Kamis, 24 Maret 2016

KANTOR SEKBER RELAWAN PB di BPBD JATIM



Siang itu, selasa (22/3) di ruang Rapat badan penanggulangan bencana daerah Jawa Timur (BPBD Jatim), digelar acara temu relawan dalam rangka membangun komunikasi, koordinasi antar kelompok relawan yang sering bergiat di dalam operasi penanggulangan bencana, guna meningkatkan kapasitas. Belum semua elemen relawan yang diundang, tapi oleh panitia sudah dianggap mewakili, disamping itu juga terkait dengan anggaran yang harus disediakan jika berminat mengundang seluruh elemen relawan yang jumlahnya puluhan. Baik yang aktif maupun yang keberadaannya insidental manakala dibutuhkan.

Dalam pertemuan yang dibarengkan dengan ulang tahun dinas pemadam kebakaran itu, disampaikan matetri tentang Sistem Komando Tangap Darurat dam Klaster dalamTanggap Darurat oleh Prapti dari Unsur Pengarah BPBD Jatim, Optimalisasi Relawan dalam Penanggulangan Bencana oleh Sudarmawan, Kepala pelaksana BPBD Provinsi Jawa Timur, dan Peran Forum Pengurangan Risiko Bencana Inklusi Disabilitas oleh Arna, pengurus Forum PRB Jatim.

Sungguh informasinya sangat menarik untuk menambah wawasan relawan, sehingga perlu diperdalam lagi lewat pertemuan-pertemuan lanjutan dalam bentuk diklat, seminar dan diskusi, baik yang beranggaran maupun mandiri dalam bentuk ‘bantingan’ seperti konsep kumpul uwul yang digagas Kang ET.

Dalam paparannya, mantan sekda Kabupaten Bangkalan itu juga mengatakan bahwa relawan harus bersikap kritis, memberi masukan atau sumbangan pemikiran yang bisa digunakan sebagai bahan penyusunan kebijakan, bahan melakukan bimbingan teknis serta monitoring program ke BPBD Kabupaten/Kota, serta bahan evaluasi untuk perbaikan pelaksanaan operasi tanggap darurat diwaktu-waktu mendatang yang disusun dalam dokumen rekon maupun renop.

Sikap kritis relawan itu berdasarkan pengalaman atau kejadian yang dilihat dan dialami di lapangan. Seperti distribusi logistik yang tidak merata atau salah sasaran, posko masih kosong tanpa ada staf BPBD, sarpras yang tidak mencukupi, koordinasi antar relawan dan posko yang masih lemah, keluar masuknya bantuan yang tidak dicatat sehingga bisa menimbulkan sakwa sangka yang kurang sehat, serta kejadian konyol lain yang dipicu karena lemahnya pemahaman manajemen bencana oleh staf BPBD setempat.

Ada usulan menarik yang diamini semua peserta dan direspon positif adalah perlunya BPBD Jatim menyediakan tempat khusus untuk dijadikan sekretariat bersama (SEKBER) relawan penanggulangan bencana. Ini penting dalam rangka mewujudkan koordinasi dan komunikasi antar berbagai elemen relawan. Untuk mengurangi kesenjangan, rivalitas dan dominasi yang selama ini, tanpa disadari, sering dipraktekkan dalam rangka membangun popularitas dan pencitraan tertentu.

Andai benar usulan pembentukan SEKBER ditindak lanjuti, pasti akan berdampak positif dalam rangka pendataan, pembinaan dan mobilisasi relawan saat BPBD membutuhkan dalam melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan, baik itu saat pra, tanggap dan pasca bencana, sesuai dengan peran relawan yang tersurat dalam perka nomor 17 tahun 2008.

Sekber pun akan menjadi pusat tukar informasi dan pangkalan data bagi relawan sekaligus sebagai tempat berinteraksi dengan unsur pengarah, guna menambah wawasan dan pengetahuan tentang konsep penanggulangan bencana, adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana itu sendiri. Siapa tahu dari situ akan muncul kajian kritis tentang bencana yang bisa dijadikan bahan penelitian.

Sebagai wadah saling sinau yang dikemas secara nonformal, tanpa disadari akan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas relawan guna menyongsong era sertifikasi relawan oleh lembaga sertifikasi profesi penanggulangan bencana (LSP-PB) bentukan BNPB yang sekarang sedang disosialisasikan di berbagai pertemuan formal oleh BNPB.

Gayung pun bersambut, adalah Suhartoyo, salah satu penasehat Forum PRB yang bersedia rumahnya dijadikan sekretariat Forum PRB, jika BPBD tidak berkenan salah satu ruangan kantornya dijadikan SEKBER dengan berbagai alasan, seperti yang diungkap Sekjen Forum PRB dalam postingannya.

Namun, jika nanti rumah Suhartoyo benar-benar dipinjamkan untuk Kantor Sekretariat Forum PRB, maka relawan yang lain yang nota bene bukan anggota Forum PRB, harus tetap mendorong agar bisa memanfaatkan salah satu ruangan di BPBD menjadi SEKBER Relawan Penanggulangan Bencana, karena ada beban psikologis tersendiri ketika relawan harus ‘ndompleng’ dengan Kantor Sekretariat Forum PRB.

Untuk itu relawan harus memblatkan tekat untuk tetap berharap agar pihak BPBD tidak ingkar lagi untuk membentuk SEKBER yang sudah lama diwacanakan, apalagi menurut informasi masih banyak ruangan kosong yang belum dimanfaatkan. Salam kemanusiaan.*[eBas].  


Sabtu, 19 Maret 2016

PERAN FORUM PRB DALAM PENGAWASAN

Beberapa waktu lalu ada berita tentang mutu bangunan kantor BPBD yang baru dibangun, lantainya retak, juga dindingnya Di sana sini, catnya mengelupas. Disinyalir ada kecurangan dalam pembangunannya, entah itu menyalahi bestek, upaya mark up dan tindak culas lainnya dalam rangka memperkaya diri. Karena, konon, dana penanggulangan bencana yang cukup besar itu mudah untuk diselewengkan, apalagi penggunaannya pada saat tanggap bencana.

Dengan terbitnya UU No. 24 tahun 2007 tersebut menandai hadirnya cara pandang yang benar-benar baru, yakni dari reaktif jika terjadi bencana, menjadi aktif ketika  bencana belum terjadi. Upaya penanggulangan bencana merupakan bagian dari kerja pembangunan, di mana sifat pembangunan adalah komprehensif dan terukur, maka upaya PRB sendiri harus mempunyai sifat serupa.
Dengan paradigma baru itulah seharusnya semua anggaran kebencanaan yang diamanahkan ke BNPB dan BPBD bisa dikelola secara transparan dan khalayak ramai berhak tahu sehingga bisa ikut melakukan pengawasan sesuai dengan Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik tahun 2008, yang intinya memberikan kewajiban kepada setiap Badan Publik untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu.
Sejalan dengan upaya pemerintah memberantas praktek korupsi, tidak ada salahnya jika keberadaan forum pengurangan risiko bencana (Forum-PRB) sebagai organisasi independen juga berani melakukan fungsi pengawasan untuk mengurangi risiko penyalah gunaan anggaran. Artinya, disamping membantu upaya sosialisasi mitigasi dalam rangka pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim, tidak terlalu salah jika Forum PRB berperan dalam pengawasan terhadap penggunaan anggaran yang dimainkan oleh BPBD. Paling tidak yang terkait dengan pengadaan infrastruktur, sarana prasarana pendukung operasional dan logistik.

Forum pun bisa membantu BPBD mengidentifikasi, melaksanakan analisis dan evaluasi pengurangan risiko bencana serta merencanakan tindak lanjut kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan akibat bencana dengan strategi yang telah ditetapkan BNPB (standar internasional yang diadopsi BNPB).

Ini penting, mengingat banyak sekali cerita unik (sekaligus norak) dari oknum tertentu yang ditemukan oleh relawan saat melakukan tugas-tugas kemanusiaan. Seperti distribusi yang kurang merata, hanya diberikan kepada yang kenal saja, disalurkan kepada posko pengungsian yang mudah dijangkau dan diliput media.

Belum lagi njlimetnya proses minta logistik dari gudang BPBD untuk didistribusikan  kepada pengungsi. Ada juga oknum yang pura-pura sibuk ketika ada kunjungan pejabat, untuk kemudian hilang seiring usainya kunjungan.

Cerita-cerita inilah yang seharusnya dicari dan digali oleh Forum PRB untuk kemudian dikompilasi, dan diklarifikasi sebagai bahan kajian pasca bencana, agar tidak muncul lagi oknum-oknum konyol yang tega menari di atas penderitaan sesamanya.

Forum PRB pun hendaknya bisa mendorong partisipasi sekaligus menjadi sarana meningkatkan kapasitas masyarakat, tentunya tetap dengan dukungan pemerintah maupun lembaga donor untuk memperlancar gerakannya. Melalui mekanisme forum seperti ini, akan menjadi langkah aktif dalam merangkul semua pihak, baik dari masyarakat peduli lingkungan, dunia usaha, praktisi kebencanaan, dan akademisi. Supaya diperoleh kesamaan visi dan cara pandang dalam upaya sosialisasi pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim kepada khalayak ramai.

Seperti diketahui, Forum-PRB adalah wadah multipihak yang mempunyai tujuan sama terhadap kerja - kerja kemanusiaan dalam kerangka pengurangan risiko bencana. Aspek-aspek yang dikaji dalam penanggulangan bencana pun mengalami perkembangan, dengan masuknya isu-isu seperti kemiskinan, kebijakan pembangunan dan ekonomi, kondisi sosial-politik, dan lain sebagainya ke dalam matrik-matrik kapasitas maupun kerentanan.

Dengan demikian, melalui kegiatan PRB, maka wawasan dan  pengetahuan kebencanaan yang memadai memungkinkan pemerintah dan masyarakat membuat langkah langkah perlindungan dan penanganan yang efektif sehingga banyak korban yang terselamatkan, kerugian materi bisa diminimalisir, termasuk mengurangi terjadinya penyelewengan oleh oknum yang pandai memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Wassalam.*[eBas]


Selasa, 15 Maret 2016

K.R.I Belajar Berbagi Saling Peduli

Para pegiat Komunitas Relawan Indonesia (K.R.I) punya cara sendiri untuk saling peduli terhadap anggotanya dalam rangka berbagi informasi, tukar pengalaman meningkatkan wawasan, keterampilan dan kapasitas di dunia kerelawanan di bidang penanggulangan bencana.

Acara berbagi itu seringkali dilakukan di warung kopi (warkop) murahan pinggiran jalan, kelas rakyat jelata. Itu dilakukan, disamping karena keterbatasan isi dompet, juga terkandung maksud membangun rasa solidaritas terhadap sesama sebagai wujud nyata gerakan “Mari Berbagi di Warung Tetangga” yang sedang ramai di media sosial saat ini.

Karena, sesungguhnyalah, dengan kegiatan nyruput kopi bareng di warung murahan, interaksi antar anggota komunitas dengan penjualnya (dan pengunjung lain) semakin terjalin akrab, saling guyonan, belajar berpendapat, saling mendengarkan dan berbagi cerita tanpa sekat, tanpa sungkan. Disinilah menjadikan komunitas semakin terbangun rasa pertemanan yang menguat sebagai wujud ‘hablum minnan nas’.

Konon, dulu Bung Karno juga sering ‘blusukan’ menyapa wong cilik, kaum marhaen, untuk mengasah kepekaannya terhadap maslah-masalah sosial kemanusiaan dalam rangka menyusun konsep untuk mensejahterakan martabat bangsanya.

Namun anggota K.R.I tidak harus meniru kelakuan Bung Karno yang hebat itu. Tapi, paling tidak bisa meniru semangatnya untuk peduli kepada nasib wong cilik, berbagi dengan sesamanya, sehingga dalam melaksanakan aksi kemanusiaan penanggulangan bencana dapat melakukan dengan penuh perhitungan sesuai kemampuan untuk menghindari kekonyolan, bukan sekedar mendapat pujian, untuk itulah K.R.I tidak selalu turun manakala ada kejadian.

Acara berbagi ilmu tidak melulu yang berkaitan dengan masalah penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana saja, tetapi juga lainnya yang dirasa ada guna manfaatnya. Berbagi pengalaman nambal perahu karet, contohnya, pun dilakukan.

 Tentu sambil guyonan dan nyruput kopi. Bahkan disela-sela istirahat, tidak diharamkan untuk menggelar permainan kartu remi, sebuah permainan yang kayaknya wajib dikuasai oleh mereka yang mentasbihkan diri sebagai relawan, pecinta alam dan para pegiat aktivitas di alam bebas. Sehingga semuanya berjalan dengan hati riang guna pererat persaudaraan.

Acara saling berbagi model Komunitas Relawan Indonesia ini memang khas, yang belum tentu dimiliki oleh organisasi lain. Selalu dilakukan dalam suasana non formal dengan motto sersan (serius tapi santai). Termasuk saat merencanakan kegiatan berlatih bersama dengan konsep Saling Sinau, maupun ketika melakukan persiapan turun ke lokasi membantu operasi tanggap bencana.

Ini bisa terjadi, mungkin karena hampir semua aktivisnya mempunyai pengalaman di bidang kepecinta alaman dan menguasai pengetahuan tentang outbond, sehingga bisa mensikapi segala permasalahan dengan tenang, santai, terencana, tepat dan terukur.

Tentu semua itu selalu diselingi dengan acara ngopi, ngobrol pintar sambil nyruput kopi tipis-tipis sebagai penghangat suasana, penyegar semangat agar tidak salah paham. Kata itulah yang menjadi pedoman yang harus diimani oleh setiap anggota K.R.I.


karena, bagi komunitas relawan Indonesia, KOPI mempunyai makna mendalam, yaitu Ketika Otak Perlu Inspirasi dalam rangka menemukan cara untuk menjalin kemitraan antar sesama relawan sehingga bisa berkontribusi membangun gerakan pengurangan risiko bencana demi mewujudkan ketangguhan bangsa menghadapi bencana. Untuk itulah, mari kita sruput kopinya tipis-tipis demi kemanusiaan.*[eBas] 

Senin, 07 Maret 2016

SEPENGGAL CERITA BANJIR SAMPANG



Konon, banjir Sampang itu selalu datang setiap musim penghujan tiba. Dari tahun ke tahun masyarakat di beberapa daerah terdampak selalu disapa oleh genangan yang tingginya tergantung dari intensitas curah hujan saat itu. Jika kedalaman banjirnya sebatas lutut orang dewasa, itu merupakan hal biasa. sudah tidak dianggap sebagai bencana yang harus ditangani relawan dari luar daerah.

Pemda Kabupaten Sampang cukup mengerahkan potensi lokal, untuk menangani banjir yang biasanya dalam tiga hari sudah surut. Namun Banjir Kali ini tampaknya lain dan seakan tidak berdaya menyambut kedatangan si banjir tahunan itu.

Pertanyaannya kemudian, mengapa banjir Sampang selalu muncul tanpa upaya nyata yang bisa menguranginya?. Bahkan yang terjadi, daerah yang terdampak semakin meluas kemana-mana, yang biasanya tidak banjir menjadi terendam bahkan sampai menelan korban jiwa. Terus, kemana BPBD nya yang memiliki tugas mitigasi serta punya program sosialisasi pengurangan risiko bencana?.

Bagaimana bentuk pelibatan sekaligus pembinaan relawan lokal yang dilakukan BPBD dalam rangka upaya pencegahan, mitigasi, pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat, sehingga siap hidup berdampingan dengan bencana (living harmony with disaster).

Permasalah di atas muncul saat teman-teman anggota komunitas relawan Indonesia (K.R.I) cangkruk’an di warung kopi, ngobrol masalah aksi banker Sampang kemarin. Ya, bahasa kerennya melakukan evaluasi kegiatan kemanusiaan yang bertajuk #Savesampang.

Evaluasi ini sebagai media saling cerita pengalaman selama tiga hari beraksi saat banjir Sampang kemarin, serta dalam rangka mengetahui mengetahui kendala, hambatan dan faktor pendukung selama beraksi membantu evakuasi pengungsi, distribusi logistik, membantu kesibukan posko, dan membantu sebar informasi, mengingat sistem komunikasi antar posko dan personil di lapangan kurang lancar, kurang terkoordinir.

Maklum masih hari pertama, kemungkinan semuanya (termasuk personil BPBD) masih menunggu perkembangan. Sehingga yang terlihat kawan-kawan saat itu hanyalah aparat POLRES, KODIM, BRIMOB, dan BASARNAS. Sementara lainnya belum datang, atau sibuk di lokasi lain. Ya, karena masih ada kekurangtanggapan dan lemahnya political will dari pemerintah itulah yang membuat relawan “bergerak sendiri”, secara kreatif untuk menolong sesamanya sebisa mungkin atas nama kemanusiaan

Sambil nyruput kopi, mereka gantian bercerita tentang susahnya menghubungi staf BPBD yang sulit ditemui untuk meminta peta daerah terdampak dan data penduduk yang seharusnya terpasang di posko untuk memudahkan relawan dalam melakukan aksinya.

Beberapa catatan hasil evaluasi akan dijadikan bahan menginisiasi BPBD dan relawan lokal Kabupaten Sampang untuk menggelar pelatihan bersama dengan konsep ‘saling sinau’ dalam rangka meningkatkan kapasitas relawan dalam upaya penanggulangan bencana banjir rutin secara mandiri.

Karena senyatanyalah, jika berkaca pada banjir Sampang kemarin, masih terjadi kepanikan dimasing-masing SKPD terkait pada hari pertama dan kedua, manakala BPBD lamban mengantisipasi sehingga tampak kedodoran mengelola personil, dan sarana prasarana pendukung operasi.

“Kayaknya pengelolaan posko pun belum tertata sehingga arus sirkulasi logistik dan bantuan lainnya sulit dideteksi keluar masuknya,” Kata Romi Iskandar, alumni Universitas Muhammadiyah Surabaya yang kehilangan kaca mata dan topi kebanggaan saat mengendalikan perahu karet untuk droping logistik ke pengungsi.

Baru pada hari ke tiga, setelah banjir mulai berlalu dan genangan berangsur surut, silih berganti pejabat dari berbagai instansi/kementerian berdatangan (tebar pesona?) membagi bantuan yang disorot media berlatar belakang relawan dengan aneka seragam dan gaya seolah-olah sudah lama bercumbu dengan banjir.

Setidaknya itulah sepenggal catatan kawan-kawan K.R.I yang ngepos di dekat pendopo Kabupaten Sampang, sehingga bisa ngobrol santai dengan aparat sambil ngopi, sementara BPBD tidak ngepos disitu, sehingga tidak bisa ngobrol bareng tentang manajemen penangulangan bencana. [eBas]
  

Jumat, 04 Maret 2016

GAYA KOMUNITAS RELAWAN

Setelah berinteraksi dengan berbagai sahabat relawan, ternyata, tidak semua komunitas memiliki aturan yang jelas dan tegas (termasuk program) yang harus diketahui, ditaati, dan dilaksanakan oleh anggotanya. Roda kegiatan komunitas relawan berjalan sangat luwes, termasuk untuk agenda pertemuan, sesuai dengan kesepakatan dan ketersediaan waktu luang dari anggotanya.

Apalagi, dengan adanya fasilitas whatsapp yang tersedia, semakin memudahkan anggota komunitas untuk berkomunikasi, memperkaya wawasan, memberi info tentang peristiwa bencana di berbagai daerah, dan info lain yang terkait dengan aktivitasnya.

Dengan kemudahan itu menjadikan anggota tidak selalu wajib bersemuka dalam membahas program komunitas. Cukup berkomunikasi dan tukar informasi lewat jejaring media sosial, dimana pun dan kapan pun, semuanya dapat langsung diketahui bersama untuk kemudian dikomentari.

Warung kopi pun menjadi tempat favorit untuk ngobrol cangkruk’an, sambil nyruput minuman yang dipesan, mereka membangun silaturahim, menyatukan visi misi tukar informasi. Tidak menutup kemungkinan juga membangun peluang bisnis ala kadarnya. Semuanya bisa terjadi, semua bergulir tanpa moderator maupun notulen, berjalan alami dan tidak saling membebani.

Sambil nyakot gorengan, obrolan mengalir kemana-mana, topiknya pun bermacam. Pesertanya bebas datang sesuai luangnya waktu tanpa mengganggu aktivitas mencari rejeki untuk anak istri. Karena, relawan itu juga manusia yang punya tanggung jawab kepada keluarga, juga kepada masyarakatnya.

Termasuk saat menggagas latihan bersama dengan ‘model saling sinau’, aksi cinta lingkungan dan peduli kemanusiaan, . Tentu dengan kadar yang berbeda bila dibanding dengan komunitas yang sudah mapan, terstruktur dan besar, baik dari sisi jumlah anggota maupun dananya.

Lama obrolan tidak dibatasi, bisa lama bisa tidak, tergantung situasi, kondisi dan keperluannya. Artinya, ketika obrolan dianggap sudah cukup, maka acara diakhiri dan menyelesaikan pembayaran secara saweran/bantingan atau gantian seikhlasnya. Itulah irama komunitas yang dibangun berdasar hobi dan kesamaan minat serta jauh dari ‘profit oriented’.

Ciri lain dari komunitas yang seperti ini adalah kurang suka mengadakan diskusi yang serius berbasis teori dan mengadu gagasan masukan untuk menjadi program kerja tahunan komunitas maupun rekomendasi untuk pembuat kebijakan. Maunya langsung beraksi, praktek di lapangan meningkatkan kapasitas dan sinergitas anggota agar mampu berkontribusi dalam upaya penanggulangan bencana, baik saat pra bencana, tanggap bencana dan pasca bencana.

Ya, sesungguhnyalah komunitas itu memang mempunyai keunikan masing-masing. Punya gaya punya selera yang berbeda satu sama lain. Namun, dalam kerja-kerja kemanusiaan, apalagi saat ada bencana, semua komunitas akan membaur, bergerak bersama mencoba membantu sesamanya yang tertimpa musibah serta membantu pemerintah mengurangi dampak bencana. [eBas]







Kamis, 03 Maret 2016

SELAMAT DATANG FORUM PRB KABUPATEN/KOTA

Pemerintah daerah dinilai kurang tanggap mencegah timbulnya korban akibat bencana yang seharusnya bisa diantisipasi. Konsep mitigasi bencana terpadu seharusnya siap mengantisipasi bencana dan tidak terjadi lagi bencana dikemudian hari. Untuk itulah pemerintah daerah wajib berperan dan bergotong royong menghadapi bencana sehingga bisa mengantisipasi jauh hari.

Himbauan di atas disampaikan oleh Puan Maharani, menteri koordinator pembangunan manusia dan kebudayaan,  saat penutupan rakornas penanggulangan bencana yang diselenggarakan oleh BNPB. Sebuah himbauan yang patut menjadi bahan renungan dan evaluasi untuk kemudian menyusun rencana program ke depan yang dapat menjawab himbauan Bu mentri PMK. Hal ini mengingat bahwa Akar penyebab bencana belum menjadi issue yang seksi, sehingga perencanaan pra bencana belum banyak dibicarakan dan diagendakan.

Jelas pemda, dalam hal ini BPBD, tidak mungkin bekerja sendiri jika menginginkan hasil yang optimal. Sehingga, BPBD diharapkan mau merangkul masyarakat terlatih (organisasi relawan) yang tergabung dalam Forum PRB, yang memiliki berbagai potensi, kapasitas dan karakteristik, untuk bersama sama melakukan kegiatan pra bencana, seperti yang tersirat dalam perka BNPB nomor 17.

Hal ini sejalan dengan amanat The Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (SFDRR) 2015 – 2030, yang menargetkan, (1) Pengurangan jumlah masyarakat terdampak, (2) Pengurangan kerugian ekonomi dalam kaitannya dengan GDP dunia, (3) Pengurangan kerusakan terhadap infrastruktur penting/kritis dan gangguan pelayanan dasar, termasuk kesehatan dan fasilitas pendidikan, (4) Penambahan jumlah Negara yg memiliki strategi PRB di tingkat nasional dan tingkat daerah pada tahun 2020, (5) Peningkatan kerjasama Internasional, (6) Bertambahnya akses pada sistem peringatan dini multi bencana dan informasi risiko bencana dan pengkajian, (7) Pengurangan angka kematian akibat bencana di dunia.

Untuk mencapai target di atas, prioritas yang harus segera ditangani adalah, (1) Pemahaman Risiko Bencana, (2) Penguatan pengaturan risiko bencana untuk mengelola risiko bencana, (3) Investasi dalam pengurangan risiko bencana untuk ketangguhan, (4) Peningkatan kesiapsiagaan bencana untuk respons dan untuk ”pembangunan kembali yang lebih baik” dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonsiliasi.

Disinilah pentingnya keberadaan Forum PRB sebagai koordinator dari relawan yang ada untuk dimobilisasi dalam melaksanakan aksi aksi kemanusiaan dibidang penanggulangan bencana sesuai arahan BPBD. Sehingga hal ini akan memudahkan pendataan, pembinaan, penugasan  dan pengawasan berbagai elemen relawan.

Ini mengingat, keberadaan relawan itu beragam sesuai latar belakangnya. Misalnya ada relawan amatiran, ada pula relawan yang bergabung dengan organisasi yang telah mapan berpengalaman dan besar dari segi dana maupun anggota. Jelas kondisi yang demikian memerlukan perlakuan yang bisa memahamkan kebersamaan. Bahkan tidak menutup kemungkinan ada organisasi relawan yang enggan bergabung dengan Forum karena sudah memiliki agenda sendiri.  

Sayangnya, upaya pembentukan Forum PRB di beberapa kabupaten/kota belum mendapat respon yang menggembirakan oleh pemangku otoda. Satu diantara alasan yang bisa dikemukakan disini adalah masih kuatnya paradigma responsif dalam menghadapi bencana daripada upaya pencegahan melalui sosialisasi, penyuluhan, pelatihan, simulasi, mitigasi struktural maupun non struktural. Padahal, melalui kegiatan PRB masyarakat di kawasan rawan bencana bisa pro aktif menangani bencana secara mandiri sebelum pihak luar datang.

Ingat, keberadaan Forum PRB bukan sekedar tempat cangkruk’an, namun lebih sebagai tempat berkumpulnya berbagai individu yang mempunyai minat dan peduli pada sesama, dengan berbagai latar belakang keilmuan dan pengalaman ini, diharapkan sering mengadakan diskusi, melakukan kajian dan pengumpulan berbagai informasi penanggulangan bencana dan perubahan iklim, serta mengkritisi kebijakan pemerintah dibidang penanggulangan bencana untuk kemudian dijadikan saran, masukan dan rekomendasi kepada pemilik kuasa otoda, sehingga kebijakan yang akan dibuat berwawasan lingkungan, dan lebih pro pengurangan risiko bencana.

Jika Forum PRB bisa memerankan diri seperti di atas, yang didukung oleh semangat, loyalitas dan dedikasi seluruh anggota dan pengurus (bukan sekedar pengurus papan nama, yang sibuk saat ada rejeki doang), pastilah keberadaannya akan memberi warna bagi pelaksanaan program BPBD, sehingga akan bermanfaat bagi khalayak ramai, khususnya masyarakat yang berdomisili di kawasan rawan bencana. Salam kemanusiaan.*[eBas]