Kamis, 17 November 2016

PELATIHAN JITU PASNA UNTUK AKADEMISI

Dalam rangka menyediakan sumber daya manusia yang mampu melaksanakan pengkajian kebutuhan pasca bencana, lembaga kajian PUSPPITA  mengadakan pelatihan Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana (Jitu Pasna). Bertempat di Premier  Inn Hotel, Sidoarjo, pelatihan akan dilaksanakan selama dua hari,  mulai Selasa dan rabu  (15 – 16 Nopember 2016). Sebanyak 20 peserta yang hadir merupakan dosen dari beberapa perguruan tinggi yang mempunyai kepedulian terhadap kerja-kerja kemanusiaan  dan Komunitas Relawan Indonesia Surabaya.
Hendro Wardhono,  saat membacakan sambutan mengatakan, pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi itu merupakan salah satu tahapan penting pasca bencana. Kompleksitas dari akibat yang ditimbulkan pasca bencana tentunya membutuhkan data dan perencanaan yang matang dalam penanggulangannya. Hal tersebut dimaksudkan agar penanganan yang dilakukan pasca bencana dapat terlaksana secara baik, terarah dan terpadu. Dengan kata lain, jitu pasna itu bisa dimaknai sebagai upaya menghitung kerugian, kerusakan dan risiko bencana sejak para, tanggap dan pasca bencana. “Harapannya melalui pelatihan ini, para peserta dapat melakukan analisis dampak dan perkiraan kebutuhan yang selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan rehabilitasi dan rekontruksi. Seperti mengidentifikasi dan menghitung kerusakan dan kerugian baik fisik maupun non fisik yang dialami oleh ekonomi, sosial dan lain sebagainya,” katanya.
Nellis, Direktur Pemulihan dan Kerusakan, Deputi Rehab Rekon, BNPB, menjelaskan, rehabilitasi pasca bencana dapat diartikan memulihkan ketika terjadi bencana. Dalam masa rehabilitasi, perencanaan dilakukan dalam waktu singkat tetapi tidak sampai lewat satu tahun anggaran.  Sedangkan rekonstruksi pasca bencana lebih bersifat pembangunan dan dilakukan dalam waktu yang panjang. Dikatakan pula bahwa penyusunan jitu pasna itu harus melibatkan banyak SKPD, termasuk bappeda dalam menyusun rencana aksi dan renkon, setelah nanti data tergali untuk menghitung kerusakan, kerugian dan kebutuhan yang harus disediakan oleh pemerintah dalam rangka menolong korban bencana.  Disamping itu dokumen jitu pasna oleh BNPB dijadikan acuan untuk pemberian bantuan kepada BPBD yang sedang menanggulangi bencana di wilayah kerjanya. “Rehabilitasi itu, begitu terjadi bencana, apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kalau ada yang mengungsi apa kebutuhannya, kalau ada kerusakan apa kebutuhannya. Sedangkan rekonstruksi pasca bencana lebih bersifat pembangunan dan dilakukan dalam waktu yang panjang tetapi tetap ada batas waktunya. Sepanjang-panjangnya sampai tiga tahun. Kalau dananya terbatas ya diberi tahapan. Dananya bisa dari APBD Daerah, APBD Provinsi dan pusat,” terang Nellis. Perempuan paruh baya  ini menambahkan, untuk mendapatkan dana, dibutuhkan suatu proposal berdasarkan hasil kajian yang telah disusun dan di kirimkan ke BNPB untuk dipelajari. Harapannya, setelah mengikuti pelatihan ini, peserta, sebagai akademisi, dapat memberikan kontribusi kepada kabupaten dalam bentuk rekomendasi jitu pasna untuk menyusun proposal. “Outputnya, peserta disini akan membuat suatu rekomendasi atau punya bekal didalam menyusun proposal. Tidak hanya untuk ini saja, tetapi kedepan kalau ada bencana lagi sudah siap cara menghitung. Sehingga BPBD sebagai leading sektor bencana sudah tinggal melalui SK Bupati, merapatkan, kemudian bergerak dan menghasilkan outputnya dokumen. Dokumen itu bisa untuk usulan ke provinsi maupun ke pusat. Intinya giat jitu pasna itu untuk membantu pemda untuk memprediksi kebutuhan rehab rekon PB (kerusakan dan kerugian akibat bencana) agar mendapatkan bantuan dana/menyusun recana anggaran yang diperlukan.  Syamsul maarif, penggagas lahirnya lembaga PUSPPITA, mengatakan bahwa, Bencana tidak semata-mata disebabkan oleh faktor alam saja, tapi faktor alam pun kini sering berpengaruh terhadap terjadinya bencana. BPBD setempat tidaklah mungkin bisa menangani sendiri. Perlu keterlibatan pusat dan mengajak SKPD lain bekerja sama untuk penanggulangan bencana. “Bencana alam kini semakin sering muncul dimana-mana dengan menimbulkan kerugian dan kerusakan yang banyak, bahkan menimbulkan kematian. Sehingga perlu dikaji secara akademis untuk melahirkan teori baru sebagai bahan masukan untuk penyusunan kebijakan dalam penanggulangan bencaana” Katanya. [eBas]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar