Minggu, 11 November 2018

RELAWAN ITU HARUS TERJUN KE LOKASI BENCANA


Konon, ada yang bilang, seorang relawan itu harus pernah (bahkan sering) terjun ke lokasi bencana. bersama komponen lain membantu menanggulangi bencana sesuai klasternya. Itulah kebanggaan seorang relawan bisa membantu langsung korban bencana dengan segala suka dukanya yang indah untuk dikenang, juga untuk bahan cerita.

Kebanggaan itulah yang kemudian dijadikan bahan cerita yang tiada habisnya. Apalagi jika cerita-cerita itu dikemas dengan dramatisasi yang berbunga-bunga. Maka pendengarnya akan terkesima dan kagum oleh cerita heroiknya. Untuk kemudian semua percaya bahwa sipencerita tadi layak disebut relawan senior yang berpengalaman. Bahkan kalau perlu dijadikan rujukan oleh para yuniornya, juga para pemerhati masalah kebencanaan yang jarang turun ke lokasi bencana.

Ya, ada yang bilang bahwa relawan murni itu, benar-benar rela dan ikhlas dari hati membantu untuk kemanusiaan. tidak pernah sekalipun berfikir untuk meraup untung di lokasi bencana. Hal ini sejalan dengan definisi relawan yang dikemukakan oleh Devani Sukma, dalam keuanganlsm.com (2013), sebagai seorang yang secara suka rela (uncoerced) menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran dan keahliannya untuk menolong orang lain (help others) dan sadar bahwa tidak akan mendapatkan upah atau gaji atas apa yang telah disumbangkan (unremunerated).

Sedangkan menurut Perka BNPB nomor 17 tahun 2011, dikatakan, relawan Penanggulangan Bencana, yang selanjutnya disebut relawan, adalah seorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana.

Dalam sebuah postingan di grup WhatsApp, seorang relawan senior berkata, saya tahu persis di dalam grup ini, siapa relawan yang sering turun di lokasi bencana, dan siapa yang Cuma relawan label saja, jarang turun saat ada bencana. bahkan Cuma beberapa kali turun tapi retorikanya selangit.

Menurutnya, relawan yang suka retorika itu lek perlu diajak evakuasi nang Petobo, engkok lak cekintang cekinting. Delepno ae mesisan nang lumpur Petobo setengah badan seng deket dengan mayat yang sudah menggembung dan yang perutnya sudah pecah, ben faham opo sek hakekate relawan, ben gak salah faham.

Menurut faham relawan senior diatas, relawan yang hanya beretorika selangit itu belum layak disebut relawan. Mungkin dianggap relawan anyaran yang baru blajaran. Sehingga tidak patut ikut berbicara tentang dunia relawan sesuai faham ini. (sebuah faham yang sulit dipahami). Mungkin dolane kurang adoh karo relawan.

Untuk membangun kesepahan itulah kiranya perlu ada acara kopi darat untuk membahas apa itu relawan, dengan catatan tanpa arogan. “Sambil ngopi bareng saya malah penasaran, seberapa jauh sih pengetahuan dan fakta lapangan tentang relawan, dan seberapa karat sih bisa menghadirkan kerelawanan pada jiwa kalian,” Ujar relawan senior itu. Jelas sekali tampak kecongkakannya dalam bertutur karena merasa sudah hebat.

Masih menurut relawan yang mempunyai kawan banyak dari berbagai kalangan ini, tidak sedikit komunitas relawan, tiap kali datang ke lokasi bencana tidak ada itu bagi-bagi uang saat bencana. budal yo bondo dewe.

“Sementara, yang suka meminta upah atau dibayar, itu relawan paradigma lama. Sekarang sudah banyak berkurang. Relawan saat ini berangkat tidak mengharapkan uang. Mereka banyak yang berangkat dengan modal sendiri. Bahkan patungan, sampai ada yang menggadaikan mobilnya, dan motornya untuk akomodasi pribadi selama di lokasi,” Ujarnya dengan bangga. Rupanya, relawan yang hebat itu harus berani menggadaikan barangnya untuk terjun ke lokasi bencana. ( ehm … ? )

Dan seringnya, relawan yang ada ini tiap kali selesai berkegiatan di lokasi bencana lalu ngumpul di warkop.  Ngopi bareng rame-rame lintas komunitas. Mereka  bersama membahas, atau boso akademisnya, evaluasi. Sopo-sopo personal relawan yang saat di kejadian bencana gerakannya diluar SOP dan melampaui klasternya.

Untuk meredam emosinya, seorang relawan lain, mencoba berkomentar dengan bijak. “Sabar, mungkin tidak semua anggota di grup WhatsApp ini memiliki pengalaman di lapangan seperti sampiyan dalam menangani situasi darurat. Tentu hal ini akan mempengaruhi pengetahuan, pengalaman, cara berpikir dan cara bertindak seseorang, “ katanya.

Selanjutnya dikatakan, Inilah kesempatan bagi kita semua untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman melalui dunia maya agar semakin banyak orang memahami kompleksitas penanganan situasi darurat. Termasuk dalam hal ini pengelolaan relawan. Memang, ada organisasi yang mengelola relawannya dengan sangat bagus. Tapi ada juga organisasi yang masih perlu meningkatkan kapasitas untuk mengelola relawannya.

Konon, ada tiga fase dalam penanggulangan bencana. yaitu fase pra bencana,fase tanggap darurat, dan fase pasca bencana. dalam setiap fase, relawan bisa bermain disitu. Memang yang paling seksi dan ‘memorable’ adalah ikut berperan pada fase tanggap darurat bencana. apalagi berkesempatan disorot media massa. Terkenallah dia, berbanggalah dia. Layak menyandang relawan sejati. Dan inilah sejatinya relawan menurut faham mereka.

Namun, tidak ada salahnya, relawan, yang karena sesuatu dan lain hal hanya aktif di fase pra bencana saja, yang mungkin menurut faham mereka aib. Biarkan saja, itu bukan dosa. Lakukan saja kegiatan pada fase pra bencana. seperti melakukan edukasi dan sosialisasi pengurangan risiko bencana, mengadakan pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat, juga kepada relawan dalam rangka peningkatan kapasitas. Karena, sesungguhnyalah  ada beberapa faktor yang bisa menghambat relawan untuk terjun mengabdikan diri, melakukan aksi kemanusiaan membantu sesama.

Seperti faktor ijin dari keluarga, ijin dari pimpinan lembaga dimana dia bekerja, faktor kesehtan dan usia, serta faktor ketersediaan dana untuk akomodasi pribadi selama mengikuti operasi tanggap darurat bencana, agar tidak merepotkan dapur umum dan saat pulang tidak ‘ngemis’ minta sangu dan tiket, seperti kelakuan oknum relawan yang sulit di deteksi.

Ya, di lapangan memang masih ada relawan yang kayak jailangkung. Datang tidak ada pemberitahuan, pulang tanpa pamit dan meninggalkan persoalan baru di lokasi bencana. inilah yang perlu ditertibkan melalui ‘desk relawan’ yang masih dalam tahab wacana karena sulit direalisasikan.

Konon, jika ada relawan yang mendapat uang dari pemerintah. Itu bukan gaji/dibayar, tapi sekedar tali asih dari pemerintah kepada mereka yang sudah berbuat dengan nyata di lokasi bencana. jadi bukan dibayar atau digaji.

Artinya, memang ada relawan tertentu yang mendapat tali asih dari pemerintah (juga fasilitas lain). Namun tidak semua relawan berkesempatan mendapat tali asih. Sekali lagi hanya relawan tertentu dan melalui proses serta aturan tertentu. Hal ini, kadang memunculkan oknum tertentu yang mau berbuat nyata di lokasi bencana jika ada tali asihnya.

Sungguh, penggalan-penggalan postingan itu jika disatukan bisa menjadi bahan pembelajaran tersendiri seperti yang sedang anda baca (tentu tanpa emosi, tanpa tendensi dan sok pintar sendiri), untuk menambah wawasan tentang dunia relawan dalam penanggulangan bencana yang penuh warna, yang pada akhirnya diharapkan bisa menginspirasi untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi sesama. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/minggu kliwon-11/11/dari berbagai postingan]


1 komentar:

  1. tetap semangat
    biarkan relawan seniorberkata kata
    kita tetap pada keyakinan bahwa relawan
    tidak harus turun ke lapangan jika memang fisik tidak memungkinkan

    BalasHapus