Sungguh,
roda kehidupan itu berputar terus, mengikuti jalannya sang waktu. Begitu juga
dengan umur manusia. Pelahan tapi pasti, semua akan berubah tanpa bisa diubah. Begitu
pun relawan kemanusiaan yang aktivitasnya menolong sesama tanpa pamrih. Harus menyiapkan
diri, menata hidup dan penghidupannya, baik sebagai individu maupun anggota
masyarakat.
Jika tidak
ingin terlindas oleh kerasnya hidup, mau tidak mau relawan harus berbenah, suka
tidak suka harus mengurangi aktivitas kemanusiaannya, fokus kepada keluarga,
kepada anak-anaknya yang beranjak dewasa, semakin banyak pula keperluan hidup
yang harus dipenuhi.
Ingat,
jangan sampai relawan yang biasanya mengevakuasi korban bencana, dimasa tuanya yang
renta ganti (minta) di evakuasi karena ketidak berdayaan diri. Audzu billah hi mindzalik,
sungguh tragis jika terjadi.
Untuk itulah,
tidak ada salahnya jika relawan yang sudah dewasa, yang sudah berani membangun
rumah tangga, segera menyiapkan ‘ubo
rampe’ kehidupan agar nantinya tidak terpuruk karena bergelut dengan
aksi-aksi kemanusiaan, sehingga menjadi sasaran evakuasi relawan lain.
Caranya?.
Cepat putar haluan, janganlah habiskan waktu dengan menggeluti dunia
kesukarelawan, mengabaikan kualitas hidup keluarga. Sungguh kegiatan relawan
itu murni mengandalkan otot dan otak tanpa imbalan yang sesuai sebagai jaminan
bari tua. Semua penting dilakukan agar terhindar dari bencana keluarga.
Untuk relawan
yang secara ekonomi sudah mapan, mungkin tidak masalah berkecimpung terus di
dunia kerelawanan sampai tua, sampai ajal menjemput di ujung senja.
Tapi,
bagi relawan yang serba pas-pasan. Ya harus segera membagi waktu untuk berbenah
diri, menggeluti usaha ekonomi produktif yang bisa mensejahterakan keluarga,
pun mendukung aktivitas kemanusiaan. Mungkin, dengan menggeluti sektor nonformal,
bermain di ceruk ekonomi mikro.
Kata Sang
motivator kehidupan, asal jeli menangkap peluang, dan diikuti tekat yang kuat untuk
sukses, pasti akan memetik hasilnya. Inilah mungkin, kata sakti yang bisa
dijadikan azimat bagi relawan yang sudah waktunya mundur karena umur.
Tentu, kondisi
yang demikian pastilah sudah diantisipasi oleh kawan-kawan relawan. Bahkan mungkin
sudah ada yang berhasil, sehingga aktivitas kerelawanannya bisa berlanjut
terus, tanpa mengganggu stabilitas ekonomi rumah tangganya.
Memang,
jiwa kerelawanan dan rasa peduli pada sesama itu tidak lekang oleh waktu. Diusia
senja pun relawan tetaplah relawan. Namun tidaklah harus turun langsung ke
medan juang mengevakuasi korban saat tanggap bencana. Cukuplah dengan memberi masukan
dan saran kepada relawan muda yang akan melanjutkan kiprahnya sebagai relawan
tangguh.
Relawan sepuh
yang kaya pengalaman dan ilmu, hendaknya berkenan berbagi kepada yuniornya,
transfer ilmu dan pengalaman sebagai bentuk kaderisasi alami.
Sebagai bentuk
sedekah ilmu dan pengalaman di penghujung pengabdian. Karena, secara kodrati
masa depan itu milik generasi mendatang. Mau tudak mau, seiring berjalannya
usia, semua pasti berubah, akan digantikan oleh yang muda.
Ingatlah,
kerja-kerja kemanusiaan itu unik, “Berhasil
tidak dipuji, Gagal dimaki, Menderita salah sendiri”. Untuk itulah mari
berbenah diri melalui introspeksi selagi masih ada waktu untuk memulai upaya menemukan
makna kehidupan untuk menata masa depan relawan yang mandiri. Salam lestari, damai
dihati, damai dibumi. [eBas].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar