Dalam rangka menyediakan
sumber daya manusia yang mampu melaksanakan pengkajian kebutuhan pasca bencana,
lembaga kajian PUSPPITA mengadakan
pelatihan Pengkajian Kebutuhan Pasca Bencana (Jitu Pasna). Bertempat di Premier
Inn Hotel, Sidoarjo, pelatihan akan
dilaksanakan selama dua hari, mulai Selasa
dan rabu (15 – 16 Nopember 2016).
Sebanyak 20 peserta yang hadir merupakan dosen dari beberapa perguruan tinggi
yang mempunyai kepedulian terhadap kerja-kerja kemanusiaan dan Komunitas Relawan Indonesia Surabaya.
Hendro Wardhono, saat membacakan sambutan mengatakan,
pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi itu merupakan salah satu tahapan
penting pasca bencana. Kompleksitas dari akibat yang ditimbulkan pasca bencana
tentunya membutuhkan data dan perencanaan yang matang dalam penanggulangannya.
Hal tersebut dimaksudkan agar penanganan yang dilakukan pasca bencana dapat
terlaksana secara baik, terarah dan terpadu. Dengan kata lain, jitu pasna itu
bisa dimaknai sebagai upaya menghitung kerugian, kerusakan dan risiko bencana
sejak para, tanggap dan pasca bencana. “Harapannya melalui pelatihan ini, para
peserta dapat melakukan analisis dampak dan perkiraan kebutuhan yang
selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan rehabilitasi dan
rekontruksi. Seperti mengidentifikasi dan menghitung kerusakan dan kerugian
baik fisik maupun non fisik yang dialami oleh ekonomi, sosial dan lain
sebagainya,” katanya.
Nellis,
Direktur Pemulihan dan Kerusakan, Deputi Rehab Rekon, BNPB, menjelaskan,
rehabilitasi pasca bencana dapat diartikan memulihkan ketika terjadi bencana.
Dalam masa rehabilitasi, perencanaan dilakukan dalam waktu singkat tetapi tidak
sampai lewat satu tahun anggaran. Sedangkan rekonstruksi pasca bencana lebih bersifat
pembangunan dan dilakukan dalam waktu yang panjang. Dikatakan pula bahwa
penyusunan jitu pasna itu harus melibatkan banyak SKPD, termasuk bappeda dalam
menyusun rencana aksi dan renkon, setelah nanti data tergali untuk menghitung
kerusakan, kerugian dan kebutuhan yang harus disediakan oleh pemerintah dalam
rangka menolong korban bencana. Disamping itu dokumen jitu pasna oleh BNPB
dijadikan acuan untuk pemberian bantuan kepada BPBD yang sedang menanggulangi
bencana di wilayah kerjanya. “Rehabilitasi itu, begitu terjadi bencana, apa
yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kalau ada yang mengungsi apa kebutuhannya,
kalau ada kerusakan apa kebutuhannya. Sedangkan rekonstruksi pasca bencana
lebih bersifat pembangunan dan dilakukan dalam waktu yang panjang tetapi tetap
ada batas waktunya. Sepanjang-panjangnya sampai tiga tahun. Kalau dananya
terbatas ya diberi tahapan. Dananya bisa dari APBD Daerah, APBD Provinsi dan
pusat,” terang Nellis. Perempuan paruh baya ini menambahkan, untuk mendapatkan dana, dibutuhkan
suatu proposal berdasarkan hasil kajian yang telah disusun dan di kirimkan ke
BNPB untuk dipelajari. Harapannya, setelah mengikuti pelatihan ini, peserta,
sebagai akademisi, dapat memberikan kontribusi kepada kabupaten dalam bentuk
rekomendasi jitu pasna untuk menyusun proposal. “Outputnya, peserta disini akan
membuat suatu rekomendasi atau punya bekal didalam menyusun proposal. Tidak
hanya untuk ini saja, tetapi kedepan kalau ada bencana lagi sudah siap cara
menghitung. Sehingga BPBD sebagai leading sektor bencana sudah tinggal melalui
SK Bupati, merapatkan, kemudian bergerak dan menghasilkan outputnya dokumen.
Dokumen itu bisa untuk usulan ke provinsi maupun ke pusat. Intinya giat jitu pasna
itu untuk membantu pemda untuk memprediksi kebutuhan rehab rekon PB (kerusakan
dan kerugian akibat bencana) agar mendapatkan bantuan dana/menyusun recana
anggaran yang diperlukan. Syamsul
maarif, penggagas lahirnya lembaga PUSPPITA, mengatakan bahwa, Bencana tidak
semata-mata disebabkan oleh faktor alam saja, tapi faktor alam pun kini sering
berpengaruh terhadap terjadinya bencana. BPBD setempat tidaklah mungkin bisa
menangani sendiri. Perlu keterlibatan pusat dan mengajak SKPD lain bekerja sama
untuk penanggulangan bencana. “Bencana alam kini semakin sering muncul dimana-mana
dengan menimbulkan kerugian dan kerusakan yang banyak, bahkan menimbulkan
kematian. Sehingga perlu dikaji secara akademis untuk melahirkan teori baru
sebagai bahan masukan untuk penyusunan kebijakan dalam penanggulangan bencaana”
Katanya. [eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar