“Rehatlah sejenak dari
bangku diskusimu !!!. Turun dan lihat kesiapan desamu, ada 584 desa di wilayah selatan
Jawa yang rawan tsunami. Lakukan yang engkau bisa. Mari bergabung bersama,
bekerja bersama, melidungi masyarakat dari bencana”. Sebuah
ajakan bijak yang menyertai pelaksanaan kegiatan Expedisi Destana Tsunami 2019.
Sebuah
kegiatan untuk “menapak tilasi” daerah selatan pulau Jawa yang berpotensi
terkena bencana tsunami (ada pula yang pernah kena tsunami, seperti di
Banyuwangi pada tanggal 3 Juni 1994). Ya, agenda tersebut dimaksudkan untuk
menginformasikan potensi ancaman gempa bumi dan tsunami kepada aparat terkait
dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan tsunami, utamanya mereka yang
berada di pesisir selatan Jawa.
Dimana
tujuan dari kegiatan yang di gelar mulai Banyuwangi sampai Pacitan, tanggal 12
sampai 23 Juli 2019, adalah (1). menginformasikan
potensi ancaman gempabumi dan tsunami pada apparat dan masyarakat yang tinggal
di daerah rawan tsunami selatan Jawa, (2) melakukan Identifikasi awal
ketangguhan desa rawan tsunami. (3) melakukan sosialisasi kesiapsiagaan pada
masyarakat, termasuk penanaman vegetasi pelindung pantai.
Ya, ajakan bijak ini seharusnya diikuti acara
ngobrol bareng dengan berbagai pihak membicarakan “aturan main” tentang ajakan
untuk bergabung bersama, dan bekerja bersama untuk melindungi masyarakat dari
bencana. Ya, ‘aturan main’ ini bisa berupa bagaimana ijinnya, daerah mana yang
akan dituju, materi apa yang akan diberikan kepada masyarakat, dan berapa orang
yang harus turun ke lokasi.
Ajakan bijak diatas senafas dengan postingannya
Catur Sudiro, salah seorang staf LSP-PB, yang mengajak kita semua untuk
bergabung bersama, bekerja bersama meningkatkan kapasitas masyarakat terhadap
bencana.
Tentu, sebelum meningkatkan kapasitas masyarakat,
sudah selayaknya mereka yang diberi tugas mengedukasi haruslah dibekali terlebih dulu melalui diklat, pembinan dan
pembekalan. Tanpa itu tidak akan ada standarisasi penyampaian materi untuk
meningkatkan kapasitas masyarakaat (menghadapi bencana), dan ini akan
membingungkan masyarakat.
Sesungguhnyalah, relawan itu siap sedia
digerakkan (khususnya di fase tanggap darurat). Sementara untuk kegiatan di
fase pra bencana, seperti melakukan penyuluhan pengurangan risiko bencana dan
melakukan kajian dampak bencana, kiranya masih perlu pendampingan dan arahan
dari instansi terkait agar tidak menimbulkan hal-hal yang bisa melahirkan
kesalah pahaman di lapangan.
Karena pada kenyataannya, staf instansi itu belum
tentu mengerti, dan menguasai bidang tugasnya. Disitulah sangat berpotensi
lahirnya konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi, jika mau duduk bersama,
belajar bersama mencari solusi bersama atas perbedaan yang terjadi. Sayangnya,
atas nama gengsi dan kuasa, relawan harus kalah (mengalah) agar tidak timbul
perilaku “Like and dis-like”.
Himbauan di atas itu haruslah dimaknai sebagai
sebuah dorongan agar relawan bisa tampil maksimal di fase pra bencana, sesuai
semangat Sendai Frame Work for disaster risk reduction 2015 – 2030, yang
mengedepankan peran serta masyarakat dalam pengurangan risiko bencana berbasis
komunitas, itu membutuhkan
pemberdayaan dan inklusif, dapat di akses dan partisipasi yang tidak
diskriminatif, memberikan perhatian khusus kepada orang-orang yang terdampak
oleh bencana secara tidak proporsional, terutama yang paling miskin (BNPB,
2015).
Sekali lagi relawan itu hendaknya dibina agar
bisa berbuat untuk membantu kerja-kerja kemanusiaan yang menjadi tugas
BNPB/BPBD melalui lokalatih, lokakarya dan diklat, sehingga dalam melakukan
edukasi kebencanaan kepada masyarakat tetap dalam ‘kendali’ BNPB/BPBD. Pertanyaannya
kemudian, apakah ketika relawan melakukan edukasi secara mandiri, tidak
menyalahi aturan, dan tidak berbenturan dengan program yang telah disusun
BNPB/BPBD maupun instansi terkait ?
Dengan demikian, jika himbauan bijak yang muncul
menyertai pelaksanaan kegiatan ekspedisi destana tsunami itu benar-benar bisa
terwujud, ya harusnya mereka yang kaya konsep dan gagasan saat berdiskusi itu
diajak serta untuk berkegiatan seperti konsep sapalibatisme. Yaitu menyapa (dan mengajak,
red) berbagai pihak untuk melibatkan potensi yang ada, seperti dunia usaha, pemerintah,
masyarakat dan lain sebagainya (akademisi dan media massa, red), untuk
membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana, seperti yang diharapkan
oleh kegiatan Expedisi Destana Tsunami ini. Wallahu a’lam bishowab. Salam tangguh,
salamkemanusiaan. [eBas/siang selasa kliwon 99/7].
Mantap
BalasHapusKeren pak ebas
BalasHapusterimakasih komennya. semua itu dlm rangka ingin melibatkan relawan sbg salah satu elemen pentahelik (masyarakat yg terlatih) dlm kegiatan penanggulangan bencana. baik saat pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. dengan demikian keberadaan relawan tetap terpantau terbina terdata terkoordinir oleh bnpb/bpbd dalam kegiatan kebencanaan, termasuk upaya mewujudkan PRBBK yg diamanatkan dlm sendai frame work 2015 - 2030. mari kita giatkan literasi bencana lewat diskusi dan pertemuan2 nonformal agar terjalin rasa paseduluran diantara elemen pentahelik
BalasHapusMantap banget pak....
BalasHapusSalam tangguh..