Sabtu, 15 Desember 2018

TRAUMA HEALING, UPAYA RELAWAN MENDAMPINGI KORBAN BENCANA


Malam ini, saya mendapat japri dari Mukidi, janjian bersemuka di Warkop Pinggir Jalan. Konon, Mukidi ingin bercerita pengalamannya melakukan kerja kerja kemanusiaan di lokasi bencana saat fase tanggap darurat. Ya, Mukidi dengan segala kemampuannya terjun menolong korban bencana Gempa Lombok dan Gempa Palu.

Sebagai relawan senior yang punya banyak relasi, Mukidi sudah malang melintang mengikuti operasi tanggap darurat bencana di berbagai daerah. Tsunami Aceh, Gempa Padang, Gempa Jogja, Bencana tanah longsor di Banjarnegara, Pacitan, Banyuwangi dan Gianyar, dia juga terlibat dan melibatkan diri membantu sesama.

Disamping membantu evakuasi korban, Mukidi jga aktif dalam pengelolaan pengungsian, khususnya pendistribusian logistik bagi pengungsi dan kelompok rentan, serta melakukan kegiatan trauma healing bagi anak-anak.   Konon, untuk menjaga anak-anak  agar tidak merasa jenuh dan galau saat dirinya terpaksa hidup berjubel di tepat pengungsian, adalah dengan memberinya berbagai kesibukan yang menyenangkan dengan melibatkan teman sebayanya.

Seperti diketahui, setiap terjadi bencana, selalu saja mereka yang domisilinya terdampak langsung, dapat dipastikan mengungsi dengan kondisi pengungsian yang serba terbatas, ala kadarnya, dan Fasilitas pun apa adanya. Tentu semuanya akan menimbulkan persoalan dan ketidak nyamanan, terutama bagi anak-anak. Sehingga mereka rewel dan menambah galau orang tuanya.

“Biasanya, suasana pengungsian itu akan menyiksa batin anak-anak. Mereka ini termasuk golongan rentan yang mudah stress, Untuk itulah peran relawan dalam menangani anak-anak lewat kegiatan trauma healing sangat diharapkan.” Kata Mukidi berapi-api sambil minum kopi.

Sambil memesan mie rebus, saya bertanya tentang apa itu trauma healing yang begitu akrab di dunia relawan penanggulangan bencana. hampir disemua peristiwa bencana, selalu saja kawan-kawan relawan melakukan kegiatan trauma healing dengan segala bentuknya sesuai kebisaannya.

“Waduh aku yo ora ngerti konsep trauma healing , fungsi dan metode yang baku. Yang jelas, dari dulu, relawan yang berkesempatan terjun langsung ke lokasi bencana, salah satu yang dilakukan adalah mengadakan kegiatan trauma healing kepada anak-anak,” Kata Mukidi dengan wajah lucunya.

Ada yang bilang trauma healing merupakan metode penyembuhan pada gangguan psikologis yang dialami seseorang karena lemahnya ketahanan fungsi mental. Dalam hal ini, anak-anak sangat mudah mengalami trauma. Sebuah gangguan psikologis yang diiringi dengan timbulnya bermacam gejala seperti takut, cemas, gelisah, curiga, depresi, bingung, pendiam, agresif, sedih, dan pendiam.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh “pihak lain”,  dengan istilah Dukungan Psikososial, yakni bantuan yang diberikan kepada individu dan masyarakat yang mengalami gangguan psikologis, dimana bantuan ini dilakukan secara terus menerus dan saling mempengaruhi antara aspek psikologis dan aspek sosial dalam lingkungan dimana individu atau masyarakat berada.
       
   Ya, trauma healing merupakan upaya mengembalikan rasa percaya diri dengan mengembalikan ‘kebahagiaan’ anak. Sukur-sukur dalam kegiatantrauma healing itu bisa meningkatkan kreativitas anak sebagai bekal masa depannya.  

Semua ini dilakukan dalam suasana riang gembira dengn melakukan aktivitas bermain, seprti menggambar, menyanyi, menari, menggambar, bimbingan belajar, dan fun game. Bisa juga melalui pendekatan agama, seperti ngaji bareng, tausyiah, dan beribadah secara berjamaah.

Sementara menurut Paula dan Gordon (2003:1) mengatakan bahwa tujuan akhir dari trauma healing adalah membuat seseorang dapat menerima dan menyatukan pengalaman trauma, kesedihan dan membentuk kehidupan baru dengan keyakinan dan pengertian baru. Hal ini sejalan dengan tujuan dari konsep dukungan psikososial, yakni ingin mengembalikan individu, keluarga, masyarakat agar setelah peristiwa bencana terjadi dapat secara bersama menjadi kuat, berfungsi optimal dan memiliki ketangguhan menghadapi masalah sehingga menjadi produktif dan berdaya guna.

Sementara, yang sering dilakukan Mukidi dalam melaksanakan trauma healing adalah dengan cara mengumpulkan anak-anak di pengungsian, kemudian diajak ‘bermain’ agar mereka bisa tertawa riang dan mendorong mereka untuk berani tampil, mau bercerita dan berekspresi. Setelah anak-anak merasa nyaman, barulah Mukidi mendekati orang tua anak-anak, untuk membangun komunikasi dan berinteraksi dalam rangka ‘mengajak’ berbuat sesuatu agar bisa segera bangkit kembali membangun kehidupan yang lebih baik lagi.

Tidak lupa, diakhir pertemuan, Mukidi juga memamerkan berbagai foto dokumentasi selama berkegiatan di lokasi bencana. baik foto tentang rapat di Pos komando, rapat membagi sembako, foto bersama rombongan pejabat. Ada juga foto saat melakukan evakuasi, membantu distribusi konsumsi kepada pengungsi dan berbagai dokumentasi aktivitas membantu pemerintah dalam menolong sesama yang bisa menjadi bahan kenangan yang akan dibagikan kepada anak cucu dikemudian hari.

Sebuah sejarah perjalanan hidup Mukidi yang coba diabadikan sesuai ajaran bijak yang mengatakan bahwa, sebaik baik manusia adalah mereka yang bisa memberi bermanfaat bagi sesamanya. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/minggu kliwon dini hari, 16/12]





Tidak ada komentar:

Posting Komentar