Konon, menurut beberapa relawan yang aktif turun ke
lokasi bencana, saat masa tanggap darurat, semua sibuk melakukan evakuasi
korban, pendirian tempat pengungsian, pemenuhan
hak dasar, distribusi logistik, pendataan warga terdampak, dan sejenisnya.
Ya, semua warga, termasuk pendidik, tenaga kependidikan
dan peserta didik, masih sibuk sendiri, menyelamatkan diri, keluarga dan harta
bendanya. Untuk sementara, masalah pendidikan, seperti gedung sekolah beserta sarananya
yang rusak, dan berbagai dokumen sekolah yang hilang pun sejenak ‘terabaikan’.
Biasanya, masih menurut relawan yang berjibaku di saat
tanggap darurat, seminggu setelah ‘masa panik’, barulah beberapa
komunitas relawan mulai mengadakan layanan dukungan psikososial kepada
anak-anak di lokasi pengungsian. Dengan berbagai gaya dan cara, mereka berusaha
menghibur, mengajak bermain dengan kegiatan rekreatif.
Dari sinilah, kemudian mulai dilakukan pendataan terkait
dengan kondisi gedung sekolah beserta sarana prasarananya, berapa peserta didik
yang menjadi korban, bagaimana keadaan para pendidik dan tenaga kependidikannya.
Setelah itu, barulah disusun laporan untuk ditindak
lanjuti dengan turunnya bantuan berupa alat permainan edukatif, alat tulis,
buku bacaan dan lainnya, termasuk tenda baca (atau memanfaatkan mobil
perpustakaan keliling). Biasanya kegiatan ini menjadi cikal bakal pendirian SETARA
(sekolah sementara). Baik yang diinisiasi oleh Dinas Pendidikan, BPBD, maupun
komunitas relawan.
Begitulah siklus kegiatan pendidikan di masa darurat
bencana. Selalu saja dinomor duakan. Mengapa bisa begitu ?. jangan-jangan
memang harus begitu sesuai skala prioritas, dalam rangka meminimalkan jumlah
korban.
Seandainya, program satuan pendidikan aman bencana (SPAB)
bisa berjalan dengan baik di semua sekolah, khususnya sekolah yang berada di
daerah rawan bencana. Sungguh akan lain ceritanya. Insan pendidikan pasti lebih
siap menghadapi bencana, seperti yang tersurat dalam tujuan SPAB.
Diantaranya adalah, meningkatkan kemampuan sumberdaya di
satuan pendidikan dalam menanggulangi dan mengurangi risiko bencana. Kemudian,
memastikan keberlangsungan layanan pendidikan pada satuan pendidikan yang
terdampak bencana, serta membangun kemandirian satuan pendidikan dalam
menjalankan program SPAB.
Artinya, jika program SPAB bisa berjalan di seluruh
jenjang sekolahan, khususnya sekolah-sekolah yang berada di wilayah rawan
bencana, maka dapat dipastikan, jika terjadi bencana, insan pendidikan akan
dapat melakukan penyelamatan secara mandiri terhadap harta benda sekolah untuk
mengurangi kerugian dari dampak bencana.
Mereka juga akan melakukan pendataan dampak bencana.
Khususnya yang menimpa peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan yang
akan dilaporkan ke atasannya. Untuk kemudian secara proaktif merencanakan
sekolah sementara. (pendidikan darurat bencana).
Sungguh, banyak komunitas relawan yang ingin ikut serta mensukseskan
gerakan literasi kebencanaan melalui program SPAB. Sayangnya pihak Dinas
Pendidikan enggan bersinergi “memanfaatkan”
keberadaan komunitas relawan untuk membangun ketangguhan sekolah menghadapi
bencana.
Alasannya selalu saja tidak ada dana. Padahal banyak
komunitas relawan yang tidak berfikir masalah anggaran dalam melaksanakan
kerja-kerja kemanusiaan. Konon, dalam dunia relawan, kepuasan kerja itu tidak
selalu diukur dengan anggaran.
Untuk itulah, tidak ada salahnya jika pengurus Forum PRB
membangun kolaborasi dengan Dinas Pendidikan untuk melaksanakan literasi
kebencanaan melalui program SPAB. Tentu, disini peran BPBD setempat juga sangat
menentukan terbangunnya kolaborasi itu. Hal ini mengingat BPBD mempunyai fungsi
sebagai komando, koordinator dan pelaksana dalam penanggulangan bencana.
Jika memungkinkan, perlulah kiranya orang Dinas
Pendidikan atau pendidik diundang mengikuti rapat Forum PRB. Agar mereka tahu
tentang masalah kebencanaan, PRB dan SPAB. Karena, senyatanyalah banyak
pendidik (bahkan orang Dinas) yang belum tahu tentang keberadaan Permendikbud
nomor 33 tahun 2019, tentang SPAB.
Sangat memprihatinkan sekali, tidak sedikit dana yang
digunakan untuk melahirkan konsep SPAB, namun setelah jadi, tidak ada
kelanjutannya dalam bentuk praktik baik yang dapat dijadikan contoh oleh
sekolah lain.
Kalau pun ada pihak yang mengatakan bahwa program SPAB
telah berjalan sesuai harapan, itu hanya bersifat seremonial saja. Disini yang
dipentingkan adalah sekolah sudah pernah ada kegiatan sosialisasi SPAB, lantas
diberi label bahwa sekolah tersebut telah melaksanakan SPAB dengan segala
programnya yang tidak ada kelanjutannya. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/MingguPon-13032022]