Jumat, 29 Mei 2020

HERD IMMUNITY DIMATA WONG BODO


Sebelum pembaca terlanjur membaca ini tulisan, perlu diketahui bahwa bahasan tentang herd immunity ini berdasarkan kaca matanya Wong Bodo. Jadi jangan dibaca dengan serius, cukup di lihat dan disenyumi saja. sukur-sukur tidak usah dibaca saja. daripada setelah membaca malah tertular virus bodo yang tidak harus diperiksa dengan rapid test. Hehehehe…….

Tulisan ini dimulai dengan ………………………………………………

“Denger-denger, karena Lockdown dan pembatansan sosial berskala besar (PSBB) tidak berhasil, maka yang akan ditempuh pemerintah tampaknya mengarah ke Herd Immunity. Artinya menyerahkan rakyat pada seleksi alam, yang kuat bertahan kemudian immun, yang lemah akan mati dengan sendirinya,” Begitu salah satu postingan yang sempat menghiasai whatsApp.

Dilansir dari aljazeera (20/3/2020), Herd Immunity mengacu pada situasi dimana cukup banyak orang dalam satu populasi yang memiliki kekebalan terhadap infeksi sehingga dapat secara efektif menghentikan penyebaran penyakit tersebut.

Dengan kata lain, Herd Immunity bertujuan membiarkan orang tertular sampai mendapatkan kekebalan virus. Strategi ini dengan cara menginfeksi penduduk secara langsung, yaitu dengan membiarkan sampai 70% populasi terinfeksi Covid19 sehingga akan mendapatkan kekebalan antibodi secara alami.

Dalam bahasa Jawa pasaran, Herd Immumity bisa diartikan:
“Urip yo sukur, Mati yo dikubur, lainnya gak ikut campur,”.

Dengan demikian, dapat dipastikan akan banyak orang yang mati sebelum mencapai 70%. Jelas yang akan sekarat duluan adalah mereka yang berprofesi sebagai pemulung, tukang rombeng, pengemis dan pekerja kasar lainnya. Karena mereka bandel tidak mau menerapkan protokol kesehatan di dalam aktivitasnya.

Ya, mereka terpaksa membandel karena harus mencari nafkah setiap hari untuk memenuhi kebutuhannya, khususnya kebutuhan pangan dengan mengabaikan protokol kesehatan.

Kalau pemerintah memaksa mereka di rumah dalam rangka social/physical distancing, berarti harus menyediakan logistik untuknya. Jelas itu tidak mungkin dilakukan karena jumlah kaum ini banyak, dan tidak terdata karena mereka tidak punya KTP, sementara itu anggaran pemerintah tidak mencukupi.

Maka langkah praktis (walau terkesan kurang berperi kemanusiaan dan mungkin melanggar HAM) adalah membiarkan mereka bebas mencari nafkah dan bertahan hidup dengan caranya sendiri. Percayalah mereka punya daya adaptasi yang tinggi, tentu dengan risiko ditanggung sendiri.

Jadi, dengan Herd Immunity ini tentu dimungkinkan akan terjadi pengurangan jumlah penduduk yang lumayan besar karena mati, khususnya kaum melarat yang berprofesi sebagai pemulung dan sejenisnya yang terpaksa abai terhadap keselamatan dan kesehatan karena masalah perut.

 Mungkin nanti yang mati itu gak usah di kubur karena akan menghabiskan lahan pemakaman, saking banyaknya mayat. Langkah yang efektif adalah di kremasi secara missal.

 Konon, menurut postingan di media sosial, Herd Immunity yg pelan-pelan akan diberlakukan dengan jalan memberi kelonggaran beraktivitas di luar. Pusat pertokoan, Pasar, Rumah Makan, Tempat Wisata dan  Transportasi massal dibuka, walau tetap menerapkan protokol kesehatan.

Kemudian, siswa dan guru mulai masuk sekolah, begitu juga kantor diperbolehkan aktif kembali. Tentunya dengan melaksanakan aturan yang digariskan agar terhindar dari penularan covid-19.

Sisi positif dari program Herd Immunity, menurut Rendy, dalam tulisannya di farmasetika.com, adalah 1) pandemi akan cepat berakhir; 2) situasi melahirkan terbentuknya individu baru yang lebih kebal, beradaptasi dengan penyakit baru; dan 3) perkembangan perekonomian tidak terhambat.

Sedang sisi negatifnya akan kehilangan penduduk lebih dari separuh populasi karena kematian massal

Agar bisa bertahan, maka mau tidak mau harus 1). Mengubahlah gaya hidup bersih, berolahraga, makan sehat, minum vitamin. 2). Pakai masker, jaga jarak, hindari kerumunan, sering cuci tangan pakai sabun/hand sanitizer, dan juga menjaga kebersihan lingkungan.

Namun semua itu tidak ada yang berani menjamin wabah akan berkurang. Buktinya, dengan pemberlakuan PSBB saja jumlah penderita covid-19 terus bertambah, termasuk korban meninggal. Kecuali jika masyarakat patuh kepada protokol kesehatan dan aturan pendukung lain yang dikeluarkan pemerintah. Sementara kata berita yang beredar, banyak Negara yang mencoba menerapkan konsep New Normal maupun mencoba meniadakan PSBB, banyak yang belum berhasil.  

Yang jelas, pandemi ini akan melahirkan orang miskin baru, karena banyak PHK dimana-mana. Semoga era New Normal yang akan diberlakukan nanti (bersamaan dengan Herd Immunty) tidak berdampak pada timbulnya gejolak sosial  yang dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat. Wallahu a’lam bishowab. Mohon maaf lahir dan batin. [eBas/JumatKliwon-29052020]




Senin, 25 Mei 2020

GERAKAN RELAWAN MEMBANTU RELAWAN


Bermula dari keinginan untuk sekedar membantu kawan-kawan relawan yang kehidupannya terdampak wabah dari Kota Wuhan. Mereka banyak bekerja di sektor informal, sehingga harus mengurangi aktivitasnya di luar sesuai himbauan social distancing. Akibatnya tidak bisa bekerja seperti biasanya, dan itu artinya penghasilannya berkurang.

Dari situlah muncul secara spontan gagasan untuk urunan pengadaan sembako. Sebuah gerakan mulia yang mencoba menterjemahkan jargon Bersatu Bersinergi Untuk Peduli. Program itu bernama Lumbung Pangan Relawan (LPR)

Rencananya, dalam satu paket sembako yang akan dibagikan berisi beras 5Kg, Minyak goreng 2L, Mie goreng 5 Bungkus, Sarden dan Kecap. Ya, isinya bisa bertambah lagi jika donaturnya semakin banyak.

Alhamdulillah, walau dengan agak tertatih tatih, donasi yang terkumpul bisa menjadi berpuluh-puluh paket. Nantinya, paket sembako itu akan didistribusikan kepada relawan yang berhak menerima. Karena ada relawan yang secara sosial ekonomi tidak berhak mendapatkan, tetapi berhak menjadi donatur.

Pertanyaannya kemudian, setelah nanti semua paket sembako habis terdistribusikan, bagaimana selanjutnya ?. tetap membuka donasi untuk pengadaan sembako lagi atau selesai sampai disini?.

Ada baiknya para penggagas segera mengkondisikan semangat Relawan membantu Relawan agar gagasan mulia ini bisa lestari memberi manfaat yang memberdayakan, bukan menciptakan ketergantungan baru bagi mereka yang dibantu.

Dari hasil japri sana sini, ada yang memberi masukan agar LPR dikembangkan dalam berbagai macam usaha ekonomi. Juga ada yang ingin LPR kedepan berfungsi sebagai usaha simpan pinjam atau pra-koperasi. Bahkan ada yang usul membuka rental outdoor equipment.

“Agar kegiatan LPR tidak mengganggu program SRPB, ada baiknya jika di dalam kepengurusannya dibentuk seksi usaha untuk kemandirian financial,” Kata anggota lain yang enggan disebutkan namanya, terkait dengan gagasan mulia ini.

Masih kata dia, ada baiknya SRPB mengadakan pelatihan cara menyusun proposal untuk mencari dana kegiatan tertentu sehingga program peningkatan kapasitas relawan mitra SRPB terwujud secara berkesinambungan.

“Sebenarnya LPR itu bisa berjalan tanpa tergantung dari pihak luar jika seluruh organisasi mitra SRPB berkomitmen mendukung dengan menggalakkan iuran kepada anggotanya sebesar dua ribu rupiah per orang setiap bulan, pasti akan terkumpul dana yang lumayan untuk dijadikan modal usaha atau pengadaan paket sembako,” kata yang lainnya lagi.

Yups, semakin banyak usulan akan memperkaya wawasan pengurus SRPB dalam upaya mematangkan program LPR, agar keberadaannya bukan sekedar musiman, tapi benar-benar membawa manfaat bagi relawan mitra SRPB.

Mungkin dua tiga orang berkumpul dulu ngobrolin kelanjutan LPR, atau saling japri-japrian menyamakan konsep dan aturan main LPR, begitu seterusnya, sebelum mengadakan rapat secara luring maupun daring.

Tidak ada salahnya jika gagasan mulia ini juga di-sounding-kan kepada para senior, mereka yang dituakan. Siapa tahu mereka berkenan memberikan masukan dan dukungan kepada LPR yang mandiri, bermartabat dan bermakna, sehingga Gerakan Relawan Membantu Relawan ini membawa kebermanfaatan bagi mitra SRPB. Kuncinya adalah, komitmen bersama untuk ber fastabiqul khairat.[eBas/SelasaPahing-26052020]
   

  


Minggu, 24 Mei 2020

KELURAHAN KEPUTIH DAN PANDEMI COVID-19


Beberpa minggu yang lalu tersiar kabar Kantor Kelurahan Keputih lockdown. Kemudian disusul seluruh karyawan Kecamatan Sukolilo mengikuti Rapid test, dan hasilnya banyak yang reaktif sehingga harus ditindak lanjuti. Diantaranya dengan melakukan karantina mandiri.

Beberapa malam yang lalu, sepanjang Jalan Keputih sering di semprot disinfektan oleh truck pemadam kebakaran. Beberapa malam kemudian di tindak lanjuti dengan obrak’an Warkop dan toko yang banyak pengunjungnya dalam rangka penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di seluruh wilayah Surabaya.

Selama bulan romadhon dan masa PSBB ini keramaian Keputih agak sedikit menurun. Banyak warga pendatang (mayoritas mahasiswa) pulang kampung karena kampus wajib menerapkan model belajar dari rumah menggunakan daring, sebagai upaya memutus rantai sebaran covid-19.

Dampaknya, warung kopi dan warung makan yang bertebaran di wilayah keputih mengalami penurunan pendapatan, ditinggalkan pelanggannya pulang kampung. Jelas semua ini akan berpengaruh terhadap ekonomi rumah tangganya.

Namun semuanya itu oleh kaum pedagang kecil diterima dengan pasrah dan sabar, tanpa gejolak sosial yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Mereka percaya bahwa wabah covid-19 ini merupakan cobaan dari Tuhan, sehingga harus dihadapi dengan ikhlas dan tawakal.

Karena di wilayah Keputih itu terdapat Tempat Pemakaman Umum (TPU) Surabaya, maka semenjak wabah Covid-19, hampir setiap hari melintas dua tiga ambulance membawa mayat yang akan di makamkan. Karena petugas pemakamann dan sopirnya menggunakan baju hazmat (salah satu alat pelindung diri), maka warga menganggap bahwa yang akan dimakamkan itu adalah korban covid-19, sesuai protokol pemulasaraan.

Di Keputih juga ada crematorium, tempat kremasi atau pengabuan. yaitu  tempat praktik penghilangan jenazah manusia setelah meninggal dengan cara membakarnya. Biasanya hal ini dilakukan di sebuah krematorium/pancaka atau biasa juga di sebuah makam di Bali yang disebut setra atau pasetran. Praktik kremasi di Bali disebut ngaben. (sumber Wikipedia). Namun belum ada info jika crematorium di Keputih juga digunakan untuk membakar korban covid-19.

Dengan seringnya mobil jenasah melintas di jalanan Keputih menuju TPU, menjadikan warga makin waspada terhadap wabah ini. Warga pun semakin sadar untuk mentaati protokol kesehatan yang telah digariskan oleh pemerintah.

Memakai masker saat keluar rumah menjadi kebiasaan baru warga Keputih. Begitu juga toko dan warung menyediakan tempat cuci tangan, bahkan hand sanitizer bagi pelanggannya. Semua ini merupakan upaya yang dianjurkan pemerintah untuk memutus pesebaran wabah dari Wuhan ini.

Namun warga tampaknya masih sulit untuk menjaga jarak (physical distancing) ketika berinteraksi. Seperti saat di Pasar, di Toko, dan di Rumah Makan. Apalagi di warkop yang menjadi tempat cangkruk’an rakyat kecil sambil ngrasani pandemi corona virus disease 2019. Inilah yang menjadikan salah satu kendala upaya pemutusan pesebaran wabah. Namun sejauh ini Covid-19 belum ‘masuk’ wilayah Kelurahan Keputih.

Memang, sempat beredar kabar beberapa warga keputih ‘dijemput’ petugas kesehatan, namun kelanjutan berita itu hilang begitu saja. warga Kelurahan Keputih tetap beraktivitas dengan caranya sendiri di era pandemi covid-19.

Pihak Kelurahan pun tidak sampai membentuk Gugus Tugas Covid-19 tingkat Kelurahan seperti yang ada dalam Buku Saku Desa Tangguh Covid-19. Mungkin inilah yang disebut Ketangguhan masyarakat yang tumbuh secara alami tanpa keterlibatan aktor dari luar. Wallau a’lam bishowab. [eBas/SeninLegi-25052020]
  


  





Sabtu, 23 Mei 2020

GUGUS TUGAS COVID-19 TINGKAT DESA/KELURAHAN


Webinar yang diselenggarakan platform nasional pengurangan risiko bencana (PLANAS PRB) hari Jumat (22/5), sangat luar biasa. Pesertanya banyak dari berbagai daerah. Aktif dan kritis menyampaikan pengalamannya, dan didukung oleh koneksi internet yang lancar jaya. Tumben, tidak seperti biasanya.

Ada cerita dari Kapten Salmar, seorang DanRamil yang berhasil menggerakkan potensi warganya untuk mendirikan keluarga tangguh bencana (KATANA) secara mandiri dan membentuk Gugus Tugas Covid-19 tingkat Desa, melawan corona.

Begitu juga Pak Papang, panglimanya relawan Indonesia, bercerita tentang bagaimana menginisiasi warga di lingkungan RT nya untuk bergotong royong melawan corona dengan memanfaatkan sarana prasarana dan sumber daya manusia yang ada.

Apa yang diceritakan ke dua tokoh di atas, kiranya sejalan dengan mBah Dharmo, tokoh muda dari Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang berhasil memobilisasi warganya dan meyakinkan perangkat Desa untuk membentuk DESTANA dan Forum PRB tingkat Desa, serta mendirikan Posko Covid-19. Sehingga dana Desa bisa dimanfaatkan dengan baik.

Sayangnya, cerita indah di atas sulit di replikasi di tempat lain. Belum semua pemda mendorong dan memfasilitasi kemandirian masyarakat dalam melawan covid-19. Tidak sedikit pihak kelurahan masih menunggu petunjuk. Belum berani melakukan aksi secara mandiri.

Dalam Surat Edaran nomor 440/2622/SJ, tertanggal 29 Maret 2020, Poin 4, mengatakan bahwa dalam hal perumusan kebijakan penanganan dampak penularan COVID-19, Pemerintah Daerah dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Daerah harus melakukan: (f) Melibatkan asosiasi profesi, tenaga professional yang bekerja di lapangan, pelaku usaha dan masyarakat sipil untuk memastikan upaya penanganan sampai di level terbawah.

Akan tetapi, sampai sekarang, kata Rurid Rudianto, pemerintah belum cukup memberikan ruang partisipasi. Sehingga masyarakat berjalan sendiri berbuat sesuatu untuk menolong sesama, serta menginisiasi penyusunan SOP penanganan Covid-19 ala masyarakat sendiri.

Ya, mereka dibiarkan berjalan sendiri dengan dana sendiri dan gayanya sendiri. Cuma, kadang kala tenaganya dimanfaatkan tanpa imbalan (konon relawan itu bekerja dengan hati dan tidak digaji, berhasil tidak dipuji, gagal dimaki, sakit salah sendiri, mati tak ada yang peduli).

Ya begitulah, keterlibatan masyarakat (relawan) masih sebatas bagian angkat-angkat sembako, Packing paket sembako, distribusi sembako dan jaga posko. Belum dilibatkan dalam rapat penyusunan kebijakan. Sementara media massa masih memberitakan tentang acara seremonial terkait dengan peninjauan lapangan maupun rapat dan pembagian bantuan.

Apa yang disampaikan Rurid sipenjual kopi, sejalan dengan istilahnya Platform PRB, bahwa masyarakat, secara mandiri telah berinisitif untuk mengorganisir dirinya dengan melakukan perbagai upaya pencegahan dan penanganan Covid-19 di lingkungannya dengan membentuk Gugus Tugas (Gugas) Covid19 Tingkat Desa/Kelurahan.

Mungkin tinggal bagaimana menyelaraskan dengan kebijakan yang ada. Namun tampaknya belum banyak dilakukan pemerintah. Entah kenapa, padahal sering dikatakan bahwa kemampuan pemerintah itu terbatas. Sehingga perlu peran serta masyarakat, seperti yang termaktub dalam Surat edaran di atas.

Sesungguhnyalah jika masyarakat sebagai orang terdepan dan paham akan lingkungannya itu dilibatkan dalam pendataan, pasti  penanganannya akan tepat sasaran. Apa kerena kurang melibatkan masyarakat, sehingga data penerima BLT, Bansos, dan bantuan lain terkait covid-19 sering amboradul ya?.

Sebenarnya, masalah ini sudah banyak dibahas di berbagai webinar. Seperti yang diselenggarakan oleh Pujiono Centre, Planas PRB, Ombudsman, Kampus dan berbagai profesi yang peduli covid-19.

Jawaban yang sering muncul dari pejabat yang menjadi nara sumber adalah, “maaf itu bukan bidang kami, itu ranahnya OPD lain. Nanti deh akan dipelajari untuk perbaikan kedepannya,”. Entahlah yang dimaksud “nanti” itu kapan, tidak ada kejelasan. Sangat normatif sekali.

Beberapa waktu yang lalu, saat Pujiono Centre menggelar webinar, tercetus rencana untuk berkoordinasi dengan kemensos, kemendes, BNPB dan lainnya dalam  rangka ‘membentuk’ Gugus Tugas OMS yang akan bekerjasama dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Baik di tingkat provinsi, Kabupaten maupun kota.

Diceritakan pula, bahwa di tingkat pusat, masing-masing klaster telah aktif berdiskusi secara berkala. Namun tampaknya belum mengimbas sampai daerah. Mungkin masih berputar di ranah penyusunan kebijakan. Sementara korban covid-19 telah berguguran.

Dalam webinar kali ini, Planas mengatakan bahwa Penanganan krisis pandemi Covid-19 yang secara sistematis selama kurang lebih 3 bulan ini dilakukan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat desa masih dirasa kurang efektif

Untuk itulah kegiatan ini diharapkan menjadi ruang diskusi online yang bertujuan untuk (1) membangun bersama tentang bagaimana posisi, peran dan fungsi Platform/Forum PRB penanganan Covid19 dan (2) menjadi ruang berbagi-tukar pengalaman dan pembelajaran praktik pendukungan Platform/Forum PRB dalam penanganan Covid19 di daerah, yakni dalam penguatan sistem dan kebijakan penanganan Covid 19 baik nasional maupun daerah.

Berbagai pengalaman dan informasi yang disampaikan oleh peserta webinar ini bisa dijadikan bahan masukan untuk menyusun program maupun kebijakan terkait dengan upaya memberdayakan Forum PRB serta membangun ketangguhan di tingkat komunitas dalam menangani covid-19.

Alangkah eloknya jika Planas melalui jejaringnya, bisa mengajak duduk bersama para pemegang regulasi untuk berkoordinasi membangun kesepahaman antar aktor, sehingga keberadaan Forum PRB benar-benar memerankan fungsinya. Tanpa itu sulit melakukan komunikasi, apalagi koordinasi dalam rangka membentuk Gugus Tugas Covid-19. [eBas/ndlemingSabtuWage-23052020]






Rabu, 20 Mei 2020

DWI ROSSANTIANA (Taksih jangkep Pak Dhe)


“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari bahaya yang menimpaku dan telah banyak memberikan karunia-Nya kepadaku melebihi karunia yang diberikan kepada mahluk lainnya. Terima kasih Cargo kesayangan, Baju Oren berlogo kesayangan dengan pelindung siku, Tas rubah merah, Jaket rubah merah, Hiking shoes, Kerudung dan Masker hitam...”, Begitulah cara Ocha mensyukuri nikmat Tuhan yang diterimanya karena kelalaiannya.

Komentar pun beragam dari teman-temannya. Semoga menjadikan motivasi diri untuk mempercepat pulih kembali seperti sedia kala, dan tentunya ngebut lagi kalau naik motor. Ya, ngebut lagi “koyok wong nyusul dukun”. Alasannya suka ngantuk kalau pelan-pelan.

          konon, tempat kejadiannya di perempatan Gedangan. mungkin dari arah Surbaya mau pulang. Yang jelas ada kaitnya dengan tugasnya sebagai person in charge dalam perakitan face shield di ITS bersama teman-teman relawan mitra SRPB.Tapi entahlah. termasuk menghindari apa dan jam berapa peristiwanya, hanya Ocha yang tahu. 

"Bablas Pakdhe, gak nutut ngerem. Motor banting kanan, Aku jatuh ke kiri," Jawab pemilik hobby Dance, Panjat, dan Mendaki.

Ketika ada yang tanya kenapa kok sampai jatuh ?. jawabnya enteng,  tanpa beban, mungkin sambil mringis seperti biasanya. “Kangen dlosoran nDan …”.

Yah, kalau dlosoran di tenda birunya BNPB yang oval, atau dlosoran di karpet sekretariat sambil nunggu Go-Food sih banyak yang mau. Lha ini dlosoran di jalan raya karena terpaksa dan penuh risiko. Tapi begitulah adanya Ocha yang sudah dua kali jatuh dari motor dimasa corona ini.

“Sebiru lautan, semerah senja, dengan konturnya yang indah dan rasa yang tak segera sirna. Alhamdulillah kepala hingga kaki tasek jangkep…,” Tulis Ocha di statusnya.

Sebuah ungkapan sambat yang dikemas puitis oleh seorang perempuan yang akrab dengan outdoor activity. Mungkin itulah cara Ocha mengambil hikmah dari keteledorannya. Ya, semoga ini menjadi pembelajaran untuk yang kesekian kalinya dalam rangka pendewasaan diri.

Ingatlah, suatu saat nanti Ocha akan menjadi ibu dari anak-anakmu. Maka, jangan kau marah jika anakmu meniru kelakuanmu. Inilah salah satu pelajaran bagi seorang calon Ibu, saat dirimu menemukan tambatan hatimu, entah kapan itu.

Sementara Azelin, dengan gaya seorang emak yang bijak, mencoba menasehatinya, “Mulai belajar maksimal di keselamatan ya mbak, bukan kecepatan. Semoga selamat selalu dan tetap sehat dalam menjalani takdir,” Kata emaknya Suju.

Apa yang disampaikan Azelin juga senada dengan harapan teman-temannya. Intinya Ocha harus semakin hati-hati mengendalikan motornya. Tetap berkarya namun juga waspada. Utamakan selamat. 

Berharap lebaran besuk Ocha sudah sumringah lagi dengan baju barunya, senyumnya pun kembali menghiasi pipinya yang merona. Dan yang terpenting giginya tetap cekatan mengunyah rengginang renyah. 

Selamat Lebaran ya Cha, maaf lahir batin. Ingat ya, tetap menerapkan protokol kesehatan. Diantaranya physical distancing. Oke Ocha, Keep spirit and never give up. [eBas/KamisPahing-21052020]








PERSON IN CHARGE ALA SRPB JATIM

Awal kepengurusan SRPB Jawa Timur yang dipilih dalam kongres ke II di Hotel New Grand Park, Surabaya, diparuh pertama tahun 2020, terpaksa belum bisa melaksanakan program yang diamanatkan dalam kongres. Semua ini gegara wabah dari kota Wuhan yang datang tiba-tiba dan mematikan. Serentak masing-masing personil SRPB kembali ke induk organisasinya untuk melaksanakan program di daerah masing - masing, dalam rangka turut berpartisipasi menghambat pesebaran wabah.

Mereka sibuk melakukan penyemprotan disinfektan, membagikan masker dan hand sanitizer serta tidak sedikit yang terlibat di dalam posko percepatan penanganan covid-19 di daerahnya.

Begitu juga dengan SRPB, diajak bekerjasama oleh ITS dalam perakitan face shield serta diminta membantu BPBD Provinsi jawa Timur untuk mengirimkan beberapa relawan melakukan packing sembako di Posko Percepatan Penanganan Covid-19 di Gedung Negara Grahadi.

Agar ke dua kegiatan ini berjalan lancar, tentulah diperlukan seorang penanggungjawab (Person In Charge) atau biasa disebut PIC. Atas masukan berbagai pihak, koordinator SRPB menunjuk Abad sebagai PIC untuk kegiatan di Grahadi. Sementara kegiatan di ITS dipegang Ocha. Keduanya ‘didampingi’ oleh Puspita, yang sudah berpengalaman dibidangnya.

Tugas PIC itu paling tidak adalah berkoordinsi dengan penanggungjawab lokasi, kemudian memobilisasi relawan untuk terlibat dalam kegiatan, menyiapkan absensi, mendokumentasikan kegiatan dan tugas-tugas lain sesuai perkembangan di lokasi. Semuanya ini bertujuan agar pelaksanaan kegiatan berlangsung aman lancar tertib dan tidak mengecewakan pihak lain.

Abad dan Ocha melaksanakan perannya dengan penuh dedikasi dan loyalitas. Mereka benar-benar mengeluarkan seluruh potensinya agar tanggungjawab yang diberikan koordinator SRPB tidak mengecewakan. Sementara keberadaan Puspita yang lumayan sabar dan selalu ceria ini juga tidak bisa disepelekan.

Dengan gayanya yang khas, pemilik avanza itu mendampingi Abad dan Ocha agar tidak salah langkah dalam membersamai relawan yang memiliki karakter dan pengalaman yang berbeda satu dengan yang lain. Sehingga potensi konflik karena perbedaan pemahaman (miskomunikasi) bisa dieliminasi.

Sungguh, dalam kegiatan ini Abad dan Ocha dituntut kerja ekstra keras penuh kesabaran. Sukurlah mereka memiliki kekuatan mental baja dan tidak mudah stress karena tekanan kerja yang setiap hari berubah sesuai perkembangan. Disinilah peran Puspitan diperlukan untuk “menyereweti” mereka berdua agar tetap tegar sekaligus menjadikan kegiatan ini sebagai media belajar.

Ya, PIC itu harus dipegang oleh anggota yang dianggap mampu atau memiliki potensi dan perilaku yang dapat dipercaya untuk menangani kegiatan tertentu. Mereka bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang dibebankan serta mengawasi personil yang bekerja dibawah kendalinya. Semua aktivitas harus tercatat dan didokumentasikan sebagai media pembelajaran kelak dikemudian hari.

Memang, di SRPB selalu dipilih siapa yang akan dijadikan PIC dalam sebuah kegiatan. Ini sebagai media pembelajaran, menambah pengalaman sekaligus upaya kaderisasi kepemimpinan. Untuk kegiatan di ITS dan Grahadi, tampaknya koordinator SRPB tidak salah memilih OPA (Ocha, Puspita dan Abad) sebagai dirijen bagi teman-temannya untuk membantu penanganan covid-19.

Tentu banyak figure lain yang juga berperan di belakang si OPA yang selalu “menyereweti” agar tetap fokus pada tujuan semula. Disana ada koko Leo, Cak nDaru, mas Adi Sucipto, Abah Huda Obis, Dhe Kopros, Yu Azelin, dan banyak lagi yang lainnya.

Tak lupa pula si OPA juga mendapat contoh dan arahan dari Gus Yoyok Bangil, Cak Yo Rogojampi, Mas Budhi Pamekasan, Sam Yeka di Palu, serta Ning Chica dan mas Fathony kera ngalam. Semoga mereka ini tetap istiqomah membersamai SRPB dalam mengkader relawan muda sebagai calon penerus dari pengurus.

Ya, tidak terlalu salah jika person in charge itu dijadikan media pengkaderan, karena sudah menjadi sunatullah bahwa semua itu harus berganti. Ingat kata Endank Soerkamti, datang akan pergi, lewat akan berlalu, awal kan pergi, dan terbit kan tenggelam. Semua ada masanya, termasuk puasa ramadhan yang akan segera berakhir.

Selamat menikmati akhir bulan ramadhan, semoga semua mendapat Qodaran serta Lebaran yang barokah di era pandemi covid-19. Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. Taqobbalallahu minna waminkum. Tetap semangat, tetap sehat dan silahkan mudik bagi yang berani, asalkan sesuai protokol kesehatan. [eBas/ndlemingSendiri/RabuLegi-20052020]

 



Sabtu, 16 Mei 2020

TERDAMPAK COVID-19 RELAWAN MEMBANTU RELAWAN (hanya sebuah cerita belaka)


Dampak dari pandemic covid-19, sungguh luar biasa. Disamping meningkatnya jumlah korban, juga berpengaruh kepada sejumlah relawan yang mata pencahariannya di sektor informal, dengan mengandalkan upah harian, mengalami pengurangan penghasilan. Bahkan sama sekali tidak bekerja karena pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Melihat kesulitan itu, Pengurus sekretariat bersama relawan penanggulangan bencana (SRPB) Jawa Timur, berinisiatif memberikan bantuan. Rencana ini dimatangkan dalam subuah acara berbuka puasa secara terbatas.

Dian Harmuningsih, sebagai koordinator SRPB, mengatakan di tengah pandemi covid-19 yang semakin ganas ini diharapkan teman-teman relawan yang berkelebihan rejeki, berkenan berbagi dengan teman-teman relawan yang perlu dibantu.

“Mari kita peduli kepada teman kita yang kesulitan karena dampak pamdemi ini. Mari bergotong royong membangun solidaritas dengan membagikan paket sembako yang bisa meringankan beban kawan kita, Mari bersama mencari dana untuk merealisasikan rencana mulia kita,” Ujarnya mengawali diskusi sambil menikmati hidangan buka puasa, senin (4/5) malam, di rumahnya, Desa Sumorame, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo.

Beberapa donator telah siap menyalurkan bantuannya. Baik berupa uang maupun barang. Rencananya, dalam satu paket sembako itu terdiri dari beras 5Kg, minyak goreng 1 liter, telur ½ Kg, gula 1Kg, dan sarden 1 Kaleng. Jenis barang bisa bertambah, jika donator yang berpartisipasi semakin banyak.

Yoyok Wahyudi, mengusulkan agar segera membentuk tim yang akan mendata siapa saja relawan yang berhak mendapatkan bantuan, sehingga bisa segera disalurkan. Mengingat ini bulan puasa, tentu kebutuhan sembako sangat diperlukan.

“Sebagai langkah awal, saya pikir kita mendata 50 orang dulu untuk segera diberikan bantuan. Baru kemudian mendata lagi sesuai dengan donasi yang masuk,” Kata Yoyok yang aktif mengadakan penyemprotan disinfektan pada fasilitas umum serta mendirikan Cafe Relawan.

Sementara, Wawan Subakti, sebagai penanggung jawab kegiatan, yakin nanti akan banyak relawan yang bersedia menyisihkan sedikit rejekinya untuk membantu sesamanya yang membutuhkan. Itu lah nilai kepedulian dalam arti sesungguhnya. Seperti yang sering diteriakkan bersama “Bersatu Bersinergi Untuk Peduli”. Tinggal bagaimana mekanisme menghubungi seluruh ketua organisasi mitra SRPB agar berkenan menyisihkan sedikit rejekinya guna mendukung kegiatan ini.

Dari kalkulasi kasar saja, jika setiap anggota organisasi mitra SRPB menyisihkan rejekinya dua ribu rupiah saja setiap bulan, maka akan terkumpul jumlah yang lumayan untuk dikemas dalam paket sembako untuk membantu sesama relawan. termasuk untuk modal usaha bersama. Sehingga SRPB bisa mandiri secara financial.   

“Semoga buka bersama yang hanya diikuti oleh beberapa orang ini membawa keberkahan bagi kegiatan  relawan membantu relawan yang telah kita sepakati bersama,  ” Ujarnya.

Masih kata pria yang sekarang memelihara jenggot, bahwa bagaimana pun juga keterlaksanaan program Lumbung Pangan Relawan ini sangat tergantung dari partisipasi kita semua. Istilahnya Kak Dian, jimpitan pun tidak apa-apa yang penting bergerak bersama, maka yang sedikit demi sedikit dari jimpitan itupun akan menjadi bukit. Wallahu a’lam bishowab. #Selamat menikmati akhir ramadhan, semoga kita mendapat limpahan barokah ramadhan#. [eBas/SabtuPahing-16052020]




Kamis, 07 Mei 2020

F-PRB JATIM NGOBROL ONLINE DENGAN ZOOM MEETING


Bermula dari pertanyaannya mBah Dharmo di grup whatsApp (GWA) Membangun Forum PRB Jatim. Disitu dia nulis, Apakah dulur-dulur semua masih punya semangat untuk ber Forum PRB ?Monggo yang masih bersemangat, langsung nulis nama di 
bawah ya lurs.

“Kita ingin berbuat sesuatu yang ada guna manfaatnya untuk sesama. Terutama dalam menghadapi pandemi covid-19 dan kedepannya,” Kata alumni pasca sarjana UPN Jogja.

Makanya, masih kata aktivis Jangkar Kelud, kami ingin melihat dulu, masihkan dulur-dulur punya semangat ber-FPRB. Setelah itu baru membahas apa yang bisa kita lakukan.

Gayung pun bersambut. Satu persatu anggota GWA menuliskan nama sebagai tanda masih punya semangat dan komitmen untuk ber-FPRB-ria. Hampir 40 orang yang mendaftar dari 108 anggota grup.

Sebagai langkah awal melepas kangen secara online, Cak Su’ud berkenan “memfasilitasi” ngajak ber-Webinar-ria dengan menggunakan Zoom Meeting, yang saat ini lagi booming dengan kendala utama koneksi internet dan audio trouble karena kekurang tahuan menggunakan aplikasi ini.

Apa yang akan dibahas, atau adakah agenda yang ingin dicapai dengan kegiatan ini ?. Bahkan ada yang bertanya, apakah FPRB terlibat dan dilibatkan dalam struktur gusus tugas covid-19 di Kabupaten/Kota. mBah Dharmo Dan Cak Su’ud bilang bahwa diawal ngobrol bareng ini, cukup digunakan untuk saling ”Say Hallo” dulu, sambung seduluran dan sharing pengalaman selama masa pandemi covid-19 yang dimulai bulan maret 2020.

Setelah komunikasi terbangun, baru dari situlah nanti akan dilanjutkan berwebinar lagi untuk nyusun agenda rutin dalam rangka pembelajaran. Tidak hanya belajar masalah covid-19 dan dampaknya pada rakyat kecil yang penghasilannya berkurang akibat social distancing, tapi juga masalah lain seputar penanggulangan bencana. seperti belajar tentang SKPDB dan lainnya. 

Ada usulan kegiatannya diberi nama ‘Webinar Kemisan’ sebagai upaya peningkatan kapasitas anggota GWA. Rencananya pertemuan selanjutnya akan difokuskan pada topik yang lebih spesifik dengan mengundang nara sumber yang kompeten sebagai pemantik. bisa dari unsur pemerintah, akademisi, dan praktisi lainnya.

Rurid, sebagai Sekjen Forum-PRB Jatim, mengawali obrolan dengan mengajak partisipan bersemangat menghidupkan forum agar keberadaannya semakin terlihat oleh khalayak ramai.

Sesungguhnyalah kreatifitas kawan-kawan di masing-masing daerah itu berbeda dalam ‘berkomunikasi’ dengan penguasa setempat. Masing-masing punya gaya dan cara sendiri untuk mendekati penguasa. Pengalaman inilah yang perlu diimbaskan kepada kawan yang lain. Siapa tahu dapat di duplikasi.

Khusairi, dari unsur akademisi menyampaikan gagasannya bahwa problem wabah ini sangat tergantung dari adanya koordinasi antar organisasi perangkat daerah (OPD), sehingga mereka bisa memainkan tugas dan fungsinya.

“Disini, forum hendaknya bisa membuat rekomendasi kepada pemerintah daerah (dalam hal ini gugus tugas covid-19 ?), agar melibatkan berbagai komunitas dalam penanganan wabah. Karena, sampai saat ini belum tampak adanya koordinasi itu. Mereka masih bermain sendiri antar OPD,” Katanya.

Masih kata Cak Kus, begitu sapaan akrabnya, diharapkan kawan-kawan yang mempunyai modal sosial berupa jaringan yang bisa menembus ‘pusat kekuasaan’ untuk bisa merapat memberi masukan tentang perlunya duduk bareng antar unsur pentahelix dalam rangka penanganan covid-19.

“Tampaknya dalam gugus tugas ini, yang berperan OPD, dan keberadaan BPBD kurang menonjol. Sehingga berbagai komunitas berinisiatif sendiri,” imbuhnya. Hal ini seperti yang di lakukan berbagai komunitas di Lamongan (info dari Cak Ali).

Apa yang dikatakan Cak Kus juga diamini oleh Hanafi dari Lumajang. Katanya, di daerah banyak pejabat OPD yang dilibatkan dalam gugus tugas sehingga suasana jadi serba formal. Hal ini terjadi (mungkin) karena masing-masing OPD mempunyai dana sendiri yang harus dibelanjakan sesuai aturan di kantornya agar tidak disalahkan itjen, BPK, apalagi KPK. Bisa runyam nantinya, menangani bencana malah kena bencana.

Sehingga, yang terjadi adalah penggunaan anggaran berbasis daya serap. Yang penting laporannya beres, aman dan amanah (juga aman ah). Jika ini benar, maka, apa yang dikatakan oleh Ali bahwa di lamongan, anggaran 5 miliar untuk penanganan covid-19, digunakan untuk pengadaan nasi kotak yang dibagikan ke masyarakat.

“Ya, banyak anggaran tapi kurang maksimal penggunaannya. Alangkah baiknya jika ini dikerjasamakan dengan berbagai komunitas yang turun langsung ke lapangan,” Katanya.

Teguh, dari Tuban berharap dalam pertemuan ini bisa fokus pada masalah tertentu untuk kemudian dijadikan rekomendasi yang di dukung dengan data akurat. Termasuk melakukan konfirmasi terkait dengan benar tidaknya penggunaan dana 5 miliar hanya untuk membeli nasi kotak. Jangan-jangan dana itu termasuk diantaranya digunakan untuk pengadaan nasi kotak.

Dari 40 anggota yang menyatakan ikut webinar, ternyata masih ada yang terpaksa tidak ikut karena kesibukan. Namun mereka tidak jadi ikut itu bukan berarti indikator bahwa mereka sudah kehilangan stamina berforum.

Mungkin saja mereka sedang ingin berlama-lama nderes Al-Qur’an sak maknane, biar khusuk. Mumpung di bulan ramadhan, bulan yang penuh maghfiroh, ampunan dan barokah. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/Kamis malem jumatWage]   


Selasa, 05 Mei 2020

FORUM PRB LOMBOK TIMUR DALAM CATATAN


Webinar meeting yang digagas platform Nasional pengurangan Risiko Bencana (PRB), tanggal 5 Mei 2020, seakan menjadi penawar rindu setelah sekian lama tidak bertemu. Seakan kita sudah lupa bersemuka menyusun agenda bersama, dikarenakan kesibukan dan jarak yang menjadi kendala.

Kegiatan yang mengambil tema Posisi, Peran dan Fungsi Platform/Forum PRB Kabupaten/Kota dalam Penanganan Covid-19 di daerah, menampilkan Rurid Rudianto dari Forum PRB Kabupaten Malang, Jatim dan Achsan dari Forum PRB Kabupaten Lombok Timur, NTB.

Dihari Ambyar Sedunia ini (begitu yang diusulkan Sobat Ambyar untuk menandai hari wafatnya The Goddfather of Brokenheart, Didi Kempot, 05-05-2020), mereka bergantian berbagi cerita pengalaman tentang penanganan covid-19. Sejak pra wabah sampai saat ini, dimana korban terus bertambah. Entah sampai kapan wabah dari Kota Wuhan ini akan musnah, tidak semakin parah.

Walaupun koneksi internet agak putus nyambung, Achsan berbagi pengalaman bagaimana melakukan koordinasi dengan organisasi perangkat daerah (OPD)  dan elemen lainnya (pentahelix) untuk melakukan kegiatan bersama penanganan covid-19 yang melahirkan istilah OPD, PDP, OTG, isolasi mandiri, karantina, social distancing, physical distancing dan PSBB.

“Kami juga melakukan komunikasi dengan BPBD, sehingga beberapa program Forum mendapat dukungan anggaran. Jumlahnya masih dibawah seratus juta, tapi lumayanlah untuk peningkatan kapasitas masyarakat. Jelas ini sangat mendukung BPBD dalam membangun kesiapsiagaan dan ketangguhan masyarakat menghadapi bencana,” Katanya, dengan kualitas suara timbul tenggelam. Maklum pulsa saya tinggal satu dua putaran lagi.

Achsan juga mengatakan bahwa semua kegiatan yang dilakukan Forum, selalu dilaporkan ke BPBD, sebagai upaya menjalin komunikasi yang harmonis. Sukur-sukur dalam laporan tersebut disertai foto kegiatan dan usulan tindak lanjut dan rekomendasi untuk bahan penyusunan kebijakan.

Terkait dengan pandemi corona ini, Forum PRB dilibatkan dalam penanganan covid-19 dibawah komando Bupati dan Sekda Lombok Timur. kegiatan yang ditangani diantaranya adalah penyemprotan disinfektan, penjagaan dan pemeriksaan dengan Thermo Gun bagi masyarakat yang berlalu lalang di jalanan, pembagian masker dan hand sanitizer serta pembagian sembako.

“Kami juga mencoba mendata dampak corona terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat, agar tidak menimbulkan permasalahan lain yang bisa menggangu keamanan dan ketertiban,” Ujarnya bersemangat.

Apa yang diceritakan oleh Ketua Forum PRB Kabupaten Lombok Timur, diharapkan bisa menginspirasi peserta webinar. Hal ini sesuai dengan tujuan dari kegiatan yang digagas Platform PRB, yaitu menjadi ruang berbagi, tukar pengalaman dan pembelajaran praktik pendukungan Platform/Forum PRB dalam penanganan covid-19 di daerah yakni dalam penguatan sistem dan kebijakan penanganan covid-19. Baik nasional maupun daerah.

Sayangnya saya gagal mengikuti webinar sampai purna, dikarenakan pulsa sudah tidak mau kompromi. Sehingga saya belum tahu bagaimana peran, posisi dan fungsi serta penguatan sistem dan kebijakan yang diharapkan oleh kawan-kawan di Platform PRB.

Semoga ada peserta webinar kemarin yang sempat membaca catatan saya ini, sehingga diharapkan berkenan menambahkan informasi agar semakin kaffah. Selamat menunaikan ibadah puasa hari ke 13 bagi yang berkenan menjalankan. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/RabuPahing-06042020]