Senin, 19 Desember 2016

MAPALA JONGGRING SALAKA (SEBUAH CATATAN)

Keberadaan mapala  Jonggring Salaka, Universitas Negeri Malang (d/h IKIP Malang) kiranya sudah tidak asing lagi di ranah ke-pecintaalam-an. Ini karena sejak lahir, dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi kepengurusan, selalu ambil peran aktif terlibat dalam berbagai kegiatan ke-pencintaalam-an. Baik di local Kota Malang, maupun regional, bahkan nasional. Baik atas nama organisasi maupun pribadi (karena sesungguhnyalah anggota JS itu punya potensi berprestasi diberbagai bidang …ehm).

Aneka lomba, kegiatan seminar, gladian nasional, pertemuan mapala dan diklat serta latgab, selalu saja JS mengirimkan wakilnya. Semua ini untuk menambah pengalaman dan memperkaya wawasan, sekaligus menjalin silaturahim memperluas jejaring pertemanan dari berbagai organisasi mapala. Mapala JS dengan jaket kebanggaan berwarna biru, juga aktif di kampus dengan berbagai programnya, sesuai kreatifitas pengurus dan tuntutan kampus.

Namun demikian, ciri khas dari mapala JS yang ‘ngangeni’ diantaranya adalah kerukunan anggotanya dalam mengamalkan sesanti “Sekata Sehati Setujuan”. Itulah yang patut diacungi jempol. Itulah kata sakti yang mampu mengikat dan mempererat anggotanya dari generasi ke generasi. Termasuk acara kumpul-kumpul reuni, buka bersama, halal bi halal dan anjang sana sini spontanitas pun menjadi obat rindu dalam suasana akrab bersahabat.

Estafet kepengurusan dari senior ke yunior pun selalu berjalan mulus walau melalui proses yang seru penuh liku, berjibaku dengan waktu melalui musyawarah anggota (musang) yang menharu biru, untuk memilih susunan pengurus yang bermutu sesuai kesepakatan yang saling membantu untuk maju.

Ciri khas lainnya, adalah warisan lama tentang perilaku santai, rodok kemproh, jarang mandi, lingkungan secretariat agak kumuh dipenuhi peralatan kemping dan baju sepatu yang belum dicuci sehingga semriwing baunya. Kopi segelas disruput bergantian, kadang juga teh tubruk yang memerah, cangkruk’an gitaran dengan lagu sak karepe dewe sambil mengitari unggun, tampaknya masih dipertahankan, walau sedikit ada perubahan. Ya itulah dunia mapala dimana pun berada, juga di Jonggring Salaka.

Namun sesuai konstelasi jaman, kini orientasinya telah berbeda. JS bukan lagi tempat mahasiswa biasa, tapi luar biasa. Walau tampak santai cengengesan, namun prestasi anggota JS dalam studi patut dibanggakan. Kini generasi JS semakin cakep dan cerdas, banyak yang meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, juga berhasil dalam bekerja.

Mereka pun, sejalan dengan trend yang ada, banyak yang mencoba berwirausaha dengan berbisnis online dan usaha lain yang mendatangkan hasil sebagai media belajar menggali potensi diri, bekerja secara mandiri. Ya, jaman memang telah berubah, dan JS pun masih bisa menyesuaikan diri sehingga eksistensinya mampu bertahan sampai kini, entah nanti.

Karena, disadari atau tidak, kini banyak mahasiswa yang enggan aktif di organisasi kampus. Mereka sibuk berkutat dengan perkuliahan agar cepat lulus, kemudian bekerja dan berumah tangga. Mahasiswa pun kini juga semakin asik dengan dirinya sendiri memainkan telepon pintarnya. Enjoy berselancar di dunia maya, chatting bebas sepuasnya membangun relasi untuk bersosialita, bergaya maupun berniaga, tanpa peduli sesamanya.

Anggota JS pun juga ada yang ikutan arus memulai usaha lewat dunia maya namun tetap berkegiatan mengasah nyali lewat pendakian, jelajah hutan dan rimba, panjat tebing, susur goa, orad, konservasi dan pelestarian lingkungan. Baik yang diprogramkan maupun dilakuakn secara mandiri sesuai kesempatan dan kemampuan, namun tetap dalam koordinasi dengan induk organisasi.

Dipertengahan desember 2016, mapala JS mengadakan musang untuk yang kesekian kalinya disetiap tahunnya, sebagai bentuk reorganisasi. Entah siapa yang akan terpilih menjadi ketua umum, selamat menjadi ketua, selamat mengendalikan anggota menuju cita-cita organisasi yang telah disepakati bersama tanpa cela, agar semakin jaya.

Mungkin yang perlu dipikirkan, usulan ini sebagai bahan membuat kebijakan organisasi (jika masih menerima usulan masukan). Bahwa sekarang ini dengen trend bencana yang semakin sering, apakah mapala JS tidak perlu juga tergerak untuk bergerak dibidang penanggulangan bencana?. Sungguh mapala JS dengan potensi yang ada bisa terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana.


Seperti melakukan mitigasi, membantu sosialisasi pengurangan risiko bencana dan dampak perubahan iklim, turut membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya mengenali kerawanan dan potensi bencana dalam rangka menciptakan ketangguhan bangsa menghadapi bencana, serta turut serta mendorong tumbuhnya kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan bencana. Monggo tawaran ini kiranya bisa dijadikan bahan masukan saat mengawali rapat pengurus dengan ketua umum yang terpilih di musang 2016. Salam lestari. *[gep’83]   

Senin, 05 Desember 2016

RELAWAN KEMANUSIAAN

Konon, Perserikatan Bangsa Bangsa (melalui Resolution 40/212 tanggal 17 Desember 1985) menetapkan tanggal 5 Desember sebagai International Volunteer Day atau Hari Relawan International. Hari itu dikhususkan untuk menghargai para organisasi, komunitas, maupun individu yang secara konsisten memberikan kontribusi sosial nyata bagi masyarakat yang karena sesuatu masih terpuruk dalam upaya mengakses hasil pembangunan. Mereka beraksi baik saat ada bencana maupun tidak. Merekalah yang biasa disebut Relawan Kemanusiaan.

Berdasarkan harkatnya, manusia adalah makhluk sosial yang suka membantu sesamanya, mempunyai rasa saling peduli, dan saling berbagi sesuai konsep masyarakat gotong royong. Selain itu didalam agama manapun diajarkan untuk saling tolong menolong. Adalah manusia yang baik jika dia bermanfaat untuk manusia lainnya. Oleh karena itulah para relawan hadir menjalankan aksinya demi sesama. Pejuang kemanusiaan yang memberikan tenaganya untuk membantu semampunya, melakukan kerja bhakti dengan keikhlasan atas dasar kemanusiaan. 

Pertanyaannya kemudian, Sudahkah Kita dengan sepenuh hati (tanpa pamrih embel-embel imbalan ekonomi) memberikan kontribusi positif bagi masyarakat atau lingkungan di sekitar?. Tak harus melakukan sesuatu yang besar, melakukan hal kecil secara konsisten pun sudah lebih dari cukup. Jika di sela-sela kesibukan masih bisa meluangkan waktu untuk berbuat sesuatu bagi sesama yang butuh pertolongan, itulah jiwa seorang relawan. Menjadi relawan, berarti siap dengan segala konsekuensi,  rela berkorban, tidak egois dan mau berbagi tenaga untuk membantu. Sebuah konsep berlomba mengejar kebajikan dengan membantu sesama. Relawan wajib memiliki rasa solidaritas yang tinggi dan memiliki tanggung jawab besar dalam kerja-kerja kemanusiaan

Dalam beberapa postingan di sosial media, dikatakan bahwa saat ini, PBB melalui badan pekerjanya terus memotivasi gerakan kesukarelawanan dari masyarakat sipil yang berfokus pada 8 Sasaran Pembangunan Milenium (Milennium Development Goals) . Kedelapan sasaran itu adalah: memberantas kemiskinan dan kelaparan,  mencapai pendidikan untuk semua, mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya, memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Disinilah, partisipasi para relawan dalam mendukung program pemerintah untuk mensejahterakan warganya, menjadi penting. Dengan kata lain, relawan bukan hanya sekedar asset buat organisasi namun juga merupakan asset Negara, yang bisa digerakkan untuk membantu pemerintah. Tinggal bagaimana membina dan memfasilitasinya agar peran yang dimainkan relawan benar-benar sejalan dengan arah pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah, tentunya dengan spesifikasi dan kopentensi yang dipersyaratkan.

Tidak heranlah jika kini setiap saat banyak ditemui relawan bekerja dan hadir di tengah masyarakat, dari yang bersifat membantu sesama sampai ke penegakan demokrasi dan kepedulian terhadap pelestarian lingkungan. Baik yang didukung oleh kementerian tertentu maupun swadaya sendiri dengan menggandeng berbagai pihak yang ‘punya dana dan kepedulian’ untuk bergerak membangun kehidupan yang lebih baik.

Bersamaan dengan itu, kini organisasi kerelawanan mulai berbenah menuju organisasi non profit yang professional dalam bidangnya. Sehingga perlu secara berkala mengadakan pertemuan dan berlatih untuk meningkatkan kapasitas serta memperluas jejaring kemitraan, karena hal ini diperlukan untuk pencarian sponsor operasional, baik yang berasal dari pemerintah maupun donatur.

Pengalaman di lapangan membuktikan bahwa menjadi relawan kemanusiaan adalah sebuah lahan subur untuk menumbuhkan kepribadian yang tangguh dan mandiri, mengasah kepekaan sosial dan nurani serta kemampuan bertahan hidup dalam segala situasi. Banyak pengetahuan dan ketrampilan yang dapat dipetik selama berkegiatan  yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain

Ya, menjadi relawan kemanusiaan tidak hanya diperlukan ketika bencana terjadi. Pada situasi normal kita dapat belajar melakukan sosialisasi pengurangan risiko bencana, penyuluhan bahaya narkoba, pemberdayaan perempuan terkait dengan trafficking, gender dan kesehatan reproduksi, dan kegiatan lain dalam rangka upaya meningkatkan kapasitas sebagai relawan seperti yang ada dalam perka 17 tahun 2011. 

Dalam postingan lain, PBB punya perhatian khusus untuk relawan yang perlu diperhatikan oleh semua pihak yang berkecimpung dalam dunia kerelawanan. Pada intinya ada tiga hal yang dilakukan oleh PBB untuk menjamin relawannya, yakni, pertama, kesehatan, ini adalah program utama yang dilakukan PBB untuk relawannya agar terhindar dari penyakit untuk daerah-daerah paska tragedi. Kedua, pendidikan, membekali relawannya dengan pengetahuan mengenai daerah bencana kepada relawannya, dan yang ketiga, komunikasi, membuat jalur komunikasi yang lancar agar selalu dapat diketahui keberadaannya. Semua ini demi keselamatan relawan saat melakukan aksi-aksi kemanusiaan.

Semoga dengan peringatan hari relawan se dunia serta semakin seringnya bencana datang silih berganti menyapa komunitas masyarakat (di daerah terdampak), semakin banyak pula tim relawan kemanusiaan yang terbentuk, karena bencana yang tidak bisa dipediksi datangnya itu bisa segera ditangani oleh banyaknya tim relawan lokal sebelum bantuan dari luar berdatangan. Tidak terlalu salah jika BPBD setempat berkenan melakukan pendataan, pembinaan dan pendampingan kepada semua unsur relawan, agar bisa digerakkan sewaktu-waktu dengan koordinasi yang jitu. Salam Kemanusiaan.[eBas]






Jumat, 02 Desember 2016

BPBD SIDOARJO MENGADAKAN SOSIALISASI PRB

Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mengatakan bahwa penanggung jawab bencana (PB) bukan hanya pemerintah saja, tetapi juga dunia usaha dan masyarakat. Sehingga upaya penanggulangan bencana benar-benar ditangani oleh seluruh masyarakat, seperti amanat UU nomor 24 tahun 2007.
Masyarakat pun, khususnya yang berdiam di daerah terdampak, dapat berpatisipasi aktif dalam operasi kemanusiaan sebagai relawan Penanggulangan Bencana, baik saat pra bencana, tanggap bencana, dan pasca bencana. Oleh karena itu meningkatkan kapasitas relawan menjadi sangat penting dilakukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Untuk itulah BPBD Kabupaten Sidoarjo melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas relawan, yaitu kegiatan Sosialisasi Pengurangan Risiko Bencana, tanggal 22 - 24 Novenber 2016. Kegiatan ini diikuti oleh perangkat desa, babinsa, babinkamtibmas, dan relawan Srikandi Tangguh. Dimana, nantinya mereka akan dijadikan Tim Reaksi Cepat (TRC) di tingkat Kecamatan.
Diharapkan kegiatan sosialisasi ini dapat mendorong relawan yang mempunyai dedikasi yang tinggi dalam PB sehingga bukan hanya kwantitas namun kwalitas relawan Kabupaten Sidoarjo dapat diandalkan dalam membantu kegiatan Penanggulangan Bencana. Seperti diketahui potensi bencana yang ada di Sidoarjo itu diantaranya adalah Banjir dan angin putting beliung. Namun selama ini bencana yang terjadi itu tidak sampai menimbulkan pengungsian yang besar dan berlangsung lama. Apalagi ketinggian genangan antara 20 cm – 70 cm, dan itu pun cepat surut.
Materi yang diberikan oleh nara sumber dari lembaga PUSPPITA adalah Pengurangan Risiko Bencana, Desa Tangguh, Manajemen Penanganan Kedaruratan, Kerelawanan dan Mitigasi Bencana. Kemudian dilanjutkan dengan praktek pembuatan Peta terdampak yang meliputi zonasi, evakuasi, dan titik kumpul, dengan mengutamakan kearifan lokal yang sudah biasa dilakukan masyarakat setempat jika terjadi bencana (banjir).
Fatimah, dari relawan Srikandi Tangguh, mengatakan bahwa Sampai saat ini jika ada bencana banjir, warga tidak ada yang mengungsi. Karena genangan airnya tidak lama, maka aktivitas hidup kesehariannya tidak terganggu, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan konsumsi.
“Saya senang bisa mengikuti pelatihan ini. Banyak pengetahuan yang berguna untuk menunjang kegiatan kerelawanan dalam membantu BPBD Sidoarjo di bidang kebencanaan. Berharap ada pelatihan lagi dengan materi yang baru serta ada kegiatan pembinaan dari BPBD setelah pelatihan, agar relawan yang dijadikan TRC tingkat Kecamatan tetap semangat dan kompak,” Pungkasnya.
Artinya, dalam rangka peningkatan kapasitas, berharap kawan-kawan yang menjadi Tim Reaksi Cepat harus sering latihan sendiri serta bermain ke BPBD untuk mendapatkan informasi sekaligus bisa bertanya langsung tentang segala hal yang berhubungan dengan upaya penanggulangan bencana, seperti pengenalan alat rescue, perau karet, tenda, mobil dapur umum dan sebagainya.*[ebas]





Jumat, 25 November 2016

LATGAB VERTICAL RESCUE BAGI KOMUNITAS RELAWAN INDONESIA

Perlu disadari bahwa bencana alam tidak tahu kapan akan datangnya, bencana datang dengan tiba – tiba, dan selalu saja mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit baik materi maupun yang lainnya bahkan sampai korban jiwa.  Untuk itu  apabila datang bencana kita semua bisa cepat bertindak sehingga korban bisa diminimalkan sekecil mungkin. 
Hal itulah yang mendorong relawan penanggulangan bencana perlu melatih diri untuk meningkatkan kapasitas dan kesamaptaan dalam menghadapi tugas-tugas kemanusiaan yang datangnya tidak terduga. dalam rangka meningkatkan keterampilan dan mempererat tali silaturahim, maka Komunitas Relawan Indonesia (K.R.I) menyelenggarakan latihan gabungan relawan penanggulangan bencana DI Kawasan Ekowisata Pemandian Air Panas Padusan, Pacet, Kabupaten Mojokerto selama 2 hari, Jum’ad dan Sabtu (18 – 19 November 2016).
Bang mBothe, selaku panitia pelaksana latihan gabungan, mengatakan bahwa tujuan dilaksanakan kegiatan ini adalah agar para relawan penanggulangan bencana dapat bergerak dengan cepat, menguasai tugas yang telah diberikan untuk membantu dan menolong disaat bencana datang. Mereka juga diharapkan mengetahui prosedur yang benar dalam menangani bencana termasuk tehnik mengevakuasi korban sehingga korban dapat tertolong secepat mungkin.
Materi yang dibahas pada pelatihan kali ini adalah Basic Live Support, dan Vertical Rescue. Disela-sela itu juga diadakan dialog tentang kerelawanan. Di harapkan pelatihan ini menjadi tambahan  pengetahuan dan melatih kesiapsiagaan para relawan.
Seperti diketahui, Bencana yang sering terjadi akhir-akhir ini adalah Puting Beliung, Longsor, dan Banjir bandang. Untuk itulah relawan pun hendaknya aktif melakukan sosialisasi pengurangan risiko bencana kepada masyarakat dengan menerapkan konsep Jauhkan masyarakat dari bencana, Jauhkan bencana dari masyarakat, dan Hidup harmoni dengan risiko.
Kegiatan yang sempat dikunjungi oleh Hendro Wardhono, ketua Unsur Pengarah BPBD Provinsi Jawa Timur dan Profesor Syamsul Maarif selaku Pembina Pusat Penelitian dan Pelatihan untuk Indonesia Tangguh (PUSPPITA), kiranya perlu ada tindak lanjutnya dengan tema bahasan yang lain sebagai paya meningkatkan wawasan dan kapasitas serta rasa paseduluran antar organisasi relawan kemanusiaan bidang penanggulangan bencana. Begitu juga penyelenggaranya digilir secara bergantian sesuai kesepakatan.*[eBas]

  

Kamis, 17 November 2016

PELATIHAN JITU PASNA UNTUK AKADEMISI

Dalam rangka menyediakan sumber daya manusia yang mampu melaksanakan pengkajian kebutuhan pasca bencana, lembaga kajian PUSPPITA  mengadakan pelatihan Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana (Jitu Pasna). Bertempat di Premier  Inn Hotel, Sidoarjo, pelatihan akan dilaksanakan selama dua hari,  mulai Selasa dan rabu  (15 – 16 Nopember 2016). Sebanyak 20 peserta yang hadir merupakan dosen dari beberapa perguruan tinggi yang mempunyai kepedulian terhadap kerja-kerja kemanusiaan  dan Komunitas Relawan Indonesia Surabaya.
Hendro Wardhono,  saat membacakan sambutan mengatakan, pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi itu merupakan salah satu tahapan penting pasca bencana. Kompleksitas dari akibat yang ditimbulkan pasca bencana tentunya membutuhkan data dan perencanaan yang matang dalam penanggulangannya. Hal tersebut dimaksudkan agar penanganan yang dilakukan pasca bencana dapat terlaksana secara baik, terarah dan terpadu. Dengan kata lain, jitu pasna itu bisa dimaknai sebagai upaya menghitung kerugian, kerusakan dan risiko bencana sejak para, tanggap dan pasca bencana. “Harapannya melalui pelatihan ini, para peserta dapat melakukan analisis dampak dan perkiraan kebutuhan yang selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan rehabilitasi dan rekontruksi. Seperti mengidentifikasi dan menghitung kerusakan dan kerugian baik fisik maupun non fisik yang dialami oleh ekonomi, sosial dan lain sebagainya,” katanya.
Nellis, Direktur Pemulihan dan Kerusakan, Deputi Rehab Rekon, BNPB, menjelaskan, rehabilitasi pasca bencana dapat diartikan memulihkan ketika terjadi bencana. Dalam masa rehabilitasi, perencanaan dilakukan dalam waktu singkat tetapi tidak sampai lewat satu tahun anggaran.  Sedangkan rekonstruksi pasca bencana lebih bersifat pembangunan dan dilakukan dalam waktu yang panjang. Dikatakan pula bahwa penyusunan jitu pasna itu harus melibatkan banyak SKPD, termasuk bappeda dalam menyusun rencana aksi dan renkon, setelah nanti data tergali untuk menghitung kerusakan, kerugian dan kebutuhan yang harus disediakan oleh pemerintah dalam rangka menolong korban bencana.  Disamping itu dokumen jitu pasna oleh BNPB dijadikan acuan untuk pemberian bantuan kepada BPBD yang sedang menanggulangi bencana di wilayah kerjanya. “Rehabilitasi itu, begitu terjadi bencana, apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kalau ada yang mengungsi apa kebutuhannya, kalau ada kerusakan apa kebutuhannya. Sedangkan rekonstruksi pasca bencana lebih bersifat pembangunan dan dilakukan dalam waktu yang panjang tetapi tetap ada batas waktunya. Sepanjang-panjangnya sampai tiga tahun. Kalau dananya terbatas ya diberi tahapan. Dananya bisa dari APBD Daerah, APBD Provinsi dan pusat,” terang Nellis. Perempuan paruh baya  ini menambahkan, untuk mendapatkan dana, dibutuhkan suatu proposal berdasarkan hasil kajian yang telah disusun dan di kirimkan ke BNPB untuk dipelajari. Harapannya, setelah mengikuti pelatihan ini, peserta, sebagai akademisi, dapat memberikan kontribusi kepada kabupaten dalam bentuk rekomendasi jitu pasna untuk menyusun proposal. “Outputnya, peserta disini akan membuat suatu rekomendasi atau punya bekal didalam menyusun proposal. Tidak hanya untuk ini saja, tetapi kedepan kalau ada bencana lagi sudah siap cara menghitung. Sehingga BPBD sebagai leading sektor bencana sudah tinggal melalui SK Bupati, merapatkan, kemudian bergerak dan menghasilkan outputnya dokumen. Dokumen itu bisa untuk usulan ke provinsi maupun ke pusat. Intinya giat jitu pasna itu untuk membantu pemda untuk memprediksi kebutuhan rehab rekon PB (kerusakan dan kerugian akibat bencana) agar mendapatkan bantuan dana/menyusun recana anggaran yang diperlukan.  Syamsul maarif, penggagas lahirnya lembaga PUSPPITA, mengatakan bahwa, Bencana tidak semata-mata disebabkan oleh faktor alam saja, tapi faktor alam pun kini sering berpengaruh terhadap terjadinya bencana. BPBD setempat tidaklah mungkin bisa menangani sendiri. Perlu keterlibatan pusat dan mengajak SKPD lain bekerja sama untuk penanggulangan bencana. “Bencana alam kini semakin sering muncul dimana-mana dengan menimbulkan kerugian dan kerusakan yang banyak, bahkan menimbulkan kematian. Sehingga perlu dikaji secara akademis untuk melahirkan teori baru sebagai bahan masukan untuk penyusunan kebijakan dalam penanggulangan bencaana” Katanya. [eBas]


Rabu, 12 Oktober 2016

KOMUNITAS RELAWAN INDONESIA BERSAHABAT BERBAGI BERADAPTASI



Silaturrahmi itu pada dasarnya adalah upaya saling berinteraksi menjalin hubungan kasih sayang dalam kebaikan bukan dalam dosa dan kema'siatan. Silaturahim merupakan salah satu kewajiban bagi setiap pribadi Muslim. Dalam Alquran, Allah menegaskan, “Dan bertakwalah kepada Allah yang kalian saling meminta dengan nama-Nya dan sambunglah tali silaturahim.’ (QS. An-Nisa [4]:1).

Keuntungan bersilaturahmi diantaranya, pertama, dengan silaturahim, kita bisa saling mengenal antara yang satu dan yang lainnya (QS Al-Hujurat [49]: 13). Dengan silaturahim, kasih sayang dan kerja sama yang positif bisa diwujudkan. Kedua, persatuan dan kesatuan akan dapat dibangun melalui dialog partisipatori.

Ketiga, dengan silaturahim, berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat akan mudah diatasi. Baik masalah ekonomi, pendidikan, kebudayaan, maupun lainnya. Keempat, silaturahim juga akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan horizontal yang terjadi di masyarakat dengan damai melalui musyawarah.

Kelima, dengan silaturahim, berbagai gagasan yang kreatif inovatif, bisa diwujudkan bersama menjadi sebuah program dalam rangka saling berbagi saling peduli. Keenam, dengan silaturahim, akan banyak ilmu pengetahuan dan wawasan yang saling melengkapi.

Ya, silaturahmi itu bisa berlangsung dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja tanpa melihat banyak sedikitnya personil yang terlibat. Dengan semangat bersahabat, berbagi dan beradaptasi, anggota komunitas relawan Indonesia (K.R.I) selalu melakukannya untuk mengakrabkan diri sebagai seorang kerabat yang akrab bersahabat dalam dunia kerelawanan.

Dengan ditemani kopi, kadang juga ada gorengannya, masing-masing punya hak untuk berbagi informasi tentang apa saja. Bukan hanya masalah relawan penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana. Karena, dalam bersemuka itu tidak menutup kemungkinan pembicaraan melebar kemana-mana, ke ranah sosial, politik dan budaya, atau yang lainnya yang aktual, yang penting tidak berbicara hal-hal yang mengandung sara. Mereka juga tidak haram berbicara tentang bagaimana mencari peluang usaha ekonomi produktif untuk menunjang kegiatan maupun sebagai ladang cari nafkah tambahan untuk kesejahteraan anggota dan keluarga.

Acara silaturahmi pun oleh kawan-kawan K.R.I dijadikan sebagai ajang pengimbasan informasi bagi anggota yang berkesempatan mengikuti kegiatan yang diadakan oleh lembaga mitra, seperti seminar, workshop maupun diklat, serta pengalaman terjun dalam kegiatan kebencanaan. Semua ini dilakukan untuk mengembangkan wawasan.

Dengan demikian, masing-masing anggota akan mengetahui informasi terbaru tentang apa saja yang terkait dengan kebencanaan dan kerelawanan, sekaligus media membangun soliditas sebagai sebuah tim yang siap melakukan kerja kelompok.       

Memang, belum semua anggota K.R.I pernah terlibat dalam operasi kemanusiaan. Belum secara rutin turun ke daerah yang dilanda bencana, karena banyak faktor yang menghambat. Termasuk dana operasional selama di lapangan. Namun sumbangan pemikiran dari anggota K.R.I selalu disuarakan dan banyak yang diterima saat ada kegiatan bersama semacam seminar atau pun lokakarya.

Gagasan yang selalu disuarakan adalah perlunya BPBD memfasilitasi ruangan yang ada di kantornya untuk dijadikan sebagai sekretariat bersama relawan kebencanaan. Kepada BPBD pula, sesuai dengan perka nomor 17 tahun 2011 tentang relawan, hendaknya salah satu bidang yang ada di BPBD melakukan pendataan kepada organisasi relawan untuk kemudian dibina, dan  ditingkatkan kapasitasnya dalam rangka mendukung program-program BPBD dalam hal pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana. Sehingga jika ada bencana, BPBD tidak kesulitan memobilisasi relawan, khususnya relawan lokal yang ada di daerah bencana. Baru jika relawan lokal ‘kewalahan’ maka BPBD Provinsi bisa menggerakkan relawan yang lain.

Ajang silaturahmi ini pun juga digunakan untuk merancang sebuah kegiatan saling sinau diantara anggota K.R.I maupun dengan siapa saja yang mau dan ada waktu, dalam rangka memperluas jaring kemitraan. Sinau apa saja, baik praktek lapangan dalam rangka mengasah ketrampilan, meningkatkan kapasitas dan kesamaptaan, juga belajar bersama tentang materi diklat atau hasil seminar yang baru diterima untuk pengayaan informasi. Begitulah cara kawan-kawan K.R.I memanfaatkan silaturahmi untuk saling sinau, saling berbagi dalam rangka memupuk rasa peduli terhadap sesama anggota. Salam Kemanusiaan.[eBas]


Sabtu, 01 Oktober 2016

MITIGASI BENCANA DAN PERUBAHAN IKLIM

Dalam sebuah acara sosialisasi pengurangan resiko bencana dan perubahan iklim, nara sumbernya mengatakan bahwa, salah satu upaya mencegah dampak buruk bencana dan perubahan iklim adalah dengan melakukan mitigasi non struktural, karena biayanya relatif murah dan melibatkan banyak orang. Contoh kegiatannya antara lain, kerja bakti mengangkat sampah yang menutupi aliran sungai, pengerukan sungai dan menjaga luasan wilayah sungai dan bantaran sungai agar tidak disalah gunakan. Sebuah kegiatan murah dan mudah dikerjakan oleh warga kampung. 

Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Masih menurut nara sumber, mitigasi merupakan tahap awal penanggulangan bencana alam untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana.

Mitigasi adalah kegiatan yang dikerjakan sebelum bencana terjadi. Contoh kegiatannya antara lain membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di  wilayah rawan gempa. Tujuannya adalah, (1) Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi penduduk, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan sumber daya alam, (2) Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan. (3) Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi dampak bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman dan tenang.

Secara Umum pengertian mitigasi adalah usaha mengurangi/ meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul akibat bencana, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, diantaranya melakukan sosialisasi dan penyuluhan serta lainnya seperti yang tersurat dalam perka nomor 17 tahun 2011, yaitu kegiatan pra bencana yang bisa dilakukan oleh relawan penanggulangan bencana.

Sayangnya, perhatian pemerintah daerah (dalam hal ini BPBD) masih lemah terkait dengan koordinasi dan mobilisasi relawan untuk diajak serta melakukan mitigasi. Begitu juga saat relawan melaporkan adanya daerah yang potensi bencananya besar saat melakukan mitigasi, misalnya ada tanggul yang rusak/retak, lereng bukit yang gundul, sungai yang menyempit, sering kali kurang mendapat respon (mungkin karena panjangnya birokrasi dan anggaran), sehingga berpengaruh kepada semangat relawan. Sehingga sering kali, hasil mitigasi itu tidak ditindak lanjuti. Baru tergopoh-gopoh saat bencana datang.

Sungguh, saat ini banyak tumbuh komunitas relawan peduli bencana dengan berbagai ragam bendera, seragam, visi, misi dan kepentingannya. Mereka inilah yang seharusnya didata dan dibina oleh BPBD untuk kemudian diajak bersama-sama melakukan kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi ke daerah rawan bencana guna membangun masyarakat tangguh bencana, yaitu kemampuan untuk mengenali ancaman bencana di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana di daerahnya. Hal ini seperti yang digagas dalam Kerangka Aksi Hyogo, diantaranya, meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respon yang efektif, dan untuk “membangun kembali dengan lebih baik” dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Salam kemanusiaan. *[eBas]












Kamis, 22 September 2016

BIMTEK KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI OLEH BPBD NGANJUK

Kegiatan bimbingan teknis kesiapsiagaan dan mitigasi bencana dilakukan oleh BPBD Kabupaten Nganjuk itu sebagai upaya menyiapkan kader potensial yang sewaktu-waktu bisa digerakkan untuk membantu BPBD pada saat tanggap bencana. Namun demikian, sebagai masyarakat yang terlatih, mereka nantinya juga bisa berkontribusi dalam kegiatan pra bencana maupun rehab rekon (pasca bencana).

Untuk itu, dengan kegiatan semacam ini merupakan upaya BPBD meningkatkan kapasitas masyarakat, khususnya yang hidup di daerah rawan bencana, agar tangguh bencana, yaitu terbangun kesiapsiagaannya menghadapi bencana, sehingga korban yang ditimbulkan oleh bencana bisa diminimalkan.

Ini penting, karena senyatanyalah, seringkali respon dan koordinasi antar SKPD (pemerintah) dalam menghadapi situasi tanggap bencana agak lambat, diantaranya karena kendala birokrasi. Dengan kata lain, sampai sekarang yang namanya ego sektoral masih lekat dimasing-masing SKPD dalam menghadapi bencana, sehingga upaya sosialisasi untuk menyamakan langkah, membangun kesepahaman perlu terus dilakukan tanpa lelah.

Sehingga yang terjadi, dibanyak peristiwa bencana, masyarakat sendirilah (khususnya yang telah terlatih), yang pertama kali memberi pertolongan, melakukan evakuasi secepat mungkin sesuai kemampuan, sebelum pihak luar berdatangan membantu dengan berbagai bantuannya.

“Melalui kegiatan bimtek ini, nanti semua peserta akan mendapat piagam yang dapat digunakan untuk mengikuti diklat penanggulangan bencana tingkat lanjut,” Kata Kalaksa BPBD Kabupaten Nganjuk dalam sambutannya saat membuka kegiatan bimtek yang dilaksanakan di lapangan Ngepeh, Berbek, Loceret, Kabupaten Nganjuk, pada hari rabu (21/9) siang.

Konon di lapangan inilah tempat lahirnya tokoh nasional, Dokter Soetomo, sehingga oleh pemerintah, disitu dibangun patung Dokter Soetomo yang sedang duduk dengan penuh wibawa, seakan sedang memperhatikan peserta bimtek yang terdiri dari perwakilan siswa SMA/SMK, baik negeri maupun swasta, sebanyak 300 siswa.

Agus, sebagai ketua panitia, mengatakan bahwa kegiatan ini penting, karena wilayah Kabupaten Nganjuk rentan terhadap bencana banjir, longsor dan kebakaran hutan. Harapannya, setelah kegiatan ini mereka sadar akan pentingnya pelestarian lingkungan dan siap menghadapi kondisi tanggap darurat karena datangnya bencana yang tidak terduga.

Dengan kata lain, melalui pelatihan tersebut juga diharapkan menghasilkan Relawan yang memahami sekaligus dapat mempraktekkan konsep kesiapsiagaan dan mitigasi bencana di daerahnya, sekaligus sebagai agent of change di kelompok sebaya dan masyarakat dalam upaya pengurangan risiko bencana.berbasis masyarakat.
Tentunya kegiatan semacam ini perlu ditindak lanjuti dengan membentuk komunitas relawan dengan berbagai pembinaan untuk meningkatkan kapasitas dan profesionalismenya secara berkala untuk memudahkan menggerakkan apabila diperlukan. Salam Kemanusiaan,*[eBas]



Senin, 12 September 2016

WARGA BUMI MARINA EMAS BERKURBAN

Seluruh warga muslim Perumahan Bumi Marina Emas, Keputih, Kecamatan Sukolilo, Surabaya Timur,  pada Hari Senin tanggal 12 September 2016 melaksanakan penyembelihan hewan qurban  dalam rangka Hari Raya Idul Adha  1437 H/2016 M di halaman masjid Al-Ikhlas, Komplek Perumahan Bumi Marina Emas, hasil gotong royong warga muslim setempat.

Sebelum prosesi penyembelihan hewan kurban, sesuai dengan aturannya, didahului dengan sholat Idul Adha, yang dilaksanakan di tanah lapang milik developer. Sholat yang dipimpin oleh uztad Ainul Haris ini juga diikuti oleh warga sekitar Perumahan Bumi Marina Emas, itu sesuai dengan  apa yang diriwayatkan oleh Barra’ bin Malik radhiyallahu’anhu berkata, Nabi bersabda, Barang siapa menyembelih hewan kurban setelah shalat Idul Adha, maka sembelihannya telah sempurna dan ia sesuai dengan sunnah kaum muslimin. (HR. Bukhari no  5545 dan Muslim no, 1961).

Artinya, menyembelih hewan kurban adalah ibadah yang telah diatur ketentuannya oleh syariat islam. Waktunya, jenis hewan, syarat-syarat hewan yang akan menjadi kurban, tata cara penyembelihan, dan pembagian daging kurban, diatur oleh sunnah Nabi, Seperti halnya saat pembagian daging kurban yang berjalan tertib dan lancar karena ketegasan dan kejelian panitia dalam melaksanakan tugasnya.   

Alhamdulillah, hewan kurban untuk Idul Adha kali ini terkumpul sebanyak  8 ekor sapi dan 21 kambing, yang merupakan qurban dari warga muslim setempat. Itu artinya kesadaran kaum muslim marina untuk melaksanakan perintah agama semakin menggembirakan, apalagi ditunjang dengan membaiknya tingkat pendapatan  yang berimbas pada kesejahteraan.

Di sisi lain, keberadaan takmir masjid pun patut mendapat apresiasi. Karena kegigihannya mengelola masjid dengan berbagai kegiatan keagamaan, sedikit demi sedikit upaya memakmurkan masjid mulai tampak hasilnya. Masjid yang megah hasil gotong royong warga itu pun semakin ramai, semakin terasakan manfaatnya bagi warga muslim khususnya, dan masyarakat sekitar perumahan. Seperti terselenggaranya kegiatan ngaji untuk anak-anak, pengajian rutin minggu sore bakda mahrib, serta kegiatan insidental lainnya.

Pelaksanaan qurban ini selain memiliki nilai ibadah juga untuk meningkatkan nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan di antara warga marina sebagai komunitas baru yang perlu segera meningkatkan rasa kerjasama, gotong royong, kebersamaan serta kepedulian terhadap sesama sebagai warga sebuah kampung.

Tentu harapannya, kedepan pelaksanaan peringatan hari besar keagamaan semakin sempurna dengan melibatkan warga muslim perumahan yang semakin banyak. Tentu semua itu bisa terwujud manakala komunikasi dan koordinasi dilakukan dengan baik dan transparan melalui temu warga yang enak lan kepenak.

Hal ini penting, karena prinsip dasar ibadah ini terletak pada kesadaran warga muslim akan nilai-nilai ketulusan untuk kemaslahatan orang banyak yang berhak akan pembagian daging kurban. Selamat merayakan Idul Adha dengan hidangan khas serba daging kambing dan sapi, semoga tetap sehat dalam keberkahan-NYA. [eBas]



 

Sabtu, 10 September 2016

KADERISASI KOMUNITAS RELAWAN

Kata teman saya, yang sudah lama malang melintang di dunia kerelawan, mengatakan bahwa program kaderisasi itu untuk organisasinya, bukan untuk relawannya. Alasannya, relawan itu adalah panggilan jiwa. Relawan atau sukarelawan Biasa diartikan orang yang tanpa dibayar menyediakan waktunya untuk mencapai tujuan organisasi, dengan tanggung-jawab yang besar atau terbatas, tanpa atau dengan sedikit latihan khusus, tetapi dapat pula dengan latihan yang sangat intensif dalam bidang tertentu, untuk bekerja sukarela membantu tenaga profesional.

Semua orang, siapa saja mampu dan bisa menjadi relawan, namun tidak semua mau. Masih kata teman saya, yang dianggap senior oleh teman-teman relawan, bahwa jiwa pengabdian kepada nilia-nilai kemanusiaan yang biasa dilakukan oleh relawan itu tidak pernah mati. Walau tidak harus turun langsung ke medan bencana, namun sumbangan pemikirannya, saran dan masukannya tetap akan menginspirasi relawan lainnya yang lebih yunior.

Karena, bagaimanapun juga yang namanya usia, kondisi kesehatan dan kebutuhan hidup rumah tangga serta tanggungjawab sosial sebagai anggota masyarakat juga memerlukan perhatian, dan itu tidak bisa dihindari. Semua pasti akan terjadi pada setiap manusia, juga relawan. Sehingga persiapan diri dan keluarganya harus diperhatikan dengan melakukan mitigasi kehidupan dan penghidupannya, jika masa tuanya nanti tidak ingin dievakuasi karena tidak bisa mandiri secara ekonomi..

Sementara, Kaderisasi merupakan hal penting guna kelanjutan eksistensi organisasi. Dalam berbagai literature, sering dikatakan bahwa kaderisasi merupakan suatu kebutuhan internal yang  dilakukan demi kelangsungan dan kelancaran organisasi. Seperti halnya dengan hukum alam, semua proses pasti akan terus berulang - ulang  dan terus berganti. Ada yang datang pun ada yang pergi. Itulah hidup.

Tanpa kaderisasi, rasanya sangat sulit dibayangkan sebuah organisasi dapat bergerak dan melakukan program keorganisasiannya dengan dinamis. Fungsi kaderisasi adalah mempersiapkan calon penerus yang siap melanjutkan tongkat estafet aktivitas organisasi, sesuai cita-cita berdirinya organisasi. Dimana, masing-masing organisasi tentu berbeda dalam melakukan kaderisasi.

Pada umumnya, masing-masing organisasi melakukan kaderisasi dengan cara merekrut anggota baru untuk kemudian di gembleng dalam subuah tradisi pendidikan dan pelatihan (diklat) khas masing-masing organisasi, termasuk penggunaan seragam dan bendera organisasi yang membanggakan.

Namun ada pula yang melakukan kaderisasi cukup dengan cangkruk’an di warung kopi antara anggota senior dan yunior dalam rangka pewarisan nilai-bilai kerelawanan. Saling sinau berbagi informasi dan pengalaman lewat obrolan ringan sambil nyruput kopi dan bahkan main kartu untuk membangun paseduluran. Biasanya hasil obrolan itu ditindak lanjuti dengan latihan bersama sesuai kesepakatan. Sangat fleksibel tidak pakai ribet.

Inilah model pengimbasan pengetahuan dan keterampilan yang dilakukan dari senior kepada yunior (sistem gethok tular). Model kaderisasi semacam ini secara organisatoris, sering dianggap lemah dan sulit berkembang. Hanya komitmenlah yang akan membangun dedikasi dan loyalitas antar anggota. Proses ini biasanya memakan waktu lama, sepanjang kehidupan itu sendiri.

Kegiatan pengimbasan ini seperti Proses enkulturasi atau proses “pembudayaan”, yaitu proses seorang individu belajar menyatukan dirinya dengan lingkungan organisasinya. Di sana, dia akan belajar sesuai pola pikir,serta sikapnya terhadap adat istiadat, sistem norma, serta aturan-aturan yang berlaku dalam organisasi.

Memang, masing-masing organisasi punya cara sendiri untuk mempertahankan eksistensinya, melakukan tugas-tugas kemanusiaan, sesuai kemampuan dan kesempatan. Karena, sesungguhnyalah dilemma yang sering menggelayuti seorang relawan itu adalah bagaimana mengatur keseimbangan antara ngurusi masalah kemanusiaan dan kerumahtanggaan.

Selamat melaksanakan recruitment anggota baru kepada kawan-kawan pengurus organisasi kerelawanan, yang kini semakin banyak tumbuh dengan keunikannya masing-masing sesuai bidang yang digeluti, yaitu mengabdi kepada nilai-nilai kemanusiaan yang terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim yang dilakukan sendiri oleh komunitas masyarakat yang hidup di kawasan rawan bencana. [eBas].