Dalam
sebuah acara sosialisasi pengurangan resiko bencana dan perubahan iklim, nara
sumbernya mengatakan bahwa, salah satu upaya mencegah dampak buruk bencana dan
perubahan iklim adalah dengan melakukan mitigasi non struktural, karena
biayanya relatif murah dan melibatkan banyak orang. Contoh kegiatannya
antara lain, kerja bakti mengangkat sampah yang menutupi aliran sungai,
pengerukan sungai dan menjaga luasan wilayah sungai dan bantaran sungai agar
tidak disalah gunakan. Sebuah kegiatan murah dan mudah dikerjakan oleh warga
kampung.
Menurut UU Nomor 24
Tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian upaya
untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Masih menurut
nara sumber, mitigasi merupakan tahap awal penanggulangan bencana alam
untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana.
Mitigasi adalah kegiatan yang dikerjakan sebelum bencana
terjadi. Contoh kegiatannya antara lain membuat peta wilayah rawan bencana,
pembuatan bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta
memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di
wilayah rawan gempa. Tujuannya adalah, (1) Mengurangi
resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi penduduk, seperti
korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan sumber daya alam, (2) Sebagai
landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan. (3) Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi
dampak bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman dan
tenang.
Secara Umum pengertian mitigasi adalah usaha
mengurangi/ meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul akibat bencana,
maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, diantaranya
melakukan sosialisasi dan penyuluhan serta lainnya seperti yang tersurat dalam
perka nomor 17 tahun 2011, yaitu kegiatan pra bencana yang bisa dilakukan oleh
relawan penanggulangan bencana.
Sayangnya, perhatian pemerintah daerah (dalam
hal ini BPBD) masih lemah terkait dengan koordinasi dan mobilisasi relawan
untuk diajak serta melakukan mitigasi. Begitu juga saat relawan melaporkan
adanya daerah yang potensi bencananya besar saat melakukan mitigasi, misalnya
ada tanggul yang rusak/retak, lereng bukit yang gundul, sungai yang menyempit,
sering kali kurang mendapat respon (mungkin karena panjangnya birokrasi dan anggaran),
sehingga berpengaruh kepada semangat relawan. Sehingga sering kali, hasil
mitigasi itu tidak ditindak lanjuti. Baru tergopoh-gopoh saat bencana datang.
Sungguh, saat ini banyak tumbuh komunitas
relawan peduli bencana dengan berbagai ragam bendera, seragam, visi, misi dan
kepentingannya. Mereka inilah yang seharusnya didata dan dibina oleh BPBD untuk
kemudian diajak bersama-sama melakukan kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi ke
daerah rawan bencana guna membangun masyarakat tangguh bencana, yaitu kemampuan untuk mengenali ancaman bencana di
wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi
kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana
di daerahnya. Hal ini seperti
yang digagas dalam Kerangka Aksi Hyogo, diantaranya,
meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respon yang efektif, dan untuk
“membangun kembali dengan lebih baik” dalam pemulihan, rehabilitasi dan
rekonstruksi. Salam
kemanusiaan. *[eBas]
UU 24 tahun 2007 ttg kebencanaan, dalam pasal 27, poin b, mengatakan bahwa setiap orang berkewajiban melakukan penanggulangan bencana.
BalasHapussementara dalam perka 17 tahun 2011 ttg relawan penanggulangan bencana, mengatakan bahwa dalam keadaan pra bencana, peran relawan diantaranya melaporkan secepatnya jika tahu tanda-tanda akan terjadi bencana.
sementara saat pasca bencana, peran relawan diantaranya memberikan info kepada dinas terkait (tentang upaya rehab rekon dan permasalahan yg mengikutinya).