Kamis, 27 Desember 2018

MITIGASI BENCANA BERBASIS KOMUNITAS



Dalam tulisannya di Koran terbesar di jawa Timur, Bagong Suyanto mengatakan bahwa,  memastikan agar bencana tidak terjadi memang tidak mungkin. Bencana adalah sebuah keniscayaan; dan ketika alam tiba-tiba marah, kita memang tidak bisa berbuat nanyak. Gempa bumi, tsunami, banjir bandang, tanah longsor, dan sebagainya adalah berbagai bentuk bencana yang datangnya tanpa permisi. Seperti mimpi buruk, bencana selalu hadir tak terduga. Tetapi, berbeda dengan mimpi buruk yang hilang tatkala kita bangun, bencana justru menjadi nyata dan berdampak luar biasa ketika kita bangun dari tidur. (Jawapos, 2018)

Masih kata dosen Universitas Airlangga ini, mitigasi tidak hanya sekedar memetakan daerah rawan bencana dan membuat jalur evakuasi belaka. Namun, bagaimana menyiapkan komunitas menghadapi risiko bencana dan tahu apa yang harus dilakukan untuk mengurangi dampak bencana. baik secara mandiri maupun bersama-sama komunitas.

Seperti kita ketahui bersama, mitigasi nerupakan kegiatan sebelum bencana terjadi. Contoh kegiatannya antara lain membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran komunitas akan potensi bencana kepada warga masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana.

Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana, pasal 1 poin 9 mengatakan bahwa mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Upaya mitigasi hendaknya melibatkan komunitas masyarakat setempat. Ini penting agar mereka merasa ikut memiliki dan bertanggungjawab terhadap terhadap gerakan mitigasi bencana. Hal ini sejalan dengan konsep Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis masyarakat, yaitu melibatkan masyarakat yang berpotensi terkena dampak bencana dalam manajemen risiko bencana di tingkat lokal, seperti masyarakat dilibatkan dalam penilaian tentang bahaya, kerentanan dan kapasitas, sekaligus dalam upaya perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi aksi lokal untuk pengurangan risiko bencana di daerahnya.

Dengan demikian diharapkan bisa mengurangi kebiasaan warga yang kurang pro lingkungan, seperti membuang sampah sembarangan, termasuk ke sungai sehingga mempercepat sedimentasi dan berkurangnya luasan sungai, penyalahgunaan fungsi tanggul sungai untuk pemukiman liar, menebang pohon di hutan/gunung secara sembarangan dan semacamnya.

Tindakan ceroboh ini pada hakekatnya telah mengundang datangnya bencana yang tidak diketahui kapan datangnya. Seperti banjir, banjir bandang, longsor, dan kekeringan yang membawa kerugian yang tidak sedikit. Bahkan tidak menutup kemungkinan jatuhnya korban jiwa.

Tindakan yang tidak pro lingkungan inilah yang kiranya bisa dikurangi manakala komunitas yang ada di masyarakat setempat dilibatkan, seperti majlis taklim, karang taruna, dasa wisma, dan sejenisnya. Merekalah sejatinya ‘agen perubahan’ yang bisa diajak untuk melakukan mitigasi membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Hal ini sejalan dengan konsep pemberdayaan yang sering digunakan manakala ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.

Pemberdayaan masyarakat adalah proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif untuk memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri. Pemberdayaan masyarakat hanya bisa terjadi apabila masyarakat itu sendiri ikut pula berpartisipasi menjadi agen pembangunan atau dikenal juga sebagai subjek. Disini subjek merupakan motor penggerak, dan bukan penerima manfaat saja (sekedar objek).

Menurut Suharto(2005:60), pemberdayaan masyarakat juga dimaknai sebagai sebuah tujuan, artinya, pemberdayaan menunjuk pada keadaan yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti kepercayaan diri, menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.

Dengan demikian, pelibatan komunitas dalam upaya mengurangi risiko bencana, dilakukan melalui empat prioritas aksi: Memahami risiko bencana, Memperkuat tata kelola risiko bencana untuk mengelola risiko, Berinvestasi dalam pengurangan risiko bencana untuk membangun ketangguhan menghadapi bencana.

Sementara, Eko Teguh Paripurno, dosen UPN Jogja, mengatakan ketangguhan itu bisa dimaknai sebagai kemampuan komunitas, atau masyarakat terkena bahaya bencana untuk melawan, menyerap, menampung, dan memulihkan diri dari efek bahaya bencana pada waktu yang tepat dan dengan efisien; termasuk melalui perlindungan dan restorasi struktur dasar yang penting dan fungsinya.

Artinya, ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana melalui upaya mitigasi, khususnya mitigasi non struktural akan tercipta bila mereka mempunyai Daya akses informasi, Daya antisipasi, Daya adaptasi (living harmoni with risk), Daya proteksi (melawan atau menghindar dari bencana), dan Daya lenting pasca bencana. pertanyaannya kemudian, bisakah komunitas mendorong masyarakatnya untuk sadar diri terlibat dalam upaya pengurangan risiko bencana ?. wallahu a’lam bishowab. [eBas/Jumat pahing, 28/12].








Tidak ada komentar:

Posting Komentar