Biasanya, relawan penanggulangan bencana itu hanya berlatih masalah evakuasi, menangani pos
pengungsian dan distribusi logistik, Dapur Umum, Water Rescue dan
sejenisnya. Untuk itulah, BNPB
berkepentingan meningkatkan kapasitas relawan melalui pendidikan dan pelatihan Pengembangan
Kapasitas Relawan Berbasis Keahlian Pemetaan, BNPB mengundang 100 relawan untuk
mengikuti kegiatan ini di Hotel Filadelfia, Kota Batu, Jawa Timur.
Kegiatan yang berlangsung selama empat hari, diisi dengan
materi Peran Relawan dalam Penanggulangan Bencana, Pengembangan Pemetaan
Partisipatif Kebencanaan, Pengenalan GPS, dan praktek pemetaan menggunakan OSM
Tracker from Android serta belajar membuat akun Open streetmap, Open mapKid,
Open Camera, dan ODK Collect.
Raditya Jati, Direktur Pemberdayaan Masyarakat, BNPB
mengatakan bahwa, ke depan, relawan tidak hanya terlibat saat tanggap darurat
bencana saja, tapi juga berperan dalam pemetaan dan pendataan. Dimana hasilnya
akan dianalisa untuk dijadikan bahan penyusunan kebijakan, terkait dengan
menentukan tata ruang yang aman sebagai upaya pengurangan risiko bencana.
Sesungguhnyalah, keahlian pemetaan untuk mendukung pendataan
ini penting. Dimana, hasilnya digunakan untuk melakukan analisa risiko bencana sebagai
bahan masukan untuk penyusunan kebijakan pengurangan risiko bencana yang
meliputi pengurangan korban jiwa, upaya mengurangi jumlah warga terdampak,
kerugian sosial ekonomi serta kerusakan infrastruktur, untuk menjaga
keberlangsungan program pembangunan nasional.
Hal ini mengingat bahwa masalah bencana itu adalah masalah
bersama yang perlu ada kerjasama multi pihak untuk menanggulanginya. Baik itu
pemerintahnya, masyarakatnya, dan dunia usaha. Semua harus bersinergi sesuai
kapasitasnya, menuju ketangguhan bangsa menghadapi bencana.
Agung Wicaksono, Ketua Pelatihan ini mengatakan bahwa,
BNPB/BPBD tidak bisa bekerja sendiri dalam penanggulangan bencana. Mereka harus
melibatkan relawan dalam membantu menolong korban bencana saat tanggap darurat
bencana. Seorang teman mengatakan bahwa, tanpa relawan, sehebat apapun
pemerintah upaya penanggulangan bencana tidak akan berjalan lancar dan pasti
akan memakan biaya tinggi, termasuk biaya psikososial. Untuk itulah patut
kiranganya BNPB/BPBD, secara berkala mengadakan pembinaan untuk meningkatkan
kapasitas relawan agar semakin mumpuni dalam melaksanakan kegiatan
penanggulangan bencana secara cepat, tepat, dan terukur.
Kemudian, Andy, relawan senior sekaligus ketua AIPTINAKES korwil Kota Malang, mengatakan bahwa, pelatihan pemetaan ini perlu
ada tindak lanjutnya untuk pendalaman materi sekaligus menumbuhkan kesadaran
dari mantan peserta untuk mengimbaskan pengetahuannya kepada anggota
organisasinya yang belum sempat menikmati kegiatan semacam ini. Sehingga akan
terjadi pemerataan pengetahuan.
Sukur-sukur, dari kegiatan ini muncul inisiatif bersama untuk
mengadakan praktek pendataan yang menggunakan perangkat canggih. Mengingat, hal
ini jika sepulang pelatihan tidak segera dipraktekkan., maka ilmu yang baru
diperoleh itu akan secara otomatis hilang tanpa bekas, dan kembali pesertanya
tidak mengerti lagi seperti sebelum ikut pelatihan di Hotel Filadelfia ini.
Sejalan dengan Andy, Samsul Huda, dari
Komunitas Relawan Indonesia, chapter Kota Nganjuk, mengatakan bahwa, pelatihan
pemetaan ini merupakan hal yang baru sehingga
perlu ada kelanjutannya. Ke depan. Dengan semakin lengkapnya data wilayah rawan
bencana, maka BPBD akan semakin mudah menggerakkan relawan sekaligus menyusun
program dan kebijakan yang terkait dengan penanggulangan bencana di daerahnya.
“Harapan kami, BNPB bisa mendorong BPBD Kabupaten/Kota untuk menindak lanjuti
pelatihan ini dan melibatkan relawan dalam upaya pemetaan dan pendataan serta
pemantauan daerah rawan bencana di wilayahnya.” Kata relawan yang baru pulang
dari membantu evakuasi di lokasi bencana banjir dan longsor Pacitan.
Karena, sesungguhnyalah, potensi relawan yang besar itu sampai
saat ini belum banyak dilibatkan oleh BPBD dalam pelaksanaan programnya.
Seperti upaya pengurangan risiko bencana di daerahnya. Sehingga yang terjadi,
banyak relawan yang ‘berjalan’
sendiri dalam keterlibatannya melakukan misi kemanusiaan menolong sesama saat
bencana terjadi, seperti di Kabupaten Pacitan yang dihajar habis oleh banjir
dan longsor. Mereka bergerak mandiri, membawa perbekalan sendiri.
Di Hotel Filadelfia, Kota Batu, melalui pelatihan hasil kerja
bareng antara AIPTINAKES dengan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat, BNPB,
semoga bisa muncul upaya sinergis antara relawan dengan masyarakat kampus, dalam
melaksanakan tugas kemanusiaan dibidang penanggulangan bencana. Selama empat
hari mereka berkumpul bersama, membangun kesepahaman saling berkenalan, sambil
menikmati jajanan khas Kota Batu. Wedang Ronde, Angsle, Ketan bubuk, dan aneka
cemilan dari olahan buah apel.
Kini semuanya telah kembali ke habitatnya masing-masing, yang
ada tinggal kenangan indah yang direkam kamera. Masalah keluhan Cak Jembrot
tentang terlalu cepatnya nara sumber dalam menjelaskan materinya, maupun
lemotnya akses internet, tidak usah dipikir lagi, tidak usah dibawa pulang.
Tanggalkan saja disudut parkiran Hotel. Biar menginspirasi Cak Andy Bindil
untuk merencanakan pelatihan ini lagi tahun depan, sehingga kita bisa berkumpul
kembali.
Uztad Yoyok, dari Pramuka Pasuruan, mencoba menawarkan, agar
alumni tidak lupa dengan JOSM dan QGIS, kiranya perlu ada pertemuan lagi di
Pondoknya Gus Adhim, yang dijadikan markas Santri Tanggap Bencana (Santana)
Lamongan.
“Ayo
dulur, mumpung akeh banyu tak tunggu nang tambakku. Monggo pinarak terus muter-muter
tambak tolek iwak, tapi ojo ngguyu ngakak mengko disawat bakiak bapak, ambek
diomeli emak” Kata Gus Adhim dalam postingannya. [eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar