Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan untuk
melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Salah satu strategi untuk
mewujudkan hal ini adalah melalui pengembangan desa/kelurahan tangguh terhadap
bencana dengan upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK).
Dalam
PRBBK, proses pengelolaan risiko bencana melibatkan secara aktif masyarakat
dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau dan mengevaluasi risiko
bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya.
Desa/Kelurahan
Tangguh Bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang memiliki kemampuan untuk
mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat
untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi
mengurangi risiko bencana.
Kemampuan
ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya
pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas
untuk pemulihan pascabencana.
Dalam
Destana, masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji, menganalisis, menangani,
memantau, mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko bencana yang ada di wilayah
mereka, terutama dengan memanfaatkan sumber daya lokal demi menjamin
keberkelanjutan.
Adapun tujuan
dari program Destana itu diantaranya adalah, Meningkatkan peran serta
masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam pengelolaan sumber daya untuk
mengurangi risiko bencana.
Meningkatkan
kerjasama antara para pemangku kepentingan dalam PRB, pihak pemerintah daerah,
lembaga usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyakarat (LSM), organisasi masyarakat,
dan kelompok-kelompok lainnya yang peduli.
Di atas
adalah nukilan dari Perka BNPB Nomor 1, tahun 2012, tentang Pedoman Umum
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Perka ini diharapkan juga diketahui oleh pegiat
forum agar bisa turut mengawal perjalanan program Destana.
Yosua,
dalam postingannya di grup whatsapp mengatakan bahwa forum bisa mengawal
Destana menjadi bener-bener implementatif, bukan sekedar event, lomba yang digawe
pantes-pantesan. Karena bencana itu nyata. Artinya, mereka yang diberi mandat
memfasilitasi Destana mampu mewujudkan harapan yang diprogramkan.
Sehingga program
ini benar-benar menghasilkan DESTANA (Desa Tangguh Bencana) sesuai Perka, bukan
DE-S-TANA ( Desa "Seolah-olah"
Tangguh Bencana) sekedar untuk daya serap anggaran. Istilahnya mBah Dharmo,
Mung digawe menggugurkan kewajiban.
Seperti layaknya
program pemerintah yang lain, program Destana juga diawali, antara lain dengan
penentuan lokasi dan peserta program. Selanjutnya pelaksanaan program dan
pendampingan yang kemudian diarahkan untuk mengikuti lomba Destana tahunan.
Begitulah
siklusnya. Pemenang Destana tingkat pratama, tahun depan berhak diikutkan ke lomba
Destana tingkat madya. Begitu seterusnya. Konon, penentuan Desa yang akan
mengikuti program Destana itu, tergantung dari kebijakan pejabat setempat, yang
seringkali bertentangan dengan kriteria yang ada di dalam Perka.
Kondisi yang
demikian membuat mBah Dharmo, sebagai Sekjen
FPRB Jawa Timur merasa prihatin. Dia ingin mengajak ‘kabinetnya’ untuk berbenah.
“Ternyata
merubah pemahaman yang kurang pas itu butuh tenaga ekstra dan hati yang sabar.
Ini menjadi PR kita bersama. Semoga WAG rumah bersama kita ini bisa menjadi
salah satu sarana untuk merubah Pemahaman
Destana ke arah yang sesuai dengan Perka yang ada,” Harap Mbah Dharmo.
Alumni UPN
Jogjakarta ini juga mengatakan bahwa paradigma penanganan bencana harus mulai
kita geser, Dari emergency respons ke
pengurangan risiko bencana (pra, saat dan pasca). Respons bencana harus menjadi
investasi kedepan, karena biaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan, akan
lebih murah dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan saat tanggap darurat.
Tentu,
ajakan Sekjen forum yang “nyambi” sebagai
dosen di prodi kebencanaan, Universitas Airlangga, Surabaya ini tidaklah mudah
untuk diwujudkan. Banyak faktor yang berpotensi menghambatnya.
Untuk itulah,
tidak ada salahnya jika pengurus forum memprogramkan kegiatan peningkatan
kapasitas anggotanya. Paling tidak mengagendakan sarasehan untuk memahami 10
hal yang harus diketahui tentang FPRB. Diantaranya, FRPB adalah perwujudan
partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di daerahnya.
FPRB memiliki
Visi, Memastikan Pembangunan Daerah Berbasis Pengurangan Risiko Bencana. Memastikan
pemberdayaan masyarakat dilakukan di daerah dalam membangun ketangguhan
terhadap bencana.
Memastikan
kelembagaan penanggulangan bencana dapat bersinergi dengan baik, antara
BPBD dengan OPD, antara pemerintah daerah dengan masyarakat dan lembaga
usaha. Serta memastikan anggaran penanggulangan bencana cukup digunakan dalam
penanggulangann bencana sesuai dengan risiko bencana di daerahnya.
“Upaya
memahami 10 hal di atas juga tidak mudah dan menjadi PR kita bersama, bahkan
mungkin akan diwariskan kepada pengurus periode selanjutnya,” Kata anggota grup
yang enggan disebut namanya karena takut dengan jargon “Wani Usul kudu Wani Mikul”.
Yang jelas,
ketakutan Yosua tentang program Destana yang kepleset menjadi sekedar desa
seolah-olah tangguh bencana, hendaknya melahirkan keprihatinan bersama. Kira-kira
bentuk keprihatinan itu yang bagaimana ya ?.
Mari kita
tunggu ramuan strategis yang akan ditawarkan oleh Yosua untuk memandirikan
Destana dalam arti luas. Atau, menunggu dibahas dalam rakor yang sebentar lagi
akan digelar. Wallaho a’lam bishowab. [eBas/SelasaKliwon-08022022]