Sungguh sangat
memprihatinkan. Ternyata masih ada sekelompok relawan berpikiran picik yang
mengatakan bahwa relawan penanggulangan bencana itu adalah mereka yang terjun
langsung ke lokasi bencana. sementara, relawan lain yang belum berkesempatan
terjun ke lokasi dan hanya berkutat dengan teori menekuni ‘pergulatan pikiran’ untuk menginspirasi kegiatan penanggulangan
bencana, oleh mrereka dianggap sebagai relawan abal-abal.
Karena,
menurut pikiran kelompok ini, yang namanya relawan itu harus berjibaku menolong
korban, berkalang tanah mengevakuasi korban mati, melakukan pendampingan korban
di pengungsian, dan kegiatan nyata lainnya yang bersentuhan langsung dengan ‘kegaduhan’ di lapangan.
Dampak dari
anggapan di atas, tanpa disadari telah memunculkan polarisasi relawan, yang
tentu saja dapat mengganggu upaya mempererat tali persaudaraan melalui
silaturahim. Yang mana, dari situ dapat dijadikan media peningkatan kapasitas dan
kualitas.
Padahal pemahaman
picik itu sudah waktunya dikubur dalam-dalam. Karena tidak sesuai dengan
konstelasi jaman. Apalagi melihat siklus bencana dalam bentuk lingkaran yang
tiada putus dan harus selalu dipersiapkan secara terus menerus. Sementara itu dalam
Perka 17 dikatakan bahwa, Masyarakat dan pihak non-pemerintah dapat
berpartisipasi dalam berbagai bentuk kerelawanan, dalam
penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana
Sementara,
dalam Perka nomor 17 tahun 2011, tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana,
dikatakan bahwa relawan itu bisa bermain pada fase pra bencana, tanggap
bencana, dan pasca bencana.
Dalam fase
pra bencana, relawan bisa memainkan peran, diantaranya dalam Kegiatan penyuluhan
kepada masyarakat di daerah rawan bencana, Pelatihan bersama masyarakat, Memberi
informasi akan datangnya bencana, Penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan
dasar, dan Penyiapan lokasi evakuasi.
Sementara
itu, saat tanggap darurat, relawan bisa berperan membantu melakukan kaji cepat
kebutuhan kedaruratan, Membantu pencarian, penyelamatan dan evakuasi, Penyiapan
dapur umum, Penyediaan hunian sementara, Perlindungan kelompok rentan, dan Pendampingan
psikososial korban bencana.
Sedangkan
pada fase pasca bencana, relawan dapat berperan membantu pengumpulan dan
pengelolaan data kerusakan dan kerugian dalam sector perumahan, infrastruktur, social
ekonomi, dan lintas sektoral. Disamping itu relawan juga bisa berpartisipasi
dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi fisik dan nonfisik dalam masa
pemulihan.
Berkaca dari
Perka 17, maka relawan bisa bermain di ketiga fase sekaligus. Namun boleh juga
bermain disalah satu fase saja sesuai kemampuan fisik, usia dan dana. Dengan demikian,
relawan itu tidak harus selalu turun ke lokasi seperti yang disangkakan oleh
sekelompok relawan yang picik, mungkin karena mereka kurang piknik, sehingga
gampang panik ketika muncul polemik. Sungguh memprihatinkan. Semoga Tuhan
segera memberi petunjuk. [eBas/selasa pahing,18/12].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar