Konon,
ada yang bilang, seorang relawan itu harus pernah (bahkan sering) terjun ke
lokasi bencana. bersama komponen lain membantu menanggulangi bencana sesuai
klasternya. Itulah kebanggaan seorang relawan bisa membantu langsung korban
bencana dengan segala suka dukanya yang indah untuk dikenang, juga untuk bahan cerita.
Kebanggaan
itulah yang kemudian dijadikan bahan cerita yang tiada habisnya. Apalagi jika
cerita-cerita itu dikemas dengan dramatisasi yang berbunga-bunga. Maka pendengarnya
akan terkesima dan kagum oleh cerita heroiknya. Untuk kemudian semua percaya
bahwa sipencerita tadi layak disebut relawan senior yang berpengalaman. Bahkan kalau
perlu dijadikan rujukan oleh para yuniornya, juga para pemerhati masalah
kebencanaan yang jarang turun ke lokasi bencana.
Ya, ada
yang bilang bahwa relawan murni itu, benar-benar rela dan ikhlas dari hati
membantu untuk kemanusiaan. tidak pernah sekalipun berfikir untuk meraup untung
di lokasi bencana. Hal ini sejalan dengan definisi relawan yang dikemukakan
oleh Devani Sukma, dalam keuanganlsm.com (2013), sebagai seorang yang secara
suka rela (uncoerced) menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran dan keahliannya
untuk menolong orang lain (help others) dan sadar bahwa tidak akan mendapatkan
upah atau gaji atas apa yang telah disumbangkan (unremunerated).
Sedangkan
menurut Perka BNPB nomor 17 tahun 2011, dikatakan, relawan Penanggulangan
Bencana, yang selanjutnya disebut relawan, adalah seorang atau sekelompok orang
yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas
dalam upaya penanggulangan bencana.
Dalam sebuah
postingan di grup WhatsApp, seorang relawan senior berkata, saya tahu persis di
dalam grup ini, siapa relawan yang sering turun di lokasi bencana, dan siapa
yang Cuma relawan label saja, jarang turun saat ada bencana. bahkan Cuma beberapa
kali turun tapi retorikanya selangit.
Menurutnya,
relawan yang suka retorika itu lek perlu diajak evakuasi nang Petobo, engkok
lak cekintang cekinting. Delepno ae mesisan nang lumpur Petobo setengah badan
seng deket dengan mayat yang sudah menggembung dan yang perutnya sudah pecah,
ben faham opo sek hakekate relawan, ben gak salah faham.
Menurut faham
relawan senior diatas, relawan yang hanya beretorika selangit itu belum layak
disebut relawan. Mungkin dianggap relawan anyaran yang baru blajaran. Sehingga tidak
patut ikut berbicara tentang dunia relawan sesuai faham ini. (sebuah faham yang
sulit dipahami). Mungkin dolane kurang adoh karo relawan.
Untuk membangun
kesepahan itulah kiranya perlu ada acara kopi darat untuk membahas apa itu
relawan, dengan catatan tanpa arogan. “Sambil ngopi bareng saya malah penasaran,
seberapa jauh sih pengetahuan dan fakta lapangan tentang relawan, dan seberapa
karat sih bisa menghadirkan kerelawanan pada jiwa kalian,” Ujar relawan senior
itu. Jelas sekali tampak kecongkakannya dalam bertutur karena merasa sudah
hebat.
Masih menurut
relawan yang mempunyai kawan banyak dari berbagai kalangan ini, tidak sedikit
komunitas relawan, tiap kali datang ke lokasi bencana tidak ada itu bagi-bagi
uang saat bencana. budal yo bondo dewe.
“Sementara,
yang suka meminta upah atau dibayar, itu relawan paradigma lama. Sekarang sudah
banyak berkurang. Relawan saat ini berangkat tidak mengharapkan uang. Mereka banyak
yang berangkat dengan modal sendiri. Bahkan patungan, sampai ada yang menggadaikan
mobilnya, dan motornya untuk akomodasi pribadi selama di lokasi,” Ujarnya
dengan bangga. Rupanya, relawan yang hebat itu harus berani menggadaikan
barangnya untuk terjun ke lokasi bencana. ( ehm … ? )
Dan seringnya,
relawan yang ada ini tiap kali selesai berkegiatan di lokasi bencana lalu
ngumpul di warkop. Ngopi bareng
rame-rame lintas komunitas. Mereka bersama membahas, atau boso akademisnya,
evaluasi. Sopo-sopo personal relawan yang saat di kejadian bencana gerakannya
diluar SOP dan melampaui klasternya.
Untuk meredam
emosinya, seorang relawan lain, mencoba berkomentar dengan bijak. “Sabar,
mungkin tidak semua anggota di grup WhatsApp ini memiliki pengalaman di
lapangan seperti sampiyan dalam menangani situasi darurat. Tentu hal ini akan
mempengaruhi pengetahuan, pengalaman, cara berpikir dan cara bertindak
seseorang, “ katanya.
Selanjutnya
dikatakan, Inilah kesempatan bagi kita semua untuk saling berbagi pengetahuan
dan pengalaman melalui dunia maya agar semakin banyak orang memahami
kompleksitas penanganan situasi darurat. Termasuk dalam hal ini pengelolaan
relawan. Memang, ada organisasi yang mengelola relawannya dengan sangat bagus. Tapi
ada juga organisasi yang masih perlu meningkatkan kapasitas untuk mengelola
relawannya.
Konon,
ada tiga fase dalam penanggulangan bencana. yaitu fase pra bencana,fase tanggap
darurat, dan fase pasca bencana. dalam setiap fase, relawan bisa bermain
disitu. Memang yang paling seksi dan ‘memorable’
adalah ikut berperan pada fase tanggap darurat bencana. apalagi berkesempatan
disorot media massa. Terkenallah dia, berbanggalah dia. Layak menyandang
relawan sejati. Dan inilah sejatinya relawan menurut faham mereka.
Namun,
tidak ada salahnya, relawan, yang karena sesuatu dan lain hal hanya aktif di
fase pra bencana saja, yang mungkin menurut faham mereka aib. Biarkan saja, itu
bukan dosa. Lakukan saja kegiatan pada fase pra bencana. seperti melakukan
edukasi dan sosialisasi pengurangan risiko bencana, mengadakan pelatihan dan
penyuluhan kepada masyarakat, juga kepada relawan dalam rangka peningkatan
kapasitas. Karena, sesungguhnyalah ada
beberapa faktor yang bisa menghambat relawan untuk terjun mengabdikan diri,
melakukan aksi kemanusiaan membantu sesama.
Seperti faktor
ijin dari keluarga, ijin dari pimpinan lembaga dimana dia bekerja, faktor kesehtan
dan usia, serta faktor ketersediaan dana untuk akomodasi pribadi selama
mengikuti operasi tanggap darurat bencana, agar tidak merepotkan dapur umum dan
saat pulang tidak ‘ngemis’ minta
sangu dan tiket, seperti kelakuan oknum relawan yang sulit di deteksi.
Ya, di lapangan
memang masih ada relawan yang kayak jailangkung. Datang tidak ada
pemberitahuan, pulang tanpa pamit dan meninggalkan persoalan baru di lokasi
bencana. inilah yang perlu ditertibkan melalui ‘desk relawan’ yang masih dalam tahab wacana karena sulit
direalisasikan.
Konon, jika
ada relawan yang mendapat uang dari pemerintah. Itu bukan gaji/dibayar, tapi
sekedar tali asih dari pemerintah kepada mereka yang sudah berbuat dengan nyata
di lokasi bencana. jadi bukan dibayar atau digaji.
Artinya,
memang ada relawan tertentu yang mendapat tali asih dari pemerintah (juga
fasilitas lain). Namun tidak semua relawan berkesempatan mendapat tali asih. Sekali
lagi hanya relawan tertentu dan melalui proses serta aturan tertentu. Hal ini,
kadang memunculkan oknum tertentu yang mau berbuat nyata di lokasi bencana jika
ada tali asihnya.
Sungguh, penggalan-penggalan
postingan itu jika disatukan bisa menjadi bahan pembelajaran tersendiri seperti
yang sedang anda baca (tentu tanpa emosi, tanpa tendensi dan sok pintar sendiri),
untuk menambah wawasan tentang dunia relawan dalam penanggulangan bencana yang
penuh warna, yang pada akhirnya diharapkan bisa menginspirasi untuk berbuat
sesuatu yang bermanfaat bagi sesama. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/minggu
kliwon-11/11/dari berbagai postingan]
tetap semangat
BalasHapusbiarkan relawan seniorberkata kata
kita tetap pada keyakinan bahwa relawan
tidak harus turun ke lapangan jika memang fisik tidak memungkinkan