Rabu, 26 April 2017

MUSYAWARAH FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA JATIM 2017

Sungguh, tidak menyangka jika semangat peserta Musyawarah Besar Forum Pengurangan Risiko Bencana Jawa Timur (Mubes F-PRB Jatim) begitu hebat. Mereka berdatangan secara mandiri dari berbagai daerah dengan antusiasme tinggi. Ada yang naik angkutan umum, ada yang membawa mobil pribadi, juga ada yang nekat bermotor ria dengan menempuh puluhan kilo menuju Hotel Pelangi, Kota Malang.

Dengan tertib mereka melakukan registrasi ke meja panitia, sambil menunjukkan surat mandat dari organisasi serta membayar kontribusi yang ditukar dengan seminar kit dan kaos cantik  limited edition, yang tidak mungkin ada dijual di pasaran. Mereka rela membayar dengan tujuan, mensukseskan acara mubes, sekaligus mempererat tali silaturahim antar relawan penanggulangan bencana.

Acara berlangsung kondusif. Ketika rehat kopi, masing-masing peserta saling berkenalan dan memperkenalkan lembaganya, bahkan ada yang memamerkan pengalamannya dalam bergiat di daerah bencana. Sementara lainnya hanya senyam senyum sambil menikmati snack yang disediakan pihak Hotel atas pilihan panitia. Apalagi, Hotel tempat mubes dekat dengan alun-alun dan masjid besar Kota Malang, sehingga saat senggang, peserta bisa menikmati sebagian keindahan yang ditawarkan Malang Kota Bunga (makobu).

Konon, Musyawarah merupakan suatu tindakan menyatukan pendapat yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk membahas suatu masalah, dengan tujuan agar mendapatkan solusi terbaik untuk kepentingan bersama. Begitu juga dengan mubes ini sebagai upaya regenerasi kepengurusan, sekaligus melakukan evaluasi program kerja pengurus yang lama untuk dijadikan acuan pengurus yang baru saat menyusun programnya.

Dengan mengusung tema Membangun Gerakan Pengurangan Risiko Becana yang Inklusif, acara yang paling ditunggu adalah laporan pertanggungjawaban pengurus. Karna inilah kesempatan bagi anggota ’membantai’  pengurus. Padahal mereka tidak tahu bagaimana kesibukan, kendala dan kesulitan pengurus dalam melaksanakan program. Mereka juga kurang tahu pengurus yang berdarah-darah menginisiasi terbentuknya Forum PRB di Kabupaten/Kota.

Begitu juga dengan rapat komisi yang membahas statuta dan renstra, berjalan cukup dinamis dan sempat memanas. Argumen kritis bersahutan mengomentari draft maupun lontaran pendapat. Ini bisa dimaklumi. Karena peserta mubes adalah para ‘pemain’ yang sudah lama malang melintang di medan pengabdian membantu sesama yang menjadi korban bencana.

Semoga daya kritis yang diteriakkan ini tidak hanya disaat rapat saja sambil menikmati secangkir kopi, tapi juga mewarnai pelaksanaan program forum yang terasakan. Artinya, jangan sampai mubes menjadi ajang pinter-pinteran ngomong untuk membangun gerbong semata, namun hilang tak terdengar manakala waktunya bekerja bersama menyuarakan pentingnya upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas.

Inilah sebagian dari dinamika yang berhasil dibangun oleh panitia sehingga semua yang hadir dalam mubes aktif berkontribusi untuk memberi masukan kepada calon pengurus baru, agar bisa mengemas program yang mudah dilaksanakan, baik secara mandiri maupun bekerjasama dengan lembaga mitra terkait. Pelatihan dan pertemuan bagi anggotanya dalam rangka meningkatkan kapasitas hendaknya  ditingkatkan.

Disamping itu, pengurus terpilih hendaknya bisa membangun kesadaran anggota forum akan pentingnya kebersamaan, saling menguatkan, dan meningkatkan komitmen untuk menampakkan kiprah nyata yang bermanfaat bagi khalayak ramai. Tidak kalah pentingnya, forum harus diupayakan untuk semakin mencerminkan keberagaman anggotanya, dan keterwakilan semua daerah, sehingga ‘rasa jawa timurannya’ semakin tampak.

Akhirnya selamat bekerja untuk ‘rezim baru’ yang terpilih secara musyawarah tanpa pertumpahan darah. Semoga sinergi yang selama ini dibangun bisa ditingkatkan agar bisa menterjemahkan pergeseran paradigma responsif ke arah preventif dalam penanggulangan bencana ke dalam bahasa masyarakat dengan mengedepankan kearifan lokal yang ada. Salam tangguh, salam kemanusiaan. [eBas]












Selasa, 18 April 2017

JAMBORE RELAWAN

Konon, sebagai upaya tindak lanjut dari Latihan Gabungan yang dipelopori Komunitas Relawan Indonesia (Latgab K.R.I) di Hutan Wisata Pacet, Mojokerto, maka kawan-kawan dari K.R.I Malagraya menggagas kegiatan yang diberi nama Jambore Relawan Merah Putih. Kegiatan yang mengambil tempat di daerah Lembah Dieng, Kota Malang, diikuti oleh beberapa organisasi relawan.

Dengan berbekal semangat kebersamaan antar berbagai elemen relawan, jambore ini bertujuan untuk saling berbagai informasi, tukar pengalaman, sekaligus mempererat tali silaturahim. Bersama berupaya membongkar ego sektoral yang selama ini menjadi ganjalan dalam membangun kegiatan bersama, seperti latihan gabungan.

Ya, ego sektoral yang membanggakan bendera sendiri dengan memandang sebelah mata bendera yang lain, itu masih ada, masih dipelihara. Buktinya, ada yang sengaja tidak mau datang, bahkan mengajak untuk tidak ikut Jambore Relawan yang baru pertama digelar secara mandiri, tanpa fasilitasi dari pemerintah, apalagi bantuan dana.

Mungkin, mereka yang tidak ikut itu merasa bahwa Jambore Relawan itu sudah bukan kelasnya. Sehingga mereka tidak datang dengan alasan sibuk atau tidak diundang. Padahal jauh hari panitia sudah mengirimkan undangan, juga disebar melalui media sosial.

Ya, itu sah-sah saja mereka tidak datang. Karena, mungkin merasa tidak ada untungnya ikut kegiatan yang dimotori oleh K.R.I Chapter malangraya, yang nota bene sebuah organisasi baru, yang belum punya nama, dana, dan prestasi yang mendunia seperti mereka.

Kegiatan yang digelar selama tiga hari, jum’ad sampai minggu (14 – 16 april 2017) menyajikan materi dasar kebencanaan. Dalam penyajian materi, selalu diselipi dengan guyonan yang membuat suasana dinamis. Dengan konsep dialogis partisipatoris pemateri memberikan contoh nyata, seperti kegiatan mitigasi, evakuasi dan penyiapan dapur umum, sehingga peserta mudah memahami materi.

Untuk acara praktek dan simulasi,korlapnya Cak Ghombenk dan Bang Jhone Brengos. Mereka berdua menyajikan materi water rescue, vertical rescue dan pertolongan pertama pada kecelakaan. Semua berjalan sesuai skenario, semua peralatan pendukung juga berfungsi dengan baik.

Pesertanya pun tidak kalah heboh, mereka penuh semangat mengikuti instruksi. Jatuh bangun bersama  untuk mempererat tali silaturahim, mengasah keterampilan dan meningkatkan kapasitas sebagai rekawan penanggulangan bencana yang tangguh, terampil dan trengginas melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.

Ya, jambore sebagai ajang pertemuan antar relawan untuk saling berbagi informasi dan pengalaman yang dikemas secara apik dan menarik. Apalagi, panitia pelaksana berhasil menggandengn komunitas musik untuk unjuk karya dengan segala gaya, membuat suasana penuh suka dan semuanya bergembira.  

Hanya ada satu kata, jambore relawan ini harus ada kelanjutannya. Tentunya pasca kegiatan ini harus terus dipupuk rasa kebersamaan yang telah dijalin lewat jambore, melalui berbagai media komunikasi. ingat !!! .... sekali layar terkembang pantang surut ke belakang. Selamat buat semuanya. [eBas]


  

Senin, 03 April 2017

CATATAN LONGSOR PONOROGO

 Akhirnya, longsor itu datang juga dan mwarga pun menjadi korban. Padahal, beberapa hari sebelumnya tanda-tandanya sudah tampak. Seperti keretakaan dan amblasnya tanah dibeberapa titik. Warga pun sudah diberi tahu. Kalau malam mereka mengungsi ditempat yang telah ditentukan oleh BPBD setempat. Pagi hari mereka kembali ke rumahnya, bekerja di ladangnya, seperti biasanya.
Ya, tidak mungkinlah warga terdampak tahan hidup lama di pengungsian, apalagi di tenda. Begitu juga dengan pemerintah (BPBD), dengan anggaran terbatas hanya bisa menyediakan konsumsi ala kadarnya, yang penting gizinya tercukupi. Itupun jangka waktunya terbatas.
Sementara datangnya longsor selama ini belum bisa diduga dengan akurat. Di sisi lain, tuntutan hidup warga meronta untuk segera dipenuhi. Maka, yang terjadi adalah nekat. Nekat pulang untuk menengok dan membersihkan rumahnya. Nekat ke ladang untuk berkebun mencari nafkah.
Kalau sudah begini, pemerintah serba repot. Mau melarang, tapi tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup warga terdampak. Membiarkan, sepertinya mengabaikan bahaya.
Namun malang tidak dapat ditolak, ketika warga asik melakukan aktivitas hidupnya, longsor datang menerjang. Semua tungang langgang menjadi korban. Longsornya bukit di sebelah barat Desa Banaran memang tak pernah disangka oleh warga setempat.
Bukit yang asri tiba-tiba longsor dan menimbun hidup-hidup warga yang tinggal di bawahnya. Apalagi selama ini bukit tersebut hijau dan subur memberi penghidupan kepada banyak warga dengan bercocok tanam aneka tanaman hortikultura, juga tanaman obat. Sepeti jahe yang siap panen.
Ya, akhirnya semua mendadak repot. Warga repot menyelamatkan diri, relawan repot membantu evakuasi, repot menyiapkan tempat pengungsian, repot menyiapkan dapur umum, repot mencatat bantuan yang masuk serta pemanfaatannya.
Dibawah komando BPBD, relawan juga repot membantu distribusi logistik, repot mencari korban, membersihkan fasilitas umum untuk memperlancar penanganan korban bencana. Pemerintah daerah pun repot mencairkan anggaran dana siap pakai untuk kedaruratan. Bahkan dibeberapa kasus ada yang ikut repot memanfaatkan kesempatan ditengah kesemrawutan adminstrasi. Ada juga yang repot memanfaatkan longsor sebagai media wisata bencana yang wajib diabadikan dengan berbagai gaya selfi, sedang yang lainnya secara suka rela mengumpulkan donasi kemanusiaan.
Amin Widodo, pakar sekaligus pegiat kebencanaan, mengatakan bahwa, sebenarnya longsor itu tidak ‘ujug ujug’ datang meminta korban. Tapi ada tanda-tanda khas yang mengawali, diantaranya: (1) ada longsor-longsor kecil, (2) retakan-retakan di tanah dan di tembok/pagar, (3) pohon yang tumbuh miring atau tiang listrik miring, (4) pohon yang terangkat dan terlihat akarnya.
Masih kata Amin, ada salah persepsi terkait istilah ‘tanah gerak’ yang berkembang di masyarakat dan dianggap biasa. Padahal, seharusnya masyarakat yang bermukim di kawasan rawan longsor, bisa melaporkan ke pemerintah setempat jika melihat tanda-tanda tanah mau longsor dan harusnya oleh pemerintah segera di survey untuk penanganan dan solusinya. Namun semua itu masih sering diabaikan.
Apalagi, saat ini terjadi alih fungsi yang begitu massif. Lereng gunung dibabati, hutan pun digunduli, sementara bagian bawahnya dijadikan pemukiman. Sementara, longsor itu identik dengan gerak benda bidang miring. Sangat mungkin manusialah yang mempercepat proses longsor dengan menebangi pohon yang akarnya berfungsi sebagai pengikat tanah dan batuan.
Kiranya ke depan bahaya longsor akan terus mengancam, banyak hutan gundul, lereng pun tidak rimbun lagi. Pohon besar ditebang. Berganti tanaman sayur dan buah yang secara ekonomi lebih menjanjikan. Padahal dibalik itu, konon bahaya longsor siap beraksi, tinggal menunggu giliran, entah kapan dan dimana, yang jelas bencana longsor pasti akan kembali menyapa. Apakah longsor Ponorogo tidak dijadikan bahan pembelajaran?.[eBas]