Di tengah-tengah
maraknya kegiatan gelar relawan program sekolah sungai, sekolah laut, dan
mungkin juga sekolah gunung, sebagai upaya membangun gerakan pengurangan risiko
bencana, muncul pertanyaan cerdik menggelitik yang diposting di WhatsApp grup
Membangun Forum Pengurangan Risiko Bencana Jawa Timur (FPRB JATIM), “Kenapa ya,
yang bantu bencana mesti pakai seragam?. Umpama ga pakai seragam, apa diusir,
meski warga setempat ?”.
Ehm…?. Konon, Seragam
bukanlah pakaian kerja biasa namun menjadi komponen penting yang memiliki
fungsi, nilai dan makna penting bagi anggota dan organisasinya. Kalau tidak
salah, seragam itu adalah identitas dari sebuah komunitas (organisasi) yang
digunakan dalam melakukan aktivitasnya.
Tanpa disadari, Seragam
membuat anggota organisasi menjadi berbeda, disamping itu, seragam juga mampu
menjadi media promosi untuk membangun citra organisasi yang berdampak pada
tumbuhnya rasa bangga bagi pemakainya,
Ya, dengan seragam,
diharapkan lahir loyalitas, dedikasi, gotong royong, kerjasama, rasa senasib
seperjuangan, sehingga tercipta kesetaraan dan persamaan yang mampu
menghapuskan kesan kesenjangan sosial diantara anggotanya. Dari situlah akan
tumbuh rasa melu handarbeni terhadap
keberlangsungan hidup organisasi beserta programnya.
Sehingga wajar jika
dalam kegiatan yang berbau seremonial, selalu saja semua yang terlibat,
diseragami, dipakani, dan kadang juga disangoni. Bahkan di beberapa instansi
tertentu, selain kaos, juga ada tas, rompi, topi, baju, jaket, dan alat tulis
yang dibagikan untuk menyenangkan semuanya. Itu terjadi karena memang ada
anggarannya (sengaja dianggarkan). Beda banget jika semua itu diselenggarakan
secara nonformal atas inisiatif bersama berbasis keswadayaan.
Agar tidak menimbulkan
salah paham, yang dibahas disini bukan bencana yang diseremonialkan. Karena bencana
alam itu kata relawan senior pasti tidak dikehendaki dan tidak diskenariokan
kedatangannya. Yang dibicarakan disini adalah penyelenggaraan program
penanggulangan bencana yang diagendakan pemerintah (BNPB dan BPBD), dalam
rangka meningkatkan kapasitas masyarakat terpilih untuk bisa berperan membantu
operasi penanggulangan bencana, yang ditandai dengan pembagian kaos seragam gratis.
Sementara itu, yang
tidak kalah pentingnya adalah kegiatan pasca seremonial. Adakah tindak
lanjutnya, atau, memang direncanakan untuk tidak ditindak lanjuti?. Sungguh,
peserta program itu masih perlu didampingi dan dibina pasca penyelenggaraan
program. Tidak dilepas begitu saja pasca program. sungguh mereka belum bisa mandiri, tidak berdaya jika langsung dilepas.
Semua harus dilakukan
jika program yang digulirkan dengan anggaran yang tidak sedikit itu ingin
tampak guna manfaatnya bagi masyarakat. Dalam hal ini membangun budaya
masyarakat tangguh menghadapi bencana.
Dengan kata lain,
gerakan pengurangan risiko bencana yang berupa sekolah sungai, sekolah laut,
sekolah gunung, bahkan mungkin juga destana, diharapkan dapat membangkitkan
kesadaran bergotong royong dan memupuk rasa kesetiakawanan sosial sesuai
kearifan lokal.
Dibanyak kasus, usai
penyelenggaraan program, tidak ditindak lanjuti dengan program pendampingan. Sehingga
masyarakat yang menjadi sasaran program kembali berperilaku seperti sebelum
mendapat sentuhan program. Yaitu masyarakat yang tidak mampu mengelola dan
mengurangi risiko bencana dan gagal meningkatkan kualitas hidupnya.
Untuk itulah program
gerakan pengurangan risiko bencana harus terus didampingi dalam rangka
pemberdayaan masyarakat melalui proses belajar sosial bersama untuk
meningkatkan kapasitas, prakarsa dan partisipasi dalam pembangunan desa.
Sementara kaos
seragamnya pun semakin kusam untuk kemudian berubah fungsi menjadi gombal dan
hilang entah kemana. Selanjutnya mereka hanya berharap ada pembagian kaos
seragam lagi lewat acara seremonial untuk peningkatan kapasitas komunitas,
entah itu dalam bentuk penyuluhan, lokalatih, apel siaga, simulasi maupun
sekedar kerja bhakti bersama lintas elemen dan instansi. [eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar