Selasa, 09 Juli 2019

HIMBAUAN BIJAK DARI EXPEDISI DESTANA TSUNAMI


“Rehatlah sejenak dari bangku diskusimu !!!. Turun dan lihat kesiapan desamu, ada 584 desa di wilayah selatan Jawa yang rawan tsunami. Lakukan yang engkau bisa. Mari bergabung bersama, bekerja bersama, melidungi masyarakat dari bencana”. Sebuah ajakan bijak yang menyertai pelaksanaan kegiatan Expedisi Destana Tsunami 2019.

Sebuah kegiatan untuk “menapak tilasi” daerah selatan pulau Jawa yang berpotensi terkena bencana tsunami (ada pula yang pernah kena tsunami, seperti di Banyuwangi pada tanggal 3 Juni 1994). Ya, agenda tersebut dimaksudkan untuk menginformasikan potensi ancaman gempa bumi dan tsunami kepada aparat terkait dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan tsunami, utamanya mereka yang berada di pesisir selatan Jawa.

Dimana tujuan dari kegiatan yang di gelar mulai Banyuwangi sampai Pacitan, tanggal 12 sampai 23 Juli 2019, adalah (1). menginformasikan potensi ancaman gempabumi dan tsunami pada apparat dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan tsunami selatan Jawa, (2) melakukan Identifikasi awal ketangguhan desa rawan tsunami. (3) melakukan sosialisasi kesiapsiagaan pada masyarakat, termasuk penanaman vegetasi pelindung pantai.

Ya, ajakan bijak ini seharusnya diikuti acara ngobrol bareng dengan berbagai pihak membicarakan “aturan main” tentang ajakan untuk bergabung bersama, dan bekerja bersama untuk melindungi masyarakat dari bencana. Ya, ‘aturan main’ ini bisa berupa bagaimana ijinnya, daerah mana yang akan dituju, materi apa yang akan diberikan kepada masyarakat, dan berapa orang yang harus turun ke lokasi.

Ajakan bijak diatas senafas dengan postingannya Catur Sudiro, salah seorang staf LSP-PB, yang mengajak kita semua untuk bergabung bersama, bekerja bersama meningkatkan kapasitas masyarakat terhadap bencana.

Tentu, sebelum meningkatkan kapasitas masyarakat, sudah selayaknya mereka yang diberi tugas mengedukasi haruslah dibekali  terlebih dulu melalui diklat, pembinan dan pembekalan. Tanpa itu tidak akan ada standarisasi penyampaian materi untuk meningkatkan kapasitas masyarakaat (menghadapi bencana), dan ini akan membingungkan masyarakat.

Sesungguhnyalah, relawan itu siap sedia digerakkan (khususnya di fase tanggap darurat). Sementara untuk kegiatan di fase pra bencana, seperti melakukan penyuluhan pengurangan risiko bencana dan melakukan kajian dampak bencana, kiranya masih perlu pendampingan dan arahan dari instansi terkait agar tidak menimbulkan hal-hal yang bisa melahirkan kesalah pahaman di lapangan.

Karena pada kenyataannya, staf instansi itu belum tentu mengerti, dan menguasai bidang tugasnya. Disitulah sangat berpotensi lahirnya konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi, jika mau duduk bersama, belajar bersama mencari solusi bersama atas perbedaan yang terjadi. Sayangnya, atas nama gengsi dan kuasa, relawan harus kalah (mengalah) agar tidak timbul perilaku “Like and dis-like”. 
  
Himbauan di atas itu haruslah dimaknai sebagai sebuah dorongan agar relawan bisa tampil maksimal di fase pra bencana, sesuai semangat Sendai Frame Work for disaster risk reduction 2015 – 2030, yang mengedepankan peran serta masyarakat dalam pengurangan risiko bencana berbasis komunitas, itu membutuhkan pemberdayaan dan inklusif, dapat di akses dan partisipasi yang tidak diskriminatif, memberikan perhatian khusus kepada orang-orang yang terdampak oleh bencana secara tidak proporsional, terutama yang paling miskin (BNPB, 2015).

Sekali lagi relawan itu hendaknya dibina agar bisa berbuat untuk membantu kerja-kerja kemanusiaan yang menjadi tugas BNPB/BPBD melalui lokalatih, lokakarya dan diklat, sehingga dalam melakukan edukasi kebencanaan kepada masyarakat tetap dalam ‘kendali’ BNPB/BPBD. Pertanyaannya kemudian, apakah ketika relawan melakukan edukasi secara mandiri, tidak menyalahi aturan, dan tidak berbenturan dengan program yang telah disusun BNPB/BPBD maupun instansi terkait ?

Dengan demikian, jika himbauan bijak yang muncul menyertai pelaksanaan kegiatan ekspedisi destana tsunami itu benar-benar bisa terwujud, ya harusnya mereka yang kaya konsep dan gagasan saat berdiskusi itu diajak serta untuk berkegiatan seperti konsep sapalibatisme. Yaitu menyapa (dan mengajak, red) berbagai pihak untuk melibatkan potensi yang ada, seperti dunia usaha, pemerintah, masyarakat dan lain sebagainya (akademisi dan media massa, red), untuk membangun ketangguhan masyarakat menghadapi bencana, seperti yang diharapkan oleh kegiatan Expedisi Destana Tsunami ini. Wallahu a’lam bishowab. Salam tangguh, salamkemanusiaan. [eBas/siang selasa kliwon 99/7].

4 komentar:

  1. terimakasih komennya. semua itu dlm rangka ingin melibatkan relawan sbg salah satu elemen pentahelik (masyarakat yg terlatih) dlm kegiatan penanggulangan bencana. baik saat pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. dengan demikian keberadaan relawan tetap terpantau terbina terdata terkoordinir oleh bnpb/bpbd dalam kegiatan kebencanaan, termasuk upaya mewujudkan PRBBK yg diamanatkan dlm sendai frame work 2015 - 2030. mari kita giatkan literasi bencana lewat diskusi dan pertemuan2 nonformal agar terjalin rasa paseduluran diantara elemen pentahelik

    BalasHapus
  2. Mantap banget pak....
    Salam tangguh..

    BalasHapus