Setiap musim hujan turun, dapat
dipastikan banjir akan selalu muncul, dengan atau tanpa menimbulkan kerugian
yang menimpa masyarakat terdampak. Termasuk daerah yang dulu tidak pernah
kebanjiran pun kini juga merasakan susahnya jika rumah tergenang setinggi
pinggul orang dewasa.
Namun, tampaknya, dari tahun ke
tahun, masyarakat di daerah rawan banjir sudah semakin akrab dengan sapaan
banjir yang menggenangi pemukiman mereka untuk beberapa hari. Terbukti, mereka
enggan mengungsi saat banjir menyapa. Mereka tetap bertahan dengan segala
keterbatasannya. Karena warga yakin, pasti akan ada yang menolong.
Apalagi, kini semakin banyak
pihak yang peduli terhadap bencana, termasuk banjir. Mulai dari BPBD, PMI,
PRAMUKA, Dinsos dengan TAGANA, dan Relawan lain yang bernaung dibawah yayasan
dan organisasi kemanusiaan. Para relawan ini setia berbasah-basah mengirim
logistik dan memantau perkembangan situasi dan kondisi serta cekatan memberikan
bantuan setiap saat.
Mereka ini selalu tanggap saat
banjir menggenangi pemukiman warga langganannya. Mereka cepat datang dengan
membawa segala perlengkapan untuk menolong warga terdampak. Nasi bungkus, tenda
pengungsi, perahu karet bahkan obat-obatan untuk pertolongan pertama.
Mereka juga melakukan penilaian
situasi kondisi secara cepat untuk diambil tindakan darurat dan dilaporkan
kepada yang berwenang, dalam hal ini BPBD, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial,
aparat keamanan, dan pihak terkait lainnya. Tak lupa mereka juga memobilisasi
bantuan dari masyarakat dan dunia usaha yang masih memiliki rasa peduli
kemanusiaan.
Dengan kehadiran mereka, warga
terdampak akan merasa tenang karena ada yang memperhatikan, ada yang ngopeni
membantu menyediakan kebutuhan konsumsi, membagi selimut, makanan bayi, makanan
manula dan ibu hamil serta membantu evakuasi dan menyiapkan tempat pengungsian
Namun kehadiran Relawan itu
juga dimanfaatkan oleh mereka yang nakal. Ya, selalu saja muncul oknum warga
yang nakal, memanfaatkan kepedulian relawan. Misalnya, sudah mendapat jatah
nasi bungkus, tapi ketika ditanya wartawan bilang belum mendapat bagian.
Bahkan ada pengungsi yang
pilih-pilih bantuan dan sengaja tidak mau mengungsi agar terlihat menderita
sehingga menarik perhatian media massa untuk meliput dan menimbulkan empati
dari berbagai pihak, termasuk para politisi, kaum elite dan artis selebritis
untuk sekedar menengok deritanya sambil membawa bingkisan ala kadarnya yang
menjadi rebutan.
Dalam berbagai diskusi
kebencanaan bersama relawan, masalah-masalah yang timbul pada masa tanggap
bencana dan pasca bencana dapat digambarkan sebagai berikut ; (1) Pemenuhan
kebutuhan fisik yang kurang memadai akibat rusaknya tempat tinggal, lingkungan
permukiman dan mata pencaharian, (2) Perasaan khawatir atau trauma yang
berkepanjangan karena suatu saat bencana datang lagi, (3) Merasa tidak tahu dan
tidak berdaya memulai dari mana untuk membenahi kembali kehidupan mereka, (4)
Kecewa kepada Pemerintah yang tidak optimal membantu untuk membangun kembali
tempat tinggal dan lingkungan permukiman mereka.
Inikah yang dinamakan
balada siklus banjir dan pengungsi musiman?. Sementara bencananya sendiri (banjir)
belum ditangani secara lintas sektoral hingga tuntas. Seperti normalisasi
bantaran sungai untuk memperbanyak daerah resapan, pengerukan sedimentasi,
relokasi penduduk yang nekat hidup di jalur hijau yang nota bene milik Negara,
pembangunan rumah pompa, perbaikan pintu air, gorong-gorong dan lainnya. Padahal
konon banyak dana yang disediakan untuk bencana ada diberbagai kementerian
terkait.
Tentu, masalah ini perlu dirubah dengan
mengagendakan program sosialisasi dan mitigasi kepada masyarakat terdampak. Ini
penting agar keterlibatan masyarakat untuk aktif mengurangi risiko bencana
meningkat kesadarannya, sehingga secara mandiri bisa melakukan antisipasi dan
melakukan penanggulangan bencana sendiri sebelum bantuan pihak luar
datang.Termasuk pelibatan masyarakat dalam mengelola dan menjaga alat
peringatan dini (EWS) juga harus mendapat perhatiaan, sehingga masyarakat
setempat meresa melu handarbeni EWS yang harganya cukup mahal.
Berbagai
upaya dilakukan untuk mengatasi masalah yang terjadi selama banjir, antara lain
dengan memperbaiki tanggul, pendirian posko bantuan di titik-titik yang terkena
banjir, mobilisasi ibu-ibu untuk mengelola dapur umum, relokasi pengungsi ke
rumah susun, hingga pengumuman status darurat banjir.
Tidak kalah pentingnya adalah
memberikan penyuluhan mengenai bahaya dan kerugian yang ditimbulkan oleh
bencana serta upaya meminimalisir kerugian yang mungkin timbul, Memberikan
latihan dan simulasi bagi masyarakat dalam menghadapi kejadian bencana, Menetapkan lokasi evakuasi.
Begitu juga pelatihan dan diskusi-diskusi
rutin untuk membahas kondisi lingkungan harus dilakukan secara berkala dan
terus menerus, baik yang dilakukan oleh BPBD maupun oleh organisasi kemanusiaan
lainnya, bahkan dilakukan secara keroyokan.
Dalam sebuah dialog tentang
pengurangan risiko bencana, dikatakan bahwa upaya membangun dan meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi banjir rutin, antara lain : Pendataan Daerah Rawan Bencana,
Pendataan masyarakat yang bermukim di daerah rawan bencana.
Data yang di dapat itu akan
dijadikan acuan untuk penyediaan kebutuhan sarana dan
prasarana penanggulangan bencana (bahan makanan, bahan sandang, tempat
pengungsian, penyediaan dapur umum, sarana pelayanan kesehatan dan sarana
penunjang lainnya).
Banjir pun berangsur surut,
untuk kemudian berganti dengan kehidupan normal musim kemarau dengan segala
dampaknya. Masyarakat di daerah rawan banjir pun memulai kehidupannya dengan
melupakan genangan banjir, sibuk berbenah, sibuk merajut kehidupan yang kemarin
kebanjiran.
Sayang mereka kurang mau belajar bagaimana
upaya agar nanti bila musim penghujan datang tidak kebanjiran lagi dan tidak
menjadi pengungsi musiman. Semua ini terjadi karena keterbatasan yang
disandangnya. Pemerintahlah yang harus cakap mengurangi bahaya banjir rutin
yang selalu datang di musim penghujan. Salam kemanusiaan. [eBas]
.