Rabu, 12 Oktober 2016

KOMUNITAS RELAWAN INDONESIA BERSAHABAT BERBAGI BERADAPTASI



Silaturrahmi itu pada dasarnya adalah upaya saling berinteraksi menjalin hubungan kasih sayang dalam kebaikan bukan dalam dosa dan kema'siatan. Silaturahim merupakan salah satu kewajiban bagi setiap pribadi Muslim. Dalam Alquran, Allah menegaskan, “Dan bertakwalah kepada Allah yang kalian saling meminta dengan nama-Nya dan sambunglah tali silaturahim.’ (QS. An-Nisa [4]:1).

Keuntungan bersilaturahmi diantaranya, pertama, dengan silaturahim, kita bisa saling mengenal antara yang satu dan yang lainnya (QS Al-Hujurat [49]: 13). Dengan silaturahim, kasih sayang dan kerja sama yang positif bisa diwujudkan. Kedua, persatuan dan kesatuan akan dapat dibangun melalui dialog partisipatori.

Ketiga, dengan silaturahim, berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat akan mudah diatasi. Baik masalah ekonomi, pendidikan, kebudayaan, maupun lainnya. Keempat, silaturahim juga akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan horizontal yang terjadi di masyarakat dengan damai melalui musyawarah.

Kelima, dengan silaturahim, berbagai gagasan yang kreatif inovatif, bisa diwujudkan bersama menjadi sebuah program dalam rangka saling berbagi saling peduli. Keenam, dengan silaturahim, akan banyak ilmu pengetahuan dan wawasan yang saling melengkapi.

Ya, silaturahmi itu bisa berlangsung dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja tanpa melihat banyak sedikitnya personil yang terlibat. Dengan semangat bersahabat, berbagi dan beradaptasi, anggota komunitas relawan Indonesia (K.R.I) selalu melakukannya untuk mengakrabkan diri sebagai seorang kerabat yang akrab bersahabat dalam dunia kerelawanan.

Dengan ditemani kopi, kadang juga ada gorengannya, masing-masing punya hak untuk berbagi informasi tentang apa saja. Bukan hanya masalah relawan penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana. Karena, dalam bersemuka itu tidak menutup kemungkinan pembicaraan melebar kemana-mana, ke ranah sosial, politik dan budaya, atau yang lainnya yang aktual, yang penting tidak berbicara hal-hal yang mengandung sara. Mereka juga tidak haram berbicara tentang bagaimana mencari peluang usaha ekonomi produktif untuk menunjang kegiatan maupun sebagai ladang cari nafkah tambahan untuk kesejahteraan anggota dan keluarga.

Acara silaturahmi pun oleh kawan-kawan K.R.I dijadikan sebagai ajang pengimbasan informasi bagi anggota yang berkesempatan mengikuti kegiatan yang diadakan oleh lembaga mitra, seperti seminar, workshop maupun diklat, serta pengalaman terjun dalam kegiatan kebencanaan. Semua ini dilakukan untuk mengembangkan wawasan.

Dengan demikian, masing-masing anggota akan mengetahui informasi terbaru tentang apa saja yang terkait dengan kebencanaan dan kerelawanan, sekaligus media membangun soliditas sebagai sebuah tim yang siap melakukan kerja kelompok.       

Memang, belum semua anggota K.R.I pernah terlibat dalam operasi kemanusiaan. Belum secara rutin turun ke daerah yang dilanda bencana, karena banyak faktor yang menghambat. Termasuk dana operasional selama di lapangan. Namun sumbangan pemikiran dari anggota K.R.I selalu disuarakan dan banyak yang diterima saat ada kegiatan bersama semacam seminar atau pun lokakarya.

Gagasan yang selalu disuarakan adalah perlunya BPBD memfasilitasi ruangan yang ada di kantornya untuk dijadikan sebagai sekretariat bersama relawan kebencanaan. Kepada BPBD pula, sesuai dengan perka nomor 17 tahun 2011 tentang relawan, hendaknya salah satu bidang yang ada di BPBD melakukan pendataan kepada organisasi relawan untuk kemudian dibina, dan  ditingkatkan kapasitasnya dalam rangka mendukung program-program BPBD dalam hal pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana. Sehingga jika ada bencana, BPBD tidak kesulitan memobilisasi relawan, khususnya relawan lokal yang ada di daerah bencana. Baru jika relawan lokal ‘kewalahan’ maka BPBD Provinsi bisa menggerakkan relawan yang lain.

Ajang silaturahmi ini pun juga digunakan untuk merancang sebuah kegiatan saling sinau diantara anggota K.R.I maupun dengan siapa saja yang mau dan ada waktu, dalam rangka memperluas jaring kemitraan. Sinau apa saja, baik praktek lapangan dalam rangka mengasah ketrampilan, meningkatkan kapasitas dan kesamaptaan, juga belajar bersama tentang materi diklat atau hasil seminar yang baru diterima untuk pengayaan informasi. Begitulah cara kawan-kawan K.R.I memanfaatkan silaturahmi untuk saling sinau, saling berbagi dalam rangka memupuk rasa peduli terhadap sesama anggota. Salam Kemanusiaan.[eBas]


Sabtu, 01 Oktober 2016

MITIGASI BENCANA DAN PERUBAHAN IKLIM

Dalam sebuah acara sosialisasi pengurangan resiko bencana dan perubahan iklim, nara sumbernya mengatakan bahwa, salah satu upaya mencegah dampak buruk bencana dan perubahan iklim adalah dengan melakukan mitigasi non struktural, karena biayanya relatif murah dan melibatkan banyak orang. Contoh kegiatannya antara lain, kerja bakti mengangkat sampah yang menutupi aliran sungai, pengerukan sungai dan menjaga luasan wilayah sungai dan bantaran sungai agar tidak disalah gunakan. Sebuah kegiatan murah dan mudah dikerjakan oleh warga kampung. 

Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Masih menurut nara sumber, mitigasi merupakan tahap awal penanggulangan bencana alam untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana.

Mitigasi adalah kegiatan yang dikerjakan sebelum bencana terjadi. Contoh kegiatannya antara lain membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di  wilayah rawan gempa. Tujuannya adalah, (1) Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi penduduk, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan sumber daya alam, (2) Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan. (3) Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi dampak bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman dan tenang.

Secara Umum pengertian mitigasi adalah usaha mengurangi/ meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul akibat bencana, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, diantaranya melakukan sosialisasi dan penyuluhan serta lainnya seperti yang tersurat dalam perka nomor 17 tahun 2011, yaitu kegiatan pra bencana yang bisa dilakukan oleh relawan penanggulangan bencana.

Sayangnya, perhatian pemerintah daerah (dalam hal ini BPBD) masih lemah terkait dengan koordinasi dan mobilisasi relawan untuk diajak serta melakukan mitigasi. Begitu juga saat relawan melaporkan adanya daerah yang potensi bencananya besar saat melakukan mitigasi, misalnya ada tanggul yang rusak/retak, lereng bukit yang gundul, sungai yang menyempit, sering kali kurang mendapat respon (mungkin karena panjangnya birokrasi dan anggaran), sehingga berpengaruh kepada semangat relawan. Sehingga sering kali, hasil mitigasi itu tidak ditindak lanjuti. Baru tergopoh-gopoh saat bencana datang.

Sungguh, saat ini banyak tumbuh komunitas relawan peduli bencana dengan berbagai ragam bendera, seragam, visi, misi dan kepentingannya. Mereka inilah yang seharusnya didata dan dibina oleh BPBD untuk kemudian diajak bersama-sama melakukan kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi ke daerah rawan bencana guna membangun masyarakat tangguh bencana, yaitu kemampuan untuk mengenali ancaman bencana di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana di daerahnya. Hal ini seperti yang digagas dalam Kerangka Aksi Hyogo, diantaranya, meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respon yang efektif, dan untuk “membangun kembali dengan lebih baik” dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Salam kemanusiaan. *[eBas]