Malam ini,
saya mendapat japri dari Mukidi, janjian bersemuka di Warkop Pinggir Jalan. Konon,
Mukidi ingin bercerita pengalamannya melakukan kerja kerja kemanusiaan di
lokasi bencana saat fase tanggap darurat. Ya, Mukidi dengan segala kemampuannya
terjun menolong korban bencana Gempa Lombok dan Gempa Palu.
Sebagai relawan
senior yang punya banyak relasi, Mukidi sudah malang melintang mengikuti
operasi tanggap darurat bencana di berbagai daerah. Tsunami Aceh, Gempa Padang,
Gempa Jogja, Bencana tanah longsor di Banjarnegara, Pacitan, Banyuwangi dan
Gianyar, dia juga terlibat dan melibatkan diri membantu sesama.
Disamping
membantu evakuasi korban, Mukidi jga aktif dalam pengelolaan pengungsian,
khususnya pendistribusian logistik bagi pengungsi dan kelompok rentan, serta
melakukan kegiatan trauma healing bagi anak-anak. Konon,
untuk menjaga anak-anak agar tidak
merasa jenuh dan galau saat dirinya terpaksa hidup berjubel di tepat
pengungsian, adalah dengan memberinya berbagai kesibukan yang menyenangkan dengan
melibatkan teman sebayanya.
Seperti
diketahui, setiap terjadi bencana, selalu saja mereka yang domisilinya
terdampak langsung, dapat dipastikan mengungsi dengan kondisi pengungsian yang
serba terbatas, ala kadarnya, dan Fasilitas pun apa adanya. Tentu semuanya akan
menimbulkan persoalan dan ketidak nyamanan, terutama bagi anak-anak. Sehingga mereka
rewel dan menambah galau orang tuanya.
“Biasanya,
suasana pengungsian itu akan menyiksa batin anak-anak. Mereka ini termasuk
golongan rentan yang mudah stress, Untuk itulah peran relawan dalam menangani
anak-anak lewat kegiatan trauma healing sangat diharapkan.” Kata Mukidi
berapi-api sambil minum kopi.
Sambil memesan
mie rebus, saya bertanya tentang apa itu trauma healing yang begitu akrab di
dunia relawan penanggulangan bencana. hampir disemua peristiwa bencana, selalu
saja kawan-kawan relawan melakukan kegiatan trauma healing dengan segala
bentuknya sesuai kebisaannya.
“Waduh
aku yo ora ngerti konsep trauma healing , fungsi dan metode yang baku. Yang jelas,
dari dulu, relawan yang berkesempatan terjun langsung ke lokasi bencana, salah
satu yang dilakukan adalah mengadakan kegiatan trauma healing kepada anak-anak,”
Kata Mukidi dengan wajah lucunya.
Ada yang
bilang trauma healing merupakan metode penyembuhan pada gangguan psikologis
yang dialami seseorang karena lemahnya ketahanan fungsi mental. Dalam hal ini,
anak-anak sangat mudah mengalami trauma. Sebuah gangguan psikologis yang diiringi
dengan timbulnya bermacam gejala seperti takut, cemas, gelisah, curiga, depresi,
bingung, pendiam, agresif, sedih, dan pendiam.
Hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan oleh “pihak lain”, dengan istilah Dukungan Psikososial, yakni bantuan
yang diberikan kepada individu dan masyarakat yang mengalami gangguan
psikologis, dimana bantuan ini dilakukan secara terus menerus dan saling
mempengaruhi antara aspek psikologis dan aspek sosial dalam lingkungan dimana
individu atau masyarakat berada.
Ya,
trauma healing merupakan upaya mengembalikan rasa percaya diri dengan
mengembalikan ‘kebahagiaan’ anak. Sukur-sukur
dalam kegiatantrauma healing itu bisa meningkatkan kreativitas anak sebagai
bekal masa depannya.
Semua ini
dilakukan dalam suasana riang gembira dengn melakukan aktivitas bermain, seprti
menggambar, menyanyi, menari, menggambar, bimbingan belajar, dan fun game. Bisa juga melalui pendekatan
agama, seperti ngaji bareng, tausyiah, dan beribadah secara berjamaah.
Sementara
menurut Paula dan Gordon (2003:1) mengatakan bahwa tujuan akhir dari trauma
healing adalah membuat seseorang dapat menerima dan menyatukan pengalaman
trauma, kesedihan dan membentuk kehidupan baru dengan keyakinan dan pengertian
baru. Hal ini sejalan dengan tujuan dari konsep dukungan psikososial, yakni
ingin mengembalikan individu, keluarga, masyarakat agar setelah peristiwa
bencana terjadi dapat secara bersama menjadi kuat, berfungsi optimal dan
memiliki ketangguhan menghadapi masalah sehingga menjadi produktif dan berdaya
guna.
Sementara,
yang sering dilakukan Mukidi dalam melaksanakan trauma healing adalah dengan
cara mengumpulkan anak-anak di pengungsian, kemudian diajak ‘bermain’ agar mereka bisa tertawa riang
dan mendorong mereka untuk berani tampil, mau bercerita dan berekspresi. Setelah
anak-anak merasa nyaman, barulah Mukidi mendekati orang tua anak-anak, untuk
membangun komunikasi dan berinteraksi dalam rangka ‘mengajak’ berbuat sesuatu agar bisa segera bangkit kembali
membangun kehidupan yang lebih baik lagi.
Tidak lupa,
diakhir pertemuan, Mukidi juga memamerkan berbagai foto dokumentasi selama
berkegiatan di lokasi bencana. baik foto tentang rapat di Pos komando, rapat
membagi sembako, foto bersama rombongan pejabat. Ada juga foto saat melakukan
evakuasi, membantu distribusi konsumsi kepada pengungsi dan berbagai dokumentasi
aktivitas membantu pemerintah dalam menolong sesama yang bisa menjadi bahan
kenangan yang akan dibagikan kepada anak cucu dikemudian hari.
Sebuah sejarah
perjalanan hidup Mukidi yang coba diabadikan sesuai ajaran bijak yang
mengatakan bahwa, sebaik baik manusia adalah mereka yang bisa memberi bermanfaat
bagi sesamanya. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/minggu kliwon dini hari, 16/12]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar