Selasa, 28 September 2021

SOSIALISASI SPAB ALA MUKIDI

Mukidi adalah tipe relawan yang serba bisa dan serba siap menerima perintah apa saja dan kapan saja. Siap untuk terjun kemana saja, dalam rangka apa saja. Ya, Mukidi selalu punya waktu (mungkin juga sangu) untuk itu. Karena kemampuannya itulah Mukidi menjadi “jujugan sambatan” dari berbagai pihak terkait dengan pelaksanaan program.

Termasuk Ketika Mukidi disambati untuk menjadi fasilitator program sosialisasi SPAB ke beberapa sekolah. Dia langsung menyatakan kesanggupannya. Padahal, konon, untuk menjadi fasilitator, (diharapkan) sudah pernah mengikuti Pendidikan dan pelatihan SPAB, baik yang bersertifikat kompetensi, maupun sertifikat tanda ikut diklat.

Dengan penuh percaya diri, Mukidi (yang belum punya sertifikat fasilitator) menjalankan amanah, mensosialisasikan ke warga sekolah dengan durasi waktu yang hanya beberapa jam saja. Sementara relawan lain yang membantu Mukidi menyiapkan “ubo rampe” pendukung kegiatan, termasuk beberapa souvenir dari BPBD sebagai kenangan.

Oleh karena waktunya terbatas, jadi tidak mungkinlah Mukidi membedah modul 3 Pilar SPAB. yaitu, memastikan sarana dan prasarana serta fasilitas sekolah dalam kondisi yang aman, adanya manajemen bencana di sekolah serta diselenggarakannya pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana. Kata pakarnya SPAB, untuk memahami modul 3 Pilar SPAB, paling tidak memerlukan waktu tuju hari, bahkan lebih dan dilakukan berulang kali sebagai upaya pembiasaan.

Untuk itulah dalam sosialisasi SPAB, Mukidi dan kawan-kawannya hanya menyampaikan informasi yang umum saja, seperti apa itu bencana, jenis-jenis bencana, apa yang harus dilakukan jika ada bencana. Tidak lupa dalam kegiatan yang sasarannya pelajar itu, diselingi dengan pemutaran film tentang bencana, menyanyi serta praktek evakuasi.

Jika masih ada waktu, Mukidi, menjelaskan ke para pendidik dan tenaga kependidikan, sekilas tentang zonasi, evakuasi dan titik kumpul, sebagai pengetahuan dasar Ketika di daerah dimana sekolah itu berada, terjadi bencana.

Zonasi yang dimaksud Mukidi adalah, gambaran tentang potensi bencana apa ada. Termasuk daerah mana saja yang menjadi langganan bencana. Ada berapa warga yang berdiam di daerah rawan bencana itu, kebiasaan apa yang dilakukan warga Ketika terjadi bencana.

Untuk evakuasi, Mukidi diantaranya menjelaskan tentang perlunya pemasangan rambu-rambu evakuasi, rambu peringatan daerah rawan bencana, dan tanda peringatan dini. Termasuk siapa yang melakukan evakuasi, siapa yang harus dievakuasi lebih dulu dan dievakuasi kemana.

Sementara untuk titik kumpul, sekilas dijelaskan oleh Mukidi tentang perlunya menyiapkan lokasi yang aman dan strategis untuk dijadikan tempat pengungsian dengan segala pendukungnya.

Tentu, Mukidi dalam menjelaskan, diselingi dengan cerita ngalor ngidul seputar pengalamannya dan pengalaman relawan lainnya saat berkegiatan di lokasi bencana. Ceriteranya di dramatisir sedemikian rupa sehingga para peserta sosialisasi SPAB terpesona sambil manggut-manggut, sambil terkantuk-kantuk.

Acara sosialisasi SPAB pun berakhir dengan pembagian souvenir, berupa tumbler, masker dan hand sanitizer. Biasanya dibagikan juga kaos dan tas siaga bencana. Namun karena tidak biasa, maka tidak dibagikan di masa pandemi covid-19, untuk menghindari terjadinya kerumunan rebutan souvenir yang dibawa Mukidi.

Sementara, pihak yang memberi tugas sangat puas dengan kinerja Mukidi dan kawan-kawannya. Apa yang dilakukan Mukidi tidak mengecewakan. Semua senang. Pihak sekolah senang karena mendapat hiburan dan buah tangan, yang nyuruh Mukidi juga lega, karena anggaran terserap sesuai harapan. Sementara Mukidi bangga karena tugas baru sudah menunggu. Salam buat Mukidi yang cerdik yang mampu memanfaatkan peluang. [eBas/SelasaPahing-28092021]

 

 


 

 

Minggu, 26 September 2021

MENUNGGU REALISASI REKOMENDASI KN-PRBBK XIV TAHUN 2021

Acara perhelatan konferensi nasional pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (KN-PRBBK) yang berlangsung sejak hari senin kliwon (21/9) dan berakhir pada hari jumat pon (24/9), telah usai. Atas nama Kesehatan dan keselamatan di era pandemi covid-19, maka penyelenggaraannya dilakukan secara daring.

Pesertanya banyak dari mana-mana, sangat beragam dari berbagai komunitas tanpa batas, yang penting punya akses internet. Sehingga KN-PRBBK tahun ini layak mendapat penghargaan sebagai kegiatan yang banyak diikuti oleh berbagai pihak.

Diakhir acara, panitia berhasil Menyusun deklarasi yang mungkin akan ditindak lanjuti dalam sebuah aksi, dalam rangka membangun PRBBK sebagai sebuah budaya Tangguh bencana yang mandiri, sehingga dapat direplikasikan ke daerah lain, walau beda ancaman bencananya.

Salah satu deklarasi yang harus dikawal beramai-ramai adalah, upaya mendorong adanya kebijakan, baik level nasional, daerah, dan atau kelurahan yang dapat mendukung pelaksanaan program satuan Pendidikan aman bencana (SPAB), baik formal maupun non formal serta Pendidikan informal dalam program PRBBK, baik dari aspek koordinasi, keterkaitan sistem mitigasi dan kesiapsiagaan, perencanaan pengurangan risiko  dan dukungan pembiayaan.

Ya, kenyataan di lapangan memang begitu, SPAB yang konon sudah ada surat edaran (SE) Kemendikbud nomor 33 tahun 2019, tentang Penyelenggaraan Program SPAB, yang didalamnya juga ada sumber pendanaan yang mendukung program. Namun entah kenapa sekolah masih ketakutan melaksanakannya.

Dalam salah satu FGD yang meramaikan KN-PRBBK, bahasan tentang SPAB ini sangat menarik. Banyak pihak yang mempertanyakan apa itu SPAB dan kemana saja orang-orang Seknas SPAB dan Sekber SPAB Daerah yang tega menelantarkan SPAB, sehingga keberadaannya masih asing di telinga masyarakat.

Uda Maldo dari Kota Garut bilang, Alasan klasik dari sebuah penerapan SPAB adalah tidak ada anggaran, padatnya jadwal sekolah, dan instruksi langsung dari kementerian/dinas Pendidikan provinsi dan Kabupaten/Kota untuk penerapan SPAB yang kurang jelas, sehingga Sekolah takut menerapkan.

Apa yang dikatakan Uda Maldo, sejalan dengan pengalaman beberapa relawan yang minta ijin melakukan sosialisasi pengurangan risiko bencana dan SPAB di sekolah, dipersulit dan berbelit. Jika pun ada sekolah yang nekat menyelenggarakan SPAB, biasanya itu sekolah swasta milik Yayasan. Atau sekolah negeri yang kelapa sekolahnya berani. Padahal di dalam SE Kemendikbud yang mengatur SPAB, dikatakan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan SPAB di sekolah

Rujito, dari Kosala, Kota Mataram, NTB, mengatakan bahwa, jika pun SPAB dilaksanakaan hanya sebatas sosialisasi dengan melibatkan peserta didik, Pendidikan dan tenaga kependidikan. Padahal ada pihak lain yang termasuk unsur komunitas sekolah. Misalnya, satpam, penjaga kantin, dan warga sekitar sekolah yang seharusnya dilibatkan.

“di daerah kami, sekolah-sekolah banyak yang belum melakukan SPAB. Untuk itu kami minta petunjuk pelaksanaannya,” Kata Safri Yunus, dari F-PRB Simeulue.

Bahkan, dengan Bahasa yang agak nakal, seorang peserta dari Jawa Timur bilang, bahwa banyak sekolah yang belum melaksanakan SPAB dengan berbagai alasan. Diantaranya belum ada arahan dan petunjuk dari pejabat atasnya. Untuk itu perlu ada regulasi yang dapat memaksa dinas Pendidikan untuk melaksanakan SPAB di semua jenjang sekolah.

“Menurut saya, SPAB hanyalah program lipstick. Kami sangat berharap para pejabat dari kemendikbud ristek mengunjungi daerah untuk melihat program SPAB,” Kata Diky Agustaf dari Jawa barat, menguatkan kegalauan peserta dari Jawa timur.

Sayangnya, beragam pertanyaan yang muncul itu hanya dijawab dengan normatif dan ngelantur kemana mana, sampai ke destana, kampung siaga bencana dan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi potensi bencana yang ada di daerahnya.

Untuk itulah, rekomendasi KN-PRBBK yang digelar di era pandemi covid-19 ini, sangat ditunggu realisasinya untuk dipahami dan dilaksanakan oleh para pihak yang memegang kuasa. Termasuk bidang Pendidikan, sehingga program SPAB bisa menjadi bagian dari upaya pembentukan karakter pelajar Pancasila yang sedang menjadi primadona Bersama program sekolah penggerak dan merdeka belajar. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/SeninLegi-27092021]

 

 

 

 

 

 

Rabu, 22 September 2021

DESTANA PASCA LOMBA

Perhelatan lomba destana tahun 2021 telah usai. Tim penilai pun juga telah menyerahkan hasil kerjanya. Para fasilitator destana yang ditunjuk mendampingi terbentuknya destana sampai dianggap layak mengikuti lomba pun telah mengirimkan laporannya kepada yang memberi petunjuk.

Pertanyaannya kemudian, apakah setelah ritual pembentukan destana yang berakhir dengan mengikuti lomba itu, ada tindak lanjutnya?. Jika ada, apa bentuknya dan siapa yang melakukannya?. Jangan sampai keberadaan destana cukup sampai pada acara lomba saja, untuk kemudian wassalam.

Dalam Perka BNPB nomor 1 tahun 2012, dikatakan bahwa desa Tangguh Bencana (Destana) adalah desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan.

Sungguh, membangun destana yang mandiri itu tidak bisa sekali sentuh. Tapi harus sering disentuh dengan melibatkan masyarakat yang kena sentuhan (dialogis partisipatoris), sesuai kearifan lokal yang berlaku di masyarakat itu, agar tidak bertabrakan pemahaman tentang pentingnya destana.

Untuk itulah, tidak ada salahnya jika gaung sinergitas pentahelix yang diteriakkan lewat acara formal, dicoba wujudkan oleh BPBD setempat dengan menggandeng berbagai komunitas relawan untuk mendampingi rintisan destana yang menghabiskan dana lumayan itu  agar tidak “layu sebelum berkembang”.

Dalam melakukan sentuhan itu, hendaknya menggunakan strategi inovasi, koordinasi dan kemitraan, seperti yang dilakukan oleh salah satu aktivis yang ikut memeriahkan diskusi dalam rangkaian pelaksanaan KNPRBBK XIV tahun 2021.

Dikatakan bahwa strategi inovasi harus dilakukan sesuai gerak jaman. Karena, bencana yang terjadi akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi dan lingkungan masyarakat yang terkena bencana. Untuk itu cara penanganannya pun harus selalu berinovasi dengan kreatif tanpa meninggalkan kearifan lokal yang ada, sehingga masyarakat mudah memahami.

Sedangkan koordinasi antar aktor dalam Penanganan bencana juga penting, sebagai upaya menghindari tumpang tindih pekerjaan dan semua aktor yang datang bisa bergerak dengan perannya masing-masing tanpa ada rasa saling meninggalkan.

Sementara konsep kemitraan perlu dibangun dengan berbagai aktor pentahelix untuk meminimalisir arogansi egosektoral masing-masing aktor. BPBD harus bisa mendorong para aktor untuk bergandeng tangan saling menguatkan, sehingga dapat mempercepat penanganan bencana secara bersama-sama.

 Unuk menjawab pertanyaan di atas, maka pendampingan (boleh juga menggunakan istilah pembimbingan) secara berkala sangatlah perlu dilakukan. Pelakunya bisa dari BPBD, bisa juga bekerja sama dengan komunitas relawan. Misalnya, bersama mendalami Perka BNPB nomor 1 tahun 2012 dan nomor 17 tahun 2011, dan lainnya, dalam rangka upaya memandirikan destana.

Dalam Perka tentang destana, kemampuan mandiri berarti serangkaian upaya yang dilakukan sendiri dengan memberdayakan dan memobilisasi sumber daya yang dimiliki masyarakat desa untuk mengenali ancaman dan risiko bencana yang dihadapi, meliputi juga evaluasi dan monitoring kapasitas yang dimilikinya.

Pendampingan untuk kemandirian itu penting. Mengingat, ketika ada bencana datang, warga lah yang menjadi korban pertama dan melakukan respon cepat untuk penyelamatkan sebelum pihak luar datang menolong.

Namun pendampingan yang dilakukan bukan sebagai upaya menyeragamkan. Karena praktek destana itu ingin menumbuhkan ketangguhan masyarakat yang melibatkan multi pihak dengan berbagai program dan strategi yang dimainkan sesuai kearifan lokal untuk meminimalisir risiko dari potensi bencana yang ada.

Inilah tindak lanjut pasca lomba destana yang mungkin bisa dilakukan sehingga bisa menginspirasi desa lain yang memiliki potensi bencana sama atau berbeda untuk menduplikasi praktik baik yang dilakukan oleh multi pihak (pentahelix) menuju masyarakat sadar bencana. Salam Tangguh. [eBas/Senin ndleming dewe-23092021]

 

 

 

Kamis, 16 September 2021

LOMBA DESA TANGGUH BENCANA

    Konon, untuk melihat keberhasilan program desa tangguh bencana (destana) yang pembentukannya didampingi oleh fasilitator desa tangguh bencana, adalah dengan diadakan lomba destana, yang menjadi program rutin BPBD. 

    Ada tiga kategori lomba yang boleh dipilih sesuai dengan kesiapan desa setempat. Ada kategori pratama, madya, dan utama. Tentu masing-masing kategori ada persyaratannya sendiri untuk dinilai oleh Tim Juri.

    Ya, namanya lomba, kalah menang itu biasa. Karena, konon, yang diharapkan pasca lomba itu adalah terjadinya pelembagaan mandiri yang bisa memberdayakan aktor lokal dalam bentuk koordinasi untuk meningkatkan kerjasama antar pihak untuk membangun kesiapsiagaan menuju budaya tangguh bencana.

    Dalam perka BNPB nomor 1 tahun 2012, tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, dikatakan bahwa, Desa/kelurahan tangguh itu sudah memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi potensi ancaman bencana, serta pemulihan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan.

    Artinya, aktor destana yang terdiri dari berbagai elemen pentahelix, harus menyusun program peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengurangan risiko bencana, bekerjasama dengan berbagai pihak (termasuk BPBD), serta mendokumentasikan praktek baik yang telah dikerjakan dalam bentuk buku dan dikomunikasikan lewat berbagai media, sehingga bisa diduplikasi/diadopsi oleh pihak lain.

    Adapun tujuan dari program ini antara lain; (1) Melindungi masyarakat (khususnya yang tinggal di kawasan KRB) dari potensi bencana yang ada. (2) Meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan dalam pengelolaan sumber daya untuk pengurangan risiko bencana, (3) Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan pemeliharaan kearifan lokal untuk PRB.

    Kang ET, panggilan khas doktor Eko Teguh Paripurno, dalam sebuah webinar mengatakan bahwa, prinsip destana itu diantaranya adalah, Masalah bencana adalah urusan bersama, Masyarakat setempat menjadi pelaku utama, dan dilakukan secara partisipatoris, program destana harus berpihak kepada kelompok rentan, serta memperluas jejaring kemitraan dengan berbagai komunitas untuk meningkatkan kapasitas sumber daya lokal.

    Namun nyatanya, dalam lomba destana, apapun kategorinya, yang sering menonjol adalah acara seremonialnya dengan menghadirkan pejabat setempat, sehingga pembicaraannya ngelantur kemana-mana. Segala dokumen yang diperlukan untuk penilaian tersedia dan siap “dipenthelengi” oleh tim juri. Dokumen itu meliputi aspek kesiapsiagaan, aspek risiko, aspek kesehatan, aspek anggaran, dan indikator bencana.

    Sementara, lokasi yang memiliki potensi bencana juga disiapkan untuk ditinjau. Tidak lupa rambu-rambu evakuasi, titik kumpul, dan rambu tanda bahaya juga dipasang di beberapa titik yang strategis agar mudah dilihat warga. Rambu-rambu itu ada yang terpasang sudah lama dan permanen. Ada pula yang tampak baru dipasang dari bahan ala kadarnya untuk memenuhi aturan lomba.

    Sedangkan, tim relawan destana, banyak yang masih “tergagap” saat menjawab pertanyaan yang diajukan tim juri. Ini juga harus dimaklumi, karena destana baru dibentuk dengan didampingi fasilitator destana. Mereka tampaknya baru belajar menyusun aneka dokumen dan belajar menjawab pertanyaan. Pelatihan untuk peningkatan kapasitas pun masih sangat terbatas. Masih perlu proses agar sesuai dengan harapan perka BNPB nomor 1 tahun 2021.

    Untuk itulah, pasca penilaian lomba destana ini, diharapkan ada upaya mandiri menyusun program kerja destana yang melibatkan aktor lokal dari berbagai pihak (pentahelix) dalam rangka peningkatan kapasitas pengurangan risiko potensi bencana yang ada di daerahnya, tentu dengan mengedepankan kearifan lokal.

    Semua ini perlu dilakukan dengan membuka jejaring kemitraan dengan berbagai komunitas yang peduli kepada kemanusiaan, pelestarian alam dan kebencanaan. Selain meningkatkan kapasitas dibidang keterampilan, juga perlu meningkatkan kemampuan melakukan kajian risiko bencana, penyusunan rencana penanggulangan bencana, menyusun rencana aksi komunitas dan sejenisnya. Sehingga dapat menginspirasi desa/kelurahan sekitar, untuk turut serta membangun kesiapsiagaan dalam rangka membangun budaya sadar bencana.

    Kini, lomba destana tahun 2021, sudah usai, tinggal menunggu pengumuman resmi, siapa yang menang dan kapan mengambil piala, piagam dan hadiah kemenangan. Harapannya, tentulah semangat ber-destana-ria tetap tumbuh dengan kreativitas masing-masing. Termasuk mempelajari Perka BNPB nomor 1 tahun 2012 dan nomor 17 tahun 2011, agar semakin paham dengan perannya.

    sehingga komponen destana, seperti yang dipaparkan Kang Et dalam sebuah webinar, berupa legislasi, kelembagaan, perencanaan, pendanaan, pengembangan kapasitas, dan penyelenggaraan penanggulangan bencana, bisa terpenuhi dan bisa berjalan seperti yang diharapkan dalam konsep PRBBK. Salam tangguh, Salam Sehat. [eBas/JumatLegi-17092021]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kamis, 02 September 2021

FGD MENUJU KN-PRBBK XIV TAHUN 2021

Dalam rangka memenuhi ajakan masyarakat penanggulangan bencana indonesia (MPBI) untuk memeriahkan KN-PRBBK tahun 2021, masing-masing forum pengurangan risiko bencana tingkat provinsi, mengadakan focus group discussion (FGD).

