Sungguh, yang namanya banjir dan tanah longsor
kini semakin akrab menyapa sekaligus mengancam kehidupan masyarakat yang
bermukim di sekitarnya (kawasan rawan bencana). Sementara, untuk melakukan
relokasi pun tidaklah semudah membalik tangan, banyak faktor yang ikut bermain.
Untuk itulah, maka lahirlah konsep ‘Living Harmony with Disaster’, yaitu upaya
untuk meningkatkan kesadaran dan ketangguhan masyarakat mengenai. Arti
ketangguhan disini salah satunya dapat mengenali hazard/bahaya dilingkungannya,
dapat menghindari terhadap ancaman, mempunyai daya adaptasi, dan daya lenting untuk
bisa kembali seperti sedia kala.
Mungkin, dari situlah muncul Perka BNPB No. 1/2012, tentang Desa Tangguh
Bencana (destana), yaitu sebuah desa atau kelurahan yang memiliki kemampuan
untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya
masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi
mengurangi risiko bencana.
Kemampuan ini diwujudkan dalam perencanaan
pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko
bencana dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan pasca bencana.
Dalam destana, masyarakat terlibat aktif dalam
mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi
risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka, terutama dengan memanfaatkan
sumber daya lokal demi menjamin keberkelanjutan.
Destana ini merupakan upaya pengurangan risiko
bencana berbasis komunitas untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Tujuannya,
antara lain, Melindungi
masyarakat di kawasan rawan bahaya dari dampak-dampak merugikan bencana, Meningkatkan
peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam pengelolaan sumber
daya untuk mengurangi risiko bencana, dan Meningkatkan kerjasama antara para
pemangku kepentingan dalam PRB, pihak pemerintah daerah, lembaga usaha,
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyakarat (LSM), organisasi masyarakat, dan
kelompok-kelompok lainnya yang peduli.
Salah satu fokus prioritas dalam NAWACITA,
yaitu, "Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah
dan desa dalam kerangka negara kesatuan". Maka direkrutlah fasilitator
destana, yang tugasnya melakukan
fasilitasi dan pendampingan kepada masyarakat desa guna mencapai target-target
destana di atas melalui perspektif pendidikan orang dewasa dengan pendekatan
proses pendidikan kritis.
Untuk itulah, maka diadakan peningkatan
kapasitas fasilitator destana, agar dapat mengerjakan tugas dan fungsinya
dengan baik dan lancar. Hal-hal yang perlu dipahami dan dikuasai oleh para
fasilitator destana antara lain menyangkut peraturan perundang-undangan
mengenai kebencanaan dan desa, teknik fasilitasi dengan perspektif pendidikan
orang dewasa, analisa risiko bencana, teknik pengkajian desa secara
partisipatif, sosial budaya dan bahasa masyakarat setempat, kepemimpinan dan
pendampingan, gender, dan lain-lain.
Konon, pembentukan Destana itu diprakarsai oleh
BNPB melalui programnya yang didampingi oleh fasilitator destana selama waktu
tertentu. Setelah program selesai, destana diharapkan bisa mandiri mengelola
kegiatannya yang dikoordinasikan dengan BPBD setempat. Mengingat, program penanggulangan
bencana, termasuk pembentukan destana beserta kegiatannya, merupakan pekerjaan
yang tidak mudah, diperlukan kerjasama dengan semua pihak terkait, terutama
adanya sinergi antara BPBD setempat dengan SKPD terkait.
Namun nyatanya, di lapangan lain, tidak selalu
seindah konsepnya. Harusnya, seperti program pemerintah yang lain terkait
dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Pasca program harusnya dilanjutkan dengan
program lanjutan untuk penguatan dari program sebelumnya, kemudian ada program
pendampingan dan terakhir program pemandirian.
Karena, mustahil masyarakat bisa langsung
mandiri pasca program. Apalagi jika BPBD setempat tidak menganggarkan untuk
kegiatan pembinaan maupun pendampingan desa tangguh. Kecuali, di desa tersebut
sumber daya manusianyanya mumpuni dan seluruh warga mendukung program Destana,
baik secara moril dan materiil.
Untuk itulah, alangkah eloknya jika BNPB/BPBD memanfaatkan fasilitator
destana yang sudah menyelesaikan kontraknya, diangkat sebagai mitra yang
bertugas mendampingi kegiatan destana sampai mandiri, dalam arti program
destana benar-benar diakui keberadaannya dengan dimasukkannya program destana
ke dalam RPJM Desa maupun Rencana Kerja Pemerintah desa, sehingga semua
kegiatan kebencanaan akan terdanai oleh Anggaran Pembangunan Belanja Desa
maupun Alokasi Dana Desa.
Sukur-sukur jika fasilitator destana yang sudah berpengalaman
itu diangkat sebagai pegawai tidak tetap (honorer) untuk memperkuat tugas-tugas
kemanusiaan yang diperankan oleh BNPB/BPBD. Upaya ini pun juga tidak mudah
karena semua kembali kepada ketersediaan anggaran yang akan membiayai kiprah
Fasilitator destana dalam upaya mewujudkan ketangguhan bangsa menghadapi
bencana.[eBas/berbagai sumber]