Selasa, 26 September 2017

SISTEM KOMANDO TANGGAP DARURAT BENCANA GUNUNG AGUNG

Gunung Agung di Pulau Bali, sudah memasuki status awas. Relawan dan aparat pemerintah setempat pun telah sibuk dengan perannya. Evakuasi penduduk terdampak pun mulai tampak disana sini. Beberapa titik pengungsian juga sudah didirikan, termasuk pendirian  dapur umum dan posko kesehatan. Tidak lupa mobilisasi kendaraan penduduk untuk membantu proses evakuasi dan distribusi logistik pun juga sudah berjalan.

Semua sibuk menyambut Gunung Agung ‘sedang mual ingin muntah’. Biasanya, kepanikan mewarnai petugas, tidak tahu harus berbuat apa dengan tupoksinya, sehingga memunculkan kesan penanganan lambat, kurang merata dan sulit terpantau. Termasuk kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait dalam penanggulangan bencana sehingga menyebabkan kesimpangsiuran informasi.

Begitu juga dengan relawan. Dengan semangat menggebu ingin langsung terlibat dalam proses evakuasi serta pendistribusian logistik dan kebutuhan pengungsi, mengingat tenaga dari aparat terbatas.

Memang, sering terdengar relawan kurang koordinasi dengan Posko Induk. Itu mungkin terjadi karena petugas posko kurang paham tentang sistem komando tanggap darurat bencana (SKTDB), atau relawannya sendiri yang tidak tahu jika kedatangannya harus lapor posko.   

Padahal, dalam masa tanggap darurat, Relawan itu masuk dalam SKTDB, agar semua aktivitasnya dapat terpantau, terkoordinir, terkendali dan efektif menjalankan perannya dalam satu komando. Dengan kata lain, relawan tidak bisa bergerak sendiri dengan alasan apapun, dan harus tetap berkoordinasi dengan posko induk (itu idealnya).

Untuk itulah dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap darurat ditangani sepenuhnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Menurut BNPB, tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

Sementara, SKTDB adalah suatu standar penanganan darurat bencana yang mensinergikan dan mengintegrasikan pengerahan fasilitas, peralatan, personil, prosedur dan komunikasi dalam suatu struktur organisasi.
Dalam masa tanggap darurat ini, dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut (1)  Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan dan sumber daya, (2) Penentuan status keadaan darurat bencana, (3) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat yang terkena bencana, (4) Pemenuhan kebutuhan dasar, (5) Perlindungan terhadap kelompok rentan, dan (6) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

Sementara itu Tugas posko, diantaranya melaksanakan pengelolaan data dan informasi tentang penanganan darurat bencana, Menyusun rencana operasi penanganan darurat, Mengkoordinir dan mengendalikan pelaksanaan penanganan darurat, Melakukan pemantauan dan evaluasi penanganan darurat, serta Melaksanakan komando dan pengendalian untuk pengerahan SDM, peralatan, logistik dan penyelamatan serta berwenang memerintahkan instansi terkait dalam penanganan darurat.

Jika menyimak apa yang terpapar di atas, sungguh betapa penting peran SKTDB dalam mengelola proses penanggulangan bencana. Tinggal bagaimana petugas yang ditunjuk ‘menjaga’ posko. Merekalah yang bertanggungjawab terhadap keberhasilan penanggulangan bencana.

Sampai saat ini semua sudah siap menyambut ulah Gunung Agung. Relawan pun demikian, dari berbagai daerah sudah menyiapkan diri 'bergerak' ke Bali, menunggu perintah, bahkan siap berangkat secara sendiri. Setiap hari, tidak henti-hentinya mengabarkan perkembangan Gunung Agung kepada khalayak ramai melalui media sosial, dengan segala bumbu cerita yang menarik untuk dinikmati bagi relawan lain yang tidak berkesempatan mendharma bhaktikan diri di Pulau dewata. Salam tangguh, salam kemanusiaan. [eBas/berbagai sumber]





















Senin, 25 September 2017

ARISAN ILMU NOL RUPIAH DI UNISMA

Kali ini kegiatan Arisan Ilmu Nol Rupiah SRPB JATIM diselenggarakan di Kampus Unisma, Kota Malang. Semua ini bisa terwujud atas budi baik kawan-kawan kamapala R.P.A Unisma yang dimotori oleh Yeka Kusuma. Terkait dengan tempat arisan, bisa diselenggarakan dimana saja sesuai kesepakatan. Jadi, tidak harus diselenggarakan di Joko, Juanda, Sidoarjo.

Pesertanya dari berbagai organisasi yang bergiat pada bidang lingkungan dan kemanusiaan. Mereka datang dari berbagai daerah di Jawa timur. Tujuannya satu, mencari ilmu menambah wawasan, sekaligus membangun paseduluran dan menigkatkan kapasitas di bidang penanggulangan bencana.

Dengan kata lain, kegiatan Arisan Ilmu Nol Rupiah itu ingin membongkar mitos bahwa mengajak kumpul relawan untuk saling berbagi ilmu itu berbiaya majal. Nyatanya, dengan kesadaran dan komitmen keswadayaan serta rasa kebersamaan yang tinggi, terbukti semuanya bisa terjadi, termasuk pesertanya membawa konsumsi sendiri-sendiri.

Kali ini materinya bicara tentang Emergency Communication Management Training dan HF/NVIS sebagai Back up pada Komunikasi Darurat di Wilayah Bencana. Materi yang menarik ini disampaikan oleh Bambang Sutrisno. Biasa dipanggil Pakdhe Bam, seorang amateur radio senior dari Bogor dengan kode panggilan udara YB.1.K.O.

Saat mengenalkan diri, Pakdhe juga bercerita tentang sejarah perkembangan ORARI dengan menggunakan kode tertentu untuk masing-masing daerah maupun Negara. Serta perlunya memiliki legalitas berupa call sign untuk bermain di frekwensi tertentu dan menaati peraturan yang berlaku.

Dalam dunia amateur radio, baik itu ORARI maupun RAPI, ada semacam pameo yang mengatakan bahwa The unique hobby amateur radio is a mix of fun, public service and self enjoyment. Konon, kepuasan seorang amateur radio itu bila dengan kreativitasnya berhasil memodifikasi alat komunikasi yang rusak bisa digunakan kembali agar semakin fungsional untuk digunakan di segala medan. Termasuk memodifikasi antena yang memiliki daya pancar luas dan  praktis, mudah dibawa kemana-mana.  

Beberapa peserta berharap materi ini berkesinambungan, karena tidak mungkin langsung mengerti dalam pelatihan ini saja. Apalagi banyak yang masih awam, hanya bisa menggunakan tanpa mengerti aturan dan tidak memiliki call sign resmi. Mereka ini biasa disebuat dengan ‘orong-orong’, karena sering mengganggu frekwensi saat keadaan darurat.

Dalam penjelasannya, beliau berpesan kepada relawan yang akan terjun ke lokasi bencana harus siap dengan perbekalan pribadi dan perlengkapan pendukungnya. Jangan sampai merepotkan, apalagi menjadi beban di lokasi. Idealnya, perbekalan yang dibawa itu diantaranya P3K, alat komunikasi beserta perlengkapannya, konsumsi dan pakaian secukupnya, vitamin, minyak angin, anti biotik, sempritan, senter, pisau lipat, korek, jaket dan ponco warna cerah.

“Relawan juga harus tahu dengan siapa saja akan bekerjasama, frekwensi berapa yang digunakan untuk berkomunikasi, dan jangan memakai sandal japit saat melakukan operasi di lokasi bencana. Itu sepele namun berbahaya.” Kata Pakdhe Bam penuh semangat dalam menyampaikan materinya.

Dikatakan pula bahwa dalam mendistribusikan berita, misalnya terkait dengan permintaan bantuan lewat radio, harus benar-benar valid dan jelas sehingga bisa segera ditindak lanjuti oleh pemegang kekuasaan dan bantuan yang akan diberikan benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Untuk itulah jalur frekwensi yang digunakan untuk operasi harus bersih dari ‘orong-orong’.

Untuk itulah, relawan yang berbekal Handy Talky hendaknya selalu bekerjasama dengan RAPi ataupun ORARI dalam memberikan dukungan komunikasi sebar informasi di lokasi, sehingga dapat mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan dan masyarakat juga terlayani kebutuhannya. TNX ES CUAGN. [eBas].








Selasa, 19 September 2017

LOMBA DESTANA BUKAN LOMBA KELOMPENCAPIR

Konon, yang namanya perlombaan, pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Beberapa indikator yang telah ditentukan juri harus dimiliki oleh pemenang, misalnya indikator tentang partisipasi masyarakat terhadap kegiatan yang dilombakan. Perlombaan diadakan terkandung maksud untuk melihat hasil pembinaan yang telah dilakukan selama beberapa waktu. Disamping itu juga merupakan ajang untuk memamerkan kebisaan, dan unjuk keterampilan yang membanggakan dari para peserta lomba.
Di dalam perlombaan pun sering terdengar adanya kecurangan, sebagai upaya menjadi juara. Demi gengsi daerah berbagai cara dilakukan agar bisa tampil sebagai pemenang. Bahkan konon, ada pihak-pihak tertentu yang menjadikan perlombaan sebagai ajang perjudian.
Celakanya, ketika sebuah perlombaan dimaknai sekedar sebagai gengsi daerah untuk membangun citra bahwa pejabat daerah peduli perlombaan, maka ujung-ujungnya adalah akan dimanfaatkan untuk mendongkrak elektabilitas sebagai modal memenangi pilkada.
Maka, atas nama kuasa jabatan, semua potensi dilibatkan, baik secara terang-terangan maupun bermain dibalik layar. Termasuk buat laporan administrasi dadakan yang direkayasa, serta upaya mempengaruhi tim juri dengan lobi tingkat tinggi untuk memenangkan perlombaan. Anggaran pun digelontorkan untuk mendukung lomba tanpa batas, entah dari mana. Biasanya dikamuflasekan dengan istilah dana partisipasi.
Gambaran di atas mengingatkan penulis tentang cerita di jaman orde baru.  Dulu, pernah ada lomba kelompencapir. Menurut Wikipedia, Kelompencapir itu singkatan dari Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa, yaitu sebuah kegiatan pertemuan (untuk pembinan dan penyuluhan) bagi petani dan nelayan di Indonesia (lebih tepatnya masyarakat pedesaan).
Pada masa itu kelompencapir menjadi media penghubung antara pemerintah dengan rakyatnya, juga media mengkomunikasikan program pemerintah yang bernama rencana pembangunan lima tahun. Program ini ikut andil kala Indonesia mencapai swasembada pangan dan mendapatkan penghargaan dari FAO pada tahun 1984.
Kegiatan ini mengikutkan petani-petani berprestasi dari berbagai daerah. Mereka diadu kepintaran dan pengetahuannya seputar pertanian antara lain soal cara bertanam yang baik dan pengetahuan tentang pupuk. Disamping itu juga pengetahuan tentang perikanan, peternakan, perkebunan dan masalah sosial kemasyarakatan yang terjadi di lingkungannya,  dengan model mirip cerdas cermat.
Karena lomba kelompencapir itu didukung banyak pihak, maka hadiahnya pun beraneka macam, baik berupa barang, dan uang, juga piala dan piagam. Ketika itu, biasanya setelah menang, daerah akan mendapat gelontoran dana untuk berbagai proyek. Pertanyaannya kemudian, apakah rekayasa pemenang lomba sampai saat ini masih ada?.
Kini, BNPB yang membidangi masalah bencana di Indonesia, juga memiliki program lomba desa tangguh bencana dalam rangka mewujudkan ketangguhan bangsa menghadapi bencana.  Dalam salah satu peraturan kepala BNPB, dikatakan bahwa Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah desa/kelurahan yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi potensi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan.
Ini penting, karena Jika terjadi bencana, masyarakat miskin yang tinggal di kawasan rawan akan menjadi pihak yang paling dirugikan, karena jumlah korban terbesar biasanya berasal dari kelompok ini. Untuk itulah mereka perlu diberi ‘perlakuan tentang PRBBK’ yang didampingi oleh fasilitator desa pilihan BNPB, agar masyarakat lebih berdaya dalam menghadapi bencana.
Kemudian, untuk melihat keberhasilan program, diadakanlah lomba desa tangguh. Tentu masing-masing BPBD menjagokan beberapa daerahnya untuk ikut lomba sesuai dengan kategorinya. Semua peserta akan berupaya semaksimal mungkin menyiapkan ‘ubo rampe’ yang dipersyaratkan agar tampilannya tidak mengecewakan BPBD pengusung dan tim juri.
Nah disinilah, jika memakai kebiasaan jaman kelompencapir, potensi ‘akal-akalan’ mulai terjadi. Apalagi jika dikaitkan dengan gengsi daerah dan kepentingan tertentu. Maka pejabat setingkat kepala desa sampai ke atas yang semula kurang peduli terhadap Destana, akan berlomba-lomba tampil cari muka dengan segala gayanya agar menjadi sang juara.
Namun penulis yakin, lomba destana bersih dari ‘lelaku culas’ warisan orde baru. Ya, Destana bukan Kelompencapir. Karena ini program penumbuhan kesadaran akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana, khususnya bagi masyarakat yang berdiam di daerah rawan bencana sesuai konsep Living Harmony with disaster.
  Apalagi, sekarang ini jaman KPK sedang rajin menjalankan program OTT di berbagai daerah dengan berbagai kasus yang dinilai merugikan keuangan Negara, tentunya BNPB dan BPBD tidak mau konyol dijadikan pesakitan seperti bupati dan wali kota yang tertangkap basah oleh KPK. Wallahu a’lam bishowab. Salam tangguh, salam kemanusiaan. [eBas]  
                                                 





Minggu, 17 September 2017

NGOBROL DI KAMPUNG TIONGHOA TAMBAK BAYAN

Edibasuki>>
Malam itu sabtu (16/9), suasana di Kampung Tionghoa, Kecamatan Alun-alun Contong, Kota Surabaya cerah. Walau tanpa sinar rembulan, kerlip bintang sudah ikut menyemarakkan gelaran hajatan warga kampung. Ya, malam itu berbagai jajanan dijual beberapa warga dengan harga miring guna meramaikan acara yang digelar oleh mereka yang tergabung dalam Waroeng Jula Juli Bhineka (Jujubi) Surabaya.

Bertempat di halaman kampung yang dikepung bangunan tua khas budaya cina itu, acara ngobrol bareng tentang pentingnya Budaya Lokal dan Perbedaan Agama Sebagai Identitas Bangsa. Konon acara ini didukung oleh banyak pihak yang peduli terhadap kehidupan warga Surabaya yang aman dan damai.

Malam itu para pemerhati masalah sosial budaya Kota Surabaya, beserta warga jalan Tambak Bayang membaur, ngobrol bareng tanpa membedakan suku, agama, ras, dan status sosial. Kopi dan kudapan ala kadarnya turut mengakrabkan suasana, gratis dibagi.

Lewat obrolan itu, mereka bersama mencoba membangun kesepahaman akan pentingnya menanamkan rasa nasionalisme kepada generasi muda. Para tokoh masyarakat itu bergantian meyakinkan bahwa pentingnya hidup rukun dalam keberagaman.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa Indonesia ini dibangun oleh keberagaman budaya, agama, suku, dan latar belakang sosial ekonomi. Semuanya bergandengan tangan mengesampingkan perbedaan, bersama berjuang demi kemerdekaan.

Mereka juga bicara tentang pentingnya menjaga keutuhan NKRI secara bersama-sama dengan mengedepankan budaya lokal yang telah diwariskan oleh para pendahulu republik yang kini tinggal kenangan dan cerita yang sempat didokumentasikan untuk diteladani.

Kampung tionghoa dipilih agar warga Surabaya mengetahui bahwa di daerahnya banyak bangunan tua yang perlu dilestarikan karena banyak menyimpan cerita di dalamnya. Disamping itu juga paham bahwa etnis cina sudah sejak jaman dulu ada di Surabaya dengan membentuk kawasan ‘pecinan’ dibeberapa sudut kota, salah satunya di kawasan tambak bayan, jagalan, peneleh dan plampitan, kental dengan ragam arsitektur cina, seperti bentuk bangunan rumah juga klenteng untuk ritual agama konghucu.

Forum-forum informal untuk ngobrol bareng semacam inilah yang kiranya perlu sering diadakan sebagai media membangun kesepahaman agar antar golongan yang ada di Surabaya ini tidak mudah dibenturkan oleh issue-isue politik transaksional, juga isue agama yang saat ini sedang marak berhembus dan dihembuskan sebagai komoditas yang bisa menggerogoti rasa persatuan dan kesatuan bangsa. [eBas]  

    

Minggu, 10 September 2017

SALING BERBAGI ILMU ANTAR RELAWAN

Beberapa organisasi relawan bersinergi untuk berlatih bersama meningkatkan kapasitasnya di bidang rescue. Kali ini mereka sepakat berlatih Vertical Rescue. Mereka berlatih di Gedung Proyek PPG, Komplek kampus Universitas Negeri Malang, minggu (10/9).

Kali ini yang berkesempatan turut berlatih bersama diantaranya, SARDOG, RPMR, SEHATI, REGU PENOLONG, dan KRI Malang Raya. Mereka mencoba bersinergi satukan hati, berbakti untuk bumi, untuk insan, agar semakin tangguh untuk menerima tugas-tugas kemanusiaan, khususnya penanggulangan bencana.

Kebersamaan berbagai elemen relawan dalam melakukan kegiatan sangat diperlukan untuk memberi kebermanfaatan bagi sesama, baik disaat tanggap bencana maupun pra bencana. Seperti mengadakan bakti sosial, berlatih bersama dan membantu melakukan pencarian orang tenggelam di sungai.

Sungguh, kegiatan kebersaamaan itu dapat memperkuat rasa paseduluran antar relawan. Termasuk bisa menjadi sarana membangun jejaring kemitraan untuk meningkatkan kemampuan di bidang penanggulangan bencana, sesuai konsep saling asah keterampilan, asih kepada sesama, dan saling asuh untuk relawan pemula sebagai upaya regenerasi (kaderisasi alami).


Ya, relawan memang seharusnya mempunyai rasa saling peduli, saling berbagi dan beradaptasi sebagai bekal mengabdi untuk negeri. Semangat itulah yang harus terus digelorakan secara mandiri, merancang pertemuan dan pelatihan secara swadana dan swadaya, seperti kegiatan Arisan Ilmu Nol Rupiah dari SRPB JATIM, tanpa harus menunggu pembinaan dan pelatihan dari pemerintah yang membidanginya. Karena keterbatasan anggaran pemerintah, juga tergantung skala prioritasnya. Dan jika ada komitmen bersama antar elemen relawan, semuanya pasti bisa terlaksana. Salam tangguh, salam kemanusiaan. [eBas]