Minggu, 21 Agustus 2022

KADERISASI, SEBUAH RITUAL WAJIB ORGANISASI

Diakui atau tidak, disadari atau tidak, yang namanya proses menjadi tua itu tidak bisa dihindari. Termasuk dalam kepengurusan sebuah organisasi. Sesuai dengan ketentuan organisasi, maka bila saatnya tiba, maka pergantian pengurus itu menjadi sebuah keharusan.

Masing-masing pengurus juga harus legowo jika harus diganti sesuai dengan kebutuhan dan dinamika organisasi. Ya, pergantian pengurus bagi sebuah organisasi yang sehat akan selalu dilalui dengan proses yang sehat pula. Diantaranya adalah dilakukan secara transparan dan bertanggungjawab.

Untuk itulah, organisasi yang sehat selalu akan menyiapkan kadernya sebagai calon penerus perjuangan organisasi. Tanpa itu maka kelakuan pengurus terpilih hanya akan mengekor kepada pendahulunya. Tidak ada hal baru. Hanya seolah-olah baru, padahal sekedar copy paste sesuai dengan kebutuhan dan konstelasi jamannya.

Sehingga yang terjadi adalah, perjalanan organisasi hanya sekedar ada dan miskin inovasi, serta hanya dinikmati oleh beberapa orang saja sesuai kedekatan. Sedangkan yang lain hanya “angka ikut” sebagai pemanis jika dibutuhkan.

Dampak dari organisasi jenis ini kehadirannya kurang dirasakan secara merata oleh mereka yang terlibat dalam menjalankan program untuk memajukan organisasi. Hal ini terjadi karena minimnya koordinasi dan komunikasi.

Sehingga yang terjadi adalah budaya kasak kusuk sepihak, saling ngrasani pelaksanaan program organisasi. Untuk itulah masalah kader sangat penting agar organisasi itu bisa memberi makna kepada pihak-pihak yang menjadi koleganya, termasuk penerima manfaat.

Ada yang bilang proses kaderisasi merupakan jantungnya organisasi, agar mampu bergerak maju dan dinamis. Hal ini karena kaderisasilah media untuk melahirkan pengurus baru yang nantinya akan melanjutkan perjuangan organisasi, yang memiliki jiwa pemimpin, memiliki emosi yang terkontrol, kreatif inovatif, memiliki dedikasi dan loyalitas yang ampuh dan menjadi teladan bagi anggotanya.

Dalam beberapa literatur, istilah kaderisasi itu mengarah kepada upaya, proses, dan cara mendidik atau membentuk seseorang anggota (yunior) menjadi kader, yang akan memikul tanggung jawab demi perjalanan organisasi, dengan segala programnya yang telah dirasakan manfaatnya oleh banyak pihak.

Sebenarnya, setiap organisasi memiliki anggota yang layak menjadi kader organisasi karena kapasitasnya, karena pengalamannya dan karena keilmuannya. Namun biasanya mereka itu enggan muncul sendiri. Adanya rasa sungkan antara yunior dengan senior untuk menampakkan gagasan kreatifnya demi kemajuan organisasi. Tentu kondisi ini berpotensi memunculkan istilah “one man show”.

Untuk itulah jalan terbaik yang harus ditempuh adalah dengan memberikan kepercayaan kepada semua (khususnya yunior) untuk terlibat dalam kegiatan yang “berkelas”. Tidak ada salahnya memberi kesempatan secara merata kepada mereka yang memiliki kapasitas untuk mengembangkan kemampuannya. Bisa juga dengan menerapkan team teaching (tandem antara senior yunior) dalam penyampaian materi dalam sebuah pelatihan, rapat, diskusi dan sejenisnya.

Termasuk memberikan motivasi untuk mengembangkan kreativitas personal, serta mengeksekusi idenya dalam sebuah aksi. Apa pun caranya, yang penting di dalam sebuah organisasi harus ada proses kaderisasi agar tidak terlambat menyiapkan pengganti. [eBas/SeninKliwon-22082022]

 

 

Minggu, 14 Agustus 2022

SAFARI SPAB DI JAWA TIMUR TAHUN 2022

Dalam rangka membangun kesiapsiagaan dan ketangguhan sejak dini, badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) Provinsi Jawa Timur, melaksanakan program satuan pendidikan aman bencana (SPAB) di 19 Kabupaten. Kegiatan dipusatkan di salah satu sekolah yang telah ditentukan. Harapannya dapat menjadi contoh bagi sekolah lain.

Safari SPAB ini dimulai dari Kabupaten Sumenep, kemudian berturut turut Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang, Kabupaten Madiun, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Sampang, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Pacitan, dan Kabupaten Magetan.

Semua kegiatan Safari SPAB ini diupayakan menempati salah satu sekolah yang representatif. Baik untuk penyampaian teori, maupun praktek simulasi. Mengingat bahwa, sekolah menjadi tempat ideal dalam mensosialisasikan masalah kebencanaan sejak usia dini. Sekaligus menumbuhkan budaya tangguh bencana.

Untuk menjalankan kegiatan ini, BPBD Provinsi Jawa Timur tidak bisa sendiri. Mereka menggandeng sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana (SRPB) Jawa Timur. Penunjukan ini dirasa sangatlah tepat, mengingat SRPB memiliki tim yang sudah terlatih dalam mengedukasi masyarakat tentang upaya pengurangan risiko bencana. Termasuk melakukan sosialisasi SPAB, yang hasilnya cukup signifikan, dan mendapat apresiasi positif dari BNPB, beberapa waktu yang lalu.

Dalam kolaborasi ini, mereka berbagi peran agar pelaksanaannya lancar sesuai aturan. SRPB, dengan kapasitasnya melakukan komunikasi, edukasi dan informasi, sedangkan staf BPBD yang menyertai, kebagian ngurusi administrasi.

Dalam buku peta jalan program SPAB 2020 – 2024 disebutkan bahwa bencana yang terjadi di Indonesia telah berdampak serius dan menganggu penyelenggaraan layanan pendidikan. Setidaknya terdapat 62.687 satuan pendidikan di Indonesia yang terdampak langsung bencana alam selama 10 (sepuluh) tahun terakhir.

Kerusakan sarana prasarana satuan pendidikan, gangguan terhadap akses dan fungsi layanan pendidikan, peserta didik dan pendidik yang menjadi korban dan harus mengungsi, serta dampak buruk lainnya dari bencana benar-benar mengganggu proses pembelajaran dan pelayanan Pendidikan.

Informasi inilah yang disampaikan kepada warga sekolah, agar mereka paham akan pentingnya membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana melalui program SPAB. Paling tidak, mereka menjadi tahu potensi bencana yang ada di daerahnya, mengenali daerah rawan bencana, dengan membuat peta rawan bencana dan memasang rambu-rambu evakuasi serta menentukan titik kumpul saat terjadi bencana.

Mereka juga paham tentang manfaat tas siaga bencana, serta apa yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko bencana. Baik sebelum, sesaat, dan pasca bencana. Hal ini sesuai dengan tujuan SPAB, yaitu melindungi warga satuan pendidikan dari dampak buruk bencana, termasuk memastikan keberlangsungan layanan pendidikan dalam situasi darurat dan memulihkan kembali fungsi satuan pendidikan pasca bencana.

Seperti diketahui bahwa bencana adalah urusan bersama, maka masyarakat (dalam hal ini warga sekolah) kiranya wajib mendapatkan pelatihan terkait dengan penanganan bencana. Karena, jika ada bencana di daerahnya, merekalah yang menjadi korban pertama sekaligus penolong pertama, sebelum pihal luar datang memberikan bantuan.

Tentunya tim SRPB yang diamanahi menjalankan safari SPAB, telah paham bahwa Semua materi yang disampaikan dalam safari SPAB, harus dikemas dalam suasana yang menyenangkan dan menggunakan bahasa setempat agar mudah dipahami. Termasuk dalam memanfaatkan waktu. Alhamdulillah semua berjalan sesuai sekenario.

Harapannya, masing-masing sekolah yang berkesempatan menimati safari SPAB bisa menindaklanjuti secara mandiri, dengan mengoptimalkan sumber daya manusia yang dimiliki. Sekolah juga tidak diharamkan untuk menggandeng komunitas relawan yang ada di daerahnya untuk diajak bersama membangun budaya tangguh untuk warga sekolah. Bahkan jika memungkinkan juga bisa dikembangkan ke daerah dimana sekolah itu berada.

Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip pelaksanaan SPAB, yaitu kerjasama lintas sektor untuk mendukung percepatan penerapan SPAB yang holistik dan terintegrasi.

Kerjasama sebaiknya dijalin dari sebelum-saat dan sesudah terjadi bencana sehingga warga sekolah dapat berperan serta dalam membantu upaya pengurangan risiko bencana, maupun saat terjadi bencana, seperti yang diajarkan oleh tim safari SPAB dari SRPB Jawa Timur. [eBas/SeninPon-15082022]   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Selasa, 09 Agustus 2022

CELETUKAN MENGGELITIK DARI MAS DIDIK

Sungguh, rapat koordinasi bidang pencegahan dan kesiapsiagaan bpbd prov jawa timur tahun 2022 ini sangat istimewa. Disamping materi yang disampaikan oleh Mas didik dan Mas punjung yang benar-benar menggelitik, karena merupakan masalah baru bagi sebagian besar peserta rakor.

Juga beberapa pertanyaan dan pernyataan yang menarik untuk dikomentari. Sebenarnya  sangat asik jika celetukan itu ditanyakan langsung. Namun sayang karena peserta kalah pengalaman maka hanya bisa nggremeng sendiri tanpa berani bertanya. Disamping itu waktunya juga terbatas.

Misalnya, pernyataan yang mengatakan bahwa keberadaan forum itu bukan karena keinginan tapi karena kebutuhan sesuai dengan UU 24 tahun 2007 dan PP 21 tahun 2008. Lha, seandainya BPBD tidak butuh adanya Forum, apakah akan berpengaruh terhadap kinerja dan anggaran rutinnya ?.

Seandainya BPBD lebih memilih membentuk tim ahli atau konsultan ahli (dewan pakar) dari pada forum, apakah berdosa dan menyalahi aturan yang bisa dipidanakan ?. sementara, daerah yang telah membentuk forum pun, ternyata masih ada yang belum memberi perhatian yang signifikan kepada forum.

Termasuk harapan tentang perlunya optimalisasi upaya penanggulangan bencana dengan membangun sinergi antar pihak. Kira-kira bentuknya bagaimana ya, dan bagaimana cara mengoptimalkannya agar terbangun sinergi antar pihak ?.

Kemudian Mas Didik yang sering menggunakan istilah “mohon maaf dengan segala hormat” juga menyampaikan pernyataan yang menggelitik. Seperti. Dalam rangka peningkatan kapasitas, dan wawasan relawan serta jejaring kemitraan, perlu kiranya forum membangun bekerjasama dengan akademisi, praktisi dan OPD terkait.

Namun perlu diingat, akademisi juga punya kesibukan yang seabreg. Selain mengajar, dan membimbing skripsi/tesis, juga melakukan penelitian, dan menjadi konsultan berbagai proyek. Tentu ini lebih menggiurkan dan diprioritaskan daripada kerjasama dengan forum. Begitu juga dengan OPD terkait.

Masih kata Mas Didik, forum hendaknya dapat “menggadeng” kader-kader milik OPD tertentu yang ada di Desa, untuk menyediakan data desa yang dibutuhkan dalam penyusunan program terkait masalah bencana, dan dokumen yang diperlukan, misalnya untuk menyusun kajian risiko bencana.

Seperti diketahui, bahwa keberadaan kader itu sengaja dibentuk dan “dipelihara” oleh OPD dalam rangka membantu pelaksanaan tugas. Sehingga, kalau relawan ingin menggandeng mereka, tentunya harus mendapatkan ijin juragannya terlebih dahulu. Tidak bisa langsung slonong boy begitu, karena menyangkut nama baik (ego sektoral).

Begitu juga saat Mas Punjung mengakhiri materinya tentang shelter pengungsian dan perlindungan. Mas Didik juga menggelitik peserta rakor tentang perlunya forum langsung mendirikan shelter saat tanggap bencana, sehingga relawan yang datang langsung masuk ke masing-masing klaster sesuai dengan kapasitasnya.

Pertanyaannya kemudian, apakah forum punya kewenangan untuk mendirikan shelter, apakah itu bukan kewenangan Posko Induk seperti yang termaktub dalam SKPDB ?. bagaimana pula dengan relawan bondo tekat, yang datang ke lokasi hanya dengan nawaitu membantu sesama tanpa punya kapasitas tertentu ?.

Sebenarnya celetukan yang dilempar Mas Didik itu sangat menarik untuk didiskusikan secara langsung. Namun, (mungkin) karena faktor sungkan, takut dianggap keminter, sehingga semua peserta lebih memilih diam ambil mencatat apa-apa yang perlu dicatat dan nggerundel antar teman.

Sungguh celetukan yang menggelitik dan sangat menarik untuk ditindak lanjuti. Namun, siapa yang berani memulai ?. perlu aktor kuat untuk memulainya. Apakah Mbah Dharmo sebagai Sekjen forum, atau para dewan pengarah forum ?. mungkin, yang sangat siap adalah BPBD, sesuai dengan UU 24 tahun 2007.

Tentu, celetukan yang menggelitik dari Mas Didik itu bukan asal nyeletuk (seperti kebiasaan penulis), namun celetukan pria berkaca mata itu, berdasarkan pengalamannya malang melintang dibidang kebencanaan selama bertahun-tahun di berbagai daerah.

Namun karena penanganan bencana itu sangat unik, selalu berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Maka praktik baik di suatu daerah, belum tentu bisa diduplikasi oleh daerah lain. Harus disesuaikan dengan kearifan lokal setempat. Termasuk celetukan yang menggelitik dari Mas Didik di atas.

Semoga celetukan Mas Didik bisa menjadi bahan diskusi antar pihak yang terlibat dalam F-PRB, sehingga pasca rakor ini, tema yang berbunyi peneguhan peran strategis forum PRB jawa timur dalam penanggulangan bencana, membawa perubahan dalam berforum.

Paling tidak, sudah mulai ada perubahan pasca rakor. Yaitu, semakin banyak pihak yang memesan rompi F-PRB yang sangat fashionable dan stylish, yang digawangi mBakyu Ratna, bendahara forum yang enerjik dan murah senyum. [eBas/RabuPon-10082022]

Minggu, 07 Agustus 2022

KOLABORASI UNTUK LITERASI KEBENCANAAN

Rapat koordinasi forum pengurangan risiko bencana (F-PRB) Jawa Timur tahun 2022 ini mengambil tema, “Peneguhan Peran Strategis F-PRB Jatim dalam Penanggulangan Bencana”,telah berakhir dengan sangat memuaskan. Ya, semua peserta merasa puas dengan pelayanan panitia, puas dengan menu yang disajikan, serta paparan materi yang mencerahkan.

Bahkan yang istimewa lagi adalah ditandatanganinya nota kesepahaman antara F-PRB Jatim dengan PWI yang disaksikan oleh BPBD Provinsi Jawa Timur. (konon, SRPB juga melakukannya, namun tampaknya belum ada tindak lanjutnya). Hal ini untuk menjawab pertanyaan Mas Didik tentang apakah forum sudah memanfaatkan iklan layanan masyarakat untuk sosialisasi pengurangan risiko bencana.

Harapannya, ke depan, media massa semakin sering memberitakan peristiwa bencana dari berbagai sudut pandang, termasuk memberitakan semua kegiatan kebencanaan yang diagendakan BPBD dan F-PRB, agar khalayak ramai mengetahui informasi bencana dan kebencanaan, guna turut serta mensukseskan gerakan literasi kebencanaan.

Hal ini sejalan dengan materi jurnalisme kebencanaan yang disampaikan oleh Machmud Suhermono, wakil ketua PWI Jawa Timur, yang mengatakan bahwa Jurnalisme bencana membahas bagaimana media meliput dan memberitakan bencana kepada publik. Mulai dari tata cara pencegahan hingga pemulihan pasca bencana.

Sementara, praktik jurnalisme bencana dilakukan dengan meliput dan melaporkan informasi kebencanaan kepada masyarakat. Tidak hanya ketika bencana terjadi, melainkan dari pencegahan hingga upaya pemulihan pasca bencana.

Diharapkan pula, ada kerjasama diklat jurnalistik kebencanaan untuk relawan. Dimana, di dalam diklat itu pesertanya benar-benar dilatih untuk menjadi penulis, baik menulis berita maupun menulis esai melalui serangkaian praktek menulis.

Peserta juga dipahamkan tentang apa itu pola piramida terbalik, bagaimana mencari berita, apa itu bahasa jurnalistik maupun karya foto jurnalistik, dan sebagainya yang terkait dengan jurnalistik.

Artinya, peserta benar-benar diajak praktek menulis. Bukan sekedar mendengarkan cerita tentang dunia jurnalistik yang ndakik-ndakik namun tidak membuat peserta tergelitik untuk mencoba membuat tulisan yang menggelitik.

Paling tidak, dengan membaca materi yang kemarin disajikan tanpa diberi waktu tanya jawab itu, relawan mengetahui Tiga Fungsi Jurnalisme Bencana. Yaitu, Mendidik masyarakat terhadap kejadian bencana. Artinya, Jurnalisme bencana seharusnya tidak hanya membahas soal dampak dan kronologis bencana. Namun, juga harus mendidik masyarakat mengenai kejadian bencana. Hal ini bisa dilakukan lewat pemberitaan fakta bencana, agar dapat menjadi pembelajaran bagi pihak berwenang dan masyarakat di masa yang akan datang.

Selanjutnya Mengungkap data dan fakta yang akurat.  Yaitu, Praktik jurnalisme bencana harus mengedepankan nilai humanisme sosial, dengan mengungkap data dan fakta yang akurat.

Sehingga pemberitaan mengenai kebencanaan itu bisa menjadi pendidikan sosial bagi seluruh masyarakat, baik korban atau publik, tentang hikmah atau pembelajaran yang bisa didapatkan dari peristiwa bencana. Sedang fungsi ke tiga adalah, Tidak memberitakan peristiwa yang bisa melukai perasaan korban bencana.

Dengan kata lain, relawan menjadi paham bahwa karya jurnalstik itu bisa bersifat informatif, edukatif maupun sebagai kontrol sosial. Sehingga dalam memahami berita atau esai, harus menggunakan hati, bukan emosi. Ingat Ali bin Abi Thalib pernah berkata, jangan melihat siapa yang bicara, tapi lihatlah apa yang dibicarakan.

Sungguh, jika kolaborasi antara  PWI dan F-PRB benar-benar bisa terwujud, maka pengurus forum yang membidangi humas dan publikasi, pasti akan bersemangat membuat reportase tentang segala kegiatan forum melalui berbagai media yang dimiliki.

