Sabtu, 03 September 2016

PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS

 Dibanyak kasus, bencana alam selalu menimbulkan dampak bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat. Untuk masyarakat terdampak harus merespon dengan tindakan preventif untuk meminimalisir dampat bencana. Karena masyarakat terdampak sendirilah yang akan melakukan penyelamatan sendiri sebelum pihak luar datang.

Salah satunya adalah dengan Sosialisi Pengurangan Resiko Bencana (PRB) kepada masyarakat, yaitu upaya meminimalisir kerentanan dan risiko situasi bencana di seluruh masyarakat, untuk menghindari (pencegahan) atau untuk membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak bahaya yang merugikan dalam konteks pembangunan berkelanjutan yg luas.

Kini, program PRB itu juga menjadi issue penting dalam SDGs (Sustainable Development Goals), yaitu sebuah dokumen yang akan menjadi acuan dalam kerangka pembangunan dan perundingan negara-negara di dunia. Target utamanya mengentaskan kemiskinan.

Namun demikian, konon katanya, Indonesia akan menggunakan tiga indikator terkait dengan dokumen SDGs, yaitu pembangunan manusia atau human development yang meliputi pendidikan dan kesehatan, lingkungan dalam skala kecil atau social economic development dan lingkungan yang besar atau environmental development berupa ketersediaan kualitas lingkungan dan sumber daya alam yang baik.

Issue-isue inilah yang harus disinggung dalam program PRB. Artinya sosialisasi PRB itu tidak melulu bicara tentang bencana saja, tetapi juga upaya membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya tangguh bencana, yang senantiasa siap siaga menghadapi situasi darurat serta mengenali berbagai sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan pada saat itu.

Dengan kata lain, apabila bencana itu terjadi, masyarakat sudah tahu dan paham benar apa yang mesti dilakukan untuk menghindari risiko bencana tersebut. Disamping itu, sesuai konsep Living Harmony with Disaster, masyarakat yang bermukim di daerah rawan bencana juga diharapkan mempunyai daya lenting pasca bencana, yaitu pulih kembali seperti sediakala, bahkan bisa membangun kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian, program PRB bertujuan agar warga mempunyai persiapan yang lebih baik untuk menghadapi bencana.

Sayangnya, di lapangan, ke tiga pilar utama dalam penanggulangan bencana (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) masih tidak mudah untuk dikoordinasikan. Gerakannya belum optimal, belum bisa bekerja sama dalam penanggulangan bencana, masih sebatas bekerja bersama atau sama sama bekerja sesuai kepentingan masing-masing.

Apalagi, masih banyak produk legislasi yang belum berpihak kepada upaya penanggulangan bencana, apalagi pengurangan risiko bencana. Termasuk penyusunan dokumen renkon yang kemudian berubah menjadi renop pun sering gagap saat akan dijalankan sesuai kesepakan dalam dokumen, siapa mengerjakan apa.

Ini terjadi karena, konon sistemnya belum terbangun dan ditaati bersama, sehingga perlu dibangun dengan melibatkan kekuatan komunitas relawan beserta dunia usaha. Ya, itulah pentingnya program PRB yang mengedepankan kemitraan dan partisipasi berbagai komunitas dalam penanggulangan bencana, misalnya BNPB/BPBD dalam menyusun peta prioritas daerah rawan bencana berbasis komunitas dengan melibatkan berbagai elemen relawan.

 Sehingga PRB itu benar-benar hadir pada saat pra bencana, darurat bencana dan pasca bencana. Jika itu bisa terwujud, maka upaya PRB itu tidak sekedar upaya menyelamatkan banyak nyawa (meminimalisir jumlah korban) semata, namun juga menyelamatkan kehidupan dan penghidupan itu sendiri. Salam Kemanusiaan.*[eBas].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar