Minggu, 22 November 2015

PENGURANGAN RISIKO BENCANA MENUJU DESA TANGGUH


BNPB menginisiasi upaya pengurangan risiko bencana kepada ‘masyarakat kampus’ dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan penanggulangan bencana sehingga mampu melakukan gerakan sosialisasi kepada khalayak ramai saat melakukan kegiatan tri dharma perguruan tinggi, agar tumbuh kesadarannya akan masalah bencana yang ada di daerahnya. Leading sector masyarakat kampus ini adalah mereka yang aktif di pusat Studi Bencana dan relawan kampus (atau nama lain yang dipakai oleh masing-masing kampus).

Seperti diketahui, dalam berbagai kesempatan, pejabat BNPB/BPBD seringkali mengatakan bahwa peningkatan kapasitas pengurangan risiko bencana (PRB) itu meliputi peningkatan pengetahuan PRB kepada eksekutif maupun legislative agar mereka paham akan kerja-kerja penanggulangan bencana. Peningkatan kemampuan aparat di bidang teknis PRB (khusus untuk karyawan BNPB/BPBD sebagai pelaksana UU nomor 24 tahun 2007). Fasilitasi pencegahan bencana yang partisipatif dengan pola gerakan PRBBK.

Ya, Relawan penanggulangan bencana (termasuk relawan kampus) harus aktif meningkatkan kapasitasnya melalui diklat dan pembinaan berkala agar tidak lupa dengan keterampilan yang telah dikuasai, bahkan akan semakin mahair dan luas wawasannya. Tentu, alangkah eloknya jika yang melakukan pembinaan ini adalah BPBD/BNPB, sesuai tugas dan fungsinya sehingga relawan penanggulangan bencana sebagai komponen masyarakat yang terlatih, akan mudah dimobilisasi dalam satu komando, yaitu oleh BPBD/BNPB manakala ada peristiwa bencana. Ya, upaya melakukan perubahan secara terus menerus sehingga SDM pelaku penanggulangan bencana perlu mendapatkan pembinaan, termasuk peningkatan dan perbaikan sarana prasarana yang dimiliki.

Semua ini penting dilakukan dalam rangka menterjemahkan tujuan dari Sendai Framework for Action (SFA) 2015 – 2030, ke dalam kegiatan nyata, yaitu mengurangi risiko bencana yang ada melalui penerapan langkah-langkah terpadu dan ekonomi yang inklusif, struktural, hukum, sosial, kesehatan, budaya, pendidikan, lingkungan, teknologi, politik, dan kelembagaan yang mencegah dan mengurangi paparan bahaya dan kerentanan terhadap bencana, meningkatkan kesiapan untuk respon dan pemulihan. Dengan demikian akan dapat memperkuat ketahanan ketangguhan komunitas.

Hal ini pun sejalan dengan pesan dari kerangka aksi Hyogo yang terdiri dari empat bidang prioritas, yaitu: (i) memahami risiko bencana, (ii) penguatan tata kelola pemerintahan untuk mengelola risiko bencana, (iii) meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif, dan untuk membangun dengan lebih baik (build back better) dalam pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Sejalan dengan upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana (PRB), maka diperlukan sinergitas semua pihak dalam rangka mendorong kesadaran masyarakat untuk melakukan pencegahan dan mitigasi di daerahnya. Disinilah BPBD/BNPB berperan penting dalam mengkoordinasikan sekaligus menjamin keberlangsungan upaya mengurangi risiko bencana.

Ke depan, keterlibatan ‘masyarakat kampus’ dalam melakukan tri dharma perguruan tinggi, agar berjalan efektif hendaknya bekerjasama dengan masyarakat lokal yang melakukan kegiatan PRB dengan mengenalkan hasil kajian tentang cara dan teknik PRB yang dapat direplikasikan secara luas sesuai kultur setempat, dan menyambungkan dengan upaya yang dilakukan pemerintah, terkait dengan kajian kerentanan, kerawanan, dan identifikasi risiko bencana daerah, sebagai dasar pengambilan kebijakan pengarusutamaan PRB dalam perencanaan pembangunan, serta memperkuat kapasitas SDM BPBD/BNPB, khususnya di daerah rawan bencana, termasuk para pegiat penanggulangan bencana.

Semua upaya ini dalam rangka membangun desa tangguh bencana, yaitu desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi bencana serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan. (Peraturan Kepala BNPB nomor 1 tahun 2012). Dimana prinsip desa tangguh bencana itu adalah; (1).Bencana adalah urusan bersama. (2). Berbasis Pengurangan Risiko Bencana. (3). Pemenuhan hak masyarakat. (4). Masyarakat menjadi pelaku utama. (5). Dilakukan secara partisipatoris. (6). Mobilisasi sumber daya lokal. (7). Inklusif dan berlandaskan kemanusiaan.

Sedangkan indikator desa tangguh bencana itu meliputi: (1). Memiliki peta ancaman bencana. (2). Peta dan analisis kerentanan masyarakat terhadap dampak bencana. (3). Peta dan penilaian kapasitas dan potensi sumber daya. (4). Draf Rencana Penanggulangan bencana 5 tahunan. (6). Draf Rencana Aksi Komunitas (RAK) untuk Pengurangan Risiko Bencana. (2-3 Tahun). (7). Relawan penanggulangan bencana (termasuk forum pengurangan risiko bencana). (8). Sistem peringatan dini berbasis masyarakat. (9). Rencana kontijensi (termasuk evakuasi) dan Pola Ketahanan ekonomi.

Upaya-upaya inilah kiranya yang perlu dijadikan bahan sosialisasi bagi relawan penanggulangan bencana, baik saat pra bencana maupun pasca bencana kepada masyarakat di kawasan rawan bencana. Itulah sebagian pesan yang disampaikan pada acara seminar peluang dan tantangan penerapan dynamic governance untuk pengarusutamaan PRB di Indonesia, yang diselenggarakan oleh BNPB, IABI dan Universitas Brawijaya Malang, tanggal 19 Novenber 2015. [eBas/yayasanpusppita]



Sabtu, 14 November 2015

SEKOLAH AMAN BENCANA, SEBUAH GAGASAN YANG INDAH



Indonesia yang tidak pernah lepas dari masalah bencana di sepanjang tahun, telah menumbuhkan kepedulian para pegiat kemanusiaan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya tangguh bencana. Salah satunya melalui institusi pendidikan, yaitu sekolah. Sebuah gagasan yang indah namun tidak mudah membumi karena berbagai faktor yang ada didalamnya. Namun patut terus dicobakan untuk menjadi nyata.

Konon, Sekolah dipercaya memiliki pengaruh langsung terhadap generasi muda yang sedang menuntut ilmu (siswa), yaitu dalam menanamkan nilai-nilai budaya serta menyampaikan pengetahuan dan keterampilan kepada siswa, termasuk pendidikan pengurangan risiko bencana (PRB), yaitu usaha sadar dan terencana dalam proses pembelajaran untuk memberdayaan peserta didik dalam upaya untuk PRB dan membangun budaya aman serta tangguh terhadap bencana

Dalam berbagai kesempatan diskusi kebencanaan, dikatakan pendidikan PRB  bertujuan untuk meminimalisir risiko bencana dan meningkatkan kapasitas sekolah dalam melaksanakan pengurangan risiko bencana, kesiapsiagaan, mitigasi, dan peringatan dini. PRB oleh satuan pendidikan dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan materi pendidikan PRB  dalam mata pelajaran, muatan lokal, dan ekstrakurikuler.

Terkait dengan PRB, teman-teman dari Humanitarian Forum Indonesia (HFI), menyodorkan konsep Tiga pilar sekolah aman  meliputi, (1) Pilar Struktural, seperti lokasi aman, struktur bangunan aman, desain dan penataan kelas aman serta dukungan sarana prasarana aman. (2) Pilar Non Struktural ; peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan, kebijakan sekolah aman, perencanaan kesiapsiagaan dan mobilitas sumber daya, dan (3) Pilar manajemen bencana di sekolah.

Sungguh, gagasan membangun budaya tangguh bencana melalui sekolah aman bencana itu perlu didukung oleh semua pihak, khususnya para pemangku kebijakan di bidang pendidikan. Merekalah yang perlu diberi kesadaran akan pentingnya PRB, budaya tangguh bencana dan sekolah aman bencana. Karena merekalah yang bisa mengatur kebijakan dan anggarannya. Pastilah ini juga dipahami oleh sekretariat nasional sekolah/madrasah aman bencana (Seknas SMAB).

Apalagi, dalam seminar penguatan kapasitas guru dalam PRB, tidak dihadiri oleh pejabat Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, BPBD, dan dinas terkait lainnya. Sehingga kemungkinan kecil guru berani mulai berbuat dalam PRB untuk meningkatkan kapasitas komunitas sekolah dalam menghadapi bencana. Sementara pihak sekolah, dalam hal ini pendidik dan tenaga kependidikan hanyalah objek kebijakan. Kapasitas mereka hanyalah pelaksana lapangan sesuai petunjuk dari ‘atas’, karena inisiatif dari bawah sering kali ditolak oleh atasan, bahkan bisa berbuah petaka terhadap nasib karier pendidik dan tenaga kependidikan itu sendiri.

Disisi lain, program sekolah aman itu kenyataannya masih sangat tergantung dari adanya bantuan anggaran untuk menyelenggarakannya, entah itu dari pemerintah maupun dari pihak swasta (dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat). Kalau hanya mengandalkan  dana BOS, BOBDA, iuran wali murid dan sejenisnya, kayaknya pihak sekolah tidak akan berani mengambil resiko yang tidak diinginkan, yang bisa muncul kerena ketidak tahuan.

Saat tanya jawab, ada yang menggelitik dari konsep tiga pilar sekolah aman, yaitu terkait dengan bangunan sekolah yang aman. Pertanyaan yang muncul kemudian, jika gedung sekolah sudah terlanjur dibangu di daerah rawan bencana, apakah harus dibongkar dan dipindah?. Jika gedung sekolah rusak memerlukan perbaikan, apakah bisa dilakukan dengan segera, dan anggarannya dari mana?.

Ini menarik, karena masih banyak gedung sekolah yang rusak hampir roboh, masih digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dan dibiarkan bertahun-tahun tanpa renovasi dengan berbagai alas an. Belum lagi masalah lahan yang semakin sulit dan sempit, juga kepemilikan lahan sekolah yang sering bermasalah. Belum lagi masalah politik anggaran dan politik lokal yang sarat kepentingan, sedikit banyak akan menghambat pelaksanaan sekolah aman bencana.

Mungkin, langkah kecil yang telah diawali oleh Amin Widodo dan kawan-kawan di pusat studi kebumian bencana dan perubahan iklim, bisa menginspirasi Seknas SMAB  lebih giat lagi mendorong pemerintah untuk segera mewujudkan budaya tangguh bencana melalui sekolah aman bencana. Salah satunya adalah lebih sering menggelar seminar dan diklat yang beraroma PRB kepada mayarakat. Salam kemanusiaan. [eBas]



Selasa, 10 November 2015

PUSPPITA PEDULI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM




Konon, berangkat dari kegelisahan para akademisi dan praktisi kebencanaan terkait dengan pengembangan gagasan riset kebencanaan di Indonesia yang cenderung masih terbatas dan kurang populer, serta dalam upaya membantu terwujudnya sinergitas antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam pelaksanaan kebijakan program penanggulangan bencana.

Pusat penelitian dan pelatihan Indonesia tangguh, yang lebih familier dengan sebutan PUSPPITA, merupakan organisasi sosial non pemerintah yang peduli terhadap penelitian dan pengkajian masalah kebencanaan, dimana hasilnya nanti bisa digunakan sebagai bahan rujukan bagi pihak-pihak terkait (dalam hal ini BNPB dan BPBD) untuk menyusun kebijakan dalam rangka menyusun dan merencanakan program penanggulangan bencana diberbagai daerah sesuai dengan jenis dan sifatnya.

Dalam rangka mewujudkan sinergitas antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, PUSPPITA sebagai mitra pemerintah dan para pegiat kebencanaan, dalam aktivitasnya membantu memberi masukan terhadap penyusunan program penanggulangan bencana sebagai upaya menciptakan masyarakat sadar dan tangguh dalam menghadapi bencana.

PUSPPITA hadir untuk berkomitmen dan peduli terhadap masalah kebencanaan melalui berbagai penelitian, pengkajian dan pelatihan yang dapat diginakan sebagai rujukan bagi pemerintah dalam rangka formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan penanggulangan bencana, baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional.

Program yang menjadi garapan PUSPPITA diantaranya adalah, penelitian dan pengkajian desa tangguh bencana, respon masyarakat saat tanggap darurat, kerentanan dan kapasitas masyarakat dan pemerintah setempat dalam menghadapi bencana, kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah rawan bencana, mengelar diskusi dan seminar serta berbagai pelatihan tentang penanggulangan bencana.

Hal diatas sejalan dengan misi PUSPPITA yaitu ; (1) mendorong dan melaksanakan program pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim untuk terwujudnya Indonesia tangguh, (2) mewujudkan penguatan kolaborasi yang sinergis antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam kegiatan penanggulangan bencana, dan (3) penguatan issue-isue kebencanaan dalam perencanaan pembangunan dalam keranka pembangunan berkelanjutan.

Artinya, keberadaan PUSPPITA diharapkan menjadi partner pemerintah untuk menekan angka kerugian akibat bencana, sehingga dampak kerusakan lingkungan yang berakibat pada bencana bisa diminimalisir. Tentunya ini bisa terwujud bila dilakukan melalui berbagai jejaring kemitraan yang dibangunnya serta pelibatan relawan sebagai upaya kaderisasi. [eBas].




Kamis, 05 November 2015

BUDAYA K3, SAFETY IS MY LIFE

Konon, saat kesepakatan MEA, masyarakat ekonomi asean di terapkan tahun 2016, maka akan terjadi adu kopetensi diantara tenaga kerja dengan berlomba menunjukkan kemampuan dan kinerjanya yang didukung dengan dimilikinya sertifikat, termasuk pelaksanaan budaya K3. Sudah siapkah bangsa Indonesia menghadapi MEA dengan berbagai dampaknya?.
Pernyataan itu muncul dalam workshop mengenai budaya keselamatan kerja, yang dilakukan oleh ITS bekerjasama dengan Kemenakertrans, di gedung rektorat, kamis (5/11). Apalagi, masalah budaya kerja belumlah familier di masyarakat Indonesia, padahal dampaknya bisa fatal.
Dalam workshop dikatakan bahwa kecelakaan kerja itu tidak dapat diduga dan bisa mengacaukan rencana kerja yang telah disusun, termasuk pembengkaan anggaran dan berubahnya waktu penyelesaian tugas. Kecelakaan terjadi bisa karena human error, sistem maupun bencana alam.  Kecelakaan kerja bisa terjadi kapan saja dan dibidang apa saja, yang bisa dilakukan adalah upaya mencegah dan mengurangi tingkat bahayanya (mitigasi dan antisipasi).
Sementara itu untuk lembaga/pabrik harus mengedepankan perlindungan terhadap keamanan, dan kesehata karyawannya, serta keamanan sarana prasarana yang digunakan untuk bekerja, dan ramah lingkungan. Semua ini bisa terlaksana jika didukung oleh pihak manajemen. Namun kenyataannya, banyak orang bialng bahwa budaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) berkait erat dengan mental dan kebiasaan manusia dan lingkungan dimana pabrik itu berada.
Penerapan budaya K3 tidaklah segampang membalikkan tangan, karena ini menyangkut sikap mental dan kebiasaan personilnya dalam melaksanakan tugas. Sering dijumpai seseorang berperilaku aman dan sehat ketika ada pimpinan (saat ada pemeriksaan), dan ketika tidak ada pimpinan mereka kembali ke kebiasaan yang tidak aman dan tidak sehat yang tidak sesuai prosedur kerja yang telah ditetapkan.
Berbagai literatur mengatakan bahwa K3 merupakan sebuah kesatuan dari tiga aspek yaitu nilai – nilai K3 dan persepsi K3 dari setiap pekerja, aspek perilaku K3 bekerja sehari – hari  dan juga aspek Organisasi dan Manajemen K3 yang ada diperusahaan, termasuk menyadari akan adanya sumber bahaya yang potensial.
Tulisan Bensar dan kawan-kawan, dari Universitas Negeri Yogyakarta, (2012), mengatakan bahwa budaya K3 di suatu perusahaan sebagai bagian dari budaya organisasi perusahaan bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu, Aspek pertama, apa yang dirasakan seseorang sangat terkait dengan aspek Pribadi (PERSON), seperti misalnya cara pikir, nilai, pengetahuan, motivasi, harapan, dan lain-lain.
Aspek kedua berkaitan erat dengan perilaku sehari-hari (BEHAVIOUR), seperti misalnya   perilaku   sehari-hari   di   perusahaan,   kebiasaan-kebiasaan   dalam   K3   dan sebagainya. Aspek ketiga berkaitan erat dengan situasi lingkungan kerja (ENVIRONMENT) seperti apa  yang   dimiliki   perusahaan/organisasi  mengenai   K3, contohnya Sistem Manajemen K3, SOP, Komite K3, peralatan, lingkungan kerja, dan sebagainya.
Ketiga   aspek   tersebut   satu   sama   lainnya   saling   berinteraksi   dan   saling mempengaruhi. Budaya K3 yang kuat tentunya akan ditandai dengan kuatnya tiga aspek tersebut. Oleh karena itu, suatu perusahaan diharapkan mempunyai budaya yang selalu meningkatkan K3 secara terus menerus dimana K3 sudah menjadi nilai-nilai pribadi dan tampil dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain, budaya  K3  adalah   sikap dan cara bekerja   dalam   perusahaan, yang menekankan pentingnya keselamatan. Oleh karena itu, budaya k3 mempersyaratkan agar semua kewajiban yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan harus dilaksanakan secara benar, seksama, dan penuh rasa tanggung jawab, demi mencapai tujuan perusahaan, yaitu memperoleh keuntungan dalam arti luas.
Upaya pembiasaan budaya K3 bisa dibangun lewat mengenalkan pembiasaan antri, cuci tangan, menggunakan air efisien, budaya toilet bersih dan kering, lingkungan bebas rokok dan peduli sampah, bekerja sesuai prosedur, selalu berhati-hati dan waspada dan kebiasaan berlatih dan memeriksa sarana prasarana secara berkala.
Mampukah dan siapkah tenaga kerja Indonesia menghadapi MEA, sedangkan stigma sebagai bangsa yang ceroboh masih melekat erat. Inilah salah satu tugas dari kemenakertrans dalam mensosialisasikan K3 lewat kampus, baik dalam kegiatan workshop semacam ini maupun diintegrasikan ke dalam mata kuliah tertentu. [eBas]