Minggu, 28 April 2019

TAMAN HARMONI SEBAGAI PUBLIC SPHERE UNTUK BERBAGI INFORMASI


Taman Kota adalah taman yang berada di lingkungan perkotaan yang dapat dinikmati oleh seluruh warga kota untuk saling bertegur sapa sambil olah raga, atau bersantai bersama keluarga maupun komunitasnya. Bisa dikatakan, Taman Kota, selain berfungsi untuk menjaga kualitas lingkungan, keberadaannya juga dapat menumbuhkan rasa sosial dan menumbuhkan toleransi dan rasa peduli, terhadap sesama manusia maupun mahkluk hidup lainnya, dalam rangka mendukung upaya pelestarian alam (termasuk flora dan fauna).

Begitu pula keberadaan Taman Harmoni yang terletak di kawasan Kelurahan Keputih, Kecamatan Sukolilo, Surabaya. Setiap hari minggu selalu diramaikan oleh warga dari berbagai daerah untuk berbagai kegiatan. Keasrian dan keindahannya menjadi jujugan penggemar fotografi untuk mengabadikan berbagai gaya dan peristiwa.

Tidak jarang berbagai komunitas pun menjadikan arena Taman Harmoni menjadi tempat berkumpul, berinteraksi antar anggotanya. Misalnya, Ibu-ibu PKK menggadakan arisan atau makan bersama dalam rangka syukuran, Komunitas Penggemar Satwa, juga memanfaatkan Taman untuk bertukar informasi tentang cara merawat satwa dan bahkan bisa menjadi ajang jual beli jika ada kesepakatan harga. Tidak jarang Pramuka dan PMI juga memanfaatkan keberadaan taman untuk latihan atau sekedar berkoordinasi.

Ya, Taman Harmoni dan taman kota lainnya itu sejatinya adalah ruang terbuka untuk masyarakat (public sphere). Alan McKee (2005) yang disitir di lamannya aryakusuma17.blogspot.com, menyatakan beberapa pengertian tentang public sphere sebagai berikut, Ruang publik adalah suatu wilayah hidup sosial di mana suatu pendapat umum dapat dibentuk diantara warga negara, berhadapan dengan berbagai hal mengenai kepentingan umum tanpa tunduk kepada paksaan dalam menyatakan dan mempublikasikan pandangan mereka.

Dinyatakan pula bahwa Ruang publik adalah ruang dimana percakapan, gagasan, dan pikiran masyarakat bertemu. Atau, tempat di mana informasi, gagasan dan perberdebatan dapat berlangsung dalam masyarakat dan pendapat politis dapat dibentuk.

Sebagai ruang terbuka, maka keberadaan Taman juga bisa digunakan untuk mengedukasi pengunjung taman tentang informasi yang perlu diketahui oleh khalayak ramai. Seperti yang dilakukan oleh Komunitas MTI yang mengadakan sosialisasi Kesiapsiagaan Keluarga (menghadapi bencana, red), dalam rangka meramaikan Hari Kesiapsiagaan Bencana yang jatuh pada tanggal 26 April 2019.

Kegiatan yang dilakukan pada hari minggu (28/4) itu, MTI menampilkan Pojok Pengetahuan, yang berbicara tentang pengetahuan kebencanaan yang kita perlukan.  Pojok Keluarga Siaga, membahas tentang pentingnya setiap keluarga dan masyarakat sadar budaya tangguh bencana. Pojok Tas Siaga, yaitu pengetahuan akan barang apa saja yang harus dimasukkan ke dalam tas siaga agar mudah menyelamatkan disaat terjadi bencana. Ada pula Pojok Skill Building, yaitu informasi tentang bagaimana supaya bangunan aman ketika ada gempa. Tidak lupa aktivis MTI juga mendemonstrasikan media permainan edukatif dan menyediakan souvenir cantik.

Tentu upaya berbagi informasi ini tidak sekali jadi. Namun terus berproses dan dilakukan secara berkala. Disinilah, diperlukan ketangguhan dari aktivis MTI untuk mengedukasi masyarakat yang pada kenyataannya belum peduli terhadap masalah bencana. Surabaya yang jelas-jelas dilewati sesar Surabaya yang berpotensi menimbulkan gempa besar (berdasar hasil penelitian), masyarakat masih banyak yang belum percaya.

Ini terjadi karena Surabaya tidak memiliki pengalaman sejarah tentang gempa yang hebat. Inilah tantangan aktivis MTI untuk meyakinkan masyarakat Surabaya dengan memanfaatkan keberadaan Taman Kota sebagai public sphere. Wallahu a’lam bishowab. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan. [eBas/minggu pon-28/4] 






Kamis, 25 April 2019

SAMPAH PLASTIK DAN KONDOM JUGA ADA DI GUNUNG


          Ternyata, masalah sampah sudah merambah ke wilayah gunung dan hutan. Sampah yang banyak berserak itu adalah bawaan wisatawan. Hal ini tidak lepas dari kesadaran wisatawan yang masih membuang sampah sembarangan. Padahal sudah disediakan tempat sampah, serta tulisan-tulisan peringatan, tapi pengunjung tidak disiplin. Perlu waktu untuk mengedukasi masyarakat pecinta outdoor activity.
          
          Umumnya, sampah itu berupa tas kresek, plastik bungkus roti, bungkus mie instan, tisu, botol minuman, bungkus dan puntung rokok. Tidak jarang ponco, sepatu, sandal dan pakaian yang rusak juga dibuang, daripada ‘ngabot-ngaboti bawaan’, begitu pikirnya.

Bahkan yang memprihatinkan, dalam postingannya Ochars Journey, yang mengikuti kegiatan  Srikandi Bijak Sampah 2019 oleh Trashbag Community DPD Jawa Timur, tanggal 21 Aprl 2019, menemukan kondom bekas di daerah Putuk Lesung, Gunung Arjuno.

Ya, fenomena penemuan kondom bekas pakai di lokasi wisata hutan dan gunung tampaknya semakin banyak (dan mungkin dianggap wajar). Sementara kondom yang di Putuk itu kebetulan ditemukan yang kemudian diposting di media sosial. Ya, kondom identik dengan persetubuhan. Walau pun mungkin kondom digunakan untuk membungkus HP, dompet dan lainnya, namun ‘pikiran ngeres’  pasti tetap muncul, karena kondom itu dicipta untuk ‘bermain cinta’, tidak untuk yang lain.

Sungguh keterlaluan. Apakah ini salah satu bentuk kerusakan moral ?. memanfaatkan aktivitas wisata ke gunung dan hutan (mungkin juga di pantai) untuk berbuat tidak senonoh. Dengan meninggalkan kondom bekas pakai yang dibuang begitu saja, seolah-olah pelakunya ingin meninggalkan pesan bahwa dia adalah pemberani.

mungkin si oknum ingin menunjukkan bahwa dia berani melanggar mitos bahwa gunung (dan hutan) itu angker. Anggapan bahwa berbuat yang tidak santun di gunung akan mendapat celaka, oleh si oknum dipatahkan dengan melakukan persetubuhan. Tentunya si oknum melakukannya dengan suka sama suka, atas nama cinta. Atau si pelakunya itu benar-benar goblok dan teledor membuka aibnya sendiri dengan membuang kondom sembarangan. Duh, sungguh memprihatinkan.

Kelakuan oknum yang tidak patut ditiru ini sedikit banyak akan menyebabkan munculnya anggapan dari khalayak ramai bahwa aktivitas alam bebas identik dengan kebebasan yang melintasi batas moralitas. Pepatah mengatakan, akibat nila setitik, rusak susu sebelanga.

Padahal, sesungguhnyalah para aktivis pecinta alam, pemerhati lingkungan, komunitas peduli sampah dan relawan itu jasanya tidak ternilai. Mereka, atas nama kemanusiaan, menolong sesamanya dengan suka rela. Tanpa dibayar, mereka menginfaqkan tenaganya, waktunya, bahkan hartanya melakukan gerakan penghijauan, mangrovisasi, membersihkan sampah di sungai, di pantai, di hutan dan di gunung. Ya, merekalah pahlawan lingkungan, pahlawan kemanusiaan, yang seringkali karyanya dilupakan.

Tidak henti-hentinya mereka mengedukasi masyarakat dengan melakukan aksi bersih-bersih (di kawasan wisata) sebagai upaya menumbuhkan rasa memiliki sekaligus mencintai lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Seperti postingannya Ochars Journey yang mengatakan, “Jangan hanya menikmati keindahan alam saja, tapi juga cintai alam dengan tidak buang sampah sembarangan. Ingat, Gunung Bukan Tempat Sampah”. [eBas/kamis legi-26/4]

  

Minggu, 21 April 2019

LITERASI MENINGKATKAN WAWASAN RELAWAN


Budaya literasi itu bukan sekedar kemampuan untuk membaca, menulis dan berhitung saja. Namun, mencakup kemampuan untuk berkomunikasi, membangun jejaring kemitraan dan menciptakan peluang kerja dan bekerja sama dengan pihak lain,  itu juga merupakan bekal yang perlu dimiliki untuk relawan penanggulangan bencana guna meningkatkan kesejahteraan hidup dalam arti yang luas.

Dalam lamannya theconversation.com dikatakan bahwa rendahnya literasi merupakan masalah mendasar yang memiliki dampak sangat luas bagi kemajuan bangsa. Literasi rendah berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas bangsa. Ini berujung pada rendahnya pertumbuhan dan akhirnya berdampak terhadap rendahnya tingkat kesejahteraan yang ditandai oleh rendahnya pendapatan per kapita. Literasi rendah juga berkontribusi secara signifikan terhadap kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan.
     
     Ya, literasi ini begitu penting di dalam kehidupan jaman now yang diwarnai kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi yang sangat pesat ini tentu membawa pengaruh terhadap pola relasi antar manusia. Etika dan sopan santun pun dinomor duakan.

Untuk itulah, di era ketatnya persaingan globalisasi, kemampuan literasi sangat diperlukan dalam segala lini kehidupan manusia. Hal ini mengingat kemampuan literasi ini bisa menjadi kunci manusia untuk berproses menjadi manusia yang lebih berpengetahuan dan berperadaban tanpa meninggalkan etika ketimuran.  

Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk meningkatkan kemampuan literasi ini adalah dengan banyak membaca buku dan sering bersemuka bersama kawan untuk tukar informasi, saling cerita pengalaman untuk menginspirasi sesama. Ya, intinya banyak berilaturahmi dengan sesama relawan penanggulangan bencana, pasti ada sesuatu yang bisa diambil untuk menambah wawasan sekaligus mempererat tali silaturahim.

SRPB JATIM, dengan kegiatan rutinnya yang bernama Arisan Ilmu, bisa juga dimaknai sebagai upaya meningkatkan kemampuan literasi relawan penanggulangan bencana. Sambil bersilaturahmi, mereka berbagi cerita, saling menginformasikan pengalamannya.

Apalagi, masing-masing relawan telah memiliki aneka pengalaman yang bisa menginspirasi sesamanya untuk memperkaya pengetahuan yang akan berguna kelak dikemudian hari. Begitu juga nara sumber yang diundang juga berkompeten dalam bidangnya. Hal ini tentu membuat mereka yang berkesempatan hadir akan bertambah wawasannya.

Dalam lamannya gurudigital.id, dikatakan bahwa literasi adalah seperangkat kemampuan dan keterampilan  individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya National Institut for Literacy sendiri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.

Dari pernyataan di atas, nyatalah bahwa relawan pun perlu meningkatkan kemampuan literasi dalam rangka meningkatkan kapasitasnya sebagai relawan yang aktif dalam penanggulangan bencana dan tentunya bisa membantu BPBD dalam upaya sosialisasi pengurangan risiko bencana kepada masyarakat. Termasuk ikut serta menjaga kelestarian alam dalam rangka mengurangi dampak bencana. Hal ini sesuai dengan jargon BNPB yang dimunculkan saat Rakornas 2019, "Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita"

Apalagi, relawan itu tidak selamanya mampu aktif turun ke lokasi bencana, karena kekuatan fisiknya  semakin renta dimakan usia. Pasti ada saatnya untuk ‘undur diri’. Untuk itulah kekuatan okol harus berganti dengan kekuatan akal. Dengan kemampuan literasi yang dimiliki, akan memudahkan beradaptasi dengan lingkungan baru yang tidak jauh dari dunia kerelawanan. Misalnya menjadi fasilitator dalam pendidikan dan pelatihan kebencanaan, menjadi pembicara dalam seminar kebencanaan, menjadi konsultan untuk penanggulangan bencana, dan sebagainya.

