BNPB
menginisiasi upaya pengurangan risiko bencana kepada ‘masyarakat kampus’ dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan
penanggulangan bencana sehingga mampu melakukan
gerakan sosialisasi kepada khalayak ramai saat melakukan kegiatan tri dharma perguruan tinggi, agar
tumbuh kesadarannya akan masalah bencana yang ada di daerahnya. Leading sector masyarakat kampus ini adalah mereka yang aktif di pusat Studi Bencana
dan relawan kampus (atau nama lain yang dipakai oleh masing-masing kampus).
Seperti diketahui, dalam berbagai kesempatan, pejabat BNPB/BPBD
seringkali mengatakan bahwa peningkatan kapasitas pengurangan risiko bencana
(PRB) itu meliputi peningkatan pengetahuan PRB kepada eksekutif maupun legislative
agar mereka paham akan kerja-kerja penanggulangan bencana. Peningkatan kemampuan
aparat di bidang teknis PRB (khusus untuk karyawan BNPB/BPBD sebagai pelaksana
UU nomor 24 tahun 2007). Fasilitasi pencegahan bencana yang partisipatif dengan
pola gerakan PRBBK.
Ya, Relawan penanggulangan bencana (termasuk relawan kampus) harus aktif meningkatkan kapasitasnya
melalui diklat dan pembinaan berkala agar tidak lupa dengan keterampilan yang
telah dikuasai, bahkan akan semakin mahair dan luas wawasannya. Tentu, alangkah
eloknya jika yang melakukan pembinaan ini adalah BPBD/BNPB, sesuai tugas dan
fungsinya sehingga relawan penanggulangan bencana sebagai komponen masyarakat
yang terlatih, akan mudah dimobilisasi dalam satu komando, yaitu oleh BPBD/BNPB
manakala ada peristiwa bencana. Ya, upaya melakukan perubahan secara terus menerus
sehingga SDM pelaku penanggulangan bencana perlu mendapatkan pembinaan,
termasuk peningkatan dan perbaikan sarana prasarana yang dimiliki.
Semua
ini penting dilakukan dalam rangka menterjemahkan tujuan dari Sendai Framework for Action (SFA) 2015 –
2030, ke dalam kegiatan nyata, yaitu mengurangi risiko bencana yang ada melalui
penerapan langkah-langkah terpadu dan ekonomi yang inklusif, struktural, hukum,
sosial, kesehatan, budaya, pendidikan, lingkungan, teknologi, politik, dan
kelembagaan yang mencegah dan mengurangi paparan bahaya dan kerentanan terhadap
bencana, meningkatkan kesiapan untuk respon dan pemulihan. Dengan demikian akan
dapat memperkuat ketahanan ketangguhan komunitas.
Hal
ini pun sejalan dengan pesan dari kerangka aksi Hyogo yang terdiri dari empat
bidang prioritas, yaitu: (i) memahami risiko bencana, (ii) penguatan tata
kelola pemerintahan untuk mengelola risiko bencana, (iii) meningkatkan kesiapsiagaan
terhadap bencana demi respon yang efektif, dan untuk membangun dengan lebih
baik (build back better) dalam
pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Sejalan
dengan upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana (PRB), maka diperlukan sinergitas semua pihak
dalam rangka mendorong kesadaran masyarakat untuk melakukan pencegahan dan
mitigasi di daerahnya. Disinilah BPBD/BNPB berperan penting dalam
mengkoordinasikan sekaligus menjamin keberlangsungan upaya
mengurangi risiko bencana.
Ke depan, keterlibatan ‘masyarakat
kampus’ dalam melakukan tri dharma perguruan tinggi, agar berjalan efektif
hendaknya bekerjasama dengan masyarakat lokal yang melakukan kegiatan PRB dengan mengenalkan hasil kajian tentang cara dan teknik PRB yang dapat
direplikasikan secara luas sesuai kultur setempat, dan
menyambungkan dengan upaya yang dilakukan pemerintah, terkait dengan kajian kerentanan, kerawanan, dan identifikasi risiko
bencana daerah, sebagai dasar pengambilan kebijakan pengarusutamaan PRB dalam
perencanaan pembangunan, serta memperkuat kapasitas SDM BPBD/BNPB, khususnya di daerah rawan bencana, termasuk para pegiat
penanggulangan bencana.
Semua upaya ini dalam rangka membangun desa tangguh bencana, yaitu desa
yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi bencana serta
memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan. (Peraturan
Kepala BNPB nomor 1 tahun 2012). Dimana prinsip desa tangguh bencana itu
adalah; (1).Bencana adalah urusan bersama. (2). Berbasis Pengurangan Risiko
Bencana. (3). Pemenuhan hak masyarakat. (4). Masyarakat menjadi pelaku
utama. (5). Dilakukan secara partisipatoris. (6). Mobilisasi sumber daya lokal. (7). Inklusif dan berlandaskan kemanusiaan.
Sedangkan indikator
desa tangguh bencana itu meliputi: (1). Memiliki peta ancaman bencana. (2). Peta dan analisis
kerentanan masyarakat terhadap dampak bencana. (3). Peta dan penilaian
kapasitas dan potensi sumber daya. (4). Draf Rencana Penanggulangan bencana 5
tahunan. (6). Draf Rencana Aksi Komunitas (RAK) untuk Pengurangan Risiko
Bencana. (2-3 Tahun). (7). Relawan penanggulangan bencana (termasuk
forum pengurangan risiko bencana). (8). Sistem peringatan dini berbasis masyarakat. (9). Rencana kontijensi
(termasuk evakuasi) dan Pola Ketahanan ekonomi.
Upaya-upaya
inilah kiranya yang perlu dijadikan bahan sosialisasi bagi relawan
penanggulangan bencana, baik saat pra bencana maupun pasca bencana kepada
masyarakat di kawasan rawan bencana. Itulah sebagian pesan yang disampaikan
pada acara seminar peluang dan tantangan penerapan dynamic governance untuk pengarusutamaan PRB di Indonesia, yang
diselenggarakan oleh BNPB, IABI dan Universitas Brawijaya Malang, tanggal 19
Novenber 2015. [eBas/yayasanpusppita]