Salah satunya adalah
dengan Sosialisi Pengurangan Resiko Bencana (PRB) kepada masyarakat, yaitu upaya meminimalisir kerentanan dan risiko situasi bencana di seluruh masyarakat, untuk menghindari (pencegahan) atau untuk membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak bahaya yang
merugikan dalam konteks pembangunan berkelanjutan yg luas.
Kini, program PRB itu juga menjadi issue penting dalam SDGs (Sustainable
Development Goals),
yaitu sebuah dokumen yang akan menjadi acuan dalam kerangka pembangunan dan
perundingan negara-negara di dunia. Target utamanya mengentaskan kemiskinan.
Namun demikian, konon katanya, Indonesia akan menggunakan tiga indikator terkait dengan dokumen SDGs, yaitu
pembangunan manusia atau human
development yang meliputi pendidikan dan kesehatan, lingkungan dalam skala
kecil atau social economic development
dan lingkungan yang besar atau environmental
development berupa ketersediaan kualitas lingkungan dan sumber daya alam
yang baik.
Issue-isue
inilah yang harus disinggung dalam program PRB. Artinya sosialisasi PRB itu
tidak melulu bicara tentang bencana saja, tetapi juga upaya membangun kesadaran
masyarakat akan pentingnya budaya tangguh bencana, yang senantiasa siap siaga
menghadapi situasi darurat serta mengenali berbagai sumberdaya
untuk memenuhi kebutuhan pada saat itu.
Dengan kata lain,
apabila bencana itu terjadi, masyarakat sudah tahu dan paham benar apa yang
mesti dilakukan untuk menghindari risiko bencana tersebut. Disamping
itu, sesuai konsep Living Harmony with
Disaster, masyarakat yang bermukim di daerah rawan bencana juga diharapkan
mempunyai daya lenting pasca bencana, yaitu pulih kembali seperti sediakala,
bahkan bisa membangun kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian, program PRB bertujuan
agar warga mempunyai persiapan yang lebih baik untuk menghadapi bencana.
Sayangnya, di lapangan, ke tiga pilar utama dalam
penanggulangan bencana (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) masih tidak
mudah untuk dikoordinasikan. Gerakannya belum optimal, belum bisa bekerja sama
dalam penanggulangan bencana, masih sebatas bekerja bersama atau sama sama
bekerja sesuai kepentingan masing-masing.
Apalagi, masih banyak produk legislasi yang belum
berpihak kepada upaya penanggulangan bencana, apalagi pengurangan risiko
bencana. Termasuk penyusunan dokumen renkon yang kemudian berubah menjadi renop
pun sering gagap saat akan dijalankan sesuai kesepakan dalam dokumen, siapa
mengerjakan apa.
Ini terjadi karena, konon sistemnya belum terbangun
dan ditaati bersama, sehingga perlu dibangun dengan melibatkan kekuatan
komunitas relawan beserta dunia usaha. Ya, itulah pentingnya program PRB yang mengedepankan kemitraan dan partisipasi berbagai
komunitas dalam penanggulangan bencana, misalnya BNPB/BPBD dalam menyusun peta
prioritas daerah rawan bencana berbasis komunitas dengan melibatkan berbagai
elemen relawan.
Sehingga PRB itu benar-benar hadir pada saat
pra bencana, darurat bencana dan pasca bencana. Jika itu bisa terwujud, maka
upaya PRB itu tidak sekedar upaya menyelamatkan banyak nyawa (meminimalisir
jumlah korban) semata, namun juga menyelamatkan kehidupan dan penghidupan itu
sendiri. Salam Kemanusiaan.*[eBas].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar