Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007,
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.
Ya, sepanjang tahun, Indonesia yang mendapat predikat etalase
bencana dunia, rutin disapa oleh aneka bencana. Diantaranya, banjir, longsor
dan gempa bumi selalu datang menebar ancaman kerugian, kesedihan, dan bahkan
kematian.
Sungguh, bencana tidak
pernah pandang bulu, bila saatnya datang, semuanya diterjang, termasuk
fasilitas pendidikan, gedung sekolah ambruk, meja kursi bangku dan papan tulis
rusak, buku administrasi berantakan. Begitu juga anak didik, pendidik dan
tenaga kependidikan, tunggang langgang menyelamatkan diri, menyelamatkan sanak
keluarganya, terpaksa meninggalkan sekolah yang amboradul diterjang bencana.
Padahal pendidikan adalah hak dan berlangsung sepanjang hayat, sehingga proses
pendidikan tidak boleh berhenti. Namun, siapa yang akan melakukan aktivitas
belajar mengajar dalam situasi tanggap darurat?.
Disinilah, diharapkan
relawan bisa berkontribusi mengelola pendidikan dalam masa darurat. Ya, langkah
pertama yang bisa dilakukan adalah sesegera mungkin melakukan kaji cepat
masalah pendidikan selama 48 – 72 jam pertama, seperti melakukan identifikasi jumlah gedung sekolah yang rusak,
jumlah anak didik,pendidik, dan tenaga kependidikan yang luka, hilang dan
tewas, mendata tingkat kerusakan sarpras dan mencari tempat/lokasi yang
memungkinkan dijadikan kelas darurat. Tentulah hasil identifikasi itu segera
diserahkan ke posko dan dinas pendidikan untuk ditindak lanjuti dalam menyusun
kebijakan.
Sambil menunggu realisasi
hasil kaji cepat, relawan dengan caranya sendiri, hendaknya berinisiatif
mengumpulkan anak-anak di pengungsian untuk diajak bermain menghibur diri
mengisi hari di pengungsian. Mengajak anak-anak mengumpulkan buku-buku
pelajaran yang masih tersisa dan bisa dimanfaatkan. Tidak ada salahnya relawan
melibatkan anak-anak membangun kelas darurat yang di dalamnya diisi dengan
aneka bahan bacaan hasil sumbangan berbagai pihak.
Artinya disini, dalam
keadaan tanggap darurat, diharapkan ada sebagian relawan yang peduli terhadap
nasib pendidikan anak-anak dengan mengusahakan kegiatan-kegiatan bernuansakan
pendidikan yang menghibur ala ‘outbound game’.
Kiranya, kelakuan relawan
yang demikian itu sejalan dengan apa yang tersirat dalam UU 24 tahun 2007 bahwa
masyarakat dapat berperan aktif dalam penanggulangan bencana. Hal ini pun
sejalan dengan lambang segitiga biru yang bermakna terjalinnya sinergitas
antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam upaya penanggulangan
bencana, mengingat masyarakat yang terkena bencanalah yang pertama merasakan
akibatnya, tentunya dengan keearifan lokal yang dimiliki, mereka paham menganai
kebutuhan dan cara-cara mengatasinya, baru kemudian dibantu oleh pemerintah dan
komponen masyarakat lainnya (dalam hal ini relawan).
Termasuk upaya pemenuhan
kebutuhan akan pendidikan anak-anak korban bencana yang terpaksa meringkuk
sedih di tenda pengungsian, melalui pemberian kegiatan pendidikan keterampilan
fungsional yang mudah dikerjakan dan sesuai dengan kebutuhan serta bisa
dimanfaatkan membuka usaha ekonomi produktif pasca bencana bagi masyarakat
(khususnya pemuda) yang kehilangan mata pencaharian akibat bencana.
Mungkin,
ini yang disebut dengan pembelajaran
psikososial yang dibutuhkan dalam stuasi bencana?. Wallahu a’lam.
Yang jelas, pemerintah
hendaknya juga memperhatikan pendidikan dalam situasi darurat bencana, yaitu
sebagai upaya menyediakan kesempatan pendidikan yang memenuhi kebutuhan
perlindungan fisik, psikososial, perkembangan kognitif dari anak-anak yang
terkena dampak bencana yang dapat menopang hidup dan menyelamatkan jiwa.
Ini
penting, diantaranya untuk mengatasi dampak psikososial bagi anak karena
kurangnya ruang aman dan kesempatan berkumpul dengan teman sebayanya. Serta
mencegah terjadinya eksploitasi anak, yang disebabkan kebutuhan kognitif dan
perkembangan jiwanya tidak terpenuhi. [eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar