Minggu, 12 Mei 2024

PONAKANKU INGIN JADI ANGGOTA RNPB

 Beberapa waktu yang lalu, ketika Ilma, ponakanku diterima kuliah di politeknik negeri malang (polinema), dia bilang mau ikut kegiatan kampus, dalam rangka mencari pengalaman, nambah wawasan, dan memperbanyak teman.

 Kemudian, di lain waktu, Ilma bilang, diajak temannya ikut kegiatan kerelawanan seperti yang pernah digaungkan Anies Baswedan, indonesia mengajar. Bedanya, dinisini perannya lebih sebagai pendamping belajar bagi anak-anak usia sekolah.

 Saya sebagai pamannya, tentu sangat mendukung, karena akan bermanfaat bagi kehidupannya kelak dikemudian hari. Untuk itulah ketika lembaga manajemen infak (LMI) Cabang Kota Malang mengadakan Training of Trainer Fasilitator GANALA, Ilma saya dorong untuk mendaftar.

 Alhamdulillah ponakanku diterima, dan telah mengikuti serangkaian pelatihan dengan materi yang cukup banyak bagi seorang Ilma yang belum tahu dan paham apa itu relawan dengan segala kiprahnya.

 Info dari Abah Santo, salah seorang relawan senior yang berpengalaman, sekaligus petinggi LMI, materi dasar yang diberikan meliputi,  Pengenalan program LMI, Pengenalan istilah kebencanaan, Konsep RNPB, Pendalaman tentang Materi MFR dasar, Balut bidai, SOP Ganala, Materi GANALA, Simulasi GANALA. (foto, video), Melatih Skill Public Speaking saat berada di depan Audiens, dan K3 (APAR dan ALAT) Simulasi bersama warga Rt 8/14 desa sekarpuro kecamatan Jetis kabupaten Malang.

 Semoga dengan materi yang banyak ini ponakanku tabah menjalaninya. Semoga pula ponakanku segera beradaptasi dengan dunia relawan. Khususnya cara makan dengan porsi relawan. Sehingga berdampak pada tubuh yang semakin berisi dan sehat untuk menunjang mobilitasnya sebagai relawan sekaligus mahasiswa yang harus pandai membagi waktu.

 “Nduk, di Kota Malang Raya itu banyak komunitas relawan dengan berbagai gaya, kapasitas dan fokus kegiatannya. Bermainlah dengan mereka agar relasimu semakin luas, tentunya akan sangat mendukung kerja-kerja kemanusiaan yang menjadi tanggungjawabmu,” Kataku melalui whatsapp.

 Sebagai paman yang baik, juga berharap agar Ilma aktif menambah informasi tentang dunia kerelawanan dan kebencanaan. Jangan bosan-bosan tanya mBah Gugel tentang berbagai Perka BNPB yang diperlukan saat di lapangan. Bacalah untuk bekal beraktivitas.

 Jangan lupa semua kelakuanmu membawa bendera RNPB upayakan dicatat dengan rapi dan runtut. Agar kelak dapat kamu bukukan dengan judul, Catatan Seorang Relawan. Jangan takut salah. Walaupun kamu belum pernah ikut pelatihan jurnalistik, yang penting menulis. Daripada pernah ikut pelatihan dan punya piagam, tapi tidak pernah menulis. Itu namanya mbelgedes.

 “Ingat, sekarang kamu menjadi bagian RNPB. Harus menjaga nama baik sebagai relawan yang santun, sesuai jargon, 'dimanapun kita berada, tetap bermanfaat bagi sesama'. Selamat berproses menjadi relawan penanggulangan bencana di bawah kibaran bendera RNPB. Turuti segala arahan dan nasehat abah Santo,” Ujarku penuh harap. [eBas/Minggu Wage-12052024]

 

 

 

 

 

 

Jumat, 10 Mei 2024

PERLUKAH SEKOLAH MEMBENTUK TIM SIAGA BENCANA SEKOLAH ?

    Seperti biasanya, setiap malam minggu, teman-teman Mukidi yang masih jomblo, selalu menghabiskan waktu dengan cangkruk’an di warkop langganan, untuk berbagi pengalaman yang dikemas dalam suasana guyonan.

    Kali ini Mukidi menceritakan pengalamannya saat mengikuti seminar tentang tim siaga bencana sekolah (TSBS). Untuk membuka obrolan, Mukidi mengajukan pertanyaan, apakah perlu semua sekolah membentuk tim siaga bencana sekolah ?.

    “Ya terserah pihak dinas pendidikan, menurut saya sekolah akan menurut apa kata kebijakan dinas,” Kata Kaspo sekenanya, karena belum paham apa itu TSBS, apalagi program SPAB.

    Sambil membuka Google, Sokran bilang bahwa Tim Siaga Bencana Sekolah adalah perwakilan warga sekolah yang telah mendapatkan pelatihan terkait pengurangan risiko bencana. Tim ini bertugas menyebarluaskan praktik budaya sadar bencana di sekolah, melalui kesiapsiagaan pada saat, sebelum dan sesudah bencana.

    “kalau mengacu pada definisi yang disebutkan Sokran di atas, maka sekolah wajib membentuk TSBS jika warga sekolah tersebut sudah pernah mengikuti pelatihan kebencanaan. Namun, harus ada program tindak lanjut pasca pembentukan TSBS. Tidak eloklah jika setelah dibentuk kemudian dibiarkan tanpa kegiatan,” Kata Mukidi sambil nyruput wedang Teh campur Jahe geprek.

    Mukidi bilang bahwa nara sumber dalam seminar itu mengatakan Peran TSBS pada saat pra bencana, diantaranya ikut pelatihan PRB, menyebarluaskan pengetahuan tentang PRB, mensosialisasikan prosedur tetap bencana yang telah disepakati, dan melakukan simulasi kesiapsiagaan sekolah.

    Kemudian, pada saat Tanggap darurat, mereka bertugas membunyikan peringatan dini yang dimiliki dan disepakati sertaturut melakukan evakuasi warga sekolah dan dokumen penting, dan melakukan perlindungan kelompok rentan dengan prioritas layanan.

    Sedangkan pada saat Pasca bencana, TSBS melakukan pendataan kepada seluruh warga sekolah, melakukan layanan pendidikan darurat, melakukan layanan dukungan psikososial, serta menghubungi pihak terkait untuk tindakan selanjutnya.

    “Dengan banyaknya tugas TSBS, tentunya harus ada upaya pembinaan secara berkala dan berkolaborasi dengan berbagai pihak,” Kata Margo Rasudi, dari komunitas Relawan Rindu Bencana (KR2B).

    Masih menurut Bang Jorock, panggilan akrab Margo Rasudi, yang penting pihak sekolah diberi penyuluhan dulu tentang adanya potensi bencana di daerah sekitar sekolahnya, apa penyebab bencana, apa itu mitigasi, serta paham apa yang harus dilakukan jika terjadi bencana secara mandiri.

    Setelah mereka paham, maka dibentukkah TSBS, sekaligus merancang program pembinaannya, yang bahannya diambilkan dari modul SPAB yang terdiri dari Modul tentang Fasilitas Sekolah Aman, Modul Manajemen Penanggulangan Bencana dan Kesinambungan Pendidikan, serta Modul Pendidikan dan PRB, dengan segala variasinya.

    Hal ini mengingat bahwa upaya penyadaran untuk membangun ketangguhan melalui pembentukan TSBS itu tidak mungkin dilakukan “sekali tembak” (kecuali sekedar formalitas seremonial demi daya serap anggaran). Namun perlu proses panjang dan berkelanjutan, untuk menyadarkan seseorang menjadi lebih sadar dan terbuka terhadap sesuatu hal baru.

    Mukidi manggut-manggut, tidak percaya jika gagasannya si Margo Rasudi menarik untuk dikembangkan dalam sebuah diskusi multi pihak. Baik yang dikolaborasikan dengan BPBD maupun diselenggarakan oleh komunitas relawan secara mandiri. Seperti gelaran Arisan Ilmu Nol Rupiah yang menjadi program ikonik dari SRPB Jatim. 

Sebelum jagongan malem mingguan bagi para jomblo berakhir, Mukidi usul agar acara “Shodakoh Ilmu” bulan depan materinya tentang perlunya TSBS dibentuk di setiap sekolah. Pembicaranya Margo Rasudi dan salah satu fasilitator SPAB yang bersertifikat. Apalagi jika materi ini dibuat berseri, pasti akan lebih menarik. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/JumatPahing-10052024]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Senin, 06 Mei 2024

KETIKA MAK CIK BERSULANG KOMENTAR TENTANG SINGKATAN LC DALAM 1355 KATA

 Sungguh saya tidak mengerti jika penamaan Jamaah LC (Lorong eduCation) ditafsirkan oleh mereka yang sebenarnya paham tapi pura-pura bego. Sehingga banyak mengundang komentar yang melebar dengan segala argumentasinya. Bahkan ada juga usulan agar Jamaah LC diubah menjadi Jamaah LE. Sebuah pemikiran yang konservatif akan singkatan. Padahal sekarang ini jamannya berfikir kreatif dan adaptif. Ya, akhirnya kriwikan dadi grojogan.

 Sebenarnya saya malas menanggapi pertanyaan orang yang sebenarnya tergolong “educated” tapi pura-pura nggobloki dengan teknik “hit and run” (setelah bertanya kemudian menghilang, hanya ngintip berbagai komentar sambil cengar cengir puas pancingannya mengena, seperti watak sengkuni).

 Ya, tampaknya hembusan nakal itu memang disengaja karena merasa tidak mampu berbuat sesuatu seperti anggota Jamaah LC, yang tidak pernah membahas tentang apa itu kesetaraan gender, karena memang bukan bidangnya. Karena bidang garap Jamaah LC itu adalah sosialisasi dan edukasi untuk peningkatan kapasitas relawan dalam upaya pengurangan risiko bencana.

 Lucunya, hanya Sengkuni dan Mak Cik yang "galau" dengan singkatan LC. Sementara yang lain, diantaranya pejabat BNPB, juga BPBD dan beberapa dosen yang pernah mampir ke basecamp LC tidak merasa "jengah" dengan LC beserta orang-orangnya. Mau bilang aneh takut dianggap puritan. Terus gimana dong ?.

 Rupanya si Sengkuni mendapat teman yang memiliki kepedulian di bidang kesetaraan gender. Sehingga mudah mengasosiasikan singkatan LC ke upaya pelecehan konsep gender. Padahal sudah dikasih paham bahwa penamaan LC itu ada sejarahnya bagi kami (bukan kamu).

 Begitu juga pamakaian istilah Jamaah. Itu hanya biar tampil beda. Karena kami mengartikan Jamaah itu kata lain dari komunitas. (sekali lagi ini menurut kami orang kampung, bukan kamu yang orang kampus). Ya, semua ini adalah proses kreatif kami. Jadi, kalau tidak setuju, silahkan kamu berlalu. Kami tak akan goyah oleh tuturanmu.

 Mengawali kementarnya, Mak Cik bilang, Mohon ijin Senior, sebagai usulan untuk singkatan Jamaah Lorong Education sebaiknya Jamaah LE. Janganlah terus menerus mengiring opini public ke LC sebagai Ladies Companion, yang seakan-akan ada suatu “brand market” dari Lorong Education pada penekanan intimidasi pada kata "Ladies" disini.

 Kemudian, komentar pun berlanjut dengan nukilan kalimat dari satrawan LEKRA, Pramoedya Ananta Toer, yang mengatakan bahwa, Tanpa wanita takkan ada bangsa manusia. Tanpa bangsa manusia takkan ada yang memuji kebesaran-Mu. Semua puji-pujian untuk-Mu dimungkinkan hanya oleh titik darah, keringat dan erang kesakitan wanita yang sobek bagian badannya karena melahirkan kehidupan.

 Waduh komentar yang semakin melebar yang tidak pernah terpikirkan oleh anggota Jamaah LC. Termasuk tagar Kesetaraan GEDSI dan Resilience for all, serta “brand market”. sungguh, semua istilah asing itu tak pernah menjadi bahan obrolan anggota Jamaah LC, sambil wedangan. Walaupun konon, Kesetaraan GEDSI itu bagian daripada Implementasi SDG 2030

  “Senior harus dapat bersikap bijak seiringan dengan bertambahnya usia, kalau disingkat pun Lorong Education itu Kan singkatan nya menjadi L E,  yang mana huruf L untuk Lorong dan huruf E untuk Education. Terus kenapa selalu brand market nya Lorong Education digiring ke LC, Ladies Companion kemudian yang disalahkan Para Ladies,” Komentarnya lagi.

 Benar, Lorong Education itu seharusnya disingkat LE. Itu mah singkatan konvensional banget. Sementara kami menggunakan singkatan LC itu karena ada sejarahnya. Sementara yang menggiring ke ladies companion itu adalah mereka yang tidak tahu. Atau mereka yang tidak suka dengan Jamaah LC yang menjadi media jagongan relawan dari berbagai komunitas tanpa memandang status sosial.

 Nyatanya, setelah mereka tahu artinya LC, mereka menjadi paham dan mengakui bahwa kami sangat kreatif dalam membuat singkatan yang menarik. Sementara Mak Cik dan Sengkuni malah sebaliknya, menyalahkan kami yang menggunakan singkatan LC.

 Alfin, salah seorang anggota Jamaah LC, tetiba mak bedunduk berkomentar, Maaf, kami tidak ada maksud untuk menggiring opini kearah situ, apalagi intimidasi seperti yang anda pikirkan. Banyak singkatan yang sama, namun memiliki arti yang berbeda, kami memberikan nama LC itu tidak serta Merta atau sekedar iseng, ada cerita dan alasan tertentu dibalik itu.

 “Yang saya herankan kenapa anda selalu mempermasalahkan hal-hal kecil, dan tidak hanya di grup ini tapi di grup lainnya. Jadi Kalau anda berpikir bahwa kami menggiring opini ke hal yang negatif atau ada intimidasi berarti cara berpikir anda yang perlu diubah,” Kata Alfin, mungkin sambil mecucu karena kehabisan rokok.

 Rupanya pancingan si Sengkuni ini menarik Cak Jie untuk berkomentar dengan nada menghibur Alfin. “Wis Ngalir ae, dadi Banyu Mili dengan Manfaat untuk mengaliri bagi yang membutuhkan sesuai jargon selalu bergerak memberi manfaat.

 “Well, beda pendapat itu hal yang biasa. Bila Kakak bisa geram kenapa saya juga tidak boleh geram, saat kami Ladies selalu dipermasalahkan saat berita tentang Lorong Education dikaitkan dengan LC,  Ladies Companion,” Kata Mak Cik.

 Rupanya, sebagai aktivis gender, Mak Cik masih risau dengan istilah LC, yang olehnya diartikan sebagai Ladies Companion. Padahal, seluruh anggota Jamaah LC, tidak pernah membahas tentang LC yang dimaksud Mak Cik, apalagi gender dalam ber-jagongan-ria.

 “Tapi kenapa anda selalu protes terkait nama/singkatan dari komunitas kami, yang sama sekali tidak pernah mengaitkan Lorong eduCation dgn Ladies Companion. Sungguh itu hanya pikiran anda saja yang belum tahu dapurnya LC, yang berpusat di wilayah Kelurahan Keputih, Surabaya Timur,” Balas Alfin

 Dalam kesempatan itu, Mak Cik juga memberikan ulasan panjang lebar tentang Perempuan dan daya tarik seksualnya menjadi objek dalam beberapa tayangan di televisi, seolah mereka tampil hanya untuk memanjakan mata penonton yang kebanyakan memang menyasar laki-laki.

 “Begitu pun di era media baru, banyak konten yang mengomodifikasi perempuan dan tubuhnya di media sosial. Yang aneh, tidak sedikit perempuan yang justru mengomodifikasi tubuhnya sendiri melalui konten di media sosial maupun di layanan berbayar,” Katanya.

 Ulasan yang mengutip dari hasil kajiannya Barbara L. Frederickson dan Tomi-Ann Roberts, itu pun rasanya tidak ada relevansinya dengan keberadaan Jamaah LC. Karena sesungguhnyalah dalam setiap pemberitaan tentang kegiatan Jamaah LC, maupun opini tentang tingkah polahnya, tidak pernah membahas, apalagi menyudutkan keberadaan profesi Ladies Companion.

 Jika hasil kajian itu menyatakan bahwa ada kesengajaan menggunakan daya tarik seksual wanita, sebagai konten untuk menarik minat warganet laki-laki (konsumen). Nyatanya memang begitu, terus kita mau apa, mau protes ?. Protes kepada siapa ?. sebagai “orang terdidik”, alangkah eloknya jika kajian ilmiah itu dibalas dengan kajian ilmiah pula. Bukan sekedar lempar batu sembunyi tangan.

 Rupanya Mak Cik benar-benar gagal paham dengan penggunaan singkatan LC. Mak Cik yang kaya pengalaman itu menganggap bahwa LC itu pasti singkatannya Ladies Companion. Karena mindset nya sudah seperti itu jadinya ya sulit untuk dipahamkan bahwa Jamaah LC itu jauh berbeda dengan anggapannya.

 Jare Kartolo, “angel wis angel,…angel temen tuturane,”. Kata Brori Marantika, buah semangka berdaun sirih, aku begini engkau begitu sama saja, sementara nDarboy bilang, aku kiri, kowe kanan, wis bedo dalan.

 Rurid Rudianto salah satu fasilitator GEDSI tergelitik juga untuk berkomentar. Menurutnya, kesetaraan gender bukan untuk dijadikan bahan perdebatan apalagi dengan keyakinan masing-masing. Gender itu untuk membangun dialog saling memahami.

 “Maaf lho pendapat saya ini bukan bermaksud menggurui mas Alfin dan Mak Cik.  Ngapunten lho,” Ucapnya dengan sopan untuk menjaga suasana pertukaran komentar tetap kondusif.

 Benar kata pemilik Kedai Kopi Potrojoyo Kepanjen, bahwa masalah beda pemaknaan LC itu "ora iso dibanding-bandingne, yo mesti salah dan akhirnya berbantah"

 Adapun jika ditanyakan “Brand market” yang dibawa Jamaah LC itu apa ?. tentu mereka bingung karena merasa tidak punya itu, dan sudah di jlentrehkan di tulisan yang berjudul Jamaah LC bukan Jamaah Biasa. Jika membacanya dengan hati pasti paham. Namun jika cara bacanya dengan esmosi pasti akan gagal paham.

 Namun Ning Dilla, anggota baru Jamaah LC mencoba menjelaskan, sesuai pemahamannya, bahwa Lorong eduCation (LC) disini membawa brand market yang berfokus pada pemberdayaan dan kolaborasi komunitas dalam upaya penanggulangan bencana, berbasis pada kebutuhan lokal.

 Sebagai mahasiswa MMB Unair Surabaya, Dia menganggap LC memberikan platform untuk pembelajaran, diskusi, dan aksi bersama tanpa batasan struktur organisasi. Melalui kegiatan sosialisasi dan edukasi, LC mempromosikan kesadaran akan resiko bencana serta pemahaman akan langkah-langkah konkret yang dapat diambil oleh individu dan komunitas untuk mengurangi dampaknya.

 Apakah seperti itu yang dimaksudkan dengan “Brand market” itu, tentu saya tidak tahu. Apakah anggota Jamaah yang lain setuju, saya pun juga tidak tahu. Semoga ke depan penyebutan LC tidak akan mengundang polemik yang berkepanjangan. Biarkanlah kami berjalan diatas jalan kami sendiri tanpa pernah mengganggu perjalananmu.

 Begitu juga denganmu, berjalanlah sesuai jalan yang kamu mau tanpa harus mengganggu jalannya orang lain yang punya cara sendiri dalam menikmatinya. Buanglah prasangkamu, karena tidak akan menggoyahkan imanku untuk tetap menggunakan singkatan LC yang sangat bermakna bagi kami, anggota Jamaah Lorong eduCation. Wallahu a’lam bishowab. [eBas-SelasaWage-07052024]