Rabu, 24 Februari 2016

BENCANA BANJIR DAN PENGUNGSI MUSIMAN

Setiap musim hujan turun, dapat dipastikan banjir akan selalu muncul, dengan atau tanpa menimbulkan kerugian yang menimpa masyarakat terdampak. Termasuk daerah yang dulu tidak pernah kebanjiran pun kini juga merasakan susahnya jika rumah tergenang setinggi pinggul orang dewasa.

Namun, tampaknya, dari tahun ke tahun, masyarakat di daerah rawan banjir sudah semakin akrab dengan sapaan banjir yang menggenangi pemukiman mereka untuk beberapa hari. Terbukti, mereka enggan mengungsi saat banjir menyapa. Mereka tetap bertahan dengan segala keterbatasannya. Karena warga yakin, pasti akan ada yang menolong.

Apalagi, kini semakin banyak pihak yang peduli terhadap bencana, termasuk banjir. Mulai dari BPBD, PMI, PRAMUKA, Dinsos dengan TAGANA, dan Relawan lain yang bernaung dibawah yayasan dan organisasi kemanusiaan. Para relawan ini setia berbasah-basah mengirim logistik dan memantau perkembangan situasi dan kondisi serta cekatan memberikan bantuan setiap saat.

Mereka ini selalu tanggap saat banjir menggenangi pemukiman warga langganannya. Mereka cepat datang dengan membawa segala perlengkapan untuk menolong warga terdampak. Nasi bungkus, tenda pengungsi, perahu karet bahkan obat-obatan untuk pertolongan pertama.

Mereka juga melakukan penilaian situasi kondisi secara cepat untuk diambil tindakan darurat dan dilaporkan kepada yang berwenang, dalam hal ini BPBD, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, aparat keamanan, dan pihak terkait lainnya. Tak lupa mereka juga memobilisasi bantuan dari masyarakat dan dunia usaha yang masih memiliki rasa peduli kemanusiaan.

Dengan kehadiran mereka, warga terdampak akan merasa tenang karena ada yang memperhatikan, ada yang ngopeni membantu menyediakan kebutuhan konsumsi, membagi selimut, makanan bayi, makanan manula dan ibu hamil serta membantu evakuasi dan menyiapkan tempat pengungsian

Namun kehadiran Relawan itu juga dimanfaatkan oleh mereka yang nakal. Ya, selalu saja muncul oknum warga yang nakal, memanfaatkan kepedulian relawan. Misalnya, sudah mendapat jatah nasi bungkus, tapi ketika ditanya wartawan bilang belum mendapat bagian.

Bahkan ada pengungsi yang pilih-pilih bantuan dan sengaja tidak mau mengungsi agar terlihat menderita sehingga menarik perhatian media massa untuk meliput dan menimbulkan empati dari berbagai pihak, termasuk para politisi, kaum elite dan artis selebritis untuk sekedar menengok deritanya sambil membawa bingkisan ala kadarnya yang menjadi rebutan.

Dalam berbagai diskusi kebencanaan bersama relawan, masalah-masalah yang timbul pada masa tanggap bencana dan pasca bencana dapat digambarkan sebagai berikut ; (1) Pemenuhan kebutuhan fisik yang kurang memadai akibat rusaknya tempat tinggal, lingkungan permukiman dan mata pencaharian, (2) Perasaan khawatir atau trauma yang berkepanjangan karena suatu saat bencana datang lagi, (3) Merasa tidak tahu dan tidak berdaya memulai dari mana untuk membenahi kembali kehidupan mereka, (4) Kecewa kepada Pemerintah yang tidak optimal membantu untuk membangun kembali tempat tinggal dan lingkungan permukiman mereka.

 Inikah yang dinamakan balada siklus banjir dan pengungsi musiman?. Sementara bencananya sendiri (banjir) belum ditangani secara lintas sektoral hingga tuntas. Seperti normalisasi bantaran sungai untuk memperbanyak daerah resapan, pengerukan sedimentasi, relokasi penduduk yang nekat hidup di jalur hijau yang nota bene milik Negara, pembangunan rumah pompa, perbaikan pintu air, gorong-gorong dan lainnya. Padahal konon banyak dana yang disediakan untuk bencana ada diberbagai kementerian terkait.
 
Tentu, masalah ini perlu dirubah dengan mengagendakan program sosialisasi dan mitigasi kepada masyarakat terdampak. Ini penting agar keterlibatan masyarakat untuk aktif mengurangi risiko bencana meningkat kesadarannya, sehingga secara mandiri bisa melakukan antisipasi dan melakukan penanggulangan bencana sendiri sebelum bantuan pihak luar datang.Termasuk pelibatan masyarakat dalam mengelola dan menjaga alat peringatan dini (EWS) juga harus mendapat perhatiaan, sehingga masyarakat setempat meresa melu handarbeni EWS yang harganya cukup mahal.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah yang terjadi selama banjir, antara lain dengan memperbaiki tanggul, pendirian posko bantuan di titik-titik yang terkena banjir, mobilisasi ibu-ibu untuk mengelola dapur umum, relokasi pengungsi ke rumah susun, hingga pengumuman status darurat banjir.

Tidak kalah pentingnya adalah memberikan penyuluhan mengenai bahaya dan kerugian yang ditimbulkan oleh bencana serta upaya meminimalisir kerugian yang mungkin timbul, Memberikan latihan dan simulasi bagi masyarakat dalam menghadapi kejadian bencana, Menetapkan lokasi evakuasi.

Begitu juga pelatihan dan diskusi-diskusi rutin untuk membahas kondisi lingkungan harus dilakukan secara berkala dan terus menerus, baik yang dilakukan oleh BPBD maupun oleh organisasi kemanusiaan lainnya, bahkan dilakukan secara keroyokan.  

Dalam sebuah dialog tentang pengurangan risiko bencana, dikatakan bahwa upaya membangun dan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi banjir rutin, antara lain : Pendataan Daerah Rawan Bencana, Pendataan masyarakat yang bermukim di daerah rawan bencana.

Data yang di dapat itu akan dijadikan acuan untuk  penyediaan kebutuhan sarana dan prasarana penanggulangan bencana (bahan makanan, bahan sandang, tempat pengungsian, penyediaan dapur umum, sarana pelayanan kesehatan dan sarana penunjang lainnya).

Banjir pun berangsur surut, untuk kemudian berganti dengan kehidupan normal musim kemarau dengan segala dampaknya. Masyarakat di daerah rawan banjir pun memulai kehidupannya dengan melupakan genangan banjir, sibuk berbenah, sibuk merajut kehidupan yang kemarin kebanjiran.

 Sayang mereka kurang mau belajar bagaimana upaya agar nanti bila musim penghujan datang tidak kebanjiran lagi dan tidak menjadi pengungsi musiman. Semua ini terjadi karena keterbatasan yang disandangnya. Pemerintahlah yang harus cakap mengurangi bahaya banjir rutin yang selalu datang di musim penghujan. Salam kemanusiaan. [eBas]

.




Sabtu, 20 Februari 2016

FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA JAWA TIMUR

Mbah Darmo dari Perkumpulan Jangkar Kelud, bilang bahwa jika di Bojonegoro banyak forum pertemuan yang tersedia, tapi tidak ada topik yang menarik sehingga membosankan. Sementara di kepengurusan Forum Pengurangan Risiko Bencana Jawa Timur ( selanjutnya disingkat F-PRB Jatim), banyak topik yang ingin dibahas namun forum pertemuan sangat terbatas, tidak ada wadah untuk membahasnya.

Kemudian, DR. Eko Teguh Paripurno, biasa dipanggil Kang ET, bilang bahwa kita perlu “Wadah Grenengan” sebagai tempat bertemunya semua elemen pegiat kebencanaan, yang digelar secara berkala agar keberadaan forum semakin tampak dan menjadi rujukan berbagai pihak, terkait dengan program penguraangan risiko bencana dan upaya penanggulangan bencana.

Pernyataan dari dua tokoh PRB ini kiranya perlu ditindak lanjuti dalam rangka membangun komunikasi dan koordinasi diantara relawan kebencanaan, sehingga masing-masing elemen bisa berkontribusi sesuai kebisaannya.

Kegiatan yang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat ini bertajuk “Roadshow F-PRB Jatim wilayah Surabaya, Sidoarjo, Bojonegoro dan Mojokerto” di Kantor BPBD Jawa timur, sabtu (20/2), dalam rangka mendorong para pegiat kebencanaan untuk membentuk Forum PRB di masing-masing Kabupaten/Kota, baik mandiri maupun berkolaborasi dengan instansi pemerintah dan dunia usaha.

Ya, forum ini bukanlah tandingan, apalagi tunggangan BPBD. Keberadaannya lebih sebagai ‘Think Tank’ yang menyumbangkan pikiran dan gagasan untuk memajukan program penanggulangan bencana yang menjadi tupoksi BPBD. Forum bersinergi dengan BPBD melakukan edukasi dan advokasi kepada masyarakat luas, khususnya yang berdomisili di kawasan rawan bencana, agar paham akan potensi bencana di daerahnya.

Melalui “Wadah Grenengan” gagasan Kang ET, diharapkan muncul gagasan cerdas yang bisa menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait untuk menyusun kebijakan penanggulangan bencana berbasis lingkungan dan kebutuhan masyarakat setempat sesuai potensi bencana yang muncul. Bukan berbasis proyek semata. Termasuk, mendorong lahirnya kebijakan koordinasi antar relawan, Forum PRB dan BPBD, sehingga masalah penanggulangan bencana di daerah bisa segera diatasi bersama tanpa harus saling menunggu. Contoh kasus banjir di Mojokerto beberapa minggu yang lalu, seperti yang dikeluhkan oleh Cak Anam dari LPBI-NU Mojokerto.

Forum pun bisa menjadi katalisator antara relawan dengan BPBD dalam rangka peningkatan kapasitas relawan melalui pelatihan dan pembinaan berkala, terkait dengan manajemen kebencanaan, yang ternyata tidak sesederhana anggapan masyarakat awam. Banyak yang belum tahu, apalagi menguasai, termasuk orang BPBD sendiri, karena berbagai hal.

Dengan terjalinnya komunikasi yang baik, tentulah akan memudahkan mobilisasi potensi masyarakat terlatih untuk melakukan operasi kemanusiaan manakala bencana menebar petaka.

Dialog yang dipimpin langsung oleh sekjen Forum PRB, berlangsung gayeng, masing-masing peserta menceritakan pengalamannya sekaligus memberikan saran dan harapan agar keberadaan Forum PRB terasakan hadirnya, seperti jargon yang diusung BNPB dalam peringatan bulan PRB tahun 2015, “SELALU HADIR DITENGAH-TENGAH MASYARAKAT”.

Eko, dari dinas kominfo berharap, forum bisa membuat wabblog sebagai media komunikasi tebar informasi melalui ‘dunia maya’ kepada khalayak ramai, terkait dengan masalah kebencanaan dan adaptasi perubahan iklim, serta mencoba menterjemahkan amanat Sendai Framework For Disaster Risk Reduction 2015-2030 ke dalam bahasa masyarakat untuk membangun kebersamaan dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana secara mandiri sehingga jumlah korban bencana bisa dikurangi.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana caranya agar relawan, akademisi, praktisi, dunia usaha dan para pegiat kemanusiaan itu bisa bersinergi dalam sebuah Forum PRB, baik di tingkat Kabupaten/kota maupun Provinsi untuk menumbuhkan kemandirian dalam hal pengurangan risiko bencana, penanggulangan bencana dan adaptasi perubahan iklim.

Selanjutnya, peran apa yang sudah dan akan dimainkan oleh BPBD dalam rangka ‘membesarkan’ Forum PRB yang katanya sampai sekarang masih kesulitan mengumpulkan pengurusnya untuk tampil ‘full team’ dalam sebuah pertemuan seperti ini, dikarenakan kesibukan masing-masing yang menumpuk. Moderator tidak menyimpulkan, semua diserahkan kepada peserta untuk menindak lanjutinya. Yang jelas, untuk membentuk Forum, perlu ada yang memfasilitasinya. Siapa?. [eBas]



Selasa, 02 Februari 2016

PROGRAM IABI DI DAERAH


Konon, kepengurusan ikatan ahli kebencanaan Indonesia (IABI) wilayah jawa timur telah dibentuk beberapa bulan yang lalu. Bahkan sudah dikukuhkan langsung oleh ketua umumnya, Profesor Sudibyakto, dosen senior dari Universitas Gajah Mada (UGM). Waktu itu, pengukuhannya dibarengkan dengan peresmian berdirinya relawan kampus di Halaman Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.

Lahirnya IABI sebagai wujud untuk mendukung konsep Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia, hal ini tidak terlepas karena Indonesia yang merupakan negara kepulauan mempunyai keunikan tersendiri. Salah satu Keunikannya antara lain sebagai wilayah yang sangat rawan terhadap berbagai ancaman (hazards) baik bahaya alami (natural hazard) maupun buatan (man-made/ anthropogenic hazard)

Syamsul Maarif, salah seorang penggagas IABI, mengatakan bahwa “working group yang terbentuk melalui IABI ini telah mencerminkan keinginan bersama bahwa persoalan kebencanaan adalah urusan bersama, termasuk didalamnya adalah para ahli bencana yang dituntut untuk mempunyai cara pandang dan berfikir secara holistik dan seistemik. Visi IABI juga harus dapat membangun dan mengembangkan sebuah budaya keselamatan dan ketangguhan menghadapi bencana”. (BNPB, 2014)

Dengan kata lain, IABI merupakan wadah koordinasi dan berbagi antar ilmuwan dalam upaya membantu pemerintah (BNPB)  mengurangi risiko bencana, sekaligus membangun kesadaran bersama untuk berdialog antar pihak terkait. Selain itu, kegiatan ini juga dapat menyinergikan kegiatan sektoral sehingga dapat dijadikan ajang pembelajaran bersama bagi IABI seluruh Indonesia. Seperti diketahui dalam penangganan bencana, diperlukan pemikiran dan teknologi yang tepat, sehingga penangganan dan mencegah bencana tersebut dapat  dilakukan dengan tepat dan cepat serta kerugian dapat ditekan seminal mungkin.

Dosen yang berminat menjadi anggota IABI cukup banyak, tentu dengan motivasi yang beragam dan mempribadi sifatnya. Misalnya, memperluas jejaring kemitraan diantara sesama dosen dari berbagai perguruan tinggi, mencari akses agar mudah mendapatkan dana hibah penelitian, dan semacamnya.

Dosen dengan berbagai disiplin ilmu, tidak diharamkan untuk bergabung. Yang penting mau dan mampu. Mengingat, dalam upaya penanggulangan bencana sangat diperlukan pendekatan keilmuan yang beragam, sehingga bisa saling mendukung dan memperkuat. Yang penting ada keterpanggilan jiwa yang kuat terhadap kerja kerja kemanusiaan yang jauh dari profit, mengedepankan kebersamaan dan gotong royong dalam upaya penyelamatan korban dan pengurangan risiko bencana. 

Sesuai karakteristik anggota IABI, maka kegiatan yang dilakukan lebih banyak dalam ranah keilmuan (meningkatlan intelektualitas civitas akademika), seperti penelitian, pengkajian, pengembangan, diskusi, seminar, dan workshop yang berhubungan masalah kebencanaan.

Memanfaatkan ilmunya untuk merancang teknologi tepat guna untuk penyelamatan korban, pembuatan peringatan dini (early warning system) untuk bencana banjir, longsor, bahkan tsunami. Mengembangkan manajemen kebencanaan yang semakin efektif dan efisien, dan lainnya. Sekali lagi, semuanya ini dalam rangka membantu BNPB dalam mengurangi dampak bencana.

BNPB pun konon, telah mengalokasikan dana penelitian miliaran rupiah untuk para dosen sebagai upaya menemu kenali permasalahan yang terkait dengan pra bencana, tanggap bencana, pasca bencana dan rehab rekon.

Namun, konon hasil penelitian yang dilakukan dosen, baik yang tergabung dalam IABI maupun yang belum mau bergabung. Namun sesungguhnyalah hasil karya para dosen itu masih belum banyak yang layak terap, masih perlu ‘dipertajam’ lagi sehingga bisa di duplikasikan di berbagai daerah. Masih sebatas kajian ilmiah yang sangat seksi dengan berbagai teori untuk diperdebatkan dalam seminar ilmiah di Kampus atau diselenggarakan di Hotel berbintang, yang diikuti oleh orang-orang yang tidak sembarangan.

Konon, hasil kajian dan penelitian yang dilakukan oleh dosen-dosen penerima dana hibah itu  diharapkan bisa menjadi bahan penyusunan kebijakan  maupun untuk melakukan mitigasi serta pembinaan kepada relawan dan masyarakat terdampak sebagai upaya pengurangan risiko bencana.

Disamping itu, menurut informasi, secara berkelompok membuat kegiatan nyata yang bersentuhan dengan masalah tupoksi BNPB maupun BPBD, semisal terlibat dalam pelatihan penanggulangan bencana, sebagai fasilitator maupun nara sumber teknis. Termasuk secara berkelompok membuat yayasan yang bergerak dibidang kebencanaan.


Sungguh, karya dari IABI sangat ditunggu oleh para relawan penanggulangan bencana, dalam rangka menambah wawasan, info baru, meningkatkan kompetensi dan keterampilan relawan, seperti rencana pengklasteran relawan, yaitu klaster kesehatan, pencarian dan penyelamatan, logistic, pengungsian dan perlindungan, pendidikan, ekonomi, sarpras, dan pemulihan dini (rehab rekon). Ini penting karena, konon, relawan harus disertifikasi oleh lembaga sertifikasi profesi penanggulangan bencana untuk bekal menghadapi MEA. [eBas]