Dengan ilmu jurnalistik yang dimiliki, mereka akan rajin mendokumentasikan segala kegiatan forum di ketiga fase bencana, yang dirupakan dalam sebentuk buku untuk “diwariskan” kepada pengurus baru sebagai bahan pembelajaran yang inspiratif. [eBas_ndlemingDewe/SeninLegi-08072022]

 

  

 

 

 

 

Jumat, 05 Agustus 2022

RELAWAN SUROBOYO BERSATU

Alhamdulillah, jagong bareng yang pertama antara sebagian relawan dari Tim Bibitan inisiator pembentukan F-PRB Kota Surabaya dengan pejabat BPBD Kota Surabaya, pada hari selasa (02/08/2022), membuahkan hasil yang cukup menggembirakan.

Dimana, Yogi, sebagai salah satu relawan yang hadir mendapat petunjuk langsung dari Plt Kalaksa BPBD Kota Surabaya untuk segera membentuk grup Whatsapp yang berisi perwakilan komunitas relawan yang ada di Surabaya. Tentunya yang masih aktif berkegiatan. (bukan ornagisasi papan nama).

Konon, grup Whatsapp ini diperlukan untuk memudahkan komunikasi, koordinasi antara relawan dengan pihak BPBD, kaitannya dengan program penanggulangan risiko bencana maupun upaya penanggulangan bencana.

Paling tidak, dengan adanya grup ini secara tidak langsung menjadi media pendataan untuk mengetahui keberadaan komunitas relawan se Surabaya. Baik jumlah, aktivitas dan kapasitasnya.  

Hal ini sejalan dengan keinginan Ridwan, selaku Plt Kalaksa yang berkeinginan mengadakan gathering relawan yang menyenangkan untuk membangun keakraban, yang disampaikan saat sambutan pembukaan pelatihan pencegahan dan mitigasi bencana Kota Surabaya, tanggal 27 juni 2022.

Dengan prinsip sat set wat wet, Yogi pun langsung bergerak membuat grup Whatsapp dan memasukkan relawan yang mewakili komunitasnya. Untuk sementara sudah teridentifikasi sebanyak tiga puluh lima personil. Termasuk dari BBPB Kota Surabaya yang ditugaskan untuk “memonitor” sirkulasi informasi di dalam grup yang tentunya akan dinamis.

Banyak harapan yang disampaikan oleh mereka yang menjadi anggota grup. Seperti  Ivan, yang mengusulkan agar semua anggota grup bisa mengenalkan diri dan komunitasnya biar bisa di simpan dan saling mengenal.

Ada juga yang mengucapkan terimakasih telah diijinkan bergabung di grup Relawan Suroboyo Bersatu, untuk saling memupuk jaringan silaturahmi untuk membangun sinergi diantara relawan yang ada di Surabaya.  

Sementara Ndaru, yang aktif di beberapa komunitas, berharap agar mBak Lilik, staf BPBD Kota Surabaya yang menjadi bagian dari grup ini bisa segera mengagendakan pertemuan awal sebagai upaya menyamakan chemistry untuk membangun kerja-kerja kemanusiaan secara bersama. Termasuk mengawal terbentuknya F-PRB Kota Surabaya dengan segala programnya yang melibatkan relawan.

Ini penting, agar semua anggota grup sejalan sepaham mendukung giat bersama secara transparan, bertanggungjawab, dan selalu mengedepankan gotong royong dan kebersamaan

Semua harapan anggota grup Whatsapp Relawan Suroboyo Bersatu, oleh Yogi akan dikomunikasikan dan dikoordinasikan dengan pejabat BPBD Kota Surabaya agar segera ada tindak lanjutnya. Tidak ada salahnya jika semua anggota grup memberi semangat dan doa kepada Yogi, agar upayanya menjadi nyata. [eBas/sabtuWage DiniHari-06082022]