Akhirnya, longsor itu datang juga dan
mwarga pun menjadi korban. Padahal, beberapa hari sebelumnya tanda-tandanya
sudah tampak. Seperti keretakaan dan amblasnya tanah dibeberapa titik. Warga
pun sudah diberi tahu. Kalau malam mereka mengungsi ditempat yang telah
ditentukan oleh BPBD setempat. Pagi hari mereka kembali ke rumahnya, bekerja di
ladangnya, seperti biasanya.
Ya, tidak mungkinlah warga terdampak tahan
hidup lama di pengungsian, apalagi di tenda. Begitu juga dengan pemerintah
(BPBD), dengan anggaran terbatas hanya bisa menyediakan konsumsi ala kadarnya,
yang penting gizinya tercukupi. Itupun jangka waktunya terbatas.
Sementara datangnya longsor selama ini
belum bisa diduga dengan akurat. Di sisi lain, tuntutan hidup warga meronta
untuk segera dipenuhi. Maka, yang terjadi adalah nekat. Nekat pulang untuk
menengok dan membersihkan rumahnya. Nekat ke ladang untuk berkebun mencari
nafkah.
Kalau sudah begini, pemerintah serba repot.
Mau melarang, tapi tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup warga terdampak. Membiarkan,
sepertinya mengabaikan bahaya.
Namun malang tidak dapat ditolak, ketika
warga asik melakukan aktivitas hidupnya, longsor datang menerjang. Semua tungang
langgang menjadi korban. Longsornya bukit di sebelah barat Desa Banaran memang
tak pernah disangka oleh warga setempat.
Bukit yang asri tiba-tiba longsor dan
menimbun hidup-hidup warga yang tinggal di bawahnya. Apalagi selama ini bukit
tersebut hijau dan subur memberi penghidupan kepada banyak warga dengan
bercocok tanam aneka tanaman hortikultura, juga tanaman obat. Sepeti jahe yang
siap panen.
Ya, akhirnya semua mendadak repot. Warga repot
menyelamatkan diri, relawan repot membantu evakuasi, repot menyiapkan tempat
pengungsian, repot menyiapkan dapur umum, repot mencatat bantuan yang masuk
serta pemanfaatannya.
Dibawah komando BPBD, relawan juga repot
membantu distribusi logistik, repot mencari korban, membersihkan fasilitas umum
untuk memperlancar penanganan korban bencana. Pemerintah daerah pun repot
mencairkan anggaran dana siap pakai untuk kedaruratan. Bahkan dibeberapa kasus
ada yang ikut repot memanfaatkan kesempatan ditengah kesemrawutan adminstrasi. Ada juga yang repot memanfaatkan longsor
sebagai media wisata bencana yang wajib diabadikan dengan berbagai gaya selfi,
sedang yang lainnya secara suka rela mengumpulkan donasi kemanusiaan.
Amin Widodo, pakar sekaligus pegiat
kebencanaan, mengatakan bahwa, sebenarnya longsor itu tidak ‘ujug ujug’ datang meminta korban. Tapi
ada tanda-tanda khas yang mengawali, diantaranya: (1) ada longsor-longsor
kecil, (2) retakan-retakan di tanah dan di tembok/pagar, (3) pohon yang tumbuh
miring atau tiang listrik miring, (4) pohon yang
terangkat dan terlihat akarnya.
Masih kata Amin, ada salah persepsi terkait
istilah ‘tanah gerak’ yang berkembang di masyarakat dan dianggap biasa. Padahal,
seharusnya masyarakat yang bermukim di kawasan rawan longsor, bisa melaporkan ke
pemerintah setempat jika melihat tanda-tanda tanah mau longsor dan harusnya oleh
pemerintah segera di survey untuk penanganan dan solusinya. Namun semua itu
masih sering diabaikan.
Apalagi, saat ini terjadi alih fungsi yang
begitu massif. Lereng gunung dibabati, hutan pun digunduli, sementara bagian
bawahnya dijadikan pemukiman. Sementara, longsor itu identik dengan gerak benda
bidang miring. Sangat mungkin manusialah yang mempercepat proses longsor dengan
menebangi pohon yang akarnya berfungsi sebagai pengikat tanah dan batuan.
Kiranya ke depan bahaya longsor akan terus
mengancam, banyak hutan gundul, lereng pun tidak rimbun lagi. Pohon besar
ditebang. Berganti tanaman sayur dan buah yang secara ekonomi lebih
menjanjikan. Padahal dibalik itu, konon bahaya longsor siap beraksi, tinggal
menunggu giliran, entah kapan dan dimana, yang jelas bencana longsor pasti akan
kembali menyapa. Apakah longsor Ponorogo tidak dijadikan bahan pembelajaran?.[eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar