Senin, 03 April 2017

CATATAN LONGSOR PONOROGO

 Akhirnya, longsor itu datang juga dan mwarga pun menjadi korban. Padahal, beberapa hari sebelumnya tanda-tandanya sudah tampak. Seperti keretakaan dan amblasnya tanah dibeberapa titik. Warga pun sudah diberi tahu. Kalau malam mereka mengungsi ditempat yang telah ditentukan oleh BPBD setempat. Pagi hari mereka kembali ke rumahnya, bekerja di ladangnya, seperti biasanya.
Ya, tidak mungkinlah warga terdampak tahan hidup lama di pengungsian, apalagi di tenda. Begitu juga dengan pemerintah (BPBD), dengan anggaran terbatas hanya bisa menyediakan konsumsi ala kadarnya, yang penting gizinya tercukupi. Itupun jangka waktunya terbatas.
Sementara datangnya longsor selama ini belum bisa diduga dengan akurat. Di sisi lain, tuntutan hidup warga meronta untuk segera dipenuhi. Maka, yang terjadi adalah nekat. Nekat pulang untuk menengok dan membersihkan rumahnya. Nekat ke ladang untuk berkebun mencari nafkah.
Kalau sudah begini, pemerintah serba repot. Mau melarang, tapi tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup warga terdampak. Membiarkan, sepertinya mengabaikan bahaya.
Namun malang tidak dapat ditolak, ketika warga asik melakukan aktivitas hidupnya, longsor datang menerjang. Semua tungang langgang menjadi korban. Longsornya bukit di sebelah barat Desa Banaran memang tak pernah disangka oleh warga setempat.
Bukit yang asri tiba-tiba longsor dan menimbun hidup-hidup warga yang tinggal di bawahnya. Apalagi selama ini bukit tersebut hijau dan subur memberi penghidupan kepada banyak warga dengan bercocok tanam aneka tanaman hortikultura, juga tanaman obat. Sepeti jahe yang siap panen.
Ya, akhirnya semua mendadak repot. Warga repot menyelamatkan diri, relawan repot membantu evakuasi, repot menyiapkan tempat pengungsian, repot menyiapkan dapur umum, repot mencatat bantuan yang masuk serta pemanfaatannya.
Dibawah komando BPBD, relawan juga repot membantu distribusi logistik, repot mencari korban, membersihkan fasilitas umum untuk memperlancar penanganan korban bencana. Pemerintah daerah pun repot mencairkan anggaran dana siap pakai untuk kedaruratan. Bahkan dibeberapa kasus ada yang ikut repot memanfaatkan kesempatan ditengah kesemrawutan adminstrasi. Ada juga yang repot memanfaatkan longsor sebagai media wisata bencana yang wajib diabadikan dengan berbagai gaya selfi, sedang yang lainnya secara suka rela mengumpulkan donasi kemanusiaan.
Amin Widodo, pakar sekaligus pegiat kebencanaan, mengatakan bahwa, sebenarnya longsor itu tidak ‘ujug ujug’ datang meminta korban. Tapi ada tanda-tanda khas yang mengawali, diantaranya: (1) ada longsor-longsor kecil, (2) retakan-retakan di tanah dan di tembok/pagar, (3) pohon yang tumbuh miring atau tiang listrik miring, (4) pohon yang terangkat dan terlihat akarnya.
Masih kata Amin, ada salah persepsi terkait istilah ‘tanah gerak’ yang berkembang di masyarakat dan dianggap biasa. Padahal, seharusnya masyarakat yang bermukim di kawasan rawan longsor, bisa melaporkan ke pemerintah setempat jika melihat tanda-tanda tanah mau longsor dan harusnya oleh pemerintah segera di survey untuk penanganan dan solusinya. Namun semua itu masih sering diabaikan.
Apalagi, saat ini terjadi alih fungsi yang begitu massif. Lereng gunung dibabati, hutan pun digunduli, sementara bagian bawahnya dijadikan pemukiman. Sementara, longsor itu identik dengan gerak benda bidang miring. Sangat mungkin manusialah yang mempercepat proses longsor dengan menebangi pohon yang akarnya berfungsi sebagai pengikat tanah dan batuan.
Kiranya ke depan bahaya longsor akan terus mengancam, banyak hutan gundul, lereng pun tidak rimbun lagi. Pohon besar ditebang. Berganti tanaman sayur dan buah yang secara ekonomi lebih menjanjikan. Padahal dibalik itu, konon bahaya longsor siap beraksi, tinggal menunggu giliran, entah kapan dan dimana, yang jelas bencana longsor pasti akan kembali menyapa. Apakah longsor Ponorogo tidak dijadikan bahan pembelajaran?.[eBas]







Tidak ada komentar:

Posting Komentar