Atas nama kesehatan dan keselamatan di era pandemi covid-19, kegiatan ini dilakukan secara daring, yang bisa diakses oleh siapa saja dimana saja di seluruh wilayah indonesia. Yang penting ada koneksi internet. Sehingga semua bisa saling menyimak pengalaman daerah lain dalam menyelenggarakan upaya pengurangan risiko bencana.

Dengan berbagi pengalaman itu nantinya dapat dirumuskan sebuah rekomendasi terkait dengan pengembangan dan penerapan PRBBK di Indonesia. Artinya, praktek baik yang dilakukan oleh berbagai pihak itu hendaknya didokumentasikan dalam sebuah buku yang bisa dijadikan bahan diskusi sambil ngopi, sehingga muncul inspirasi untuk membuat aksi.

Dalam gelaran FGD, masing-masing pihak yang terpilih, menceritakan pengalamannya melakukan kerja-kerja kemanusiaan yang bersentuhan dengan kebencanaan. Dengan gayanya sendiri mereka menebarkan virus pengurangan risiko bencana untuk membangun budaya tangguh bencana.

Ada juga yang melakukan kerja-kerja pemberdayaan kepada kaum perempuan, dengan berbagai keterampilan fungsional. Mereka melakukan programnya itu, ada yang murni dilakukan sebdiri, ada juga yang berkerjasama dengan BPBD setempat, dan elemen pentahelix lainnya. Ada juga yang menjalankan paket program dari BNPB.

Semua dilakukan agar masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana. Sehingga mereka dapat berbuat sesuatu secara mandiri saat terjadi bencana (daya lenting), sebelum datang bantuan dari luar.

Hal ini sejalan dengan definisi UNISDR (2009), menjadi acuan otoritatif tentang makna PRB, yaitu sebagai konsep dan praktik mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisa dan mengelola faktor-faktor penyebab dari bencana termasuk dengan dikuranginya paparan terhadap ancaman, penurunan kerentanan manusia dan properti, pengelolaan lahan dan lingkungan yang bijaksana, serta meningkatkan kesiapsiagaan terhadap kejadian yang merugikan.

Konon, hasil dari FGD ini nantinya akan dipilih yang “terbaik” untuk dibawa ke ajang KN-PRBBK secara virtual di era pandemi covid-19. Ini bukan berarti yang lainnya tidak baik. Namun karena keterbatasan waktu, maka hanya yang terbaiklah yang ditampilkan.

Dengan harapan bisa menginspirasi berbagai pihak, untuk meningkatkan sinerginya, memperbaiki koordinasi dan komunikasi dalam membangun ketangguhan masyarakat terhadap risiko bencana yang ada di wilayahnya, dan menangani isu-isu terkait kapasitas dan kerentanan menghadapi bencana

Hal ini sejalan dengan definisi PRBBK yang dikemukakan oleh Pribadi (2008), sebagai suatu proses pengelolaan risiko bencana yang melibatkan secara aktif masyarakat yang berisiko dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanannya dan meningkatkan kemampuannya.

Semoga hasil gelaran KN-PRBBK virtual yang akan diselenggarakan tanggal 20 – 24 September 2021, berhasil mendokumentasikan praktek baik PRBBK di berbagai daerah untuk dijadikan bahan pembelajaran bersama bagi semua komunitas yang peduli pada kerja-kerja kemanusiaan. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/ndleming dewe malem jum’ad-02092021]