Kamis, 27 Oktober 2022

BERSAMA PENTAHELIX MEMBANGUN KETANGGUHAN

Alhamdulillah kegiatan Rapat Koordinasi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BPBD Provinsi Jawa Timur, diliput banyak media. Artinya berita ini akan diketahui oleh khalayak ramai di berbagai daerah.

Semoga ke depan, semua kegiatan BPBD (dan F-PRB) selalu terberitakan oleh media sebagai salah satu upaya mengkomunikasikan keberadaan BPBD (dan F-PRB) kepada publik.

Apalagi sudah ada MOU antara PWI dan F-PRB Jawa Timur terkait dengan upaya mengedukasi relawan terhadap jurnalistik kebencanaan. Dimana diharapkan relawan bisa melaporkan (menuliskan) semua kejadian di lokasi bencana. Baik yang dilaporkan ke Posko Induk, Pusdalops, maupun ke media lain, untuk menghindari berita hoax.

Mungkin, ini juga berarti bahwa  media sebagai salah satu unsur pentahelix, telah memahami betapa pentingnya menginformasikan peristiwa kebencanaan kepada khalayak sebagai upaya membangun kesadaram akan pentingnya membangun ketangguhan menghadapi bencana secara mandiri.

Tinggal bagaimana BPBD dan F-PRB memberikan ruang kepada para jurnalis agar keterlibatannya di dalam upaya sosialisasi PRB dan penanggulangan bencana bisa maksimal.

Paling tidak, media bisa bekerjasama dengan  komunitas relawan yang sering datang lebih dulu ke lokasi  daripada yang lain, untuk membuat berita awal terkait dengan kaji cepat. Yaitu Mengetahui dan melaporkan situasi dan kondisi wilayah terpapar bencana, dampak yang ditimbulkan, respon masyarakat, dan kebutuhan prioritas yang diperlukan warga.

Rakor yang digelar di Hotel Aria Gajayana, Kota Malang, hari Rabu (26/10/2022) dan Kamis (27/10/2022), mengambil tema “Tangguh Bersama Unsur Pentahelix”. Konon, tujuannya, seperti yang dikatakan oleh Andika, kabid pencegahan dan kesiapsiagaan, BPBD Provinsi Jawa Timur, agar dalam penanggulangan bencana ke depan, kelima unsur tersebut bisa bekerjasama lebih dalam lagi.

Benar kata Andika, keterlibatan unsur pentahelix dalam penanggulangan bencana masih kurang tampak. Misalnya dunia usaha. Kedatangan mereka ke lokasi bencana sering hanya menyerahkan bantuan untuk kemudian foto bersama sebagai bahan laporan, untuk kemudian balik kanan. Begitu  juga dengan helix lainnya. Tampaknya mereka masih sering bermain di acara seremonialnya.

Dikatakan pula bahwa ke depan masyarakat juga akan dioptimalkan keterlibatannya dalam PRB dan penanggulangan bencana, dengan membantuk Desa Tangguh Bencana (destana). Dimana, saat ini BPBD Provinsi Jawa Timur sedang melaksanakan program Sapa Destana ke beberapa Kabupaten untuk melihat perkembangannya.

Semoga tema Tangguh Bersama Unsur Pentahelix, benar-benar bisa terwujud dengan lahirnya kesadaran kolektif para pihak untuk membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana, khususnya di daerah yang memiliki potensi bencana. Seperti Kabupaten Malang, Kabupaten Blitar, Kabupaten Pacitan dan lainnya.

Sehingga ke depan, disetiap kegiatan yang digelar BPBD dan F-PRB, akan diramaikan oleh semua unsur pentahelix. Karena, selama ini yang tampak dominan adalah unsur masyarakat.

Sementara unsur pentahelix lainnya, masih sering terlibat dalam tataran teoritik formalitas. Itupun kadang hanya diwakilkan kepada bawahan. Kalau sudah begini sangat sulit dicapai kesepahaman dan koordinasi antar helix karena harus dilaporkan lebih dulu ke atasan.

Itulah realitanya, dan itu pula yang sedang dibangun oleh BPBD Provinsi Jawa Timur melalui rakor yang mengambil tema Tangguh Bersama Unsur Pentahelix. Sambil nyruput kopi, mari kita ikuti realisasinya. Salam Tangguh [eBas/Jum’atpahing-28102022]

 

 

 

 

 

 

 

 

Sabtu, 22 Oktober 2022

NGOBROL SANTAI BERSAMA PAK PAPANG

Beberapa hari yang lalu, mBah Dharmo sebagai Sekjen F-PRB Jawa Timur mengundang pengurus forum dan mereka yang terlibat dalam kegiatan sapa destana, untuk rapat di sekretariat F-PRB, yang merangkap sebagai kantornya Siap Siaga, di BPBD Provinsi Jawa Timur, sabtu (22/10/2022).

Rapat yang dihadiri oleh Pak Papang, Direktur Kesiapsiagaan BNPB membahas tentang Penguatan Kapasitas dan Kelembagaan F-PRB dan Koordinasi antisipasi Siaga Darurat Hidrometeorologi.

“Sekalian kita adakan evaluasi sapades yang sudah terlaksana, serta rencana kegiatan advokasi dan klaster,” Tambahnya.

Pada hari yang ditentukan, mBah Dharmo, mBah Gender, Gus Puji, Mas Wiwin, dan Pakdhe Kopros serta lainnya, dengan sepenuh cinta menyambut kedatangan Pak Papang, yang memakai baju bermotif kotak-kotak merah (hehe jadi ingat kampanye di Betawi beberapa tahun yang lalu).

Dikarenakan sesuatu dan lain hal, rapat diganti dengan ngobrol santai. Pak Papang bertanya, kenapa Jawa Timur tidak mengirimkan kontingennya ke acara Jambore Relawan Jateng di Kota Rembang, beberapa waktu yang lalu ?.

“Saya hanya ketemu Cak nDaru dan temannya saja. Lainnya tidak tampak,” Kata Pak Papang membuka obrolan sambil menyalakan rokoknya.

Mbah Dharmo dengan bijaksana mengatakan bahwa sesungguhnyalah forum sudah menawarkan kepada semua unsur pentahelix yang ingin ikut Jambore, akan difasilitasi. Namun tidak ada respon sama sekali, entah mengapa. Padahal dulu, dalam acara yang hampir sama, kontingen Jawa Timur pernah datang dalam jumlah banyak dibanding kontingen lain.

Obrolan pun membahas tentang tugas forum yang harus dikerjakan sebagai mitra BPBD. Diantaranya, memahamkan pentingnya PRB dan PB kepada OPD terkait dengan segala regulasi yang ada. Karena masih banyak yang belum paham.

Termasuk Dindik yang tidak paham tentang permendikbud 33 tahun 2019 sebagai “payung hukum” pelaksanaan SPAB. Forum juga harus membangun koordinasi dan komunikasi antar pihak untuk mempermudah pelaksanaan programnya.

“Pelibatan semua pihak dalam kegiatan PRB, agar ada tindak lanjutnya secara mandiri. Untuk itu perlu didorong agar inisiatif dari bawah terkait dengan kegiatan PRB dan PB,” Kata Pak Papang memberi masukan.

Selanjutnya, Destana harus semakin berdaya  sebagai dampak dari kegiatan sapa destana. Sekilas mBah Dharmo juga menyinggung pelaksanaan sapa destana, termasuk ada yang ditunda pelaksanaannya karena adanya bencana yang harus segera ditanggulangi.

Obrolan santai penuh tawa itu beralih ke masalah SPAB yang belum berjalan di semua sekolah. Celakanya SPAB selama ini kebanyakan diprogramkan oleh BPBD, bukan oleh Kemdikbud, termasuk penganggarannya.

Lagi-lagi Pak Papang bilang, agar SPAB itu digalakkan di daerah yang sudah terbentuk Destana, sehingga ke dua program itu bisa saling mendukung.

Terkait dengan keberadaan sekretariat bersama (sekber) SPAB, yang tidak segera terbentuk karena berbagai alasan, sebaiknya forum menggandeng Yayasan atau lembaga swasta yang memiliki sekolah untuk secara mandiri membentuk sekber SPAB. Biasanya setelah terbentuk dan terlihat hasilnya, OPD terkait akan nimbrung dengan sendirinya.

Sambil menikmati nasi kotak lauk empal (lebih tepatnya daging suwir), obrolan yang diikuti oleh banyak pihak itu juga membahas aneka tanaman endemik yang baik untuk penghijauan. Seperti pohon sono keling, trembesi, jati, cendawa jawa, kersen, kemiri, mahoni, dan lainnya yang layak ditanam di daerah gundul.

“Masalahnya, kini semakin banyak daerah tutupan pohon yang dibuka atas nama pembangunan dan kesejahteraan,” Kata Pakdhe Kopros, yang setia menyajikan kopi istimewa untuk Pak Papang.

Pak Papang bilang bahwa dirinya sedang sibuk pergi ke berbagai Kota untuk berbagi materi tentang kebencanaan. Dia juga bercerita tentang bagaimana dia melakukan penghijauan di lahan gundul, dengan cara biji tanaman disebar dengan menggunakan ketapil (bahasa jawanya, plinthengan/tepil).

Sedangkan mBah Darmo menceritakan keberadaan Jangkar Kelud yang bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama dengan kegiatan nyata yang bermanfaat bagi masyarakat di sekitar lereng Gunung Kelud, terkait PRB dengan konsep “Kumpul Uwul” serta sudah dikenal dan tercatat di BNPB.

Sementara mBah Gender mengatakan bahwa, dulu Gunung Kelud itu pernah dikuasai oleh beberapa kerajaan, dan banyak ditemukan peninggalan berupa arca dan bebatuan bekas candi yang menjadi bahan penelitian para ahli sejarah.

Di penghujung pertemuan santai dengan Direktur Kesiapsiagaan BNPB, mBah Dharmo juga menjelaskan rencana rapat minggu depan dengan tema “Memperkuat Kolaborasi Multipihak dalam Penanggulangan Bencana”, yang akan dihadiri oleh berbagai pihak.

Pak Papang berharap agar pengurus forum bisa “metani” peran masing-masing elemen pentahelix dalam PRB maupun PB. Mungkin Pak Papang ingin mengatakan kedepan keberadaan pentahelix di dalam kegiatan forum itu semakin tampak nyata. (sekali lagi, mungkin lho ya).

Setengah lima sore, acara ngobrol bersama Pak Papang berakhir dengan saling bersalam salaman, tanpa acara foto bersama, karena pesertanya tidak banyak (kurang banyak, jauh dari ekspektasi).

Hal ini semoga menjadi bahan evaluasi bagi mBah Dharmo, agar suatu saat jika Pak Direktur datang lagi, mBah Dharmo bisa mengundang dan mengkondisikan semua unsur pentahelix, termasuk komunitas relawan, khususnya yang berdomisili di seputaran Gresik, Surabaya, Sidoarjo (GSS), agar semakin tampak ramai dan guyub dalam menyambut kehadiran tamu. Sehingga tampak nilai kebersamaannya.

Konon, di wilayah GSS itu banyak bercokol akademisi, praktisi, dan lainnya termasuk kalangan media, yang sudah tergabung dalam forum. Terimakasih Pak Papang atas kehadirannya, atas ceritanya, atas sarannya, sekaligus mohon maaf atas penyambutan yang ala kadarnya.

Semoga ini bisa menjadi bahan introspeksi dan inspirasi pengurus forum untuk merangkul semua elemen pentahelix dalam berbagai kegiatan, termasuk kegiatan menyambut datangnya seorang tamu. [eBas/SabtuLegi-22102022]

Rabu, 19 Oktober 2022

DINAMIKA ORGANISASI NIRLABA

“AREL di Desaku bubar,” Kata Mukidi, yang kebetulan sebagai ketua asosiasi relawan (AREL) Desa Anurejo, Kecamatan Jayaraya. Masih kata Mukidi, semua terjadi karena kurangnya koordinasi dan minimnya komunikasi diantara para pihak. Istilahnya mereka yang terlibat dalam AREL belum ada kesamaan chemistry. Masih mengagungkan organisasinya sendiri.

Ya, antara pihak yang seharusnya mengayomi dengan pengurus AREL. Juga diantara anggota asosiasi sendiri konon juga kurang harmonis, sehingga banyak yang berjalan sendiri-sendiri, sesuai keyakinan dan kepercayaan masing-masing.

Masih kata Mukidi yang menumpahkan uneg-unegnya di media sosial, mengatakan bahwa lembaga yang mengayomi AREL dianggap kurang paham terhadap keberadaan AREL. Bahkan, konon menurut penguasa lembaga, masa berlakunya kepengurusan AREL sudah habis, sehingga perlu diadakan pergantian, entah kapan waktunya.

“AREL dianggap nyrimpeti, padahal kalao ada giat, baik iti saat pra bencana, tanggap darurat, maupun pasca bencana, AREL selalu bondo dewe,” Tulisnya di grup whatsapp.

Semoga itu hanya ungkapan “kemangkelan sesaat” karena ingin ngopi bareng untuk berkoordinasi, namun belum terlaksana karena kesibukan.

Namun, jika apa yang dilontarkan Mukidi itu benar adanya, maka sangat disayangkan. Betapa waktu pengukuhan AREL dulu sangat gempita, dihadiri oleh berbagai pihak yang terpandang di Desanya. Waktu itu pengurusnya gagah mengenakan seragam baru.

Ya, jika yang dikatakan Mukidi benar, maka gagallah upaya Pak Camat meng-AREL-kan semua Desa di wilayahnya, dalam rangka membangun kesiapsiagaan menuju ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Termasuk dalam menghadapi banjir kali ini, para aktor lokal sudah semakin mampu berbuat sesuatu tanpa menunggu bantuan dari pihak luar.

Kondisi ini harusnya segera ada yang memediasi, seperti tempo hari saat AREL sebuah Desa “bersilang paham” dengan perangkat Desa yang berakhir dengan saling berangkulan dan bermaafan antar aktor. Itulah pentingnya mediasi agar “kriwikan ora dadi grojogan”.

Namun, perlu juga dipahami, bahwa masih ada perangkat Desa yang enggan untuk segera membentuk AREL. Karena mereka berpikir, setelah terbentuk terus mereka mau berbuat apa, dan fasilitasnya dari mana. Sementara anggaran Desa untuk memfasilitasi keberadaan AREL tidak ada. Jika dipaksakan, akan “mencubit” anggaran yang mana.

Terbukti, setelah AREL terbentuk di beberapa Desa, ternyata kiprah mereka belum merata. Gregetnya tidak sama, tergantung “keterlibatan” perangkat Desa dalam berkomunikasi sambil ngopi.

Ya begitulah dinamika “organisasi nirlaba”. Kadang serentak syahwatnya menggebu ingin bertemu untuk berbuat sesuatu. Namun kemudian masing-masing aktor mundur alon-alon, terlena oleh “mainan baru” yang lebih menjanjikan, dan berkumpul lagi ketika ada aksi yang berarti.

Sungguh, “grundelan” Mukidi tidak akan terjadi jika diantara pengurus dan semua yang terlibat, sudah ada kesepahaman dan kesamaan chemistry untuk bersama sama “membesarkan” AREL. Ya, soliditas dan komitmen para aktor yang menjadi pengurus adalah kunci, dan itu tidak mudah. perlu proses panjang, perlu sering berkomunikasi sambil ngopi.

Namun perlu disadari bahwa sebagai “organisasi nirlaba”, tentu tidak memiliki dana operasional, sehingga semuanya harus diadakan secara “bantingan” sesuai kesepakatan, namun tidak dipaksakan. Begitu juga dalam mencari sumber dana operasional hendaknya terbuka. Termasuk jika mendapat fasilitas dari perangkat Desa untuk AREl, ya harus diketahui oleh semua.

Jangan sampai muncul kesan lu lagi lu lagi, itu kurang baik. Apalagi lu doang. Jelas ini namanya “one man show” yang mengatasnamakan organisasi. Kalau sudah begini maka akan muncul friksi dan fragmentasi dalam organisasi, untuk kemudian diam saling menunggu. Akan berperan jika ada cuan, tanpa itu akan berlalu.

Semoga apa yang dialami Mukidi segera menemukan solusi, agar Mukidi bisa tersenyum kembali. Untuk kemudian sembari menjalankan program AREL, tidak ada salahnya Mukidi menyiapkan kader muda untuk calon penggantinya.

Karena, ibarat gelas yang retak tidaklah mungkin kembali utuh. Begitu juga Mukidi akan sulit kembali bersahabat dengan aparat yang menganggap keberadaan Mukidi dan AREL hanya nyrimpeti.  

Sedangkan untuk AREL di Desa lain, maupun Desa yang akan membentuk AREL, hendaknya apa yang dialami Mukidi bisa menjadi pelajaran bahwa menjalankan “organisasi nirlaba”  itu tidak mudah. tidak sekedar kober, seger, banter, bener, pinter saja. Tapi juga harus sabar dalam arti luas. Wis ngunu wae, ndleming dini hari tanpo wedang kopi. [eB/KamisWage-20102022]

 

 

 

 

   

  

 

Selasa, 18 Oktober 2022

NGRASANI BANJIR DI GRUP WHATSAPP

     Bulan Oktober ini rupanya Jawa Timur mulai memasuki musim hujan yang sesungguhnya. terbukti, sejak minggu kemarin, beberapa daerah di beberapa Kabupaten diguyur hajan dengan intensitas tinggi, langsung diikuti dengan meluapnya sungai yang kewalahan menampung air hujan. Banjir pun menggenangi jalan raya, persawahan, perkampungan, bahkan merusak jembatan.

Longsor dari pegunungan membawa material kayu yang cukup besar dan panjang serta aneka sampah, ikut memperparah derita warga terdampak. Ya warga yang berdiam di beberapa Desa di Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Malang, Tulungagung, Kabupaten Blitar, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Banyuwangi, dan Kabupaten lain yang tidak disebutkan disini namun punya potensi banjir, pastilah langsung siap siaga, sibuk mengamankan diri dan harta bendanya.

Mereka, dengan membawa barang seadanya mengungsi ke sanak saudara dan tetangganya yang rumahnya bebas banjir. Ada yang sempat mengungsikan sapinya. Namun banyak juga kambing yang mati karena terlambat mengungsikan.

Ada daerah yang memang menjadi langganan banjir dan longsor bila musim hujan, namun cepat teratasi karena kesigapan masyarakat yang dibantu relawan dan berbagai dinas terkait. Seperti BPBD dengan pasukan TRC dan Agen Bencana yang selalu siaga.

Ada pula daerah yang kalau hujan terjadi genangan namun tidak sampai menimbulkan kepanikan karena air tidak sampai masuk ke pemukiman. Atau masuk tapi hanya sedikit dan cepat surut. Sehingga hal itu dianggap biasa.

