Senin, 22 Maret 2021

SINERGITAS PENTAHELIX ALA FPRB PAMEKASAN

Dalam lamannya bnpb.go.id, Konon, Jendral Doni Monardo, Kepala BNPB mengatakan bahwa pentahelix dimaknai sebagai kerangka kerja dalam berkegiatan dan berkarya agar lebih maksimal, khususnya dalam konteks penanggulangan bencana di Indonesia.

“Pencegahan dan penanganan bencana alam, tidak bisa dilakukan oleh satu pihak. Dalam hal ini, pentahelix adalah sebuah jawaban. Tinggal disesuaikan jurus pentahelix prabencana, tanggap darurat dan pascabencana. Sebab karakter masalahnya berbeda beda dan juga memperhatikan aspek lokal,“ ucap Doni, dalam sebuah kegiatan di Westin Nusa Dua, Bali, senin (13/1/2021).

Sementara, kawan-kawan yang aktif di forum pengurangan risiko bencana (F-PRB), mengatakan bahwa pentingnya membangun  sinergitas pentahelix yang melibatkan kerja sama dari lima elemen masyarakat, yakni pemerintah, kalangan pengusaha, komunitas, media, dan akademisi.

Masing-masing elemen memberikan sumbangsihnya dalam pemecahan masalah pengurangan risiko bencana secara kolaboratif, koordinatif dan partisipatif, dengan mengesampingkan perbedaan dan menguatkan kebersamaan dalam kerja-kerja kemanusiaan.

Tampaknya, gambaran di atas, mulai dipraktekkan oleh kawan-kawan yang tergabung dalam F-PRB Kabupaten Pamekasan, Jawa timur, yang dipimpin oleh Budi Cahyono. sehingga kegiatannya tertata dan melibatkan semua pihak, sesuai kemampuan dan kesempatan.

Malam itu, sabtu kliwon (20/3/2021), di halaman rumahnya Budi Cahyono, mereka duduk lesehan tanpa sungkan karena perbedaan jabatan,  ikut “mangayu bagyo” hajatan mantu putra pertamanya.

Penulis dan rombongan sempat berkenalan dengan mereka, juga mendengarkan cerita mereka membangun sinergi pentahelix dalam FPRB Kabupaten yang telah “direstui” oleh Bupati Pamekasan. Kegiatannya banyak dan kini kiprahnya semakin dikenal oleh khalayak.

Ada juga cerita tentang keberhasilannya ‘merestorasi’ mobil Toyota Dyna rusak di sebuah puskesmas untuk kendaraan operasionalnya. Bahkan kini sedang ‘mengincar’ mobil Izusu Panther milik Dinas Kesehatan Kabupaten Pamekasan, yang sudah tidak digunakan karena rusak.

Begitu juga dengan elemen media, sangat aktif memberitakan kegiatan penanganan bencana yang dilakukan oleh relawan di Kabupaten Pamekasan. Termasuk kegiatan penanganan pandemi covid-19, diantaranya penyemprotan disinfektan, pemulasaraan korban covid-19, pembagian masker dan lainnya dengan tetap mentaati protokol kesehatan.

Sementara dari elemen swasta, konon ada yang berkenan meminjamkan mobil ambulance untuk kegiataan kemanusiaan. Ada pula yang mendonasikan logistik untuk mendukung pergerakan relawan. sementara elemen lainnya juga berkontribusi dalam membesarkan forum.

Terkait dengan upaya membangun sinergitas pentahelix, menurut Budi Cahyono, yang juga menjadi pengurus forum relawan penanggulangan bencana (FRPB), perlu pemahaman secara benar tentang konsep pentahelix bagi pemangku kebijakan. Hal ini sesuai UU No 24 tahun 2007, bahwa penanggulangan bencana adalah urusan bersama.

“Untuk itu maka sudah waktunya sinergi pentahelix itu di wujudkan dengan nyata, bukan hanya teori. Ingat sinergi itu mudah diucapkan namun sulit dilakukan jika ego individu yang didahulukan,” Ujarnya.

Dari obrolan yang gayeng itu, bisa diambil simpulan bahwa diperlukan hadirnya seorang tokoh yang mengendalikan organisasi nirlaba. Paling tidak, diperlukan pengurus yang kober, banter, pinter, seger, bener mengelola organisasi.

Budi pun telah membuktikan bahwa mengelola organisasi kerelawanan itu harus sabar dengan mengedepankan dialogis partisipatoris dengan semua elemen yang terlibat. Rajin berkomunikasi dan berkoordinasi dengan anggota dan lembaga mitra yang ada.

Budi, yang berkumis lebat dan perokok kuat itu, juga selalu melibatkan semua anggota. Tidak hanya dikerjakan sendiri oleh beberapa pengurus saja. baik dalam penyusunan rencana program dan pelaksanaannya.

Larut malam pun menjelang, tanda semua harus pulang ke peraduan malam. Sambil bersalam-salaman, penulis dan rombongan minta diri kepada sohibul hajat teriring harapan,  Selamat mantu putra pertama. Semoga lancar hingga harinya tiba. Dan semoga yang menikah (Mas Wahyu) menjadi keluarga yang sakinah mawadah wa rohmah. [eBas/SeninPahing-22032021]

 

 

 

 

 

 

  

Kamis, 18 Maret 2021

GERAKAN BERSIH-BERSIH MASJID

Sungguh, merupakan kebanggaan tersendiri bisa ikut kegiatannya Komunitas Gerakan Bersih-bersih Masjid. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari komunitas yang begitu cair dalam berkegiatan. Mereka tidak punya aturan yang mengikat. Semuanya mengalir begitu saja, yang penting program bersih-bersih Masjid berjalan lancar sesuai kesepakaatan antara takmir Masjid dengan komunitas.

Hari minggu pahing (07032021) DI Masjid Al-Muslimin, Dukuh Bulak Banteng, Kecamatan Kenjeran, Surabaya utara, Komunitas Gerakan bersih-bersih Masjid mengadakan kerja bakti. Tanpa menunggu pesertanya lengkap, acara dimulai. Ada yang langsung menggulung karpet untuk kemudian disapu dan di pel, menyikat lantai kamar mandi, pagar dan dinding. Sementara, yang lain membersihkan kipas angin dan pendingin ruangan.

Peralatan yang dibawa pun langsung turut mempermudah pekerjaan. Misalnya, sapu, sikat lantai, cairan pembersih, tangga lipat, lap pel, vacuum cleaner, dan sejenisnya.Tidak lupa mereka juga membawa konsumsi sendiri. Nasi bungkus, gorengan, lengkap dengan minumnya.

Ya, mereka berusaha membantu membersihkan Masjid tanpa merepotkan takmirnya. Sehingga, semua keperluan untuk melaksanakan program kerja bakti ini berusaha dicukupi sendiri. Kalau pun takmir ikut “Suguh, Lungguh lan Gupuh” itu merupakan kehendak takmir sendiri di luar scenario mereka.

Sungguh banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kegiatan bersih-bersih Masjid. Sebuah gerakan yang mengedepankan kebersamaan, keikhlasan, dan komitmen terhadap gerakan untuk mendapat barokah-NYA.

Komunitas yang sangat cair ini juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga kepercayaan, dan keterbukaan dalam rangka mewujudkan sikap gotong royong,  melaksanakan kegiatan yang bermanfaat untuk umat.

Anggota Komunitas Gerakan Bersih-bersih Masjid ini kebanyakan datang dari berbagai organisasi pecinta alam. Karena seringnya bertemu saat berkegiatan di alam bebas itulah, (mungkin) tercetus untuk mengadakan aksi bersama membersihkan Masjid.

Cara kerjanya cukup sederhana, tidak terlalu prosedural. Mereka menghubungi takmir untuk minta ijin membersihkan Masjid. Jika takmir memberikan ‘lampu hijau’, mereka langsung menentukan hari dan mengkomunikasikannya melalui media sosial yang ada, dengan konsep ‘gethok tular’. Maka atas nama kebersamaan dan saling menguatkan, aksi bersih-bersih Masjid siap direalisasikan.

Begitulah cara kerjanya kawan-kawan Komunitas Gerakan Bersih-bersih Masjid, tanpa harus rapat bertele-tele. Semuanya akan melakukan apa yang harus dilakukan sesuai kemampuan. Disitulah banyak pelajaran yang dapat diambil untuk diduplikasikan ke komunitas lain.

Tentunya, saat mengawali membuat gerakan ini juga tidak mudah. Namun, karena semua didasari dengan keikhlasan membantu takmir membersihkan rumah ibadah. Akhirnya dapat berjalan,maju bersama saling menguatkan. Pelan namun pasti. Pesertanya tidak pernah tetap. Selalu silih berganti sesuai kelonggaran waktu anggotanya. Termasuk penulis sendiri yang belum bisa istiqomah mengikuti Gerakan Bersih bersih Masjid. [eBas/JumatWage-19032021]

 

  

 

   

 

Selasa, 02 Maret 2021

RELAWAN ITU YA HARUS TURUN KE LOKASI BENCANA

“Mohon ijin Pakdhe, saya minggu ini absen ikut Arisan ilmu. Waktunya geser ke wilayah Semarang, bantu relawan menangani  bencana banjir di sana. Kalo hanya terus-terusan aktif ikut arisan dan pelatihan saja, Lha kapan bisa langsung giat di lapangan?,” Kata Mas Kaspo, minta ijin tidak ikut kegiatan rutinan.

Ya, Mas Kaspo ini sosok relawan yang berdedikasi tinggi, selalu terjun ke setiap lokasi bencana membantu evakuasi dimana-mana. Dia bisa begini karena semuanya tercukupi. Termasuk dukungan dari keluarga, anak dan istri.

Sepintas, apa yang dikatakan Mas Kaspo ini benar adanya. Jika seseorang berani menahbiskan diri sebagai relawan, maka harus siap berangkat setiap saat jika terjadi bencana dimanapun berada, dengan atau tanpa permintaan.

Sementara tidak semua relawan bisa seperti Mas Kaspo. Banyak hal yang harus dipikirkan sebelum memutuskan untuk berpartisipasi di lokasi bencana, khususnya saat fase tanggap bencana. baik itu yang berhubungan dengan pekerjaan, kondisi rumah tangga, dan tentu saja masalah keuangan yang mendukung aktivitas selama di medan laga.

Kecuali mereka yang menjadikan kerelawanan sebagai pekerjaan dan dibayar. Mereka inilah yang disebut "pekerja kemanusiaan", yang wajib terlibat langsung dalam setiap terjadi bencana. Karena mereka ini dibayar ya untuk menangani bencana. Dalam pergerakannya, mereka selalu menunggu surat perintah agar tidak salah, sehingga sering terlambat datang ke lokasi. Tidak perlu diberi contoh siapa mereka, semua sudah paham.

Mas Kaspo menganggap bahwa bersilaturahmi nambah dulur, nambah ilmu serta wawasan itu bisa langsung didapatkan di lokasi bencana sekaligus mempraktekkan ilmu yang telah di dapat. Seperti ilmu tentang SKPDB, manajemen dapur umum, penanganan penyintas dan sebagainya, yang ternyata banyak yang belum bisa dipraktekkan karena beberapa kendala.

“Insyaallah praktek langsung di lokasi bencana akan banyak hasil nyata yang kita dapatkan, daripada terus kumpul-kumpul berteori, ngrasani sana sini  dan latihan tanpa makna. Lebih baik gerakan senyap tapi pasti dan tanpa di publikasikan,” Tambahnya, sedikit pongah.

BNPB mendefinisikan relawan dalam lingkup Penanggulangan Bencana adalah, seorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana. Kata kuncinya adalah kemampuan, kepedulian, sukarela dan ikhlas.

Masalah kepedulian, sukarela dan keikhlasan itu tentu semua paham. Atas  nama keikhlasanlah, muncul guyonan Relawan itu berhasil tidak dipuji, gagal dimaki, dan sakit salah sendiri. Sedangkan kemampuan disini harus dipahami dengan baik. Kemampuan bisa berarti kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan kebencanaan.

Namun masalah kemampuan kesehatan pribadi dan keuangan sebagai pendukung kegiatan, juga harus diperhatikan oleh relawan yang benar-benar relawan. Bukan relawan sebagai "pekerja kemanusiaan" yang dibayar untuk aktif di fase pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana.

“Saya salut sama rekan-rekan  yang super hebat. Selalu tampil di lokasi bencana mendharma bhaktikan tenaga dan waktunya menolong sesama. Saya sendiri jarang turun di fase tanggap darurat, Selama ini lebih banyak bergerak pada fase pra bencana, mengedukasi masyarakat tentang pengurangan risiko bencana,” Kata Mas Dalbo, sambil menunduk malu kepada Mas Kaspo.

Mukidi yang duduk dekat Paitun menimpali, bahwa dalam kebencanaan itu dikenal tiga fase, yaitu pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. Sampai saat ini relawan banyak yang bergerak di saat tanggap darurat, karena memang fase itulah yang sangat sexy.  Diliput media dan menjadi perhatian khalayak ramai.

Disana banyak para superhero yang beraksi melakukan evakuasi, distribusi logistik dan makanan siap saji, serta kegiatan heroik lainnya, sambil up date status di media sosial dengan berbagai gaya selfi, mengabadikan moment untuk dokumentasi pribadi.  

“Di fase tanggap darurat ini banyak mata yang melihat. Sementara fase lainnya masih dipandang sebelah mata. Padahal, semua fase sangat perlu sentuhan para superhero,” Kata Mukidi berlagak kayak nara sumber pendamping destana.

Sambil nyruput kopi, Mukidi bilang bahwa dirinya sudah tua, kalau banyak hadir di fase tanggap darurat, takut kumat encoknya, seperti Pak Raden, pamannya si Unyil. Untuk itu, kini lebih sering melibatkan diri dalam giat edukasi pengurangan risiko bencana, sosialisasi SPAB dan pelatihan untuk peningkatan kapasitas relawan.

Di dalam Perka BNPB nomor 17,  tahun 2011, dijelaskan tentang peran relawan dimasing-masing fase. Jadi, tidak ada kewajiban bagi relawan untuk bermain di ketiga fase. Tidak ada keharusan relawan turun ke lokasi bencana. Semua yang dilakukan harus sesuai dengan ‘kemampuan’, termasuk kemampuan keuangan dan kesehatan.

Ini penting agar kehadirannya di lokasi tidak menjadi beban relawan lainnya. dengan demikian, seperti halnya Mukidi yang merasa encoknya sering bermasalah, sebaiknya aktif di fase pra bencana saja.

Apalagi sekarang BPBD Provinsi Jawa timur telah memiliki MOSIPENA dan program SPAB. Maka, relawan yang usianya sepantaran Mukidi bisa turut aktif  disitu, melakukan edukasi dan sosialisasi pengurangan risiko bencana kepada masyarakat. Termasuk berbagi ilmu dan pengalaman lewat acara rutinan Arisan Ilmu Nol Rupiah yang digelar di Joglo Kadiren, Gedangan, Sidoarjo, oleh SRPB Jawa Timur. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/RabuPon-03022021]