Minggu, 29 April 2018

ULANG TAHUN SRPB JATIM


Sabtu pon (28/4), merupakan puncak perayaan ulang tahun Sekretariat bersama Relawan Penanggulangan Bencana (SRPB) Jatim yang pertama, berlangsung di Joglo Kadiren (JOKA), Juanda, Sidoarjo. Semua sepakat, sejuta harap disematkan dipundak pengurus. Agar keberadaan SRPB Jatim sebagai media silaturahim bisa benar-benar membawa manfaat bagi relawan untuk berkiprah dalam penanggulangan bencana. Baik itu saat pra bencana, tanggap bencana, maupun pasca bencana.

Asa lain yang tidak kalah penting adalah terciptanya sinergi dengan BPBD sebagai mitra, sesuai yang tersirat dalam perka nomor 17 tahun 2011 dan konsep simbiosa mutualisma. Sungguh untuk mewujudkannya kiranya perlu membenahi internal dulu sambil terus melakukan pendekatan dan memperluas jejaring pertemanan dengan berbagai elemen agar tidak ada dusta diantaranya.

Ulang tahun ini pun merupakan momen untuk instropeksi atas kinerja yang telah dilakukan dengan berbagai suka teriring duka, sebagai warna warni kehidupan. Ulang tahun sebagai media ‘berkaca diri’, melihat apa saja yang sudah dikerjakan dan program mana yang belum dilaksanakan.

Dengan kata lain, ulang tahun sebagai momen evaluasi diri. Tanpa itu, kinerja SRPB Jatim tidak akan tampak perannya. Ingat orang bijak berkata, “Orang yang baik bukannya yang tidak pernah melakukan kesalahan tetapi mereka yang menyadari kesalahannya dan memperbaikinya…” 

Dalam Wikipedia, Ulang tahun adalah hari kelahiran seseorang, menandai hari dimulainya kehidupan di luar rahim. Dalam beberapa kebudayaan, memperingati ulang tahun seseorang biasanya dirayakan dengan mengadakan pesta ulang tahun dengan keluarga dan/atau teman

Masih menurut Wikipedia, disebutkan bahwa Seorang Rabbi Yahudi, bernama The Lubavitcher Rebbe, mendorong banyak orang untuk merayakan ulang tahun mereka, dengan berkumpul bersama kerabat, membuat resolusi positif, dan melalui berbagai kegiatan keagamaan.

Sungguh, sebuah pilihan cerdas, jika pengurus SRPB Jatim memanfaatkan momen ulang tahun untuk berkontemplasi, bersama merenung diri dengan menggelar acara sarasehan yang dihadiri oleh semua pengurus dan kawan-kawan pekerja kemanusiaan dari berbagai organisasi, termasuk Kalaksa BPBD Provinsi Jawa Timur beserta jajarannya yang menyempatkan hadir ‘mangayubagyo’ dengan penuh suka dan harap.

 Mereka, duduk lesehan bersama sambil nikmati kudapan ala kadarnya hasil urunan seikhlasnya. Suasana guyub tercipta tanpa sakwa sangka untuk berbagi informasi saling memperbaiki diri mengembangkan organisasi. Sebagai bahan refleksi, bersama mencermati program yang disepakati itu, sudah terlaksana atau masih berputar sebagai wacana dan bahan adu argumentasi yang melelahkan tanpa ada karya nyata.

Harapannya, segala nasehat dari para pejabat BPBD itu, Bisalah kiranya dijadikan bahan penyadaran semua yang tergabung dalam SRPB Jatim, agar bersemangat lagi membuahkan loyalitas dan dedikasi yang dimaui oleh organisasi. Paling tidak, ada kemauan untuk berkontribusi dengan gagasan segar, berbagi informasi dan ajakan yang menginspirasi. Seperti upaya meningkatkan kapasitas relawan sesuai klaster sekaligus menyiapkan diri untuk sertifikasi seperti yang diprogramkan oleh LSP-PB.

Program Arisan Ilmu Nol Rupiah yang merupakan produk kreatif dari pengurus SRPB Jatim adalah acara yang dijadikan media mempererat tali silaturahim antar relawan, sekaligus wadah untuk mengasah rasa saling peduli, saling berbagi membangun sinergi untuk kerja-kerja kemanusiaan.

Kegiatan murah meriah ini pun senyatanya sudah banyak menginspirasi berbagai komunitas untuk menduplikasi dengan berbagai istilah yang dipilih dan disepakati sesuai dengan selera yang melatarinya. Intinya sama, membangun kebersamaan, menghilangkan ego sektoral yang berlebih.

Selamat ulang tahun SRPB Jatim, kepada pengurus, selamat mengemban amanah kongres di Hotel bintang tiga dan musker di alam terbuka. Selamat menjalankan program yang bisa mewadahi dan menjadi katalisator antara organisasi relawan dengan pemerintah  guna mempercepat terciptanya budaya tangguh, yaitu sebuah kondisi dimana masyarakat yang sadar tentang potensi bencana di daerahnya, kemudian mampu mempersiapkan diri menghadapi bencana dan tangguh saat tanggap darurat serta pasca terjadinya bencana.

Kemeriahan ultah yang pertama ini semakin lengkap dan istimewa karena kehadirannya Kang Ogun, alumni wanadri yang menderita kangker namun masih bersemangat mendaki Puncak Everest, gunung tertinggi di dunia. Termasuk janji-janji BPBD yang akan memfasilitasi peningkatan kompetensi benar-benar terrealisasi, bukan basa basi. Salam tangguh, salam Literasi, terus menginspirasi. [eBas/Keputih di waktu malam]
  
   





Minggu, 22 April 2018

DOORPRIZE ALA SRPB JATIM


Rencananya, dalam rangka merayakan ulang tahun SRPB Jatim yang pertama ini, dibarengkan dengan acara rutinan Arisan Ilmu Nol Rupiah, dengan materi Survival Untuk Relawan oleh Om Wawan Kim, dari SSI chapter Surabaya. Acara ini digelar di Joka, hari sabtu pon (28/4).
 
Malamnya, dilanjutkan dengan sarasehan tentang refleksi kprah SRPB Jatim dalam setahun. Siapa tahu dari obrolan malam mingguan sambil ngopi itu ada ide-ide segar dan gagasan liar yang bisa menginspirasi program SRPB Jatim ke depannya agar lebih bermakna.

Nanti, disela-sela acara, koonon, kata seorang panitia akan dibagikan doorprize untuk meramaikan Joka diwaktu malam. Doorprize itu dikumpulkan dari siapa saja yang berkenan memberikan/menyumbangkan sesuatu barang yang dibungkus koran atau kertas kado untuk kemudian dibagi melalui undian.

Dalam lamannya KasKus, disebutkan bahwa doorprize itu dibagikan dengan cara mengundi nomor yang ada diundangan, dimana undangan ini didapat dengan cara terbatas, entah itu dibagikan gratis untuk kalangan tertentu atau dijual. 

Jumlah doorprize umumnya terbatas, sehingga harus diundi, namun ada juga acara dimana yang hadir semuanya mendapat doorprize, hanya saja jenis hadiahnya berbeda. Siapa mendapat apa ditentukan dengan diundi atau dengan permainan tertentu. Rencananya sih gitu…..

Doorprize itu disepakati tidak harus mahal. Yang penting meriah, murah, mudah dibungkus dan diberikan secara ikhlas. Dengan demikian, doorprize itu nanti jangan dilihat isinya. Tetapi lihatlah arti dari pemberian doorprize itu sendiri.

Jika yang dilihat isinya. Pasti kecewa, sakit hati dan menyesal. Sungguh, karena isinya tidak mbejaji. Barangnya njeklethek tidak berharga, hanya bikin tertawa.

Untuk itulah doorprize yang akan dibagi nanti, lihatlah semangatnya untuk berbagi, menjalin silatirahmi, mewujudkan jargon “Seduluran Sak Lawase” melalui kemeriahan ulang tahun SRPB Jatim yang pertama (tapi bukan berarti yang terakhir kan?).

Ya, semoga kemeriahan yang coba dibangun bersama ini bukan menjadi yang terakhir. Tetapi sebuah awal kebangkitan menyamakan chemistry untuk mempercepat pembenahan internal SRPB, sehingga amanat kongres dan kesepakatan musker itu bisa segera berproses. 

Semoga apa saja yang telah dilakukan SRPB Jatim selama satu tahun ini diberkati Tuhan yang maha tahu, dan maha bijaksana. Karena sesungguhnyalah manusia itu hanya pandai berencana. Yang jelas, nasib SRPB Jatim ke depan ada ditangan seluruh organisasi mitra.

Seperti dalam pengadaan doorprize ala kadarnya untuk meramaikan suasana ulang tahun SRPB Jatim. Berharap tahun depan masih ada sempat merapat bersama kerabat dan sahabat dalam rangka ulang tahun SRPB Jatim yang ke dua bertepatan dengan tahun politik yang kental dengan aroma pergantian pejabat. Salam Tangguh, Salam Literasi untuk menginspirasi. [eBas/minggu paing-23/4]

Jumat, 20 April 2018

SEMUA BICARA BENCANA “SIAP UNTUK SELAMAT”

Kini banyak pihak yang tiba-tiba berbicara tentang bencana. Hal ini wajar, karena Indonesia memiliki tingkat kerentanan bencana alam cukup tinggi, hampir setiap wilayah Di Indonesia berpotensi terjadi bencana alam, seperti Banjir, Tanah longsor, Banjir bandang, Gempa dan TsunamI. Hal tersebut di dorong karena letak Indonesia yang berada di antara 3 Lempeng Dunia, sehingga memiliki ancaman bencana cukup tinggi.

Intensitas kejadian bencana tampaknya cenderung meningkat tiap tahun. Hal ini perlu dilakukan upaya penanggulangan bencana dengan mitigasi dan kesiapsiagaan untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan oleh bencana.

Media massa pun sudah berkenan mewartakan peristiwa bencana kepada khalayak. Tidak ketinggalan pula, beberapa institusi negeri pun berpartisipasi membentuk satuan yang menangani bencana. Kemensos punya program Kampung Siaga Bencana, yang merupakan sarana penanggulangan bencana berbasis masyarakat yang diprakarsai oleh Kementerian Sosial dan tersebar di seluruh Indonesia.

Kementerian Kesehatan juga mengimplementasikan Pengurangan Resiko Bencanayang dipesankan oleh Kerangka Aksi Hyogo tahun 2005 yang berupa upaya-upaya penanggulangan krisis kesehatan ini dalam berbagai bentuk program, seperti rumah sakit aman, dan desa sehat dalam rangka keterjangkauan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan percepatan keberdayaan masyarakat desa dalam budaya sehat.
Kemendikbud pun memiliki program sekolah aman bencana. Sementara, BNPB memiliki program andalan yang bernama desa tangguh bencana. Program itu pun disusul dengan program sekolah sungai, sekolah gunung, dan sekolah laut. Dimana, program tersebut ditindak lanjuti oleh BPBD dengan menggunakan dana APBD.
Harapannya, semua program di atas, terjamin kelestariannya dengan dukungan anggaran yang jelas, bukan sekedar program seremonial, yang hanya diaktivasi ketika masa tanggap darurat atau saat ada acara seremonial, seperti kunjungan pejabat, acara studi banding atau saat mengikuti lomba.
Fenomena semua bicara bencana ini sungguh menggembirakan. Itu tanda masyarakat semakin peduli terhadap lingkungannya. Semakin sadar akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana, yaitu, merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiapsiagaan ini dibangun melalui sosialisasi, lokalatih, dan melakukan simulasi.
Terkait dengan upaya membudayakan masyarakat tangguh bencana, setiap tanggal 26 april, oleh BNPB ditasbihkan menjadi hari kesiapsiagaan bencana. Konon, Pemilihan tangal 26 April tersebut merupakan tanggal disahkannya Undang-Undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sejak saat itulah terjadi perubahan besar paradigma dalam Penanggulangan Bencana dari semula yang responsif ke prefentif.
Mengambil hastag atau tagar #Siap Untuk Selamat, semua komunitas menyambutnya dengan berbagai kreatifitasnya, penuh antusias. Melalui acara ini selain meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan individu, keluarga dan masyarakat dalam menghadapi risiko bencana, juga untuk meningkatkan partisipasi dan membangun budaya gotong royong, kerelawanan serta kedermawanan para pemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah, menuju Indonesia Tangguh Bencana. [eBas/jumat kliwon]







 










Senin, 09 April 2018

MULTIKEAKSARAAN MITIGASI BENCANA


Saat ini, berita tentang bencana selalu muncul mewarnai berbagai media massa. Saat ini yang paling sering terjadi adalah Bencana hidrometeorologi, yaitu banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung, hingga gelombang pasang. Bencana ini dipicu oleh kerusakan lingkungan dan pemanasan global. Belum lagi bencana letusan gunung berapi, tsunami dan gempa bumi.

Sementara masyarakat yang sering menjadi korban adalah mereka yang berdomisili di daerah rawan bencana. Seperti mereka yang tinggal di lereng gunung, dan di bantaran sungai. Namun demikian, mereka juga memiliki kemampuan untuk bertahan hidup sesuai dengan budaya dan kebiasaannya.

Dilihat dari sudut Pendidikan, mereka merupakan sasaran dari Pendidikan masyarakat (dikmas), melalui program multikeaksaraan. Yaitu, pendidikan keaksaraan yang menekankan peningkatan keragaman keberaksaraan dalam segala aspek kehidupan. Termasuk aspek mitigasi bencana.

Dengan kata lain, tujuan dari pendidikan multikeaksaraan tidak sekadar mendidik masyarakat mampu membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengatasi persoalan yang terjadi dalam kehidupannya.

Dari pengertian di atas, kiranya pesan-pesan tentang upaya membangun kesadaran akan pentingnya mitigasi bencana bisa dijadikan materi pembelajaran yang menarik sehingga mudah dipahami dan dipraktekkan.

Hal ini mengingat bahwa Pendidikan multikeaksaraan bisa menjadi medium untuk membuka kesadaran berbangsa dan bernegara, serta pendidikan yang berkelanjutan yang menekankan pada peningkatan keragaman keberaksaraan dalam segala aspek kehidupan, seperti: agama, sosial dan budaya, ekonomi, dan kesehatan, termasuk masalah kebencanaan.

      Sementara itu, Mitigasi adalah bagian dari kegiatan pra bencana, yang kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini. Dimana, mitigasi itu adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Baik itu bencana alam (natural disaster) maupun bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia (man-made disaster).
Dengan kata lain, mitigasi merupakan tahap awal penanggulangan bencana alam untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana. Bisa juga dikatakan, mitigasi adalah kegiatan sebelum bencana terjadi. Contoh kegiatannya antara lain membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana bentuk pembelajarannya ?. agar masyarakat yang mengikuti program multikeaksaraan mudah memahami, tentu bahan belajar yang disusun harus menggunakan Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh warga setempat.

Bahan belajar juga harus sederhana dan mudah dipraktekkan. Seperti leaflet, beberan simulasi, poster atau pun modul yang berisi permasalahan warga yang terkait dengan potensi bencana yang mengancam daerahnya. Kemudian warga belajar pun diajak praktek membuat peta rawan bencana, membuat rambu-rambu petunjuk evakuasi, serta menentukan tempat evakuasi beserta pendukungnya.  

Selain mitigasi, saat pra bencana itu ada kegiatan Pencegahan (prevension); upaya untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan timbulnya suatu ancaman. Misalnya : pembuatan bendungan untuk menghindari terjadinya banjir, biopori, penanaman tanaman keras di lereng bukit untuk menghindari banjir dan lainnya. Kemudian kegiatan Kesiap-siagaan (preparedness); yaitu persiapan rencana untuk bertindak ketika terjadi (atau kemungkinan akan terjadi) bencana.

 Ada pula kegiatan perencanaan, yaitu perkiraan terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam keadaan darurat danidentifikasi atas sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perencanaan ini dapat mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman.

Selanjutnya juga ada upaya Peringatan dini kepada masyarakat, yaitu Serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang (UU 24/2007) Pemberian peringatan dini harus : Menjangkau masyarakat (accesible), bersifat Segera (immediate), Tegas tidak membingungkan (coherent), dan Bersifat resmi (official) oleh yang berwenang dalam bidangnya. Salam literasi, saling menginspirasi. [eBas/ Senin wage]


Senin, 02 April 2018

IPABI MEMANG BUKAN PGRI


Sejak digulirkannya program sertifikasi guru dan tunjangan profesi, maka guru di semua jenjang Pendidikan ‘dipaksa’  untuk meningkatkan kompetensinya melalui berbagai kegiatan. Ada Pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG), diklat guru berjenjang sistem in on, dan aneka lomba guru berprestasi serta seminar yang digelar oleh berbagai pihak.

Persatuan guru republik Indonesia (PGRI) sebagai induk rupanya tidak tinggal diam. Mereka tidak hanya rajin memungut sumbangan sukarela dari seluruh guru. Tapi, kini PGRI rajin menggelar kegiatan yang beraroma percepatan peningkatan kompetensi guru dalam bentuk diklat dan seminar. Dengan demikian PGRI mampu memberi suatu yang memang dibutuhkan dan diharapkan oleh guru.

Hal ini sesuai dengan fungsi PGRI dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang juga sejalan dengan amanat UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ( Pasal 41 ayat 2 ), yaitu : Memajukan profesi, Meningkatkan kompetensi, Meningkatkan karier, Meningkatkan Wawasan Kependidikan, Memberikan Perlindungan Profesi, Meningkatkan kesejahteraan, Melaksanakan pengabdian masyarakat.

Paling tidak dengan kegiatan ini guru akan bertambah wawasannya, dan yang terpenting bisa bertemu sesama guru dari berbagai daerah untuk saling bertukar informasi, dan sekedar kangen-kangenan dengan teman lama saat jadi mahasiswa.

Guru pun dengan sukarela menyisihkan waktu dan tenaga (bahkan dananya) untuk mengikuti ‘undangan’ PGRI bersertifikat, tapi tidak gratis. Guru rela merogoh kocek antara 75.000 sampai 250.000 untuk menebus sertifikat, snack dan nasi kotak (kalau ada) serta makalah yang terkait dengan upaya penambahan wawasan. Semua ini demi meningkatnya kompetensi, sehingga profesi guru yang disandangnya lebih bermartabat.

Bagaimana dengan IPABI

Konon, Ikatan pamong belajar Indonesia (IPABI) adalah organisasi profesi dan organisasi perjuangan pamong belajar seluruh Indonesia.  Dengan tujuan; Mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Berperan aktif dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, Berperan aktif mengembangkan sistem pendidikan nasional, Mempertinggi kesadaran pamong belajar untuk meningkatkan mutu dan kompetensi pamong belajar, Menjaga, memelihara, membela serta meningkatkan harkat dan martabat pamong belajar.

Tampaknya, sampai saat ini tujuan yang dicanangkan itu belum ‘ternikmati’ oleh pamong belajar secara merata. Salah satunya adalah tidak adanya kesinambungan program, baik yang dilakukan secara mandiri oleh pengurus daerah maupun dibantu dana oleh pusat.

Konon katanya, pernah ada  program peningkatan kualitas kompetensi Pamong Belajar secara terarah dan berkelanjutan, bernama ”Peningkatan Profesional Berkelanjutan” atau disingkat PPB. Program ini diharapkan dapat menjadi salah satu jalan pengembangan dan perluasan pengetahuan, keterampilan dan kualitas kepribadian dalam memenuhi syarat peningkatan mutu profesi. Tapi nyatanya?. Siapa yang menikmati dana pa hasilnya?.

Sementara, dalam berbagai komentar yang ramai di grup WhatsApp hanyalah seputar proposal diklat, dana blokgren dan bansos, nasib perubahan SKB menjadi satdik, tupoksi pamong belajar yang masih simpang siur,  dan wacana berubahnya nama pamong belajar menjadi widyaprada. Apa ini yang dinamakan organisasi perjuangan?

Disisi lain bahasan tentang program IPABI yang muncul hanyalah penjualan baju seragam IPABI. Bahasan tentang peningkatan kompetensi pamong belajar lewat diklat dan seminar seperti PGRI babar blas tidak ada sama sekali. Postingannya hanya seputar copas nasehat dan pameran cupliksn ajaran agama serta info kematian. Apa ini yang dinamakan organi sasi profesi ?.

Mengapa bisa terjadi?. Ya, karena  IPABI bukan PGRI dan pamong belajar bukan guru yang memiliki loyalitas, dedikasi dan jiwa korsa yang membanggakan. Sementara IPBI tidak punya kuasa memaksa pamong belajar untuk melaksanakan aturan organisasi dan hasil kesepakatan musyawarah. Sedangkan pamong belajar sangat egois, sibuk sendiri dengan nasib kariernya, ngamen sana sini, menjadi orang suruhan dari pihak lain. Sungguh memprihatinkan, dan itulah kenyataan.

Akankah IPABI selamanya begini sebagai pajangan yang dinikmati pengurusnya saja atau yang berkuasa di Jakarta sana punya niat memfasilitasi IPABI untuk beraksi meningkatkan kompetensi pamong belajar sesuai tupoksi?. Wallahu a’lam bishowab. Salam literasi, tetap menginspirasi, salam satu hati. [eBas/senin pahing]