Diakui atau tidak, disadari atau tidak, yang namanya
proses menjadi tua itu tidak bisa dihindari. Termasuk dalam kepengurusan sebuah
organisasi. Sesuai dengan ketentuan organisasi, maka bila saatnya tiba, maka
pergantian pengurus itu menjadi sebuah keharusan.
Masing-masing pengurus juga harus legowo jika harus
diganti sesuai dengan kebutuhan dan dinamika organisasi. Ya, pergantian
pengurus bagi sebuah organisasi yang sehat akan selalu dilalui dengan proses
yang sehat pula. Diantaranya adalah dilakukan secara transparan dan
bertanggungjawab.
Untuk itulah, organisasi yang sehat selalu akan
menyiapkan kadernya sebagai calon penerus perjuangan organisasi. Tanpa itu maka
kelakuan pengurus terpilih hanya akan mengekor kepada pendahulunya. Tidak ada
hal baru. Hanya seolah-olah baru, padahal sekedar copy paste sesuai dengan
kebutuhan dan konstelasi jamannya.
Sehingga yang terjadi adalah, perjalanan organisasi hanya
sekedar ada dan miskin inovasi, serta hanya dinikmati oleh beberapa orang saja
sesuai kedekatan. Sedangkan yang lain hanya “angka ikut” sebagai pemanis jika
dibutuhkan.
Dampak dari organisasi jenis ini kehadirannya kurang
dirasakan secara merata oleh mereka yang terlibat dalam menjalankan program
untuk memajukan organisasi. Hal ini terjadi karena minimnya koordinasi dan
komunikasi.
Sehingga yang terjadi adalah budaya kasak kusuk sepihak,
saling ngrasani pelaksanaan program organisasi. Untuk itulah masalah kader
sangat penting agar organisasi itu bisa memberi makna kepada pihak-pihak yang
menjadi koleganya, termasuk penerima manfaat.
Ada yang bilang proses kaderisasi merupakan jantungnya organisasi, agar mampu bergerak maju dan dinamis. Hal ini
karena kaderisasilah media untuk melahirkan
pengurus
baru yang nantinya akan melanjutkan
perjuangan organisasi, yang
memiliki jiwa pemimpin, memiliki emosi yang terkontrol, kreatif inovatif, memiliki dedikasi dan loyalitas yang ampuh dan menjadi teladan
bagi anggotanya.
Dalam beberapa literatur, istilah kaderisasi itu mengarah kepada upaya, proses, dan cara mendidik
atau membentuk seseorang anggota
(yunior)
menjadi kader, yang akan memikul tanggung jawab demi perjalanan organisasi, dengan segala programnya yang telah dirasakan
manfaatnya oleh banyak pihak.
Sebenarnya, setiap organisasi memiliki anggota yang layak
menjadi kader organisasi karena kapasitasnya, karena pengalamannya dan karena
keilmuannya. Namun biasanya mereka itu enggan muncul sendiri. Adanya rasa
sungkan antara yunior dengan senior untuk menampakkan gagasan kreatifnya demi
kemajuan organisasi. Tentu kondisi ini berpotensi memunculkan istilah “one
man show”.
Untuk itulah jalan terbaik yang harus ditempuh adalah dengan
memberikan kepercayaan kepada
semua (khususnya yunior) untuk terlibat dalam kegiatan yang “berkelas”.
Tidak ada salahnya memberi kesempatan secara merata kepada mereka yang memiliki kapasitas
untuk mengembangkan kemampuannya. Bisa juga dengan menerapkan team teaching
(tandem antara senior yunior) dalam penyampaian materi dalam sebuah pelatihan,
rapat, diskusi dan sejenisnya.
Termasuk memberikan motivasi untuk mengembangkan
kreativitas personal, serta mengeksekusi
idenya dalam sebuah aksi. Apa pun
caranya, yang penting di dalam sebuah organisasi harus ada proses kaderisasi
agar tidak terlambat menyiapkan pengganti. [eBas/SeninKliwon-22082022]