Sabtu, 28 Januari 2017

SEKRETARIAT BERSAMA RELAWAN JAWA TIMUR

Konon, kata Sugeng Yanu, salah seorang staf BPBD Provinsi Jawa Timur, pada tahun 2016, ada pertemuan antara Kalaksa BPBB Provinsi  Jawa Timur dengan beberapa perwakilan organisasi relawan, diantaranya, K.R.I (Komunitas Relawan Indonesia), yang diwakili Cak Kabul. Disana mereka bicara tentang perlunya sekretariat bersama (sekber) untuk relawan. Masih kata Sugeng, gagasan tersebut tindak lanjutnya agak lambat karena kesibukan yang silih bergani tanpa henti.

Baru kemudian, dipenghujung Januari 2017 ini, Kalaksa memberikan tempat di BPBD untuk dijadikan sekber. Dengan harapan, keberadaannya bisa memberi nilai tambah bagi relawan, BPBD, dan masyarakat dalam sinergitas pengabdian dibidang Penanggulangan Bencana.

Secara sederhana, sekber itu merupakan wadah relawan untuk berkumpul, berbagi informasi tentang program Penanggulangan Bencana, Pengurangan Risiko Bencana, dan Adaptasi Perubahan Iklim, berdasarkan konsep ‘dari kita, oleh kita, dan untuk kita’  terkait upaya peningkatan kapasitas relawan (sekitar 26 komponen), sejak masa pra bencana, tanggap bencana, dan pasca bencana.

Dari berbagai informasi yang terkumpul itu, bisa menjadi bahan masukan buat BPBD dalam merumuskan kebijakan serta menyusun program yang berkaitan dengan pembinaan dan mobilisasi relawan untuk aksi kemanusiaan.

Dengan kata lain, keberadaan sekber bisa diarahkan untuk membantu BPBD dalam melaksanakan programnya. Melalui jaringan pertemanan antar organisasi relawan di berbagai daerah, dapat memperkuat BPBD di lapangan, khususnya kecepatan informasi, serta tindakan darurat yang harus segera diambil sebelum BPBD dan pihak luar datang dengan segala bantuan dan sarana prasarana yang diperlukan. Tinggal bagaimana merumuskan aturan mainnya. Itu bisa didiskusikan sambil ngopi di sekber.

Ya, idealnya, langkah awal meramaikan sekber adalah melakukan konsolidasi organisasi relawan yang datanya sudah terkumpul di BPBD (konon, ada sekitar 137 organisasi yang telah menyetorkan datanya), untuk membahas program sekber. Seperti, menyusun jadwal piket, merencanakan peningkatan kapasitas relawan melalui diklat dan sarasehan. Juga menggagas program sekolah aman, sekolah sungai, sekolah gunung, sekolah laut, penyuluhan PRBBK dan API, maupun menggagas pengadaan seragam dan lain kegiatan kebersamaan. Harapannya bisa menyatukan langkah dan memperkuat tali silaturahim antar relawan Penanggulangan Bencana, berdasarkan saling asih, saling asah, dan saling asuh.

Namun perlu diketahui, tidaklah mudah menyamakan langkah berbagai ragam organisasi, baik yang senior, yunior, apalagi organisasi dadakan. Semuanya karena beda kepentingan dan pengalaman. Melalui diskusi panjang yang dinamis sambil menikmati nasi kotak, terbentuklah pengurus sementara ‘Sekber Forum Relawan Jawa Timur’, yang bertugas menyiapkan pertemuan lanjutan sampai terpilihnya pengurus tetap dengan segala kelengkapannya.

Djoko Utomo, seorang peserta yang senior dengan segudang pengalamannya, berharap pada kesempatan pertemuan yang akan datang, rekan-rekan relawan di manapun berada di Jatim, khususnya para koordinator, ketua, pemangku, dan sesepuh, dapat hadir untuk membantu pemikiran agar keberadaan Sekber memberi dampak positif terhadap Operasi Penanggulangan Bencana.

“Tidak usah sungkan atau ewuh pakewuh karena keberhasilan Sekber ini tergantung peran kita semua. Saatnya yang muda memimpin dan yang tua menasehati dalam rangka pelaksanaan kerja kemanusiaan dan pelestarian alam,” Ujarnya penuh semangat.

Yang jelas, keberadaan Sekber yang difasilitasi BPBD harus tetap mengikuti aturan yang tersurat didalam Perka nomor 17 tahun 2011, dan UU nomor 24 tahun 2007, dalam rangka meningkatkan kapasitas relawan Penanggulangan Bencana, guna menyongsong era sertifikasi relawan yang digagas oleh LSP-PB (Lembaga Sertifikasi Profesi Penanggulangan Bencana).

Tentu, untuk menuju terbentuknya Sekber yang ‘berdaya’ diperlukan proses panjang yang tidak mengenal lelah, dalam rangka terciptanya Sekber yang berperan dalam membangun budaya masyarakat tangguh bencana, khususnya mereka yang berdiam di kawasan rawan bencana.

Yang perlu dicatat, bahwa BPBD tidak selalu bisa memfasilitasi pertemuan yang digelar oleh Sekber. Untuk itulah perlu mendorong tumbuhnya rasa ‘melu handarbeni’, sehingga bisa tumbuh kesadaran bersama untuk memfasilitasi sendiri secara gotong royong, sambil berharap BPBD tetap bisa mengupayakan fasilitasi pertemuan….(ehm…).

Sebagai embrio, kiranya pertemuan awal ini membawa berkah dan dapat menginspirasi pertemuan selanjutnya, dengan harapan banyak relawan yang diundang untuk datang untuk memberikan sumbang saran. Salam tangguh, salam kemanusiaan. [eBas].  

   

Senin, 23 Januari 2017

RELAWAN DAN ORGANISASI RELAWAN

 Berawal dari postingan di grup whatsapp Jaring Relawan, yang mengatakan bahwa organisasi relawan itu harus memiliki surat legal formal kelembagaan, NPWP dan rekening bank atas nama organisasi. Maka komentar pun muncul beragam. Ada yang bilang, relawan masih perlu punya dokumen legal formal ya?.  Relawan itu yang dibutuhkan semangat di lapangan untuk bekerja gak perlu akta notaris, dan ada yang menaungi yaitu BPBD.

Bahkan ada yang sinis mengatakan, ‘Jadi harus punya legalitas berupa akta notaries dan rekening tabungan, baru bisa diakui sebagai relawan, kalau gak punya gak bisa diakui ya?, wah ini relawan model anyar’. Atene dadi relawan kok leren aneh2 persyaratane, ngalah2i lamaran kerjo. Berarti relawan sekarangitu sudah menjadi sebuah profesi yang profit ya?.

Ada juga yang berkomentar, lebih tepatnya memberi saran, agar relawan yang berada di bawah naungan lembaga atau yang independen (perorangan), hendaknya ‘merapat’ ke BPBD setempat untuk di inventarisir sehingga mudah dimobilisasikan saat diperlukan di lapangan, melaksanakan tugas kemanusiaan menolong sesama. Artinya, masyarakat dapat berpartisipasi sebagai relawan  dalam penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana.

Ada yang mengatakan bahwa relawan adalah orang yang mempunyai kepedulian terhadap sesuatu (lingkungan, kemanusiaan, kebencanaan, dll), yang dilandasi dengan keikhlasan untuk membantu sesama tanpa mengharap bantuan. Hal ini sejalan dengan istilah sukarelawan yang mengandung pengertian orang yang dengan sukacita melakukan sesuatu tanpa rasa terpaksa. Disini, Relawan  mempunyai peran besar dalam mensosialisasikan akan pentingnya alam terhadap segala tingkatan masyarakat serta mengingatkan beberapa pihak yang lupa akan tugasnya dalam menjaga lingkungannya.

Dalam UU nomor 24 tahun 2007, dikatakan bahwa Relawan Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya disebut relawan, adalah seorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana.

Disebutkan pula, prinsip Kerja Relawan adalah, (a). Cepat dan tepat,  (b). Prioritas, (c). Koordinasi, (d). Berdaya guna dan berhasil guna, (e). Transparansi, (f). Akuntabilitas, (g). Kemitraan, (h). Pemberdayaan, (i). Non-diskriminasi,  (j). Tidak menyebarkan agama, (k). Kesetaraan gender, (l). Menghormati kearifan lokal.

Prinsip ini hendaknya dipahami oleh semua relawan, termasuk relawan independen yang tidak bernaung dalam wadah organisasi. Mereka juga harus berusaha meningkatkan kapasitasnya secara mandiri, sesuai minatnya. Seperti aktif di cluster dapur umum, cluster psikososial, tim evakuasi, tim pencarian dan pertolongan (pentol), distribusi logistik, dan lainnya.

Bisa juga seorang relawan menguasai banyak bidang, termasuk memperluas jejaring kemitraan untuk mendukung aksi-aksi kemanusiaan yang dilakukan. Itu tidak haram, bahkan sangat dianjurkan. Sehingga tenaga dan pikirannya akan benayk bermanfaat bagi sesama, baik saat tanggap bencana, dan pasca bencana.

Untuk masa pra bencana, kemampuan relawan independent bisa diperbantukan untuk melakukan upaya sosialisasi pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim dalam rangka mewujudkan konsep PRBBK (Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas).

Sedangkan pengertian organisasi (relawan) merupakan sekumpulan orang-orang, yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Segaris dengan itu, James D. Mooney mengatakan bahwa organisasi itu adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama.

Organisasi relawan biasanya bersifat informal, yaitu organisasi yang terbentuk karena kesamaan minat atau hobby, dan tidak  untuk mencari keuntungan. Mereka lebih peduli untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan. Dalam hal ini, masyarakatlah yang memperoleh manfaatnya. Walau pun dalam perjalanannya, ada relawan yang pandai memanfaatkan keberadaannya untuk mendapatkan keuntungan yang signifikan.

Konon, cara mendirikan organisasi, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk organisasi relawan, gampang saja. Pendiri minimal 3 atau 5 orang. Kemudian disahkan dihadapan notaris dan dibuatkan akta pendirian organisasi. Persyaratannya fotocopy KTP para pendiri, dan semua pendiri wajib datang pada saat tanda tangan akta notaris. Akta notaris berisi tentang akta pendirian organisasi dan anggaran dasar organisasi.

Setelah akta notaris jadi, maka harus punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 
Syarat pembuatan NPWP adalah : Foto Copy KTP Ketua LSM/organisasi, NPWP Ketua, Foto copy akta notaries, Foto copy surat keterangan domosili (alamat secretariat) LSM/organisasi dari desa/kelurahan, dan Stempel organisasi. Syarat tersebut dibawa ke kantor pajak terdekat, langsung jadi dan gratis. Setelah NPWP jadi, organisasi tersebut bisa mengadakan kegiatan secara resmi dan menjalin kerjasama dengan pihak lain, baik itu kerjasama dengan pemerintah maupun swasta.

Komentar yang beraneka itu menandakan bahwa masih ada yang belum bisa  membedakan antara relawan sebagai individu dengan organisasi relawan sebagai lembaga. Jadi, syarat yang rodok akeh iku terkait keberadaan organisasinya. Begitu komen yang lainnya.  

Artinya jika organisasi relawan itu berkeinginan mengajukan proposal untuk mendapatkan dana penyelenggaraan diklat, seminar, maupun pengadaan sarana prasarana ke lembaga donor (funding), maka harus melampirkan dokumen legal formal sebagai salah satu kelengkapan yang harus disertakan dalam proposal.

Lha kalau semuanya ditangani sendiri secara mandiri, baik secara perorangan atau pun organisasi (kelompok), ya tidak harus melengkapi dengan dokumen yang aneh-aneh persyaratane. Dengan kata lain, persyaratan legal formal itu diperlukan untuk mengikuti kegiatan yang sifatnya formal, agar tidak muncul masalah di belakang. Sehebat apapun kompetensi seorang relawan, tidak akan diajak manakala tidak didukung syarat administrasi yang diminta.

Yang jelas, sebuah organisasi, betapapun sederhananya harus mempunyai aturan tertentu (seperti AD/ART) sebagai pedoman anggotanya, harus mempunyai pengurus organisasi, serta persyaratan lain yang harus dipunyai. Sehingga keberadaan organisasi (relawan) diakui secara formal. Karena di dalam kegiatan tertentu, peserta harus melengkapi diri dengan persyaratan administratif. Kalau tidak punya ya dengan terpaksa tidak diikutkan.

Dengan kata lain, peran yang bisa dimainkan oleh relawan sebagai individu yang peduli pada aksi kemanusiaan, maupun relawan sebagai bagian dari organisasi, sangatlah beragam dan bisa saling bersinergi dibawah koordinasi BPBD, termasuk memberikan masukan untuk dijadikan bahan penyusunan kebijakan BPBD yang berhubungan dengan relawan.

Ini penting, karena, di dalam praktek penanggulangan bencana, konon, banyak pihak yang sudah tahu bagaimana proses dan struktur penanggulangan bencana, tetapi tidak pernah menerapkannya, sehingga setiap bencana yang datang kita tidak pernah siap, padahal bencana tidak pernah menunggu kita siap terlebih dahulu saat datang. Inilah yang harus diubah kedepannya, dan relawan bisa memulainya dengan aksi nyata secara swadaya. Salam kemanusiaan, salam tangguh bencana. [eBas]





Selasa, 17 Januari 2017

SIMULASI MENUJU MASYARAKAT TANGGUH BENCANA

Baru-baru ini, dipenghujung tahun 2016, kawasan ujung utara Pulau Sumatera, kembali diguncang gempa. Korban pun berjatuhan. Rumah, masjid, toko, sekolah, dan gedung perkantoran roboh berantakan. Nestapa pun mengharu biru, mengundang simpati anak negeri. Seluruh elemen membantu memberikan donasi sebagai bentuk solidaritas sesama warga bangsa. Bahkan ada yang menyediakan diri datang ke lokasi membantu evakuasi, langsung membantu mengurangi derita korban bencana.

Konon, menurut catatan, di wilayah Sumatera utara itu paling sering dilanda gempa, dan yang paling besar adalah gempa yang diikuti oleh tsunami. Sayang semua itu kurang dijadikan pembelajaran bagi pemda dan bagi mereka yang berdomisili di wilayah itu. Gempa Sumatera utara pun disusul dengan banjir bandang di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat dan longsor di kawasan Jawa Barat. Entah daerah mana lagi yang akan menyusul.

Sehingga, ketika ada gempa (juga banjir dan longsor), korban pun tetap berjatuhan dan kerusakan infrastruktur juga terjadi disana sini, seolah konsep kesiapsiagaan dan mitigasi bencana hanya indah saat diseminarkan, dipamerkan, dan diseremonialkan. Namun tidak dipahami, apalagi diamalkan dalam kehidupan masyarakat seperti yang diharapkan oleh ajakan menumbuhkan budaya tangguh bencana, Living in Harmony With Risk.

Tampaknya, program sosialisasi pengurangan risiko bencana (PRB) di daerah terdampak, serta upaya mitigasi dan simulasi penanggulangan bencana belum dianggap penting, kurang dianggarkan dalam program rutin BPBD Provinsi, Kabupaten/Kota setempat. Sehingga budaya tangguh bencana yang digaungkan BNPB hanyalah sekedar ada daripada tidak ada. Termasuk program diklat peningkatan kapasitas relawan pun seringkali tidak ada tindak lanjutnya.

Sehingga, saat terjadi bencana, sering timbul miskomunikasi dan miskoordinasi antara relawan dengan pengelola Pos Komando, dalam BPBD yang mempunyai peran komando, koordinator, dan pelaksana dalam penanggulangan bencana. Kalau sudah begini, maka relawan pun (biasanya) akan bergerak sendiri sesuai kebisaannya dan kenekatannya.

Memang, pada umumnya, kawan-kawan relawan lebih fokus pada kegiatan tanggap bencana. Seperti ikut operasi SAR, evakuasi korban, pengadaan tempat pengungsian, dapur umum, distribusi logistik, dan penggalangan dana. Semetara untuk kegiatan pra bencana, seperti mitigasi dan kegiatan pengurangan risiko bencana, belum banyak diminati. Padahal, urusan bencana itu meliputi pra bencana, tanggap bencana, dan pasca bencana.

Untuk kegiatan pra bencana, banyak yang harus dilakukan, diantaranya, menyusun Kajian Risiko Bencana, membuat Rencana Penanggulangan Bencana, Rencana Mitigasi, Renkon, Renop, dan Rencana Pemulihan Pasca Bencana. Penting juga melakukan Identifikasi Kerentanan, Potensi Bencana, Kapasitas, Sumber Daya yang bisa dimanfaatkan, dan lainnya.

Masalah diatas itu masih harus dijabarkan secara rinci dalam dokumen tersendiri, dengan harapan saat terjadi bencana, penanganannya bisa lebih cepat, efektif, efisien, tepat sasaran, dan terukur. Termasuk siapa melakukan apa, juga telah tertata dengan baik sesuai komitmen yang dibangun dalam renkon maupun renop.

Memang, dalam masa tanggap bencana, masih sering terjadi ego sektoral yang merusak tatanan kesepakatan operasi penanggulangan bencana. Inilah yang harus dikomunikasikan dengan baik, dan relawan pun hendaknya dilibatkan agar memahami tentang perbedaan cara pandang penanggulangan bencana

Kondisi yang demikian inilah, tampaknya mulai ditepis oleh BPBD Provinsi, Kabupaten dan Kota. dengan menyediakan anggaran penyelenggaraan simulasi penanggulangan bencana, baik untuk pelajar maupun khalayak ramai, sebagai upaya menuju masyarakat tangguh bencana, yaitu masyarakat yang mampu mengantisipasi dan meminimalisir kekuatan yang merusak, melalui adaptasi. Mereka juga mampu mengelola dan menjaga struktur dan fungsi dasar tertentu ketika terjadi bencana. Dan jika terkena dampak bencana, mereka akan dengan cepat bisa membangun kehidupannya menjadi normal kembali atau paling tidak dapat dengan cepat memulihkan diri secara mandiri.

Dengan kata lain, melalui penyuluhan, apel kesiapsiagaan, gladi lapang, dan simulasi bencana, masyarakat akan semakin sigap, tanggap dan tangguh dalam menghadapi bencana. Itu bisa cepat terwujud jika keberadaan relawan terlibat dalam kegiatan pra bencana seperti tersebut diatas, tentu dengan fasilitasi dari mereka yang berwenang secara hokum menangani masalah penanggulangan bencana. Salam Kemanusiaan. [eBas]    


     

Minggu, 15 Januari 2017

SALING SINAU MODEL KOMUNITAS RELAWAN

Istilah saling sinau yang dicetuskan sekaligus diamalkan oleh kawan-kawan Komunitas Relawan Indonesia (K.R.I),konon tidak dibatasi  harus sinau apa, jadwalnya kapan, tempatnya juga terserah dimana saja yang penting nyaman, dan siapa yang berkenan memimpin sinau pun tidak ada pedomannya, siapa saja boleh. Disini yang dipentingkan adalah bersemuka untuk mempererat tali silaturahim dan saling memotivasi.

Semua proses saling sinau dibiarkan mengalir secara informal. Dari siapa untuk apa oleh siapa tentang apa, semuanya dibiarkan berjalan alami, tanpa kurikulum, pun tanpa aturan yang membatasi interaksi dan komunikasi. Semua itu bisa bertahan sampai sekarang itu hanya dilandasi komitmen untuk saling peduli, saling berbagi dan beradaptasi. Disitulah letak kekuatannya K.R.I.

Buktinya, beberapa kali membuat acara latihan bersama untuk meningkatkan keterampilan dan kapasitas anggota K.R.I (termasuk relawan lain yang berkenan gabung), terlaksana secara spontan. Jika pun harus ada rapat persiapan yang agak serius, biasanya terkait dengan peminjaman peralatan dan perijinan dari pihak luar.

Begitu juga ketika akan turun saat ada bencana, kawan-kawan akan berhitung dulu. Bila situasi dan kondisi memungkinkan, seperti punya dana yang cukup untuk mendukung operasi selama di lokasi, dan pekerjaan utama masing-masing personil bisa dikompromikan, maka mereka akan turun berpartisipasi bergabung dengan relawan lain di lapangan, bersama melakukan upaya penanggulangan bencana.

Ini sangat manusiawi sekali. Karena, bagaimanapun juga, relawan harus mengutamakan keberlangsungan kehidupan keluarganya, pun sebagai anggota masyarakat dimana dia tinggal.

Saling sinau, boleh saja diterjemahkan sebagai kegiatan ngobrol pintar (ngopi), baik antar anggota K.R.I maupun lintas organisasi relawan, dengan mengedepankan kesetaraan dan paseduluran. Biasanya, yang menjadi tema ‘ngopi’ adalah informasi dari anggota yang berkesempatan mengikuti diklat atau seminar. Materi itulah yang dijadikan acara saling sinau. Tidak menutup kemungkinan, acara 'ngopi' juga digunakan untuk menggagas kegiatan ekonomi produktif, rencana pengadaan peralatan maupun seragam anggota, dan lainnya. Itu sah saja walaupun tidak selalu terwujud. Namanya juga gagasan spontan, guyon parikeno, kata orang Jawa.  

Tentu, agar lebih gayeng, maka nyruput kopi lah yang menjadi salah satu pendampinya yang menyemangati obrolan sinambi guyonan. Tempatnya pun bisa di warung kopi, atau dimana saja yang disepakati, tanpa durasi waktu yang ditentukan.

Kayaknya kelakuan ngopi bareng tipis-tipis ini juga menjadi kebiasaan relawan penanggulangan bencana dimana pun berada, mungkin yang berbeda adalah aturan mainnya saja. Versi K.R.I, ngopi bareng ini, diharapkan dalam rangka membangun kapasitas dan menigkatkan keterampilan sekaligus sebagai media menularkan ilmu kepada yunior pada khususnya, dan kepada khalayak ramai pada umumnya.

Hal ini sesuai dengan wejangan Gus Rois Al-Hakim, sebagai sesepuh sekaligus pelindung K.R.I, bahwa melalui acara ‘ngopi’ dan latihan untuk mengasah keterampilan itu, diharapkan terjadi peningkatan kapasitas sekaligus memperluas jarring kemitraan antar relawan pegiat kemanusiaan dan penanggulangan bencana, sehingga keberadaannya bisa memberi manfaat bagi sesama. Salam kemanusiaan. [eBas]