Pertanyaannya kemudian, mengapa terjadi banjir (dan longsor) tahunan dan apa penyebabnya?, apakah tidak bisa dikurangi risikonya, saat banjir datang ?. Tidak sedikit yang bilang bahwa banjir datang karena hujan deras. Padahal setiap musim penghujan, ya pasti akan turun hujan. Entah itu deras atau hanya gerimis.

Konon, paling tidak ada tiga faktor utama penyebab banjir dan longsor, yaitu berkurangnya daerah tutupan pohon akibat penggundulan hutan dalam rangka alih fungsi lahan, sehingga air tanah tidak bisa tersimpan dengan baik. cuaca ekstrem, dan kondisi topografis Daerah Aliran Sungai.

Jadi kalau menyalahkan hujan, ya tidak tepatlah. Akan lebih bijak jika mengkaji mengapa terjadi banjir. Apakah karena sampah yang menggunung sehingga mempercepat sedimentasi dan menghambat jalannya air. Mungkin juka luasan sungai yang semakin menyempit karena dimanfaatkan untuk pemukiman.

Bisa juga melihat perubahan pemanfaatan lahan dan hutan.  Cak Teguh, Alumni mapala Jonggring Salaka, IKIP Malang (sekarang UM), dalam postingannya di grup whatsapp mengatakan bahwa Penebangan hutan dan perubahan fungsi lahan hutan jadi vila, perumahan elite, dan wisata alam di lereng Gunung (perbukitan), juga menjadi penyebab banjir dan longsor.

Yang rugi jelas rakyat kecil di desa, yang tidak tahu apa-apa soal alih fungsi lahan. Tahunya kebanjiran,” Tambahnya.

Sementara Cak Heru Blek, yang rumahnya di Kepanjen, mengatakan benar bahwa exploitasi lahan yang berlebihan dengan tujuan peningkatan ekonomi, hasilnya bencana bagi sesama. Sebenarnya rakyat juga paham, namun karena masalah perut kadang lupa akan potensi ancaman bencana akibat kelakuannya.

Masih kata pensiunan dosen di almamaternya, bahwa sebenarnya rakyat paham, hanya lupa fungsi lahan bukan semata-mata penghasil rupiah, sehingga asal ada lahan tidak produktip ( pinjam istilah pertanian) diubah menjadi destinasi wisata atau tanaman semusim, seperti tebu dan jagung, dengan tidak memikirkan fungsi lain dari lahan untuk menyimpan cadangan air.

Ermid, yang juga alumni Jonggring Salaka, dengan sedikit emosi bilang bahwa, rakyat gak paham tentang regulasi tata guna lahan. Tentu yang paham adalah pemerintah. Ada Kementrian Lingkungan Hidup, harusnya dilakukan amdal sebelum membolehkan alih fungsi lahan.

Dari celoteh ngalor ngidul di atas, bisa ditarik simpulan bahwa masyarakat setempat sebenarnya sudah tahu penyebab terjadinya banjir dan longsor yang meluluh lantakkan hartanya. Namun tampaknya mereka tidak berdaya melakukan mitigasi secara mandiri. Sementara regulasi yang ada pun juga kurang berbasis pengurangan risiko bencana.

Pertanyaannya kemudian, mungkinkah di daerah-daerah yang menjadi langganan banjir dan longsor itu diberi program Destana, Katana, KSB, dan SPAB, dalam rangka membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana ?.  Salam Waras. [eB/SelasaPahing-18102022]

 

 

 

 

 

Minggu, 16 Oktober 2022

TIDAK CUMA BONDO NEKAT SAJA

“Dulur-dulur, di beberapa daerah Jawa Timur sekarang sedang diserang oleh negara air. Beberapa bangunan juga tergerus oleh tanah longsor, termasuk tanaman tepi jalan dan jembatan juga porak poranda. Apakah dulur ada yang merapat ke lokasi atau ada yang mengumpulkan donasi ?,”. Kata Mukidi yang diposting di beberapa grup whatsapp yang diikutinya.

Apa yang dikatakan Mukidi adalah bentuk “kepekaan sosial” ketika mendengar ada bencana di suatu daerah. Paling tidak Mukidi mengajak sesama relawan untuk segera melakukan sesuatu membantu mereka yang menjadi korban bencana banjir dan longsor.

Gayung pun bersambut. Beberapa komunitas relawan yang memiliki kemampuan yang didukung oleh fasilitas, tanpa menunggu perintah (bahkan mungkin tanpa koordinasi) langusng menyingsingkan baju berangkat ke lokasi, terjun membantu apa saja yang harus dibantu.

Yang penting adalah berusaha menyelamatkan warga sebanyak-banyaknya dan meminimalkan korban jiwa. Artinya, bencana itu datang tanpa bisa dicegah, yang bisa dilakukan adalah berusaha mengurangi risikonya. Untuk itulah perlunya melakukan mitigasi dengan melibatkan warga setempat yang seringkali menjadi korban pertama saat terjadi bencana. Disinilah aktor lokal (khususnya yang tergabung dalam Destana) sangat ditunggu peran aktifnya.

Ya, keberadaan Destana itu diantaranya adalah membangun budaya tangguh bencana. Dimana masyarakat setempat memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. (UU 24 tahun 2007).

Apa yang dilakukan oleh temannya Mukidi yang langsung berangkat ke lokasi dengan prinsip ‘sat set wat wet’ itu sebagai bentuk partisipasi masyarakat dan merupakan aksi nyata yang wajib mendapatkan apresiasi dan perlu dicontoh oleh komunitas lain, sebagai bentuk kesamaptaan. Namun tidak semua komunitas relawan bisa berlaku seperti temannya Mukidi. Banyak faktor yang turut bermain di dalamnya. Termasuk waktu dan kesempatan.

Dalam Perka BNPB nomor 17 tahun 2011, dikatakan bahwa Relawan Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya disebut relawan, adalah seorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana.   

Dari difinisi di atas, jelas bahwa relawan harus memiliki kemampuan sebelum turun berjibaku di lokasi bencana. Kemampuan itu bisa berupa keterampilan yang diperlukan di lapangan sesuai klaster yang ada. Bisa juga kemampuan finansial untuk menunjang operasionalisasi selama di lapaangan tanpa harus ‘ngrepoti’ pihak lain.

Nah, kemampuan finansial inilah yang sering kali menjadi penghambat mobilitas relawan. Mereka harus berfikir dua kali sebelum memutuskan untuk merapat ke lokasi. Disamping kecukupan dana yang akan dibawa, juga dana yang ditinggal untuk keluarga.

Kecuali relawan yang difasilitasi/mendapat fasilitas untuk pergi ke lokasi. Mereka ini tidak perlu risau dengan dana yang dibawa maupun dana untuk keluarga. Apalagi bagi relawan yang masih jomblo, belum mempunyai tanggungan keluarga.

Dengan kata lain, pergerakan relawan (mandiri) itu tidaklah sekedar bondo tekat (berbekal semangat) saja. Disamping mempunyai kemampuan (kapasitas) dibidang penanggulangan bencana dengan segala variannya, masalah dana operasional, juga perlu diperhatikan.

Postingan Mukidi di atas, perlu diacungi jempol sebagai bentuk ‘kepekaan sosial’, namun tidak harus ditindak lanjuti dengan grusa grusu (emosional bondo nekat) semata. Banyak hal yang harus diperhatikan sebelum memutuskan untuk merapat ke lokasi bencana, termasuk melakukan penggalangan dana di perempatan jalan.

Seperti saat ini, di awal musim penghujan, banjir sudah merajalela di beberapa wilayah kabupaten di seluruh Jawa Timur, juga diberbagai daerah di Indonesia. Baik itu banjir yang disertai longsor dan merusak berbagai bangunan, bahkan telah memakan korban jiwa, maupun banjir sekala kecil namun sudah merepotkan warga setempat. Sebuah peringatan dini yang harus direspon.

Untuk itulah, para aktor lokal yang tergabung di dalam Desa Tangguh Bencana, Kelurahan Tangguh Bencana, Kampung Siaga Bencana, Forum PRB dan sejenisnya, mulai bersiap diri menyambut segala kemungkinan dari dampak musim penghujan. Tentunya dengan selalu berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan masalah kebencanaan. Salam Tangguh. [eBas/SeninLegi-17102022]

 

  

 

 

 

 

 

Minggu, 09 Oktober 2022

BENARKAH SPAB BISA MENCEGAH BENCANA HIDROMETEOROLOGI ?

Seperti biasa, setelah komunitas gerakan bersih-bersih masjid surabaya (GBMS) menjalankan misinya membersihkan Masjid Miftahul Jannah, di daerah Pakal, Surabaya barat, minggu (09/10/2022), beberapa orang dari mereka selalu menyempatkan diri mampir ke warung kopi untuk sekedar ngobrol tentang apa saja, sebagai media mempererat tali silaturahmi.

Kali ini, tempat yang digunakan untuk ngobrol bareng melepas lelah adalah Kedai Cemara Condong, yang berada di wilayah Tengger Rejomulyo, Kandanga, Benowo, Surabaya barat. Tempatnya di tengah perkampungan, namun suasananya sangat nyaman, banyak tetumbuhan, diantaranya pohon Jambu Darsono, Juwet putih (orang betawi bilangnya buah jamblang), dan pohon Buah Tin, yang sulit berbuah.

Kedai ini miliknya Om Poer, panggilan akrab Poerwanto Hadi, sesepuhnya komunitas sahabat giri wana (SGW). Dimana kegiatannya disamping melakukan pendakian dan berkemah ria, juga melakukan upaya pelestarian lingkungan alam, dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim.

Ya, konon, seiring dengan bertambahnya usia, Om Poer sudah mulai mengurangi aktivitas “blakrak’an” ke berbagai gunung, rimba, pantai dan daerah lain yang perlu dijamah dengan ditanamai berbagai tetumbuhan agar tidak gersang dan menjadi habitat berbagai satwa liar.

Ya, sebuah kesadaran yang patut diacungi jempol. Dari kesukaan blakrak’an berhijrah menuju usaha bakulan demi kesejahteraan keluarga dalam arti luas. Namun saat ngobrol, tetap saja yang dibicarakan ya masalah kerelawanan, pelestarian lingkungan dan kepedulian kepada sesama.

Sesampainya di Kedai Om Poer. Masing-masing pesan minuman sesuai selera. Ada yang pilih wedang uwuh,  juga ada yang suka es honey lemon, dan ada yang setia dengan kopi hitam pait. Sambil menunggu pesanan datang, obrolan ngalor ngidul langsung mengalir begitu saja, tentang apa saja.

Sambil mendengarkan obrolan Bang Arif tentang Yoni dan Lingga, saya menyempatkan membaca kiriman mas Yudha lewat japri. Dia bertanya, Bisakah SPAB mencegah terjadinya bencana ?. sebuah pertanyaan yang lucu dari seorang fasilitator program Kebencanaan (ya destana, ya PRB, ya SPAB dan lainnya).

sebenarnya jawabnya jelas tidak bisa, karena SPAB hanyalah sebuah program yang mendorong warga sekolah paham akan adanya potensi bencana di sekitar sekolahnya, kemudian mampu melakukan sesuatu untuk mengurangi risikonya, serta dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan diri dan melakukan evakuasi mandiri serta memiliki daya lenting pasca bencana., sesua konsep budaya tangguh bencana.

Rupanya dia baru membaca berita yang dimuat oleh mearindo.com. edisi tanggal 07/10/2022. Sebuah media online yang berpusat di Kota Magetan. Berita yang ditulis oleh Lusy itu berjudul, “SPAB Bisa Mencegah Bencana Hidrometeorologi”. Ya, rupanya pria yang punya usaha ayam petelur ini terkecoh oleh judul berita.

Seharusnya dimaklumi bahwa judul yang bombastis itu sebagai upaya menarik orang untuk membaca beritanya. Itu wajar di dunia jurnalistik. Nyatanya, setelah membaca beritanya, ternyata isinya ya normatif saja. Sebuah pelaksanaan program SPAB dari BPBD Provinsi Jawa Timur yang dijalankan oleh Tim SPAB SRPB Jawa timur.

Mungkin yang menarik dari isi berita itu adalah pernyataan Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Pacitan, Erwin Andriyatmoko, bahwa setelah selesai kegiatan ini, madrasah bisa terus melanjutkannya dengan kegiatan-kegiatan simulasi secara rutin.

“Selain itu, sarana dan prasarana harus dilengkapi lagi,” imbuhnya.

Mengapa menarik ?. Ya karena himbauan itu perlu dana pendukung agar bisa terwujud. Untuk mewujudkannya, tentu sekolah harus pandai “mencubit” dana yang ada, agar tidak menjadi temuan saat ada pemeriksaan oleh Itjen maupun BPK. Apalagi program SPAB ini programnya BPBD Provinsi Jawa Timur, bukan programnya Dinas Pendidikan, juga bukan keinginan sekolah, kemungkinan besar pihak sekolah akan merasa ogah-ogahan.

“Kembali ke pertanyaan di atas, hendaknya judul berita yang bombastis itu harus dipahami dengan bijaksana, bukan sekedar dimaknai secara letterlijk,” Kata saya dalam hati karena tidak punya cukup keberanian untuk membalas japrian dari pria yang menjadi inisiator terbentuknya F-PRB Kota Probolinggo ini.

Rembang petang telah menjelang. Saya undur diri dari Kedai Cemara Condong. Terimakasih Om Poer dan keluarga, yang telah mengijinkan saya ngincipi segelas kopi hitam pahit. Semoga kebaikan Om Poer mendapat barokah dari yang Maha Pengasih dan penyayang. [eBas/SeninWage/dinihari-10102022].    

 

 

  

 

 

 

 

Selasa, 04 Oktober 2022

MERAWAT SPAB SESUAI KEARIFAN LOKAL

Dalam kerangka acuan kerja KN-PRBBK, dikatakan bahwa Pengelolaan risiko bencana berbasis masyarakat adalah sebuah pendekatan yang mendorong komunitas akar rumput dalam mengelola risiko bencana di tingkat lokal.

Upaya tersebut berupa kemampuan melakukan interpretasi sendiri atas ancaman dan risiko bencana yang dihadapinya, melakukan prioritas penanganan/ pengurangan risiko bencana yang dihadapinya, mengurangi serta memantau dan mengevaluasi kinerjanya  sendiri dalam upaya pengurangan bencana.

Konsep di atas, hendaknya juga disosialisasikan melalui warga sekolah, melalui program satuan pendidikan aman bencana (SPAB). Tentunya bahasanya dipermudah agar dapat dipahami dengan mudah. inilah pekerjaan besar para aktor lokal yang sering menangani program SPAB.

Perhelatan KN-PRBBK tahun 2022, mengambil tema “Penguatan Kolaborasi Multi Pihak dalam Pengembangan Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas sebagai Kunci Menuju Resiliensi Berkelanjutan dan Berkeadilan”. Diisi dengan webinar oleh para aktor dari berbagai region.

Mereka bergantian menunjukkan keberhasilan tentang praktik baik upaya pengurangan risiko bencana, dan memberikan rekomendasi berupa solusi praktis dalam penanganan bencana yang dapat ditiru oleh pihak lain, sesuai kearifan lokal.

Salah satunya adalah praktik baik menyelenggarakan program SPAB di berbagai daerah. Baik itu dilakukan secara mandiri, maupun bersandar para programnya BPBD. Sementara Dinas Pendidikan yang telah memiliki regulasi melalui permendikbud nomor 33 tahun 2019, belum ‘move on’ dari ketidak pahamannya terhadap regulasi itu.

Terkait dengan SPAB, mBah Dharmo dalam paparannya di ajang webinar KN-PRBBK XV, mengatakan tentang pentingnya SPAB dengan pendekatan inklusi, yaitu sebuah pendekatan untuk membangun lingkungan yang terbuka untuk siapa saja dengan latar belakang dan kondisi yang berbeda-beda. Hal itu meliputi karakter, kondisi fisik, kepribadian, status, suku, budaya dan lain sebagainya.

Dikatakan pula bahwa, dalam memberikan materi SPAB untuk sosialisasi di sekolah, hendaknya berbasis kebutuhan dan permintaan sekolah, serta potensi bencana yang ada. Bukan sekedar menyampaikan semua materi yang ada di modul tiga pilar. Namun harus bersandar pada kearifan lokal.

Istilahnya Cak Anam, pemberian materi SPAB harus memperhatikan waktu, sarana prasarana yang ada, kondisi siswa, dan sebagainya yang bisa mempengaruhi proses sosialisasi. Termasuk simulasi yang akan dilakukan disesuaikan dengan potensi bencana yang ada. Bukan diseragamkan sesuai juklak dan juknis.

Apa yang disarankan Cak Anam, agak sulit diterapkan, karena ada juklak dan juknis yang mengikat. Gagasan pria yang menjadi ketua F-PRB Mojokerto ini baru bisa dilaksanakan dengan penuh kreatif dan inovatif jika SPAB diselenggarakan secara mandiri oleh komunitas relawan sebagai wujud partisipasi dalam upaya pengurangan risiko bencana.

Mungkin, Cak Anam ingin mengatakan bahwa dalam sosialisasi SPAB di sekolah, yang penting bagaimana “insan sekolah” paham potensi bencana yang ada di daerahnya, tau apa yang harus diperbuat untuk mengurangi risiko, bisa menyelamatkan diri secara mandiri sebelum bantuan dari luar berdatangan, serta bagaimana bisa memulihkan diri dengan cepat pasca bencana. Itu saja sudah cukup.

Alangkah eloknya jika BPBD berkenan mengajak komunitas relawan (F-PRB) untuk merawat program Destana, Katana, dan SPAB, agar tumbuh subur dalam rangka membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana secara mandiri.

Hal ini untuk menepis anggapan yang dituliskan dalam buku peta jalan program SPAB tahun 2020 – 2024, yaitu masih kurangnya peran serta masyarakat terlembaga seperti Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), dan belum adanya sinkronisasi antara SPAB dengan upaya-upaya PRB yang lain seperti Keluarga Tangguh Bencana (KATANA) dan Desa Tangguh Bencana (DESTANA).

Semoga praktik baik tentang SPAB yang selama ini telah menjadi program rutin BPBD, dapat menginspirasi berbagai pihak, khususnya dinas pendidikan, untuk mengimplementasikan permendikbud nomor 33 tahun 2019, yang sampai saat ini belum banyak dipahami.

Apalagi, masih adanya anggapan bahwa kegiatan SPAB menjadi beban tambahan kepala satuan pendidikan dan pendidik dalam kegiatan belajar mengajar sehingga tugas utama mereka mengajar menjadi berkurang. Padahal, sekolah bisa mengajak komunitas relawan untuk melaksanakan SPAB. Sayang itu tidak dilakukan. [eBas/SelasaPon-04102022]