Kamis, 27 Desember 2018

MITIGASI BENCANA BERBASIS KOMUNITAS



Dalam tulisannya di Koran terbesar di jawa Timur, Bagong Suyanto mengatakan bahwa,  memastikan agar bencana tidak terjadi memang tidak mungkin. Bencana adalah sebuah keniscayaan; dan ketika alam tiba-tiba marah, kita memang tidak bisa berbuat nanyak. Gempa bumi, tsunami, banjir bandang, tanah longsor, dan sebagainya adalah berbagai bentuk bencana yang datangnya tanpa permisi. Seperti mimpi buruk, bencana selalu hadir tak terduga. Tetapi, berbeda dengan mimpi buruk yang hilang tatkala kita bangun, bencana justru menjadi nyata dan berdampak luar biasa ketika kita bangun dari tidur. (Jawapos, 2018)

Masih kata dosen Universitas Airlangga ini, mitigasi tidak hanya sekedar memetakan daerah rawan bencana dan membuat jalur evakuasi belaka. Namun, bagaimana menyiapkan komunitas menghadapi risiko bencana dan tahu apa yang harus dilakukan untuk mengurangi dampak bencana. baik secara mandiri maupun bersama-sama komunitas.

Seperti kita ketahui bersama, mitigasi nerupakan kegiatan sebelum bencana terjadi. Contoh kegiatannya antara lain membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran komunitas akan potensi bencana kepada warga masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana.

Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana, pasal 1 poin 9 mengatakan bahwa mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Upaya mitigasi hendaknya melibatkan komunitas masyarakat setempat. Ini penting agar mereka merasa ikut memiliki dan bertanggungjawab terhadap terhadap gerakan mitigasi bencana. Hal ini sejalan dengan konsep Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis masyarakat, yaitu melibatkan masyarakat yang berpotensi terkena dampak bencana dalam manajemen risiko bencana di tingkat lokal, seperti masyarakat dilibatkan dalam penilaian tentang bahaya, kerentanan dan kapasitas, sekaligus dalam upaya perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi aksi lokal untuk pengurangan risiko bencana di daerahnya.

Dengan demikian diharapkan bisa mengurangi kebiasaan warga yang kurang pro lingkungan, seperti membuang sampah sembarangan, termasuk ke sungai sehingga mempercepat sedimentasi dan berkurangnya luasan sungai, penyalahgunaan fungsi tanggul sungai untuk pemukiman liar, menebang pohon di hutan/gunung secara sembarangan dan semacamnya.

Tindakan ceroboh ini pada hakekatnya telah mengundang datangnya bencana yang tidak diketahui kapan datangnya. Seperti banjir, banjir bandang, longsor, dan kekeringan yang membawa kerugian yang tidak sedikit. Bahkan tidak menutup kemungkinan jatuhnya korban jiwa.

Tindakan yang tidak pro lingkungan inilah yang kiranya bisa dikurangi manakala komunitas yang ada di masyarakat setempat dilibatkan, seperti majlis taklim, karang taruna, dasa wisma, dan sejenisnya. Merekalah sejatinya ‘agen perubahan’ yang bisa diajak untuk melakukan mitigasi membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Hal ini sejalan dengan konsep pemberdayaan yang sering digunakan manakala ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.

Pemberdayaan masyarakat adalah proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif untuk memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri. Pemberdayaan masyarakat hanya bisa terjadi apabila masyarakat itu sendiri ikut pula berpartisipasi menjadi agen pembangunan atau dikenal juga sebagai subjek. Disini subjek merupakan motor penggerak, dan bukan penerima manfaat saja (sekedar objek).

Menurut Suharto(2005:60), pemberdayaan masyarakat juga dimaknai sebagai sebuah tujuan, artinya, pemberdayaan menunjuk pada keadaan yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti kepercayaan diri, menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.

Dengan demikian, pelibatan komunitas dalam upaya mengurangi risiko bencana, dilakukan melalui empat prioritas aksi: Memahami risiko bencana, Memperkuat tata kelola risiko bencana untuk mengelola risiko, Berinvestasi dalam pengurangan risiko bencana untuk membangun ketangguhan menghadapi bencana.

Sementara, Eko Teguh Paripurno, dosen UPN Jogja, mengatakan ketangguhan itu bisa dimaknai sebagai kemampuan komunitas, atau masyarakat terkena bahaya bencana untuk melawan, menyerap, menampung, dan memulihkan diri dari efek bahaya bencana pada waktu yang tepat dan dengan efisien; termasuk melalui perlindungan dan restorasi struktur dasar yang penting dan fungsinya.

Artinya, ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana melalui upaya mitigasi, khususnya mitigasi non struktural akan tercipta bila mereka mempunyai Daya akses informasi, Daya antisipasi, Daya adaptasi (living harmoni with risk), Daya proteksi (melawan atau menghindar dari bencana), dan Daya lenting pasca bencana. pertanyaannya kemudian, bisakah komunitas mendorong masyarakatnya untuk sadar diri terlibat dalam upaya pengurangan risiko bencana ?. wallahu a’lam bishowab. [eBas/Jumat pahing, 28/12].








Senin, 17 Desember 2018

RELAWAN ABAL-ABAL


Sungguh sangat memprihatinkan. Ternyata masih ada sekelompok relawan berpikiran picik yang mengatakan bahwa relawan penanggulangan bencana itu adalah mereka yang terjun langsung ke lokasi bencana. sementara, relawan lain yang belum berkesempatan terjun ke lokasi dan hanya berkutat dengan teori menekuni ‘pergulatan pikiran’ untuk menginspirasi kegiatan penanggulangan bencana, oleh mrereka dianggap sebagai relawan abal-abal.

Karena, menurut pikiran kelompok ini, yang namanya relawan itu harus berjibaku menolong korban, berkalang tanah mengevakuasi korban mati, melakukan pendampingan korban di pengungsian, dan kegiatan nyata lainnya yang bersentuhan langsung dengan ‘kegaduhan’ di lapangan.

Dampak dari anggapan di atas, tanpa disadari telah memunculkan polarisasi relawan, yang tentu saja dapat mengganggu upaya mempererat tali persaudaraan melalui silaturahim. Yang mana, dari situ dapat dijadikan media peningkatan kapasitas dan kualitas.

Padahal pemahaman picik itu sudah waktunya dikubur dalam-dalam. Karena tidak sesuai dengan konstelasi jaman. Apalagi melihat siklus bencana dalam bentuk lingkaran yang tiada putus dan harus selalu dipersiapkan secara terus menerus. Sementara itu dalam Perka 17 dikatakan bahwa, Masyarakat dan pihak non-pemerintah dapat berpartisipasi dalam berbagai bentuk kerelawanan, dalam penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana

Sementara, dalam Perka nomor 17 tahun 2011, tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana, dikatakan bahwa relawan itu bisa bermain pada fase pra bencana, tanggap bencana, dan pasca bencana.

Dalam fase pra bencana, relawan bisa memainkan peran, diantaranya dalam Kegiatan penyuluhan kepada masyarakat di daerah rawan bencana, Pelatihan bersama masyarakat, Memberi informasi akan datangnya bencana, Penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar, dan Penyiapan lokasi evakuasi.

Sementara itu, saat tanggap darurat, relawan bisa berperan membantu melakukan kaji cepat kebutuhan kedaruratan, Membantu pencarian, penyelamatan dan evakuasi, Penyiapan dapur umum, Penyediaan hunian sementara, Perlindungan kelompok rentan, dan Pendampingan psikososial korban bencana.

Sedangkan pada fase pasca bencana, relawan dapat berperan membantu pengumpulan dan pengelolaan data kerusakan dan kerugian dalam sector perumahan, infrastruktur, social ekonomi, dan lintas sektoral. Disamping itu relawan juga bisa berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi fisik dan nonfisik dalam masa pemulihan.

Berkaca dari Perka 17, maka relawan bisa bermain di ketiga fase sekaligus. Namun boleh juga bermain disalah satu fase saja sesuai kemampuan fisik, usia dan dana. Dengan demikian, relawan itu tidak harus selalu turun ke lokasi seperti yang disangkakan oleh sekelompok relawan yang picik, mungkin karena mereka kurang piknik, sehingga gampang panik ketika muncul polemik. Sungguh memprihatinkan. Semoga Tuhan segera memberi petunjuk. [eBas/selasa pahing,18/12].

Sabtu, 15 Desember 2018

TRAUMA HEALING, UPAYA RELAWAN MENDAMPINGI KORBAN BENCANA


Malam ini, saya mendapat japri dari Mukidi, janjian bersemuka di Warkop Pinggir Jalan. Konon, Mukidi ingin bercerita pengalamannya melakukan kerja kerja kemanusiaan di lokasi bencana saat fase tanggap darurat. Ya, Mukidi dengan segala kemampuannya terjun menolong korban bencana Gempa Lombok dan Gempa Palu.

Sebagai relawan senior yang punya banyak relasi, Mukidi sudah malang melintang mengikuti operasi tanggap darurat bencana di berbagai daerah. Tsunami Aceh, Gempa Padang, Gempa Jogja, Bencana tanah longsor di Banjarnegara, Pacitan, Banyuwangi dan Gianyar, dia juga terlibat dan melibatkan diri membantu sesama.

Disamping membantu evakuasi korban, Mukidi jga aktif dalam pengelolaan pengungsian, khususnya pendistribusian logistik bagi pengungsi dan kelompok rentan, serta melakukan kegiatan trauma healing bagi anak-anak.   Konon, untuk menjaga anak-anak  agar tidak merasa jenuh dan galau saat dirinya terpaksa hidup berjubel di tepat pengungsian, adalah dengan memberinya berbagai kesibukan yang menyenangkan dengan melibatkan teman sebayanya.

Seperti diketahui, setiap terjadi bencana, selalu saja mereka yang domisilinya terdampak langsung, dapat dipastikan mengungsi dengan kondisi pengungsian yang serba terbatas, ala kadarnya, dan Fasilitas pun apa adanya. Tentu semuanya akan menimbulkan persoalan dan ketidak nyamanan, terutama bagi anak-anak. Sehingga mereka rewel dan menambah galau orang tuanya.

“Biasanya, suasana pengungsian itu akan menyiksa batin anak-anak. Mereka ini termasuk golongan rentan yang mudah stress, Untuk itulah peran relawan dalam menangani anak-anak lewat kegiatan trauma healing sangat diharapkan.” Kata Mukidi berapi-api sambil minum kopi.

Sambil memesan mie rebus, saya bertanya tentang apa itu trauma healing yang begitu akrab di dunia relawan penanggulangan bencana. hampir disemua peristiwa bencana, selalu saja kawan-kawan relawan melakukan kegiatan trauma healing dengan segala bentuknya sesuai kebisaannya.

“Waduh aku yo ora ngerti konsep trauma healing , fungsi dan metode yang baku. Yang jelas, dari dulu, relawan yang berkesempatan terjun langsung ke lokasi bencana, salah satu yang dilakukan adalah mengadakan kegiatan trauma healing kepada anak-anak,” Kata Mukidi dengan wajah lucunya.

Ada yang bilang trauma healing merupakan metode penyembuhan pada gangguan psikologis yang dialami seseorang karena lemahnya ketahanan fungsi mental. Dalam hal ini, anak-anak sangat mudah mengalami trauma. Sebuah gangguan psikologis yang diiringi dengan timbulnya bermacam gejala seperti takut, cemas, gelisah, curiga, depresi, bingung, pendiam, agresif, sedih, dan pendiam.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh “pihak lain”,  dengan istilah Dukungan Psikososial, yakni bantuan yang diberikan kepada individu dan masyarakat yang mengalami gangguan psikologis, dimana bantuan ini dilakukan secara terus menerus dan saling mempengaruhi antara aspek psikologis dan aspek sosial dalam lingkungan dimana individu atau masyarakat berada.
       
   Ya, trauma healing merupakan upaya mengembalikan rasa percaya diri dengan mengembalikan ‘kebahagiaan’ anak. Sukur-sukur dalam kegiatantrauma healing itu bisa meningkatkan kreativitas anak sebagai bekal masa depannya.  

Semua ini dilakukan dalam suasana riang gembira dengn melakukan aktivitas bermain, seprti menggambar, menyanyi, menari, menggambar, bimbingan belajar, dan fun game. Bisa juga melalui pendekatan agama, seperti ngaji bareng, tausyiah, dan beribadah secara berjamaah.

Sementara menurut Paula dan Gordon (2003:1) mengatakan bahwa tujuan akhir dari trauma healing adalah membuat seseorang dapat menerima dan menyatukan pengalaman trauma, kesedihan dan membentuk kehidupan baru dengan keyakinan dan pengertian baru. Hal ini sejalan dengan tujuan dari konsep dukungan psikososial, yakni ingin mengembalikan individu, keluarga, masyarakat agar setelah peristiwa bencana terjadi dapat secara bersama menjadi kuat, berfungsi optimal dan memiliki ketangguhan menghadapi masalah sehingga menjadi produktif dan berdaya guna.

Sementara, yang sering dilakukan Mukidi dalam melaksanakan trauma healing adalah dengan cara mengumpulkan anak-anak di pengungsian, kemudian diajak ‘bermain’ agar mereka bisa tertawa riang dan mendorong mereka untuk berani tampil, mau bercerita dan berekspresi. Setelah anak-anak merasa nyaman, barulah Mukidi mendekati orang tua anak-anak, untuk membangun komunikasi dan berinteraksi dalam rangka ‘mengajak’ berbuat sesuatu agar bisa segera bangkit kembali membangun kehidupan yang lebih baik lagi.

Tidak lupa, diakhir pertemuan, Mukidi juga memamerkan berbagai foto dokumentasi selama berkegiatan di lokasi bencana. baik foto tentang rapat di Pos komando, rapat membagi sembako, foto bersama rombongan pejabat. Ada juga foto saat melakukan evakuasi, membantu distribusi konsumsi kepada pengungsi dan berbagai dokumentasi aktivitas membantu pemerintah dalam menolong sesama yang bisa menjadi bahan kenangan yang akan dibagikan kepada anak cucu dikemudian hari.

Sebuah sejarah perjalanan hidup Mukidi yang coba diabadikan sesuai ajaran bijak yang mengatakan bahwa, sebaik baik manusia adalah mereka yang bisa memberi bermanfaat bagi sesamanya. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/minggu kliwon dini hari, 16/12]





Selasa, 20 November 2018

TANGGAP BENCANA MENUJU TANGGUH BENCANA


      Sering kali, dalam berbagai kesempatan, badan nasional penanggulangan bencana menekankan bahwa upaya penanggulangan bencana perlu adanya koordinasi dan penanganan yang cepat, tepat, efektif, efisien, terpadu dan akuntabel, dari berbagai pihak, agar korban jiwa dan kerugian harta benda dapat diminimalisir.

Untuk itulah, tidak terlalu salah jika relawan pun yang biasanya suka ‘bermain’ di saat tanggap darurat (karena sangat membanggakan dan memorable sifatnya) mengetahui tentang tahapan dalam proses penanggulangan bencana.

Harapannya, relawan itu tidak hanya bermain di tanggap darurat saja, namun juga bisa berkontribusi dalam fase pra bencana, sukur-sukur juga dalam fase pasca bencana. di bawah ini disajikan beberapa informasi dari berbagai sumber untuk menambah wawasan. Mengingat tidak selamanya relawan itu bergelut di tanggap bencana mengandalkan ototnya. Karena, sebagai manusia, relawan pun akan menjadi tua tanpa daya, otot pun kian renta.  

Penanggulangan bencana merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi dan pembangunan kembali. Dengan tujuan; Memberikan    perlindungan kepada masyarakat   dari ancaman bencana; Menyelaraskan  peraturan perundang-undangan  yang sudah ada; Menjamin    terselenggaranya  penanggulangan  bencana secara terencana,  terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; Menghargai budaya lokal; Membangun partisipasi dan kemitraan publik  serta swasta; Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi: Prabencana, yang meliputi: (a) Dalam situasi tidak terjadi bencana, meliputi : perencanaan penanggulangan bencana, yang terdiri atas : pengenalan dan pengkajian ancaman bencana; pemahaman tentang kerentanan masyarakat; analisis kemungkinan dampak bencana; pilihan tindakan pengurangan risiko bencana; penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak  bencana; dan alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia.

Kemudian, dalam upaya pengurangan risiko bencana, terdiri atas : pengenalan dan pemantauan risiko bencana; perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; pengembangan budaya sadar bencana; peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.

Upaya pencegahan yang terdiri atas : identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana; kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana; pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba  berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya bencana; penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup; dan penguatan ketahanan sosial masyarakat.

Kemudian melakukan analisis resiko bencana, serta upaya pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana, yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta meningkatkan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana yang harus dimiliki oleh para pelaku kebencanaan.

(b) Dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana, meliputi; Kegiatan Mitigasi, yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).

Tujuan mitigasi bencana, Mengurangi dampak yang ditimbulkan, khususnya bagi penduduk, Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan, Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman

Beberapa kegiatan mitigasi bencana di antaranya; pengenalan dan pemantauan risiko bencana, perencanaan partisipatif penanggulangan bencana, pengembangan budaya sadar bencana, penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana, identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana, pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya alam, pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup.

Sementara itu, pengertian Kesiapsiagaan adalah Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU 24/2007). Misalnya, masyarakat mampu mengenali ancaman dan memprediksi sebelum terjadinya bencana; mampu mencegah bencana, jika mungkin, Jika tidak, mampu mengurangi dampaknya, Jika terjadi bencana, mampu menanggulangi secara efektif, Setelah bencana terjadi, mampu pulih kembali.

Tahap kesiapsiagaan meliputi Penilaian Risiko (risk assessment), Perencanaan Siaga (contingency planning), Mobilisasi Sumberdaya (resource mobilization), Pendidikan dan Pelatihan (training & education), Koordinasi (coordination), Mekanisme Respon (response mechanism), Manajemen Informasi (information system), dan kegiatan Gladi / Simulasi (drilling/simulation).

Sementara kegiatan Peringatan dini itu merupakan serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.

Saat Tanggap Darurat, yang harus dikerjakan adalah: Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya; untuk mengidentifikasi:  cakupan lokasi bencana; jumlah korban; kerusakan prasarana dan sarana; gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan kemampuan sumber daya alam maupun buatan.

Termasuk menentukan status keadaan darurat bencana dalam Penyelamatan dan evakuasi masyarakat yang terkena bencana melalui upaya:  pencarian dan penyelamatan korban serta pertolongan darurat ke tempat yang aman.

Pemenuhan kebutuhan dasar yang meliputi :  kebutuhan air bersih dan sanitasi; pangan; sandang; pelayanan kesehatan; pelayanan psikososial; dan  penampungan dan tempat hunian.

Perlindungan terhadap kelompok rentan yaitu dengan memberikan prioritas kepada kelompok rentan (bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang sedang mengandung atau menyusui; penyandang cacat; dan orang lanjut usia) berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial.

Dengan kata lain, tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

Kemudian kegiatan pada tahap pascabencana meliputi: (a) rehabilitasi melalui kegiatan perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis; pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik

(b) rekonstruksi, dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang lebih baik, meliputi, pembangunan kembali prasarana dan sarana, pembangunan kembali sarana sosial masyarakat, pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat, penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana, partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat; peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, peningkatan fungsi pelayanan publik dan peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

Semoga dengan mengetahui tahapan penanggulangan bencana ini relawan semakin cerdas lagi tangkas dalam mengabdikan dirinya menolong sesamanya yang tertimpa musibah. Termasuk melakukan sinergi program dengan relawan lain, masyarakat terdampak, pemerintah dan dunia usaha dalam penanggulangan bencanaa dan pengurangan risiko bencana.

Semua ini dalam rangka menuju terwujudnya ketangguhan bagsa menghadapi bencana, yaitu Masyarakat yang mampu  merespon, beradaptasi dan pulih kembali ke kondisi normal dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dengan kata lain, Ketangguhan tersebut dapat didefinisikan dalam empat elemen: Pertama, masyarakat memiliki daya antisipasi. Kedua, masyarakat harus punya daya pengurangan risiko dengan cara menghindari maupun menolak. Ketiga, adaptasi masyarakat. Keempat, masyarakat mempunyai daya lenting. Ingat kenali bahayanya, kurangi risikonya. [eBas/warkop pinggir embong keputih/selasa wage,20/11]
.




Kamis, 15 November 2018

MITIGASI BENCANA DAN PENDIDIKAN KEAKSARAAN UNTUK MEMBERDAYAKAN WARGA TERDAMPAK


Setiap kejadian bencana  yang terjadi selama ini sering kali mengakibatkan berbagai permasalahan pada fase pasca bencana. Mulai dari rusaknya infrastruktur, rumah tinggal roboh, dan berbagai fasilitas umum yang rusak. Ya, semua rusak, perlu dana besar untuk perbaikan. Begitu juga masalah sosial ekonomi pun juga menjadi persoalan tersendiri. Lahan pertanian dan perkebunan rusak, mata pencaharian penduduk hilang dan terganggu. Kemiskinan pun menyeruak.

Untuk itu perlu dilakukan upaya yang dapat membantu warga masyarakat korban bencana, khususnya kaum perempuan agar memiliki kesadaran dan kepedulian dalam mengelola lingkungan yang telah luluh lantak dilanda bencana, sehingga bisa segera pulih kembali membenahi kehidupannya dengan kegiatan produktif.

Kemendikbud, melalui program pendidikan nonformal, kiranya bisa melakukan pemberdayaan kaum perempuan melalui program pendidikan keaksaraan usaha mandiri. Yaitu, upaya penguatan keberaksaraan melalui pembelajaran keterampilan usaha yang dapat meningkatkan penghasilan dan produktivitas perorangan maupun secara berkelompok pasca lulus mengikuti program keaksaraan dasar (KD).

Program ini sejatinya di peruntukkan bagi peserta didik yang telah menyelesaikan program KD. Namun dalam kondisi tertentu, model pembelajarannya bisa diadopsi untuk program pemberdayaan perempuan. Dimana, materi keaksaraan usaha mandiri ‘diselipi’ dengan materi mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana, serta program pemulihan pasca bencana untuk mengurangi dampak social yang berkepanjangan.

Pengertian Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).

Tujuan mitigasi bencana, Mengurangi dampak yang ditimbulkan, khususnya bagi penduduk, Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan, Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman

Beberapa kegiatan mitigasi bencana di antaranya; pengenalan dan pemantauan risiko bencana, perencanaan partisipatif penanggulangan bencana, pengembangan budaya sadar bencana, penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana, identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana, pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya alam, pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup.

Sementara itu, pengertian Kesiapsiagaan adalah Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU 24/2007). Misalnya, masyarakat mampu mengenali ancaman dan memprediksi sebelum terjadinya bencana; mampu mencegah bencana, jika mungkin, Jika tidak, mampu mengurangi dampaknya, Jika terjadi bencana, mampu menanggulangi secara efektif, Setelah bencana terjadi, mampu pulih kembali.

Tahap kesiapsiagaan meliputi Penilaian Risiko (risk assessment), Perencanaan Siaga (contingency planning), Mobilisasi Sumberdaya (resource  mobilization), Pendidikan dan Pelatihan (training & education), Koordinasi (coordination), Mekanisme Respon (response mechanism), Manajemen Informasi (information system), dan kegiatan Gladi / Simulasi (drilling/simulation).

Tentunya pengetahuan mitigasi dan kesiapsiagaan ini bisa dikolaborasikan dengan program pendidikan keaksaraan untuk materi pemberdayaan perempuan di daerah terdampak bencana. agar mereka tidak terlalu lama berduka akibat bencana. berdaya disini, artinya cepat sadar dari keterpurukan untuk berbuat sesuatu agar kehidupannya cepat pulih seperti sedia kala. Hal ini seperti dalam konsep daya lenting, yaitu meningkatkan kemampuan merencanakan, menyiapkan, mengadaptasi, memulihkan dari kerusakan dan mengembalikan kembali kondisi wilayah bahkan lebih baik dari keadaan sebelum terjadinya bencana

Konon, BNPB pun mempunyai program upaya pemulihan kembali kondisi sosial ekonomi masyarakat terdampak bencana melalui pendampingan membuka peluang usaha dan membantu pemasarannya. Sungguh program ini sangat lekat sekali dengan pendidikan keaksaraan usaha mandiri.

Andai program ini bisa dikolaborasikan dengan program keaksaraan usaha mandiri, tentunya akan semakin mempercepat upaya memberdayakan masyarakat yang terdampak bencana, baik secara ekonomis, juga memperkuat kemampuan membaca, menulis dan berhitung seperti yang diharapkan dalam pendidikan keaksaraan dasar.

Disisi lain masyarakat mampu mengantisipasi potensi bencana yang ada di daerahnya sehingga bisa mengurangi risiko yang diakibatkan oleh bencana. ini penting karena masyarakatlah yang akan menjadi korban pertama, sekaligus melakukan penyelamatan semampunya sebelum pertolongan dari pihak luar berdatangaan. Salam tangguh. [eBas/Kamis wage,15/11]










Minggu, 11 November 2018

RELAWAN ITU HARUS TERJUN KE LOKASI BENCANA


Konon, ada yang bilang, seorang relawan itu harus pernah (bahkan sering) terjun ke lokasi bencana. bersama komponen lain membantu menanggulangi bencana sesuai klasternya. Itulah kebanggaan seorang relawan bisa membantu langsung korban bencana dengan segala suka dukanya yang indah untuk dikenang, juga untuk bahan cerita.

Kebanggaan itulah yang kemudian dijadikan bahan cerita yang tiada habisnya. Apalagi jika cerita-cerita itu dikemas dengan dramatisasi yang berbunga-bunga. Maka pendengarnya akan terkesima dan kagum oleh cerita heroiknya. Untuk kemudian semua percaya bahwa sipencerita tadi layak disebut relawan senior yang berpengalaman. Bahkan kalau perlu dijadikan rujukan oleh para yuniornya, juga para pemerhati masalah kebencanaan yang jarang turun ke lokasi bencana.

Ya, ada yang bilang bahwa relawan murni itu, benar-benar rela dan ikhlas dari hati membantu untuk kemanusiaan. tidak pernah sekalipun berfikir untuk meraup untung di lokasi bencana. Hal ini sejalan dengan definisi relawan yang dikemukakan oleh Devani Sukma, dalam keuanganlsm.com (2013), sebagai seorang yang secara suka rela (uncoerced) menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran dan keahliannya untuk menolong orang lain (help others) dan sadar bahwa tidak akan mendapatkan upah atau gaji atas apa yang telah disumbangkan (unremunerated).

Sedangkan menurut Perka BNPB nomor 17 tahun 2011, dikatakan, relawan Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya disebut relawan, adalah seorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana.

Dalam sebuah postingan di grup WhatsApp, seorang relawan senior berkata, saya tahu persis di dalam grup ini, siapa relawan yang sering turun di lokasi bencana, dan siapa yang Cuma relawan label saja, jarang turun saat ada bencana. bahkan Cuma beberapa kali turun tapi retorikanya selangit.

Menurutnya, relawan yang suka retorika itu lek perlu diajak evakuasi nang Petobo, engkok lak cekintang cekinting. Delepno ae mesisan nang lumpur Petobo setengah badan seng deket dengan mayat yang sudah menggembung dan yang perutnya sudah pecah, ben faham opo sek hakekate relawan, ben gak salah faham.

Menurut faham relawan senior diatas, relawan yang hanya beretorika selangit itu belum layak disebut relawan. Mungkin dianggap relawan anyaran yang baru blajaran. Sehingga tidak patut ikut berbicara tentang dunia relawan sesuai faham ini. (sebuah faham yang sulit dipahami). Mungkin dolane kurang adoh karo relawan.

Untuk membangun kesepahan itulah kiranya perlu ada acara kopi darat untuk membahas apa itu relawan, dengan catatan tanpa arogan. “Sambil ngopi bareng saya malah penasaran, seberapa jauh sih pengetahuan dan fakta lapangan tentang relawan, dan seberapa karat sih bisa menghadirkan kerelawanan pada jiwa kalian,” Ujar relawan senior itu. Jelas sekali tampak kecongkakannya dalam bertutur karena merasa sudah hebat.

Masih menurut relawan yang mempunyai kawan banyak dari berbagai kalangan ini, tidak sedikit komunitas relawan, tiap kali datang ke lokasi bencana tidak ada itu bagi-bagi uang saat bencana. budal yo bondo dewe.

“Sementara, yang suka meminta upah atau dibayar, itu relawan paradigma lama. Sekarang sudah banyak berkurang. Relawan saat ini berangkat tidak mengharapkan uang. Mereka banyak yang berangkat dengan modal sendiri. Bahkan patungan, sampai ada yang menggadaikan mobilnya, dan motornya untuk akomodasi pribadi selama di lokasi,” Ujarnya dengan bangga. Rupanya, relawan yang hebat itu harus berani menggadaikan barangnya untuk terjun ke lokasi bencana. ( ehm … ? )

Dan seringnya, relawan yang ada ini tiap kali selesai berkegiatan di lokasi bencana lalu ngumpul di warkop.  Ngopi bareng rame-rame lintas komunitas. Mereka  bersama membahas, atau boso akademisnya, evaluasi. Sopo-sopo personal relawan yang saat di kejadian bencana gerakannya diluar SOP dan melampaui klasternya.

Untuk meredam emosinya, seorang relawan lain, mencoba berkomentar dengan bijak. “Sabar, mungkin tidak semua anggota di grup WhatsApp ini memiliki pengalaman di lapangan seperti sampiyan dalam menangani situasi darurat. Tentu hal ini akan mempengaruhi pengetahuan, pengalaman, cara berpikir dan cara bertindak seseorang, “ katanya.

Selanjutnya dikatakan, Inilah kesempatan bagi kita semua untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman melalui dunia maya agar semakin banyak orang memahami kompleksitas penanganan situasi darurat. Termasuk dalam hal ini pengelolaan relawan. Memang, ada organisasi yang mengelola relawannya dengan sangat bagus. Tapi ada juga organisasi yang masih perlu meningkatkan kapasitas untuk mengelola relawannya.

Konon, ada tiga fase dalam penanggulangan bencana. yaitu fase pra bencana,fase tanggap darurat, dan fase pasca bencana. dalam setiap fase, relawan bisa bermain disitu. Memang yang paling seksi dan ‘memorable’ adalah ikut berperan pada fase tanggap darurat bencana. apalagi berkesempatan disorot media massa. Terkenallah dia, berbanggalah dia. Layak menyandang relawan sejati. Dan inilah sejatinya relawan menurut faham mereka.

Namun, tidak ada salahnya, relawan, yang karena sesuatu dan lain hal hanya aktif di fase pra bencana saja, yang mungkin menurut faham mereka aib. Biarkan saja, itu bukan dosa. Lakukan saja kegiatan pada fase pra bencana. seperti melakukan edukasi dan sosialisasi pengurangan risiko bencana, mengadakan pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat, juga kepada relawan dalam rangka peningkatan kapasitas. Karena, sesungguhnyalah  ada beberapa faktor yang bisa menghambat relawan untuk terjun mengabdikan diri, melakukan aksi kemanusiaan membantu sesama.

Seperti faktor ijin dari keluarga, ijin dari pimpinan lembaga dimana dia bekerja, faktor kesehtan dan usia, serta faktor ketersediaan dana untuk akomodasi pribadi selama mengikuti operasi tanggap darurat bencana, agar tidak merepotkan dapur umum dan saat pulang tidak ‘ngemis’ minta sangu dan tiket, seperti kelakuan oknum relawan yang sulit di deteksi.

Ya, di lapangan memang masih ada relawan yang kayak jailangkung. Datang tidak ada pemberitahuan, pulang tanpa pamit dan meninggalkan persoalan baru di lokasi bencana. inilah yang perlu ditertibkan melalui ‘desk relawan’ yang masih dalam tahab wacana karena sulit direalisasikan.

Konon, jika ada relawan yang mendapat uang dari pemerintah. Itu bukan gaji/dibayar, tapi sekedar tali asih dari pemerintah kepada mereka yang sudah berbuat dengan nyata di lokasi bencana. jadi bukan dibayar atau digaji.

Artinya, memang ada relawan tertentu yang mendapat tali asih dari pemerintah (juga fasilitas lain). Namun tidak semua relawan berkesempatan mendapat tali asih. Sekali lagi hanya relawan tertentu dan melalui proses serta aturan tertentu. Hal ini, kadang memunculkan oknum tertentu yang mau berbuat nyata di lokasi bencana jika ada tali asihnya.

Sungguh, penggalan-penggalan postingan itu jika disatukan bisa menjadi bahan pembelajaran tersendiri seperti yang sedang anda baca (tentu tanpa emosi, tanpa tendensi dan sok pintar sendiri), untuk menambah wawasan tentang dunia relawan dalam penanggulangan bencana yang penuh warna, yang pada akhirnya diharapkan bisa menginspirasi untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi sesama. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/minggu kliwon-11/11/dari berbagai postingan]


Minggu, 04 November 2018

PRASASTI MENYIMPAN PESAN PERADABAN MASA LALU


Konon, prasasti sebagai salah satu peninggalan sejarah masa lalu banyak menyimpan pesan tertentu. Prasasti yang sengaja dibuat pada jaman kerajaan tertentu, merupakan upaya mendokumentasikan suatu peristiwa agar bisa dikenang dan dipelajari oleh ‘generasi’ berikutnya. untuk ditiru dan disempurnakan sesuai jamannya. 

Wikipedia mengatakan bahwa Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama. Disamping prasasti ada pula yang berbentuk naskah yang ditulis di daun lontar, kayu, dan kulit hewan.
Dalam berbagai kajian sejarah, dikatakan prasasti merupakan sumber terpenting karena mampu memberikan kronologis suatu peristiwa. Selain mengandung unsur penanggalan, prasasti juga mengungkap sejumlah nama dan alasan mengapa prasasti tersebut dikeluarkan.
Dengan kata lain, keberadaan prasasti itu sebagai penanda bahwa di suatu daerah pernah terjadinya suatu peristiwa dan tanda sebagai pernah berkuasanya sosok seorang raja atau penguasa.
Disamping prasasti, banyak juga pesan dalam bentuk simbul yang dituliskan di gerabah, perhiasan, arca maupun di dinding candi dalam bentuk gambar. Pesan pesan yang tersembunyi inilah oleh para ‘pemerhati kepurbakalaan’ dijadikan bahan kajian untuk menguak kebesaran sejarah masa lalu.
Beberapa komunitas sedang mencoba mengalih bahasakan peninggalan sejarah itu dengan terlebih dulu mempelajari bahasanya. Mereka mencoba membaca sebuah naskah/prasasti dengan cara mengartikan perkata/perhuruf terlebih dulu, baru dirankai dan ditafsirkan. Tentunya dengan ditambah informasi dari berbagai sumber pendukung lain yang ditemukan. Karena, sesungguhnyalah perkembangan bahasa, khususnya  bentuk huruf jawa kuna itu selalu mengalami perubahan dari abad ke abad, sesuai perkembangan peradaban sebuah bangsa (sistem pemerintahannya).
Andai anggota komunitas itu berhasil ‘membaca’ pesan peninggalan peradaban masa lalu, maka akan banyak informasi yang akan terkuak. Entah itu terkait dengan ilmu bangunan, berbagai kesenian, ritual keagamaan, kuliner, sistem perdagangan, sistem pendidikan, sistem pemerintahan, penyebab terjadinya perang, terbentuknya sebuah perdikan/kadipaten, lahirnya tokoh, wafatnya raja, peristiwa gunung meletus, gempa, banjir, dan informasi lainnya, yang sangat berguna menambah wawasan.
Sayangnya, banyak peninggalan masa lalu yang kurang terurus sehingga banyak yang berpindah tangan, menjadi barang antik yang diperdagangkan dan menjadi koleksi perorangan, bahkan tidak sedikit yang dibawa ke negeri seberang, dijadikan bahan penelitian. Sementara disini masih dianggap sekedar ‘klangenan’ oleh mereka yang mempunyai kepedulian akan sejarah masa lalu. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/minggu pon, 4/11]  





Rabu, 31 Oktober 2018

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR POSKO PEDULI BENCANA

Seiring dengan semakin seringnya bencana ‘menyapa’ berbagai daerah,  yang mengakibatkan kerugian  harta, benda, bahkan nyawa. Gempa Lombok yang diikuti longsor dan Gempa Palu yang diikuti tsunami dan likuifaksi, adalah bencana terbaru yang cukup mengagetkan banyak pihak. Kesadaran dan rasa kepedulian kepada sesama pun tumbuh dan digelar dimana-mana dengan berbagai bentuknya.

Ada relawan (didukung dana dan sarana yang memadai), langsung berangkat ke lokasi, membantu evakuasi, bersama elemen lain menolong mereka yang perlu ditolong, bersama pemerintah meringankan derita sesama.

Bagi relawan yang tidak berkesempatan mengikuti operasi tanggap darurat bencana, bisa melakukan aksi menggalang dana di perempatan jalan maupun mengadakan konser kemanusiaan. termasuk berpartisipasi mendirikan Posko Peduli Bencana. Posko ini berupaya menampung donasi dan aneka bantuan masyarakat yang nantinya akan dikirimkan ke posko induk di lokasi bencana.

Hal ini sesuai dengan Perka nomor 22 tahun 2008, tentang Pendanaan dan pengelolaan Bantuan Bencana. Di dalam Pasal 8 dikatakan bahwa  dalam mendorong partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah atau pemerintah daerah dapat: a. memfasilitasi masyarakat yang akan memberikan bantuan dana penanggulangan bencana; b. memfasilitasi masyarakat yang akan melakukan pengumpulan dana penanggulangan bencana; dan c. meningkatkan kepedulian masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyediaan dana.

Sementara, Pasal 9 mengamanatkan, (1) Setiap pengumpulan dana penanggulangan bencana, wajib mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang. (2) Setiap izin yang diberikan oleh instansi/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) salinannya disampaikan kepada BNPB atau BPBD. (3) Tata cara perizinan pengumpulan dana penanggulangan bencana dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berkaca dari aturan di atas, hendaknya, dalam mendirikan posko peduli bencana ada aturan main (biasa disebut standar operasional prosedur/sop) yang jelas agar tampak professional. Menghilangkan timbulnya sakwa sangka dan saling menggantungkan karena ketidak jelasan peran.

Dari lamannya sumberpengertian.com, dikatakan bahwa Standar Operasional Prosedur atau disingkat dengan SOP adalah dokumen yang berkaitan dengan prosedur yang dilakukan secara kronologis untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang bertujuan untuk memperoleh hasil kerja yang paling efektif.

Sedangkan tujuan dari SOP adalah untuk: Agar petugas menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas dalam organisasi, Agar mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi, Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas/pegawai terkait, dan Melindungi petugas dari kesalahan administrasi lainnya.

Aturan main yang dituangkan dalam SOP itu, akan menjadi panduan untuk mengelola posko peduli bencana. misalnya menjelaskan siapa penanggungjawabnya, berapa personil yang terlibat/ikut piket, siapa saja mereka, mereka bekerja selama berapa jam perharinya, posko buka sampai berapa bulan, bagaimana konsumsi untuk piket agar tetap sehat dan bersemangat.

Dijelaskan pula, misalnya, barang bantuan dari masyarakat yang baru datang langsung dicatat. Sebelum dimasukkan ke gudang, diperiksa dulu. Apakah barang dalam kondisi baik, rusak, cacat atau kedaluwarsa. Barang yang rusak, cacat dan kedaluwarsa dipisahkan. Bisa juga dimusnahkan dengan terlebih dulu dibuatkan surat keterangan penghapusan.  

Sedang yang baik masuk gudang, diletakkan sesuai jenisnya. Sembako kumpul sembako, obat kumpul obat, matras kumpul matras, pakaian kumpul pakaian, dan makanan kumpul makanan. Ini akan memudahkan untuk pengambilan saat dibutuhkan.

Sementara, bantuan masyarakat yang berupa uang, juga harus jelas penggunaannya. Berapa jumlahnya, dari siapa saja, dibelanjakan barang atau tetap dikirim berupa uang, harus jelas penerimanya. Semuanya harus tercatat untuk memudahkan pelaporannya.

Apakah begitu yang namanya SOP ?. mari duduk bersama sambil ngopi, menyusun SOP untuk beberapa kegiatan yang mengharuskan disusunnya SOP sesuai aturan agar semuanya jelas dan prosedural. Salam Tangguh, tetap menginspirasi. [eBas/Kamis Kliwon 1/11]   










Rabu, 24 Oktober 2018

PERAN DISABILITAS DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA


Perlakuan diskriminatif terhdap penyandang disabilitas masih sering terjadi meskipun UU nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah ada. Begitu juga kelompok disabilitas sangat berisiko menjadi korban saat ada bencana, karena bisa memunculkan disabilitas baru.

Ini terjadi karena khalayak ramai masih jarang berinteraksi dengan mereka dan tidak tahu tentang bagaimana cara memperlakukannya. Disamping itu, masih banyaknya fasilitas umum yang dibangun belum ‘pro disabilitas’. Termasuk dalam penanggulangan bencana, sering kali kelompok disabilitas masih diperlakukan sebagai korban yang tidak berdaya dan harus ditolong. Padahal banyak dari mereka yang mampu untuk berbuat sesuatu jika mereka diberi kesempatan dan dilibatkan.

Untuk itu perlu ada upaya peningkatan kapasitas dari kelompok disabilitas agar berdaya. Disisi lain, relawan juga perlu dilatih agar lebih peka terhadap disabilitas. Dari sinilah perlunya semua pihak menyadari bahwa sudah ada ‘payung hukum’ yang bisa mengatur BNPB dan BPBD membuat program ‘pembinaan dan fasilitasi’ kepada kelompok disabilitas agar mereka bisa berpartisipasi dalam PRB dan PB bersama relawan.

Dalam undang undangnya dikatakan bahwa Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Dalam Pasal 20 dikatakan, Hak Pelindungan dari bencana untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a. mendapatkan informasi yang mudah diakses akan adanya bencana; b. mendapatkan pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana; c. mendapatkan prioritas dalam proses penyelamatan dan evakuasi dalam keadaan bencana; d. mendapatkan fasilitas dan sarana penyelamatan dan evakuasi yang mudah diakses; dan e. mendapatkan prioritas, fasilitas, dan sarana yang mudah diakses di lokasi pengungsian.

Masalah inilah yang mencuat dalam kegiatan Training of Fasilitator PRB Inklusi tahun 2018, di Hotel Santika Gubeng, Surabaya. Tujuannya diantaranya adalah menjadikan kelompok disabilitas sebagai aktor pengurangan risiko bencana yang mumpuni.

Hal ini sesuai konsep Pemberdayaan adalah upaya untuk menguatkan keberadaan Penyandang Disabilitas dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan potensi sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi individu atau kelompok Penyandang Disabilitas yang tangguh dan mandiri.

Seiring dengan hal di atas, Dalam Perka nomor 14 tagun 2014 memuat Prinsip-prinsip dasar  penanganan, perlindungan dan partisipasi penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana antara lain: Penghormatan atas martabat manusia dan kebebasan individu untuk menentukan pilihan demi kemandirian pribadi.

Kemudian, Nondiskriminasi, Partisipasi aktif dalam masyarakat, Penghormatan atas perbedaan sebagai bagian dari keragaman dan kemanusiaan, Kesamaan kesempatan dan iklusi pada semua bidang, Kemudahan akses, Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, Penghargaan atas kapasitas penyandang disabilitas anak untuk bertumbuh-kembang dan hak-hak mereka atas perlindungan identitas.

Sementara itu, Pasal 109 UU nomor 8 tahun 2016, mengatakan,  (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah yang diperlukan untuk menjamin penanganan Penyandang Disabilitas pada tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. (2) Penanganan Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Akomodasi yang Layak dan Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas. (3) Penyandang Disabilitas dapat berpartisipasi dalam penanggulangan bencana.

Hal ini sejalan dengan tujuan penanggulangan bencana, yaitu Memberi perlindungan kepada masyarakat, Menyelenggarakan Penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh, Menghargai budaya local, membangun kemitraan dan partisipasi publik dan dunia usaha, Membangus semangat gotong royong, kesetiakawanan dan kedermawanan, Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat.

Kegiatan yang dimotori oleh USAID melalui ASB dalam program Technical Assistance and Training Teams, berupaya meningkatkan kapasitas kelompok disabilitas dalam PB dan PRB, sesuai Lima Mandat Inklusi, yaitu tentang data terpilah, aksesibilitas, partisipasi, peningkatan kapasitas, dan prioritas perlindungan.

Semua ini perlu dilakukan secara intens agar mereka bisa berperan membantu memberikan penyuluhan kepada kelompok disabilitas lainnya sehingga memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana, sesuai konsep semua siap, semua terlibat dan semua selamat.

Kini, semua peserta training sudah kembali ke daerah masing-masing. Bergelut kembali dengan rutinitas kehidupan. Harapannya, melalui sarana grup WhatsApp yang dibuat bisa menjadi media komunikasi. Siapa tahu dari situ tercetus membuat rencana tindak lanjut dari kegiatan ini. Entah itu difasilitasi kembali oleh USAID atau akan dianggarkan lewat APBD, baik provinsi maupun Kabupaten/Kota. Wallahu a’lam bishowab. Salam Tangguh. [eBas, rabu pahing 24/10]