Minggu, 10 Desember 2017

HOTEL FILADELFIA 07 -10 Desember 2017

Biasanya, relawan penanggulangan bencana itu hanya  berlatih masalah evakuasi, menangani pos pengungsian dan distribusi logistik, Dapur Umum, Water Rescue dan sejenisnya.  Untuk itulah, BNPB berkepentingan meningkatkan kapasitas relawan melalui pendidikan dan pelatihan Pengembangan Kapasitas Relawan Berbasis Keahlian Pemetaan, BNPB mengundang 100 relawan untuk mengikuti kegiatan ini di Hotel Filadelfia, Kota Batu, Jawa Timur.

Kegiatan yang berlangsung selama empat hari, diisi dengan materi Peran Relawan dalam Penanggulangan Bencana, Pengembangan Pemetaan Partisipatif Kebencanaan, Pengenalan GPS, dan praktek pemetaan menggunakan OSM Tracker from Android serta belajar membuat akun Open streetmap, Open mapKid, Open Camera, dan ODK Collect.

Raditya Jati, Direktur Pemberdayaan Masyarakat, BNPB mengatakan bahwa, ke depan, relawan tidak hanya terlibat saat tanggap darurat bencana saja, tapi juga berperan dalam pemetaan dan pendataan. Dimana hasilnya akan dianalisa untuk dijadikan bahan penyusunan kebijakan, terkait dengan menentukan tata ruang yang aman sebagai upaya pengurangan risiko bencana.

Sesungguhnyalah, keahlian pemetaan untuk mendukung pendataan ini penting. Dimana, hasilnya digunakan untuk melakukan analisa risiko bencana sebagai bahan masukan untuk  penyusunan  kebijakan pengurangan risiko bencana yang meliputi pengurangan korban jiwa, upaya mengurangi jumlah warga terdampak, kerugian sosial ekonomi serta kerusakan infrastruktur, untuk menjaga keberlangsungan program pembangunan nasional.

Hal ini mengingat bahwa masalah bencana itu adalah masalah bersama yang perlu ada kerjasama multi pihak untuk menanggulanginya. Baik itu pemerintahnya, masyarakatnya, dan dunia usaha. Semua harus bersinergi sesuai kapasitasnya, menuju ketangguhan bangsa menghadapi bencana.

Agung Wicaksono, Ketua Pelatihan ini mengatakan bahwa, BNPB/BPBD tidak bisa bekerja sendiri dalam penanggulangan bencana. Mereka harus melibatkan relawan dalam membantu menolong korban bencana saat tanggap darurat bencana. Seorang teman mengatakan bahwa, tanpa relawan, sehebat apapun pemerintah upaya penanggulangan bencana tidak akan berjalan lancar dan pasti akan memakan biaya tinggi, termasuk biaya psikososial. Untuk itulah patut kiranganya BNPB/BPBD, secara berkala mengadakan pembinaan untuk meningkatkan kapasitas relawan agar semakin mumpuni dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana secara cepat, tepat, dan terukur.

Kemudian, Andy, relawan senior sekaligus ketua AIPTINAKES korwil Kota Malang, mengatakan bahwa, pelatihan pemetaan ini perlu ada tindak lanjutnya untuk pendalaman materi sekaligus menumbuhkan kesadaran dari mantan peserta untuk mengimbaskan pengetahuannya kepada anggota organisasinya yang belum sempat menikmati kegiatan semacam ini. Sehingga akan terjadi pemerataan pengetahuan.

Sukur-sukur, dari kegiatan ini muncul inisiatif bersama untuk mengadakan praktek pendataan yang menggunakan perangkat canggih. Mengingat, hal ini jika sepulang pelatihan tidak segera dipraktekkan., maka ilmu yang baru diperoleh itu akan secara otomatis hilang tanpa bekas, dan kembali pesertanya tidak mengerti lagi seperti sebelum ikut pelatihan di Hotel Filadelfia ini.

Sejalan dengan Andy, Samsul Huda, dari Komunitas Relawan Indonesia, chapter Kota Nganjuk, mengatakan bahwa, pelatihan pemetaan ini merupakan hal yang baru  sehingga perlu ada kelanjutannya. Ke depan. Dengan semakin lengkapnya data wilayah rawan bencana, maka BPBD akan semakin mudah menggerakkan relawan sekaligus menyusun program dan kebijakan yang terkait dengan penanggulangan bencana di daerahnya.  

“Harapan kami, BNPB bisa mendorong  BPBD Kabupaten/Kota untuk menindak lanjuti pelatihan ini dan melibatkan relawan dalam upaya pemetaan dan pendataan serta pemantauan daerah rawan bencana di wilayahnya.” Kata relawan yang baru pulang dari membantu evakuasi di lokasi bencana banjir dan longsor Pacitan.

Karena, sesungguhnyalah, potensi relawan yang besar itu sampai saat ini belum banyak dilibatkan oleh BPBD dalam pelaksanaan programnya. Seperti upaya pengurangan risiko bencana di daerahnya. Sehingga yang terjadi, banyak relawan yang ‘berjalan’ sendiri dalam keterlibatannya melakukan misi kemanusiaan menolong sesama saat bencana terjadi, seperti di Kabupaten Pacitan yang dihajar habis oleh banjir dan longsor. Mereka bergerak mandiri, membawa perbekalan sendiri.

Di Hotel Filadelfia, Kota Batu, melalui pelatihan hasil kerja bareng antara AIPTINAKES dengan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat, BNPB, semoga bisa muncul upaya sinergis antara relawan dengan masyarakat kampus, dalam melaksanakan tugas kemanusiaan dibidang penanggulangan bencana. Selama empat hari mereka berkumpul bersama, membangun kesepahaman saling berkenalan, sambil menikmati jajanan khas Kota Batu. Wedang Ronde, Angsle, Ketan bubuk, dan aneka cemilan dari olahan buah apel.

Kini semuanya telah kembali ke habitatnya masing-masing, yang ada tinggal kenangan indah yang direkam kamera. Masalah keluhan Cak Jembrot tentang terlalu cepatnya nara sumber dalam menjelaskan materinya, maupun lemotnya akses internet, tidak usah dipikir lagi, tidak usah dibawa pulang. Tanggalkan saja disudut parkiran Hotel. Biar menginspirasi Cak Andy Bindil untuk merencanakan pelatihan ini lagi tahun depan, sehingga kita bisa berkumpul kembali.

Uztad Yoyok, dari Pramuka Pasuruan, mencoba menawarkan, agar alumni tidak lupa dengan JOSM dan QGIS, kiranya perlu ada pertemuan lagi di Pondoknya Gus Adhim, yang dijadikan markas Santri Tanggap Bencana (Santana) Lamongan.
“Ayo dulur, mumpung akeh banyu tak tunggu nang tambakku. Monggo pinarak terus muter-muter tambak tolek iwak, tapi ojo ngguyu ngakak mengko disawat bakiak bapak, ambek diomeli emak” Kata Gus Adhim dalam postingannya. [eBas]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar