Senin, 21 Desember 2020

BP-PAUD DIKMAS JATIM SEBAGAI TEMPAT STUDI TIRU

Ternyata, setelah BP-PAUD DIKMAS berhasil menggondol predikat wilayah bebas dari korupsi (WBK), banyak tamu dari berbagai lembaga sejenis, termasuk lembaga mitra berdatangan untuk melakukan studi tiru (biasa juga disebut studi banding). Konon, mereka pingin belajar bagaimana caranya bisa mendapat predikat WBK.

Sayangnya piagam penghargaan yang diterima dari Kemenpan RB, tertanggal 12 desember 2017 ada kekeliruan sedikit dengan penulisan nama lembaga. Disana tertulis Pusat Pengembangan PAUD dan PM Jatim, padahal yang benar adalah BP PAUD dan DIKMAS Provinsi Jawa Timur.

Mungkin juga para tamu itu kepingin belajar tentang transparansi anggaran yang bebas korupsi, cara mudah mempercepat daya serap, pemerataan surat tugas dinas luar yang menyejahterakan seluruh karyawan berbasis nilai-nilai kebersamaan, senasib seperjuangan.

Sebagai pemegang predikat WBK, seluruh karyawan Balai telah menerapkan budaya kerja produktif, rajin, jujur, kerjasama, dan bersemangat dalam hal pelayanan kepada lembaga mitra yang menjadi sasaran ujicoba model dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nonformal. Apalagi model yang disusun tim pengembang juga selalu tervalidasi oleh validator. Mungkin inilah yang layak menjadi unggulan untuk di-studi tiru-i.

Seperti lazimnya sebuah kegiatan studi tiru/studi banding, selalu saja diawali dengan acara penyambutan dengan sekapur sirih ucapan selamat datang dari tuan rumah. Sementara dari perwakilan tamu akan menyampaikan terima kasih atas sambutannya sekaligus dengan rendah hati ingin belajar mencari pengalaman.

Konon, Balai yang sebentar lagi merger dengan LPMP itu, dalam rangka upaya meraih predikat WBBM namun belum waktunya itu sempat membentuk tim sukses yang berdisiplin tinggi berbasis kualitas kinerja. Informasi seperti ini kiranya menarik dan perlu dicatat, yang nantinya sangat layak menjadi ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) di daerahnya.

Setelah acara seremonial dengan menikmati jajanan dalam kotak, dilanjutkan dengan saling tukar cinderamata dan foto bersama untuk bukti fisik yang akan menyertai SPPD sebagai laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran Negara. Akhir dari acara studi tiru adalah para tamu diajak “Office Tour”, yaitu keliling lingkungan Balai untuk melihat aktivitas kerja karyawan Balai di setiap ruangannya sambil dijelasakan oleh tour gaide yang ditunjuk.

Biasanya acara studi tiru diakhiri dengan makan prasmanan bersama sambil ngobrol apa saja, bahkan ada karaokenya. Namun, karena saat ini sedang pandemi covid-19, maka acara tersebut ditiadakan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan bersama. Demikianlah ujung acara studi tiru yang disudahi dengan penyelesaian SPPD.

Harapannya, semoga ada pengalaman yang bisa dijadikan bahan diskusi di Kantor masing-masing sepulang dari acar studi tiru di BP-PAUD DIKMAS Surabaya. Harapan berikutnya, semoga para tamu juga menyempatkan diri menikmati destinasi Kota Surabaya, termasuk wisata kuliner yang cukup beragam, enak, murah dan mengenyangkan. Hal ini juga terjadi pada karyawan BP-PAUD DIKMAS Jawa Timur saat melakukan studi tiru. Yang penting tetap sehat dan bahagia pasca program studi tiru, untuk kemudian diprogramkan lagi ditahun berikutnya.Salam Sehat, Salam literasi [eBas/SelasaPahing-22122020]    

 

 

 

 

  

Minggu, 20 Desember 2020

DIDIK MULYONO MENGGAGAS SKPDB YANG BERKELAS

“Sependek yang aku tau, relawan dengan kompetensi khusus yang akan diperbolehkan membantu mas, ini berangkat dari banyak pengalaman dimana lebih banyak yang jadi wisatawan bencana dibanding jadi relawan yang ketrampilannya dibutuhkan. Jadi perlakuan relawan lebih profesional dan kita bisa melakukan penertiban di lapangan bagi wisatawan bencana yang menyaru jadi Relawan,” Kata Didik Mulyono mengawali obrolan online.

Dikatakan pula bahwa, relawan harus terakomodir di tengah keterbatasan sumberdaya personil lokal di wilayah yang terdampak bencana. Tantangannya adalah pemda via sistem komando penanganan darurat bencana (SKPDB) belum memiliki strategi untuk memobilisir dan mendayagunakan tenaga relawan.

“Makanya untuk memastikan antar unit kerja bisa bersinergi, harus disusun proses bisnis /tata Laksana nya di SKPDB. Kalau cuma mengunggulkan ego ya bakalan bubar, nggak pernah ada praktik kolaborasi dalam penanganan darurat bencana.” Ujarnya.

Artinya, SKPDB itu representasi dari pemda, bukan hanya BPBD saja, untuk itu organisasi perangkat daerah (OPD) dan lembaga lain perlu menyepakati proses dan prosedur kinerja di masing-masing unit kerja yang ada di SKPDB. Disisi lain, pentahelix bisa ditempatkan dimana-mana (unit kerja) yang ada di SKPDB, yang penting mekanisme dan prosedur kerjanya jelas dan terukur, jadi siapapun yang masuk/terlibat dalam unit kerja akan tau bagaimana tugas, fungsi dan batasan dari unit kerja yang dia ikuti.

Didik juga bilang bahwa praktek selama ini banyak BPBD Kabupaten/Kota yang belum mampu menyusun proses bisnis SKPDB sehingga respon di lapangan masih sering mengedepankan ego sektoral karena nggak diatur sebagai satu kesatuan kerja dalam SKPDB.

Sementara itu, penataan database Relawan juga dilakukan termasuk mapping kebutuhan kompetensi relawan yang bisa mendukung fungsi SKPDB. Dalam peta pengelolaan relawan yang digagasnya, Sebelum terlibat dalam tanggap darurat, mereka harus daftar dan registrasi dulu di seksi admin (sekretariat), lalu ada klasifikasi kompetensi (oleh seksi personil sekretariat). Habis itu mereka akan standby untuk penempatan sesuai dengan kompetensi teknis yang dibutuhkan di lapangan.

Selama penempatan, kinerja Relawan dipantau oleh koordinator sektor teknis yang menggunakan ketrampilannya. Jika selesai durasi penempatan, Relawan akan ditarik ke sekretariat lagi. Gagasan ini menarik, namun pelaksanaannya jelas tidak mudah. Perlu proses, perlu kesepahaman.

Apa yang digagas pria berkacamata ini ada kemiripan dengan konsep desk relawan dari Pangarso Suryotomo dan Lilik Kurniawan, dari BNPB. Bahkan konsep itu sudah pernah di diskusikan pada acara Dharma Relawan Adhirajasa 2019 di Buleleng, Provinsi Bali.

Didik yang dulu ‘menggawangi’ Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR) di Jawa Timur, juga mengusulkan ke kawan-kawan FPRB DIY untuk memfasilitasi gelang karet yang ada barcode nya sebagai identitas relawan di lapangan. Dengan menggunakan karet gelang, berarti dia sudah terregistrasi di poško utama dan warna gelang karet menunjukkan kompetensi yang dia miliki.

“Kalau di Sleman, ada wacana bahwa tugas desk relawan itu menerima, mencatat, registrasi dan klasifikasi kompetensi relawan, serta mengeluarkan tanda pengenal (gelang karet) yang berisi informasi detail tentang relawan yang bersangkutan,” Katanya. Sebuah wacana yang kreatif inovatif dan layak sebagai masukan untuk BNPB/BPBD.

Sungguh, ngobrol online dengan Mas Didik, sapaan akrabnya, sangat menyenangkan. Banyak informasi tentang masalah kebencanaan yang menurutnya perlu dibenahi (termasuk relawan juga harus berbenah untuk menyesuaikan dengan gerak jamannya, seperti mapping kebutuhan untuk peningkatan kapasitasnya).

Dia juga berharap, agar komunitas relawan yang banyak jumlahnya itu mau berkumpul dan menyepakati prosedur dan mekanisme kerja di wilayah terdampak bencana, termasuk bagaimana kode etik dipatuhi dan aspek keamanan dan keselamatan relawan di lapangan juga menjadi prioritas untuk diperhatikan.

Kode etik dalam bentuk standard operating procedure (SOP) ini sudah pernah disusun hasil kerja bareng Mercycorps, namun tidak ditindak lanjuti oleh pemegang regulasi, sehingga mandek begitu saja tanpa kelanjutannya. Termasuk penerapan desk relawan yang sering disalah pahami oleh multi pihak, sehingga muncul istilah ‘matahari kembar’. Hal ini bisa terjadi karena masing-masing daerah punya karakter dan kekhasan sendiri-sendiri dalam memaknai penanganan bencana.  

Di penghujung obrolan online, Didik mengatakan bahwa saat ini personil relawan yang memiliki kompetensi analisis media sangat jarang, padahal biasanya publik menyampaikan suaranya via media sosial, jadi kalau ada informasi yang berseliweran di media sosial terkait penanganan dampak bencana, tidak ada satu pihakpun yang merangkum, menganalisis dan menyusun rekomendasi untuk menjelaskan kepada publik terkait isu yang berkembang. Jika dibiarkan, bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap kinerja SKPDB, dimana relawan ada di dalamnya.

Begitu juga dengan pusdalops, minimal mereka harus memiliki tiga operator (radio, media sosial dan media massa) untuk memantau, menangkap, memilah, klarifikasi, merangkum, menganalisis dan menyusun rekomendasi, informasi apa yang ada di publik yang perlu ditindak lanjuti oleh institusi. Tentunya semua ini harus dibangun sinergitas antar elemen pentahelix yang diantaranya bisa memasok informasi yang benar untuk menangkal berita hoax.

Semoga pandemi covid-19 segera berlalu agar gagasan cemerlang dari seorang Didik Mulyono bisa menjadi bahan diskusi secara luring di sore hari yang bisa menginspirasi untuk membuat aksi, tentunya sambil nyruput kopi khas Banyuwangi yang rasanya tidak kalah dengan kopi Gunung kawi. Salam Tangguh [eBas/MingguKliwon-20122020]

Selasa, 15 Desember 2020

MENGGAGAS GERAKAN LITERASI KEBENCANAAN

Saat ini kata ‘literasi’ mulai banyak digunakan di berbagai bidang. Contohnya ada literasi kesehatan, literasi budaya, literasi komunikasi dan mungkin juga akan muncul istilah literasi pandemi covid-19. Semua itu tidak terlepas dari media massa yang mempublikasikan dan diamini oleh para akademisi dalam sebuah karya tulis.

Ya, sekarang kemampuan literasi itu bukan sekedar kemampuan untuk membaca, menulis dan berhitung saja. Namun juga mencakup kemampuan berkomunikasi, membangun jejaring kemitraan dan menciptakan peluang kerja. Kemampuan ini kiranya perlu dimiliki oleh masyarakat, tak terkecuali relawan penanggulangan bencana, guna meningkatkan kesejahteraan hidup dalam arti luas.

Termasuk literasi kebencanaan yang sedang digagas menjadi sebuah gerakan. Ahmad Arif, dari Kompas, mengatakan bahwa literasi bencana adalah kemampuan individu membaca, memahami dan menggunakan infomasi guna memperkuat kapasitas diri dan orang lain dalam menghadapi bencana.

Sementara literasi kebencanaan menurut Wien Muldian adalah, kecakapan hidup untuk mengelola, memahami, dan menggunakan informasi dalam pengambilan keputusan yang tepat untuk mengikuti panduan penguatan ketangguhan di semua bidang dalam tahapan penanggulangan bencana.

Disamping kemampuan menggunakan informasi seperti yang dikatakan ke dua pakar di atas, masing-masing individu atau masyarakat juga perlu memiliki kemampuan antisipasi, adaptasi, proteksi terhadap kemungkinan terjadinya bencana, serta memiliki daya lenting agar tidak terpuruk dalam kesedihan berkepanjangan pasca “dihajar” bencana. Semua ini bisa terwujud melalui gerakan literasi yang melibatkan multi pihak, tentunya dibawah komando BNPB/BPBD

Dalam webinar yang digelar hari minggu (13/12/2020) dengan mengambil tema perlunya literasi kebencanaan. Pujiono sebagai pemandu acara mengakatakan perlunya membagi peran, siapa melakukan apa dengan siapa, agar cikal bakal gerakan literasi kebencanaan benar-benar segera tampak kebermanfaatannya bagi khalayak ramai. Khususnya masyarakat yang berdomisili di kawasan rawan bencana, dengan tetap mengakomodasi kearifan lokal, terkait dengan sejarah, cerita, dan mitos kejadian bencana.

Seperti, BNPB dan BPBD melakukan apa, Komunitas relawan bergerak di sisi mana dan elemen pentahelix lainnya berbuat dibagian mananya bersama siapa. Sementara media massa, maukah memberitakan kegiatan tanggap darurat dengan segala dinamikanya secara berkala ?. ini penting agar khalayak ramai mendapat informasi yang benar tentang upaya penanganan bencana oleh berbagai pihak.

Sebenarnya, gerakan literasi kebencanaan itu sudah dilakukan oleh BNPB/BPBD maupun komunitas relawan, dalam bentuk edukasi untuk meningkatkan kapasitas. Hanya, gaungnya yang mungkin belum tampak. Sehingga diperlukan sebuah gerakan literasi yang dipublikasikan secara besar-besaran dan terus menerus.

Tak lupa pula dalam paparannya, wien Muldian juga menyemangati para aktor yang terlibat dalam webinar untuk menggulirkan gagasan gerakan literasi kebencanaan. Dia bilang, Jika semangat sudah tergalang, tiada hujan jadi perintang, tiada lautan jadi penghalang, betapa pun jalan itu panjang … (yang penting kelak ada regulasi yang menunjang. Agar tidak hanya berdebat panjang, tapi gagasan itu bisa langsung berjalan dan diterapkan di berbagai kalangan. Red).

Semoga para penggagasnya yang terdiri dari para pakar dibidangnya, benar-benar bisa istiqomah mengawal kelahiran gerakan ini agar tidak sekedar wacana akhir tahun 2020 yang mengiringi isue pengadaan vaksin sinovac untuk mengatasi pandemi covid-19 yang masih fluktuatif perkembangannya. Salam Sehat, Salam Literasi, tetap menginspirasi. [eBas/RabuLegi-16122020]