Nice
sharing mbak Retno dan Mbak Ocha. Ijin bertanya kepada kedua implementator SPAB, baik dari FPRB maupun dari SRPB. Fasilitasi SPAB ini harus didukung oleh
multipihak. Sustainibilitas menjadi salah satu indikator keberhasilannya.
Apakah sudah ada strategi untuk mencapai hal itu?, misal melalui integrasi materi kebencanaan
kedalam mata pelajaran. Karena untuk jenjang SD/sederajat dan SMP/sederajat
belum ada mata pelajaran khusus tentang mitigasi bencana. Demikian, terima kasih.
Begitulah salah satu pertanyaan yang dilontarkan Annisatu
Nadiroh, salah seorang peserta webinar tentang edukasi kebencanaan, dengan bahasan
menuju sekolah aman bencana, sebuah praktik inklusi mandiri dan penerapan SPAB,
yang digelar hari rabu (28/09/2022).
Webinar ini digelar dalam rangka turut “mangayubagyo”
acara KN-PRBBK XV tahun 2022. Acara rutin yang digelar setiap tahun dalam
bentuk kegiatan diskusi reflektif praktik baik upaya pengurangan risiko bencana
berbasis komunitas, dengan berbagai tema yang dilih oleh masing-masing region.
Untuk region Jawa Timur, salah satu tema yang diambil
adalah seputar edukasi kebencanaan. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi
penikmat webinar untuk ikut menyimak. Jumlah pesertanya diluar prakiraan. Sebelumnya
hanya berharap 47 partisipan, ternyata membludak banyak.
Ini menandakan bahwa pemilihan tema juga sangat
menentukan. Harus dibuat sebombastis mungkin, kayak judul yang sering muncul di
“koran kuning”. Tidak peduli isinya biasa-biasa saja, yang penting chasing
nya eye catching, yang mendorong peserta untuk bertanya.
Diantaranya adalah pertanyaan dari Eko
Yudha terkait SPAB, yaitu,
tentang bagaimana
terapan pilar ke 3 yang membahas kurikulum dan siapa
yang mempunyai tanggung jawab untuk memasukkan poin tersebut kedalam kurikulum.
Sementara, Rurid dari Kota Kepanjen, Kabupaten Malang
bertanya, apakah aktor yang diserahi melaksanakan SPAB juga menyiapkan
perangkat untuk monev kegiatan pasca kegiatan edukasi bencana, serta mohon diceritakan tentang tantangan dalam
keberlanjutan edukasi bencana untuk investasi pengetahuan.
Masih kata mantan Sekjen F-PRB Jatim sebelum digantikan
mBah Dharmo, Edukasi bencana bukan hanya mengurangi risiko dalam jangka
pendek, namun jangka panjang. Tantangan yang sebenarnya adalah
bagaimana efektivitas edukasi kebencanaan dengan berbagai latar belakang yang
ada? dan bagaimana keberlanjutannya, karena berdasarkan pengalaman tentang program destana yang tidak berlanjut.
“Apakah teman-teman dalam
memfasilitasi edukasi bencana juga merancang rencana tindak lanjut?,” Imbuhnya.
Agus Sadid, seorang pelaksana program pendidikan non
formal dari Sumbawa, bertanya, apakah untuk edukasi
kebencanaan, bisa masuk ke dalam kurikulum kami di SKB terutama terkait dgn
program pendidilkan kesetaraan.
“Saya harapkan edukasi kebencanaan bisa disenergikan dengan program life skill dan pnguatan
kapasitas peseta didik PAUD dan Dikmas. Begitu juga struktur materi edukasi kebencanaan sebaiknya
memuat atau mengaitkan
sistem model kearifan lokal sehingga lebih efektif,” Begitu harap Bang Sadid, panggilan akrabnya.
Sungguh, pertanyaan yang dipaparkan di atas tidak mudah
dijawab, karena berbau kebijakan. Sementara dinas pendidikan sendiri masih
banyak yang belum paham, bahkan tidak tahu akan keberadaan Permendikbud nomor
33 tahun 2019. Sehingga mereka belum mengeluarkan perintah agar sekolah
menyelenggarakan SPAB.
Pihak dinas masih bersikap defensif, menunggu ajakan BPBD
untuk ber SPAB lewat programnya. Sedangkan sekolah, khususnya sekolah negeri, kebanyakan
masih menunggu arahan dan petunjuk atasan.
Ingat lho, program SPAB yang dibawa oleh “Tim SPAB
bersertifikat” itu programnya BPBD
yang sifatnya masih sebatas sosialisasi demi daya serap anggaran. Jadi, disini
yang diutamakan anggaran cepat terserap sesuai aturan untuk segera dilaporkan.
Masalah program SPAB ditindak lanjuti atau tidak oleh
sekolah, pasca “didatangi” Tim SPAB bersertifikat, itu urusan lain. Hal ini
sejalan dengan apa kata Rurid tentang program destana yang tidak diikuti oleh
program penguatan maupun program pemandirian, seperti yang dipraktikkan dalam
program pendidikan non formal.
Untuk itu, alangkah baiknya jika BPBD menggandeng elemen pentahelix
yang tergabung dalam F-PRB untuk menindaklanjuti ke dua program itu, baik SPAB
dan Destana, agar tidak “layu sebelum berkembang”. dimana Forum diberi
tugas melakukan pendampingan secara berkala, baik untuk program SPAB dan
Destana. Sehingga keberadaan ke dua program benar-benar berdampak positif
terhadap upaya membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana.
Tentu, aturan mainnya perlu dibicarakan bersama sambil
ngopi, dengan semangat musyawarah untuk mufakat. Ini penting, untuk mengatasi masih
lemahnya koordinasi komunikasi dan kuatnya ego sektoral antar pihak
(pentahelix) dalam upaya pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana.
[eB/KamisPon-29092022]