Sabtu, 01 Oktober 2016

MITIGASI BENCANA DAN PERUBAHAN IKLIM

Dalam sebuah acara sosialisasi pengurangan resiko bencana dan perubahan iklim, nara sumbernya mengatakan bahwa, salah satu upaya mencegah dampak buruk bencana dan perubahan iklim adalah dengan melakukan mitigasi non struktural, karena biayanya relatif murah dan melibatkan banyak orang. Contoh kegiatannya antara lain, kerja bakti mengangkat sampah yang menutupi aliran sungai, pengerukan sungai dan menjaga luasan wilayah sungai dan bantaran sungai agar tidak disalah gunakan. Sebuah kegiatan murah dan mudah dikerjakan oleh warga kampung. 

Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Masih menurut nara sumber, mitigasi merupakan tahap awal penanggulangan bencana alam untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana.

Mitigasi adalah kegiatan yang dikerjakan sebelum bencana terjadi. Contoh kegiatannya antara lain membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di  wilayah rawan gempa. Tujuannya adalah, (1) Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi penduduk, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan sumber daya alam, (2) Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan. (3) Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi dampak bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman dan tenang.

Secara Umum pengertian mitigasi adalah usaha mengurangi/ meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul akibat bencana, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, diantaranya melakukan sosialisasi dan penyuluhan serta lainnya seperti yang tersurat dalam perka nomor 17 tahun 2011, yaitu kegiatan pra bencana yang bisa dilakukan oleh relawan penanggulangan bencana.

Sayangnya, perhatian pemerintah daerah (dalam hal ini BPBD) masih lemah terkait dengan koordinasi dan mobilisasi relawan untuk diajak serta melakukan mitigasi. Begitu juga saat relawan melaporkan adanya daerah yang potensi bencananya besar saat melakukan mitigasi, misalnya ada tanggul yang rusak/retak, lereng bukit yang gundul, sungai yang menyempit, sering kali kurang mendapat respon (mungkin karena panjangnya birokrasi dan anggaran), sehingga berpengaruh kepada semangat relawan. Sehingga sering kali, hasil mitigasi itu tidak ditindak lanjuti. Baru tergopoh-gopoh saat bencana datang.

Sungguh, saat ini banyak tumbuh komunitas relawan peduli bencana dengan berbagai ragam bendera, seragam, visi, misi dan kepentingannya. Mereka inilah yang seharusnya didata dan dibina oleh BPBD untuk kemudian diajak bersama-sama melakukan kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi ke daerah rawan bencana guna membangun masyarakat tangguh bencana, yaitu kemampuan untuk mengenali ancaman bencana di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana di daerahnya. Hal ini seperti yang digagas dalam Kerangka Aksi Hyogo, diantaranya, meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respon yang efektif, dan untuk “membangun kembali dengan lebih baik” dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Salam kemanusiaan. *[eBas]












1 komentar:

  1. UU 24 tahun 2007 ttg kebencanaan, dalam pasal 27, poin b, mengatakan bahwa setiap orang berkewajiban melakukan penanggulangan bencana.

    sementara dalam perka 17 tahun 2011 ttg relawan penanggulangan bencana, mengatakan bahwa dalam keadaan pra bencana, peran relawan diantaranya melaporkan secepatnya jika tahu tanda-tanda akan terjadi bencana.
    sementara saat pasca bencana, peran relawan diantaranya memberikan info kepada dinas terkait (tentang upaya rehab rekon dan permasalahan yg mengikutinya).

    BalasHapus