Rabu, 16 Februari 2022

RELAWAN BERGERAK DESTANA BERDAMPAK

Semua pasti sepakat jika program Sapa Destana merupakan ikon FPRB Provinsi Jawa Timur, Program ini dicetuskan oleh pengurus sebagai upaya membantu BPBD mengaktivasi Destana yang kondisinya ‘mati enggan hidup tak mau’. Setelah usai mengikuti pelatihan, pembentukan dan penilaian destana.

Program ini dilaksanakan secara berkala sesuai kesepakatan. Bukan hanya pengurus forum saja yang “bergerak” ke lokasi untuk melakukan aksi. Namun juga melibatkan semua pihak (elemen pentahelix) yang memiliki waktu dan mampu berbuat sesuatu.

Dengan menggunakan pendekatan dialogis partisipatoris, relawan yang terlibat dalam kegiatan ini, khususnya relawan lokal yang “diamanahi” menggeluti destana, bisa

berbagi cerita untuk menggali potensi dan kendala yang menghambat pergerakan destana. Sekaligus mencari kerifan lokal yang bisa dijadikan bahan pembelajaran, terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana.

Dalam program ini, semua aktor setara, tidak ada yang paling hebat. Semua mempunyai hak untuk berkontribusi mengaktifkan destana dengan program yang menarik dan memberdayakan masyarakat setempat. Baik itu SDM dan sarana yang ada.

Dengan program Sapa Destana ini relawan yang terlibat, akan bergerak ke berbagai daerah yang keberadaan destananya terbengkalai sehingga perlu disentuh lagi. Tentnya relawan yang akan bergerak itu harus mampu berkoordinasi dan mumpuni terhadap materi.

Dalam kegiatan ini, diharapkan ada kolaborasi antara FPRB dengan BPBD di berbagai tingkatan. Artinya, forum menyediakan relawan yang akan bergerak untuk mengaktivasikan destana, sementara BPBD “memfasilitasi” agar tidak ada hambatan selama berkegiatan.

Program Sapa destana ini, relawan akan melakukan pendampingan dalam rangka penguatan kapasitas relawan pengelola destana terkait dengan materi yang pernah diterima, khususnya pendokumentasian data, serta memanfaatkan media sebagai sarana aktualisasi destana yang dikelolanya, sehingga keberadaannya dikenal oleh khalayak ramai, dan berdampak pada destana lainnya yang senasib.

Dengan program Sapa Destana ini, diharapkan dapat mendorong perubahan menuju destana, yang keberadaannya benar-benar bermanfaat dalam membangun ketangguhan masyarakat menghadapi potensi bencana yang ada di daerahnya.

Dalam konsep destana, Ketangguhan menghadapi bencana ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana, dan peningkatan kapasitas untuk percepatan pemulihan pasca darurat. Wallohu a’lam bishowab. [eBas/KamisWage-17022022]

  

 

 

 

 

 

 

 

 

Senin, 07 Februari 2022

DESTANA ITU BUKAN DE-S-TANA

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Salah satu strategi untuk mewujudkan hal ini adalah melalui pengembangan desa/kelurahan tangguh terhadap bencana dengan upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK).

Dalam PRBBK, proses pengelolaan risiko bencana melibatkan secara aktif masyarakat dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya.

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana.

Kemampuan ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan pascabencana.

Dalam Destana, masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka, terutama dengan memanfaatkan sumber daya lokal demi menjamin keberkelanjutan.

Adapun tujuan dari program Destana itu diantaranya adalah, Meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam pengelolaan sumber daya untuk mengurangi risiko bencana.

Meningkatkan kerjasama antara para pemangku kepentingan dalam PRB, pihak pemerintah daerah, lembaga usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyakarat (LSM), organisasi masyarakat, dan kelompok-kelompok lainnya yang peduli.

Di atas adalah nukilan dari Perka BNPB Nomor 1, tahun 2012, tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Perka ini diharapkan juga diketahui oleh pegiat forum agar bisa turut mengawal perjalanan program Destana.

Yosua, dalam postingannya di grup whatsapp mengatakan bahwa forum bisa mengawal Destana menjadi bener-bener implementatif, bukan sekedar event, lomba yang digawe pantes-pantesan. Karena bencana itu nyata. Artinya, mereka yang diberi mandat memfasilitasi Destana mampu mewujudkan harapan yang diprogramkan.

Sehingga program ini benar-benar menghasilkan DESTANA (Desa Tangguh Bencana) sesuai Perka, bukan DE-S-TANA ( Desa "Seolah-olah" Tangguh Bencana) sekedar untuk daya serap anggaran. Istilahnya mBah Dharmo, Mung digawe menggugurkan kewajiban.

Seperti layaknya program pemerintah yang lain, program Destana juga diawali, antara lain dengan penentuan lokasi dan peserta program. Selanjutnya pelaksanaan program dan pendampingan yang kemudian diarahkan untuk mengikuti lomba Destana tahunan.

Begitulah siklusnya. Pemenang Destana tingkat pratama, tahun depan berhak diikutkan ke lomba Destana tingkat madya. Begitu seterusnya. Konon, penentuan Desa yang akan mengikuti program Destana itu, tergantung dari kebijakan pejabat setempat, yang seringkali bertentangan dengan kriteria yang ada di dalam Perka.

Kondisi yang demikian  membuat mBah Dharmo, sebagai Sekjen FPRB Jawa Timur merasa prihatin. Dia ingin mengajak ‘kabinetnya’ untuk berbenah.

“Ternyata merubah pemahaman yang kurang pas itu butuh tenaga ekstra dan hati yang sabar. Ini menjadi PR kita bersama. Semoga WAG rumah bersama kita ini bisa menjadi salah satu sarana untuk merubah Pemahaman  Destana ke arah yang sesuai dengan Perka yang ada,” Harap Mbah Dharmo. 

Alumni UPN Jogjakarta ini juga mengatakan bahwa paradigma penanganan bencana harus mulai kita geser, Dari emergency respons ke pengurangan risiko bencana (pra, saat dan pasca). Respons bencana harus menjadi investasi kedepan, karena biaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan, akan lebih murah dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan saat tanggap darurat.

Tentu, ajakan Sekjen forum yang “nyambi” sebagai dosen di prodi kebencanaan, Universitas Airlangga, Surabaya ini tidaklah mudah untuk diwujudkan. Banyak faktor yang berpotensi menghambatnya.

Untuk itulah, tidak ada salahnya jika pengurus forum memprogramkan kegiatan peningkatan kapasitas anggotanya. Paling tidak mengagendakan sarasehan untuk memahami 10 hal yang harus diketahui tentang FPRB. Diantaranya, FRPB adalah perwujudan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana di daerahnya.

FPRB memiliki Visi, Memastikan Pembangunan Daerah Berbasis Pengurangan Risiko Bencana. Memastikan pemberdayaan masyarakat  dilakukan di daerah dalam membangun ketangguhan terhadap bencana.

Memastikan kelembagaan penanggulangan bencana dapat bersinergi dengan baik, antara BPBD  dengan OPD, antara pemerintah daerah dengan masyarakat dan lembaga usaha. Serta memastikan anggaran penanggulangan bencana cukup digunakan dalam penanggulangann bencana sesuai dengan risiko bencana di daerahnya.

“Upaya memahami 10 hal di atas juga tidak mudah dan menjadi PR kita bersama, bahkan mungkin akan diwariskan kepada pengurus periode selanjutnya,” Kata anggota grup yang enggan disebut namanya karena takut dengan jargon “Wani Usul kudu Wani Mikul”.

Yang jelas, ketakutan Yosua tentang program Destana yang kepleset menjadi sekedar desa seolah-olah tangguh bencana, hendaknya melahirkan keprihatinan bersama. Kira-kira bentuk keprihatinan itu yang bagaimana ya ?.

Mari kita tunggu ramuan strategis yang akan ditawarkan oleh Yosua untuk memandirikan Destana dalam arti luas. Atau, menunggu dibahas dalam rakor yang sebentar lagi akan digelar. Wallaho a’lam bishowab. [eBas/SelasaKliwon-08022022]

 

 

  

Minggu, 06 Februari 2022

UPAYA PEMBENTUKAN FPRB TINGKAT KABUPATEN/KOTA

Sebenarnya, sejak tahun 2020, upaya membentuk forum pengurangan risiko bencana di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Timur telah didengungkan. Bahkan, kala itu BNPB sendiri yang memfasilitasi pertemuan di Hotel Grand Mercure Mirama, Surabaya, Jawa Timur, selama dua hari.  Senin (26/10/2020) dan Selasa (27/10/2020).

Harapannya waktu itu adalah, tahun 2021 seluruh Kabupaten/Kota di wilayah Jawa Timur sedah terbentuk FPRB. Namun nyatanya harapan itu mbleset, entah kenapa. Padahal seluruh pengurus forum yang ditunjuk oleh Sekjen forum yang terpilih lewat musyawarah daring, telah bekerja keras untuk menginisiasi terbentuknya forum.

Padahal, konon FPRB itu merupakan wadah atau mekanisme untuk memfasilitasi kerjasama para  pihak (pentahelix) dalam upaya pengurangan risiko bencana melalui suatu Platform/Forum.

Tahun 2021 telah lewat. Kini masuk pada tahun 2022 yang bershio macan. Sementara belum semua Kabupaten/Kota yang masih enggan membentuk forum dengan berbagai alasan. Masih berproses.

Mungkin, dari situlah kemudian muncul surat dari Kalaksa BPBD Provinsi Jawa Timur nonor 360/168/208.1/2022, tanggal 27 Januari 2022, perihal pembentukan FPRB tingkat Kabupaten/Kota.

Dengan terbentuknya forum  yang memperhatikan keterwakilan dari berbagai unsur meliputi; pemerintah, lembaga usaha, organisasi masyarakat, kelompok-kelompok profesi, kategori-kategori lain, termasuk kelompok difabel, kelompok perempuan, dan keterwakilan dari wilayah.

Merekalah nantinya yang akan bersama-sama membangun sinergi di segala bidang untuk menjadikan bahan masukan penyusunan kebijakan, mulai tahap pra bencana, tanggap bencana, dan pasca bencana. Sehingga akan diperoleh regulasi dan kebijakan kerkenaan dengan ketangguhan masyarakat menghadapi bencana.

Pertanyaannya kemudian, apakah dengan keluarnya surat dari kalaksa BPBD Provinsi Jawa Timur itu, kemudian secara otomatis semua BPBD yang belum membentuk forum, langsung berkenan membentuknya ?. tentu semua tergantung pada daerah masing-masing.

Yang jelas, tidak hanya sekedar membentuk saja dengan gebyar seremonial yang bergengsi, untuk kemudian dibiarkan tanpa ada pembinaan dan pelibatan dalam pelaksanaan programnya. Tindak lanjut pasca pembentukan forum itulah yang mungkin menjadi pikiran tersendiri dari BPBD setempat.

Untuk itulah, perlu ada dialog antar pihak untuk membangun kesepahaman, terkait pengelolaan bencana sehingga dapat membantu menyelaraskan berbagi kebijakan, perencanaan dan program pembangunan. Jelas ini tidak mudah, perlu proses untuk menyamakan “frekwensi” antar pihak.

Dari situlah, forum bisa turut mensukseskan empat prioritas yang ditetapkan oleh sendai framework for disaster risk reduktion (SFDRR), yang meliputi upaya memahami risiko bencana, memperkuat tata kelola risiko bencana untuk mengelola risiko bencana,  investasi dalam pengurangan risiko bencana untuk ketangguhan, dan memperkuat kesiapsiagaan bencana untuk respon yang efektif, dan membangun kembali dengan lebih baik dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Sesungguhnyalah empat prioritas Sendai itu sudah dicoba terjemahkan dalam kegiaan FPRB Jawa Timur. Diantaranya seperti program sambang deso sinau bareng (SDSB) dan Sapa Destana. Ke dua program ini sebagai upaya meningkatkan kapasitas komunitas relawan setempat agar mampu tampil sebagai aktor utama ketika daerahnya “dikunjungi” bencana. Tentu tetap dibawah koordinasi BPBD setempat.

Begitu juga dengan pemanfaatan media sosial yang ada untuk sebar informasi pengurangan risiko bencana kepada khalayak ramai, telah dilakukan oleh pengurus forum yang membidangi.

Alangkah eloknya jika BPBD mengapresiasi kiprah para aktor dibidang pengurangan risiko bencana itu, diajak duduk bersama, ngobrol bareng untuk menyepakati pembentukan FPRB dengan segala program dan aturan mainnya.

Sungguh, jika BPBD bisa memfasilitasi dialog partisipatif antar semua elemen petahelix, tentu seluruh Kabupaten/Kota di tahun 2022 yang bertepatan dengan shio macan air ini, akan memiliki mitra kritis yang diamanatkan oleh UU nomor 24 tahun 2007, bernama forum pengurangan risiko bencana. [eBas/SeninWage-07022022]