Jumat, 08 Mei 2015

PENDIDIKAN DALAM DARURAT BENCANA




Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Ya, sepanjang tahun, Indonesia yang mendapat predikat etalase bencana dunia, rutin disapa oleh aneka bencana. Diantaranya, banjir, longsor dan gempa bumi selalu datang menebar ancaman kerugian, kesedihan, dan bahkan kematian.

Sungguh, bencana tidak pernah pandang bulu, bila saatnya datang, semuanya diterjang, termasuk fasilitas pendidikan, gedung sekolah ambruk, meja kursi bangku dan papan tulis rusak, buku administrasi berantakan. Begitu juga anak didik, pendidik dan tenaga kependidikan, tunggang langgang menyelamatkan diri, menyelamatkan sanak keluarganya, terpaksa meninggalkan sekolah yang amboradul diterjang bencana. Padahal pendidikan adalah hak dan berlangsung sepanjang hayat, sehingga proses pendidikan tidak boleh berhenti. Namun, siapa yang akan melakukan aktivitas belajar mengajar dalam situasi tanggap darurat?.

Disinilah, diharapkan relawan bisa berkontribusi mengelola pendidikan dalam masa darurat. Ya, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah sesegera mungkin melakukan kaji cepat masalah pendidikan selama 48 – 72 jam pertama, seperti melakukan  identifikasi jumlah gedung sekolah yang rusak, jumlah anak didik,pendidik, dan tenaga kependidikan yang luka, hilang dan tewas, mendata tingkat kerusakan sarpras dan mencari tempat/lokasi yang memungkinkan dijadikan kelas darurat. Tentulah hasil identifikasi itu segera diserahkan ke posko dan dinas pendidikan untuk ditindak lanjuti dalam menyusun kebijakan.

Sambil menunggu realisasi hasil kaji cepat, relawan dengan caranya sendiri, hendaknya berinisiatif mengumpulkan anak-anak di pengungsian untuk diajak bermain menghibur diri mengisi hari di pengungsian. Mengajak anak-anak mengumpulkan buku-buku pelajaran yang masih tersisa dan bisa dimanfaatkan. Tidak ada salahnya relawan melibatkan anak-anak membangun kelas darurat yang di dalamnya diisi dengan aneka bahan bacaan hasil sumbangan berbagai pihak.

Artinya disini, dalam keadaan tanggap darurat, diharapkan ada sebagian relawan yang peduli terhadap nasib pendidikan anak-anak dengan mengusahakan kegiatan-kegiatan bernuansakan pendidikan yang menghibur ala ‘outbound game’.

Kiranya, kelakuan relawan yang demikian itu sejalan dengan apa yang tersirat dalam UU 24 tahun 2007 bahwa masyarakat dapat berperan aktif dalam penanggulangan bencana. Hal ini pun sejalan dengan lambang segitiga biru yang bermakna terjalinnya sinergitas antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana, mengingat masyarakat yang terkena bencanalah yang pertama merasakan akibatnya, tentunya dengan keearifan lokal yang dimiliki, mereka paham menganai kebutuhan dan cara-cara mengatasinya, baru kemudian dibantu oleh pemerintah dan komponen masyarakat lainnya (dalam hal ini relawan).

Termasuk upaya pemenuhan kebutuhan akan pendidikan anak-anak korban bencana yang terpaksa meringkuk sedih di tenda pengungsian, melalui pemberian kegiatan pendidikan keterampilan fungsional yang mudah dikerjakan dan sesuai dengan kebutuhan serta bisa dimanfaatkan membuka usaha ekonomi produktif pasca bencana bagi masyarakat (khususnya pemuda) yang kehilangan mata pencaharian akibat bencana. 

Mungkin, ini yang disebut dengan pembelajaran  psikososial yang dibutuhkan dalam stuasi bencana?. Wallahu a’lam.
Yang jelas, pemerintah hendaknya juga memperhatikan pendidikan dalam situasi darurat bencana, yaitu sebagai upaya menyediakan kesempatan pendidikan yang memenuhi kebutuhan perlindungan fisik, psikososial, perkembangan kognitif dari anak-anak yang terkena dampak bencana yang dapat menopang hidup dan menyelamatkan jiwa.

Ini penting, diantaranya untuk mengatasi dampak psikososial bagi anak karena kurangnya ruang aman dan kesempatan berkumpul dengan teman sebayanya. Serta mencegah terjadinya eksploitasi anak, yang disebabkan kebutuhan kognitif dan perkembangan jiwanya tidak terpenuhi. [eBas] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar