Ternyata prosesi
Sertifikasi relawan itu ada dua versi. Pertama sertifikasi gratis yang didanai
oleh Negara dan diselenggarakan di BPBD Provinsi (umumnya), dengan mengundang
relawan terpilih. Kedua, sertifikasi berbayar yang diselenggarakan oleh Tempat
Uji Kompetensi (TUK) yang disetujui oleh LSP-PB.
Karena didanai
Negara, maka pelaksanaan sertifikasi gratisan ini ada kuotanya dan harus terpenuhi
untuk memudahkan peng-SPJ-annya. Sehingga yang terjadi, demi memenuhi kuota, maka
dicarilah relawan yang mau disertifikasi gratisan melalui pengumuman di media
sosial.
Sayangnya
sertifikasi gratisan ini kurang mendapat sambutan yang hangat dari relawan. Sehingga
jalan pintasnya adalah siapa saja relawan yang mau langsung didaftarkan sebagai
peserta sertifikasi dengan persiapan ala kadarnya.
Gak peduli
dia berkompeten, berpengalaman, punya kapasitas dan layak disertifikasi atau
tidak. Disini yang penting adalah kuota terpenuhi dan daya serap anggaran
lancar untuk memudahkan pelaporan pertanggungjawaban anggaran. Jadi, jangan
kaget setelah mengikuti sertifikasi, relawan yang dinyatakan lulus dan berhak
memegang sertifikat, tidak ada ‘perubahan’ yang signifikan.
Sementara,
pelaksanaan sertifikasi berbayar di TUK, dapat dipastikan diikuti oleh mereka
(relawan/pekerja kemanusiaan) yang punya duit, mau bayar dan benar-benar
menyiapkan diri untuk disertifikasi melalui serangkaian uji kompetensi, untuk
kepentingan tertentu setelah lulus sertifikasi.
Pertanyaannya
kemudian, apa hak dan kewajiban para relawan yang sudah lulus sertifikasi. Adakah
perlakuan ‘istimewa’ yang diberikan oleh BNPB/BPBD kepada relawan yang
bersertifikat ?. misalnya mendapat pembinaan secara berkala untuk meningkatkan
wawasan dan kapasitasnya. Diikutkan dalam pelaksanaan program BNPB/BPBD, seperi
mengikuti rapat, kegiatan sosialisasi PRB, diklat, dan sejenisnya.
Sehingga ada
perlakuan yang berbeda antara relawan bersertifikat dengan yang belum. Tentu hal
ini akan membanggakan bagi relawan pemegang sertifikat karena sertifikatnya
benar-benar bermanfaat, dan dengan sertifikat itu relawan diakui
kompetensinya di bidang penanggulangan bencana. dampaknya, akan memotivasi
relawan lain untuk menyiapkan diri mengikuti sertifikasi. Baik yang gratisan
maupun yang berbayar.
Namun demikian,
upaya Lembaga Sertifikasi Profesi Penanggulangan Bencana (LSP-PB) mendorong
semua relawan penanggulangan bencana mengikuti sertifikasi (uji kopetensi)
ternyata masih belum banyak diketahui oleh relawan dan menyisakan beberapa
pertanyaan yang gampang-gampang sulit untuk dijawab. Seperti, mengapa relawan
harus disertifikasi?. relawan yang bagaimana yang harus mengikuti sertifikasi,
Tezar,
seorang relawan yang cukup berpengalaman di Kota Malang mengatakan bahwa, untuk
saat ini yang wajib disertifikasi adalah relawan professional yang bernaung di
bawah lembaga yang bergerak dibidang sosial kemasyarakatan (biasa disebut pekerja
social). Merekalah yang memerlukan sertifikasi sebagai pengakuan bahwa mereka
kompeten dan ahli dibidangnya untuk menunjang kariernya.
Masih menurut
aktivis pramuka yang biasa dipanggil ‘Tezar
Sang Pencerah’, relawan yang bergerak berdasar panggilan jiwa, sertifikasi
itu tidak terlalu penting. Hal yang terpenting adalah ketika terjadi bencana mereka
bisa hadir dan membantu sesamanya yang sedang terkena musibah. Itu saja sudah
cukup bagi para relawan pegiat sosial berbasis tebal tipisnya dompet pribadi.
Pengakuan sosial bahwa mereka sudah hadir di sana itu sudah menjadi sertifikat yang
membanggakan bagi mereka.
Pertanyaan
lain yang sulit dijawab adalah, jika terjadi bencana, apakah hanya relawan
bersertifikat saja yang boleh turun memberikan pertolongan. Senyatanyalah masalah
sertifikasi ini masih perlu dilakukan sosialisasi kepada seluruh organisasi
relawan, agar mereka tahu dan paham manfaatnya sertifikasi.
Karena,
sampai saat ini antusiasme relawan untuk mengikuti sertifikasi gratis saja
masih kurang greget. Banyak sudah yang ditawari untuk ikut sertifikasi tapi tidak
sedikit yang membalas dengan senyuman sinis. Apalagi harus membayar untuk mengikuti
sertifikasi yang diadakan oleh Tempat Uji Kompetensi. Sungguh, saat ini, hanya
orang-orang ‘hebat’ sajalah yang mau mengikuti sertifikasi relawan berbayar.
Semoga dalam
kegiatan pertemuan relawan “Dharma Relawan Adhirajasa” di Pulau Bali, tanggal
26 – 28 Maret 2019, yang menjadi programnya BNPB, bahasan tentang sertifikasi
mendapatkan sambutan yang positif dari relawan. Sehingga, ke depan program
sertifikasi itu akan menjadi idola bagi relawan, dan relawan yang sudah
mendapatkan sertifikat juga bangga dan benar-benar mumpuni dibidangnya serta bermanfaat
dalam upaya peningkatan kompetensi sebagai relawan penanggulangan bencana.
Salam Tangguh. [eBas/sabtu pahing 23/3]