masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana.
Menurut
UU Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana, pasal 1 poin 9 mengatakan
bahwa mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.
Upaya
mitigasi hendaknya melibatkan komunitas masyarakat setempat. Ini penting agar
mereka merasa ikut memiliki dan bertanggungjawab terhadap terhadap gerakan
mitigasi bencana. Hal ini sejalan dengan konsep Pengelolaan Risiko Bencana
Berbasis masyarakat, yaitu melibatkan masyarakat yang berpotensi terkena dampak
bencana dalam manajemen risiko bencana di tingkat lokal, seperti masyarakat
dilibatkan dalam penilaian tentang bahaya, kerentanan dan kapasitas, sekaligus dalam
upaya perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi aksi lokal untuk
pengurangan risiko bencana di daerahnya.
Dengan
demikian diharapkan bisa mengurangi kebiasaan warga yang kurang pro lingkungan,
seperti membuang sampah sembarangan, termasuk ke sungai sehingga mempercepat
sedimentasi dan berkurangnya luasan sungai, penyalahgunaan fungsi tanggul
sungai untuk pemukiman liar, menebang pohon di hutan/gunung secara sembarangan
dan semacamnya.
Tindakan
ceroboh ini pada hakekatnya telah mengundang datangnya bencana yang tidak
diketahui kapan datangnya. Seperti banjir, banjir bandang, longsor, dan
kekeringan yang membawa kerugian yang tidak sedikit. Bahkan tidak menutup
kemungkinan jatuhnya korban jiwa.
Tindakan
yang tidak pro lingkungan inilah yang kiranya bisa dikurangi manakala komunitas
yang ada di masyarakat setempat dilibatkan, seperti majlis taklim, karang
taruna, dasa wisma, dan sejenisnya. Merekalah sejatinya ‘agen perubahan’ yang
bisa diajak untuk melakukan mitigasi membangun ketangguhan masyarakat
menghadapi bencana. Hal ini sejalan dengan konsep pemberdayaan yang sering
digunakan manakala ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.
Pemberdayaan
masyarakat adalah proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif untuk
memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri
sendiri. Pemberdayaan masyarakat hanya bisa terjadi apabila masyarakat itu
sendiri ikut pula berpartisipasi menjadi agen pembangunan atau
dikenal juga sebagai subjek. Disini subjek merupakan motor penggerak, dan bukan
penerima manfaat saja (sekedar objek).
Menurut
Suharto(2005:60), pemberdayaan masyarakat juga dimaknai sebagai sebuah tujuan, artinya,
pemberdayaan menunjuk pada keadaan yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan
sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau pengetahuan dan
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi
maupun sosial seperti kepercayaan diri, menyampaikan aspirasi, mempunyai mata
pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam
melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
Dengan
demikian, pelibatan komunitas dalam upaya mengurangi risiko bencana, dilakukan
melalui empat prioritas aksi: Memahami risiko bencana, Memperkuat tata kelola
risiko bencana untuk mengelola risiko, Berinvestasi dalam pengurangan risiko
bencana untuk membangun ketangguhan menghadapi bencana.
Sementara,
Eko Teguh Paripurno, dosen UPN Jogja, mengatakan ketangguhan itu bisa dimaknai
sebagai kemampuan komunitas, atau masyarakat terkena bahaya bencana untuk melawan,
menyerap, menampung, dan memulihkan diri dari efek bahaya bencana pada waktu
yang tepat dan dengan efisien; termasuk melalui perlindungan dan restorasi
struktur dasar yang penting dan fungsinya.
Artinya,
ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana melalui upaya mitigasi,
khususnya mitigasi non struktural akan tercipta bila mereka mempunyai Daya
akses informasi, Daya antisipasi, Daya adaptasi (living harmoni with risk), Daya
proteksi (melawan atau menghindar dari bencana), dan Daya lenting pasca
bencana. pertanyaannya kemudian, bisakah komunitas mendorong masyarakatnya
untuk sadar diri terlibat dalam upaya pengurangan risiko bencana ?. wallahu a’lam
bishowab. [eBas/Jumat pahing, 28/12].