Artinya, penguatan budaya literasi melalui kegiatan Arisan Ilmu menjadi penting bagi relawan dalam rangka memperluas wawasan sekaligus membuka jejaring kemitraan antar relawan. Siapa tahu dari situ akan terbangun kolaborasi dan sinergi yang cantik dalam melaksanakan sebuah kegiatan.

Semoga kegiatan rutin Arisan Ilmu yang diagendakan oleh SRPB JATIM, bisa melahirkan relawan pembelajar bagi sesamanya. Hal ini sejalan dengan Perka BNPB nomor 17 tahun 2011. Disana jelas disebutkan bahwa relawan penanggulangan bencana perlu memiliki kecakapan atau keterampilan khusus yang dibutuhkan dalam penanggulangan bencana.

Kemahiran tersebut dapat digabungkan dalam kelompok kecakapan Perencanaan, Pendidikan, Sistem informasi geografis dan pemetaan, Pelatihan gladi dan simulasi, Kaji cepat bencana, SAR dan evakuasi, Transportasi, Logostik, Keamanan pangan dan nutrisi, Dapur umum, Pengelolaan lokasi pengungsian dan huntara, Pengelolaan pos penanggulangan bencana, Kesehatan, Air bersih sanitasi dan kesehatan lingkungan, Keamanan dan perlindungan.

Kemudian, keterampilan tentang Gender dan kelompok rentan, Psikososial/konseling/penyembuhan trauma, Pertukangan dan perekayasaan, Pertanian peternakan dan penghidupan, Administrasi, Pengelolaan keuangan, Bahasa asing, Informasi dan komunikasi, Hubungan media dan masyarakar, Pemantauan evaluasi dan pelaporan, Promosi dan mobilisasi relawan.

Tentulah masing-masing kecakapan ini perlu diagendakan untuk dibahas dalam kegiatan Arisan Ilmu. Untuk didiskusikan bersama sambil nyruput kopi dalam rangka menyamakan pemahaman pesan yang tersirat dalam Perka 17, sekaligus sebagai upaya meningkatkan kemampuan literasi relawan penanggulangan bencana. Salam Tangguh, Salam Literasi, tetap menginspirasi. [eBas/senin pahing, 22/4]    
  












Jumat, 12 April 2019

HARI KESIAPASIAGAAN BENCANA 2019 (SEBUAH HARAPAN)


Konon, upaya BNPB menjadikan tanggal 26 April sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB)  tersebut bertujuan untuk membudayakan latihan secara terpadu, terencana dan berkesinambungan guna meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat menuju Indonesia Tangguh Bencana. Dengan kata lain, melalui peringatan HKB, masyarakat disadarkan bahwa penanggulangan bencana itu merupakan urusan semua pihak (Everybody’s business), seperti yang diperlihatkan dalam logonya BNPB/BPBD.

BNPB dan BPBD pun telah mengeluarkan himbauan kepada seluruh komunitas relawan untuk menyemarakkan  HKB 2019 dengan kreativitas masing-masing, dalam rangka ‘mensosialisasikan’ mitigasi dan kesiapsiagaan guna membangun budaya tangguh menghadapi bencana kepada khalayak ramai, wabil khusus masyarakat yang berdomisili di kawasan rawan bencana.

Bahkan, informasi dari warganet mengatakan bahwa ada telegram dari menteri dalam negeri kepada gubernur, bupati dan wali kota se Indonesia untuk melaksanakan perintah kegiatan HKB dengan melakukan latihan evakuasi bencana di wilayahnya masing-masing serentak pada jam 10.00 – 12.00 waktu setempat. Ini menandakan betapa pentingnya membangun kesadaran masyarakat akan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Sungguh tepatlah motto yang dihembuskan oleh BNPB, “Kita Siap, Kita Selamat”, yang pada akhirnya kita bisa menyelamatkan.

Ya, seperti diketahui bersama bahwa saat ini Indonesia yang terletak di lingkaran cincin api, sehingga memiliki banyak zona sesar alias patahan dan gunung api sehingga sering dilanda gempa dan letusan gunung api. Termasuk bencana  banjir, dan longsor yang menelan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit.

Sehingga upaya pengurangan risiko bencana melalui latihan kesiapsiagaan, mitigasi struktural dan non struktural, mutlak perlu diperkenalkan kepada masyarakat, khususnya yang daerahnya memiliki potensi bencana. Paling tidak masyarakat menjadi tahu risiko yang ada disekitarnya, dan solusi apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko bencana.

Disamping kesadaran akan pentingnya pendidikan mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana, ajakan “Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita” dengan upaya cinta lingkungan, cinta kali bersih dan kesadaran untuk tidak membuang sampah disembarang tempat, kiranya juga perlu di jadikan gerakan sebagai upaya mitigasi non struktural yang tumbuh dari kesadaran individual.

Tinggal bagaimana, upaya penguatan kesadaran individu yang sedang menggebu ini mendapat dukungan dari pemerintah ?. Misalnya, merespon masukan dari warga tentang adanya kerusakan inftrastruktur tertentu yang bisa berpotensi menimbulkan bencana, membuat regulasi yang pro mitigasi atau penegakan regulasi yang sudah ada dengan bijaksana agar semuanya tetap terkendali.

Pertanyaannya kemudian, bisakah itu dilakukan ?. semoga kemeriahan gelar HKB tahun 2019, yang mengangkat tema, Siaga Bencana dimulai dari Diri  Sendiri dan Keluarga. Serta tema yang melibatkan emak-emak, “Perempuan Menjadi Guru Siaga Bencana dan jadikan Rumah sebegai Sekolahnya”. benar-benar bisa membawa manfaat bagi upaya pengurangan risiko bencana. Semua ini bisa terwujud jika BNPB/BPBD berhasil membangun sinergi antar berbagai elemen pentaheliks. Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan. [eBas-Jumat paing-12/4]      






Jumat, 05 April 2019

SRIKANDI PENSIUN JADI RELAWAN


“Saya mau pensiun dari kegiatan sosial di dunia relawan bencana, mengingat usia sudah menjelang renta. Sudah waktunya yang muda tampil menggantikan kiprah saya,” Kata mbakyu Srikandi, saat menunggu acara Arisan Ilmu yang digelar rutin oleh pengurus SRPB JATIM dalam rangka meningkatkan tali silaturahim diantara relawan penanggulangan bencana.

Masih kata mbakyu yang memiliki kepintaran dibidang pengobatan herbal ini, seorang relawan itu, disamping harus pandai dan memiliki kapasitas yang mumpuni, juga secara fisik harus kuat, sehat dan tahan banting menghadapi situasi yang ekstrim.

“Sekarang fisik saya sudah tidak sekuat dulu lagi, jadi saya harus tahu diri dari pada memaksakan ikut ke operasi di lokasi bencana, ternyata harus dievakuasi dan dikumpulkan dengan para pengungsi. Aduh betapa malunya diri ini,” Ujarnya sambil tersenyum simpul.

Kang Petruk mendengarkan curhatnya mbakyu Srikandi sambil menikmati gedang godog dan ketan bubuk. Kang Petruk paham bagaimana galaunya hati seorang relawan yang tidak bisa ikut operasi saat tanggap darurat. Karna ada anggapan kuat, bahwa relawan belum bisa disebut relawan jika belum pernah turun langsung ke lokasi bencana melakukan evakuasi, membantu dapur umum, ikut mendistribusikan logistik, dan kegiatan yang memerlukan bantuan relawan.

“Oalah mbakyu, ngapain sampiyan galau dan minta pensiun sebagai relawan bencana?. Ayak ayak wae, relawan kok pensiun. Emangnya dulu sampiyan mendaftar sebagai relawan dimana, dan siapa yang akan memberi surat keputusan pensiun?” Goda Kang Petruk sambil nyengir.

Ya, sesungguhnyalah relawan itu adalah panggilan hati, dan tidak semua orang mampu menjadi relawan. Karena disana membutuhkan adanya rasa kepedulian dan komitmen terhadap masalah kemanusiaan. Kata mbah Gugel, hal ini sejalan dengan Definisi relawan menurut Schroeder (1998) adalah individu yang rela menyumbangkan tenaga atau jasa, kemampuan dan waktunya tanpa mendapatkan upah secara finansial atau tanpa mengharapkan keuntungan materi dari organisasi pelayanan yang mengorganisasi suatu kegiatan tertentu secara formal.

Sementara, arti relawan penanggulangan bencana sesuai dengan Perka nomor 17 tahun 2011, adalah seorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana

Kang Petruk mencoba menghibur mbakyu Srikandi yang sedang menikmati Es Cao. Dia bilang bahwa dalam penanggulangan bencana itu ada tiga fase. Yaitu fase pra bencana, fase tanggap darurat bencana, dan fase pasca bencana. monggo, jika mampu, relawan bisa terlibat di ketiga fase tersebut. Namun, jika ada keterbatasan tertentu, seperti kekuatan fisik yang menurun karena usia. Maka bermainlah di fase pra bencana yang tidak menguras tenaga (okol).

Pada fase pra bencana itu, relawan bisa menyelenggarakan pelatihan bersama masyarakat, melakukan penyuluhan kepada masyarakat, dan penyediaan informasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam rangka pengurangan risiko bencana. apalagi saat ini pemerintah sedang getol mewacanakan pendidikan mitigasi bencana diajarkan di sekolah. Sebuah peluang yang bisa ditangkap oleh relawan.

“Acara arisan ilmu juga masuk dalam fase pra bencana. Untuk itu jika mbakyu Srikandi sudah merasa tidak mampu ikut operasi di lokasi bencana. kiranya bisa tetap aktif di fase pra bencana sebagai pendidik, dan motivator kepada relawan muda jaman now di acara Arisan Ilmu atau lainnya. jadi, relawan itu tidak ada pensiunnya mbakyu,” Ujarnya sok tau, kemeruh, dan metuwek.

Artinya, seorang relawan yang sudah tidak mampu turun ke lapangan itu, bukanlah akhir dari segala aktivitas pengabdian untuk kerja-kerja kemanusiaan sebagai khalifatullah. Karena, orang bijak pernah berfatwa bahwa “Darma kita kepada sesama tidak harus dilakukan dengan mengandalkan kekuatan fisik semata. Sambil menjadi orang biasa pun jalan darma tetap terbuka dengan menebar ilmu dan keterampilan yang kita miliki, agar hidup bermanfaat dan barokah.

Upaya Kang Petruk menghibur mbakyu Srikandi harus terputus ketika nara sumber Arisan ilmu memulai materinya. Kali ini materinya tentang Sistem Informasi Kenbencanaan Berbasis Online. Mungkin perlu juga direncanakan materi tentang Basic Life Support part two. Wallahu a/lam bishowab. [eBas/jumat kliwon-5/4]

Senin, 01 April 2019

DHARMA RELAWAN ADHIRAJASA 2019 (yang pertama bukan yang terakhir)


      “Relawan harus sering berkumpul untuk bersilaturahmi, saling peduli tukar informasi untuk membangun sinergi merencanakan aksi mitigasi, kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana, serta turut serta menjaga alam dengan melakukan penghijauan di lereng gunung, lahan gundul dan mangrovisasi di tepi pantai,” Kata Yeka, mengawali obrolan malam di dalam tenda yang cukup dingin.

Sementara di luar, gerimis tetap setia membasahi bumi perkemahan Nangun kerti, di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali. Sebuah tempat yang memiliki pemandangan indah, dekat dengan destinasi wisata yang disuka oleh wisatawan domestik maupun wisatawan manca Negara dan merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah.

Ya, relawan dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul memenuhi undangan BNPB untuk mengikuti gelar Dharma Relawan Adhirajasa  yang dilaksanakan mulai tanggal 26 sampai dengan 28 Maret 2019. Mereka membahas tentang Desk Relawan, Sertifikasi Relawan, serta Kluster Relawan.  Selain itu juga ada sosialisasi Destana, Gerakan PRB, dan Hari Kesiapsiagaan Bencana.

Beberapa peserta bilang bahwa pemilihan lokasinya lumayan merepotkan peserta. Karena gerimis selalu turun membasahi lokasi, membasahi tenda yang bocor disana sini. Termasuk pemasangan spanduk dan umbul-umbul yang tidak dipasang ditepi jalan utama sebagai penanda bagi peserta yang baru datang, sehingga sering keliru lokasi. Namun semua itu bisa diatasi dengan caranya sendiri, yang penting tetap bahagia bisa bertemu dengan sesama relawan dari berbagai daerah untuk berbagi pengalaman tentang penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana.

Ya begitulah, kegiatan ini memang dirancang sebagai wadah bertemu para relawan penanggulangan bencana untuk saling berinteraksi, berkomunikasi, berbagi informasi terkait dengan peningkatan kapasitas relawan sebagai potensi terlatih membantu BNPB/BPBD dalam penanggulangan bencana. baik itu saat pra bencana, tanggap bencana, maupun paska bencana.

Tujuan kegiatan yang mengambil tema “Mensinergikan Semangat Kebersamaan dan Kerelawanan untuk Ketangguhan Bangsa." antara lain, membangun jejaring relawan di berbagai daerah sebagai upaya peningkatan kapasitas relawan melalui berbagai pelatihan yang difasilitasi oleh BNPB maupun BPBD. Dari kegiatan ini diharapkan  dapat mengukuhkan rasa persaudaraan yang ada serta memperkokoh ketangguhan bangsa menghadapi bencana.

Hal ini sejalan dengan arahan Kepala BNPB, Doni Monardo, yang mengatakan tentang pentingnya pembangunan mental dan penguatan kapasitas relawan untuk meningkatkan kesadaran dalam memahami risiko bencana dan pentingnya mengurangi dampak kejadian bencana melalui pendidikan, 

Masih kata jendral berbintang tiga itu, bahwa relawan diharapkan tidak hanya bekerja pada tanggap darurat saja namun juga dilakukan pra dan paska bencana. Seperti melakukan sosialisasi mitigasi untuk pengurangan risiko bencana, menjaga dan memperbaiki lingkungan, melalui aksi penghijauan, bersih-bersih sampah dan sejenisnya.

Malam itu, bumi perkemahan yang bersih itupun masih tetap basah oleh hujan, tenda pun juga basah. Relawan tidur dalam gelisah, menikmati kondisi yang serba basah dengan tabah. Sambil ngopi, mereka bicara tentang sertifikasi dan desk relawan yang dibahas seharian. Sebuah konsep yang sedang diwacanakan untuk dijadikan kebijakan secara nasional.

Namun, sesungguhnyalah konsep tersebut masih perlu waktu untuk berproses agar bisa diterima oleh semua pegiat kebencanaan. Khususnya orang BNPB dan BPBD harus paham benar agar bisa memberi penjelasan yang kaffah kepada relawan yang ingin tahu tentang sertifikasi dan desk relawan. Sehingga tidak terjadi kesalah pahaman seperti yang sudah-sudah.

Semakin malam diskusi menghangat penuh semangat, berbagai pendapat mencuat mempertajam bahasan. Bersahut kata dan konsep untuk membangun kesepahaman diantara relawan. Alangkah indahnya jika diskusi dalam rangka  Dharma Relawan Adhiraja ini menghasilkan catatan kritis yang disampaikan kepada BNPB untuk melengkapi penyusunan laporan kegiatan ini dan diberikan kepada BPBD Kabupaten/Kota untuk bahan diskusi bersama relawan. Sehingga kegiatan Dharma Relawan Adhirajasa yang baru pertama diselenggarakan ini benar-benar ada tindak lanjutnya untuk kemaslahatan relawan sebagai mitra kritis BNPB/BPBD. Wallahu a’lam bishowab.[eBas/senin legi, 1/4]