Sabtu, 12 Maret 2022

PRAKTIK SPAB MASIH SETENGAH HATI

Konon, menurut beberapa relawan yang aktif turun ke lokasi bencana, saat masa tanggap darurat, semua sibuk melakukan evakuasi korban, pendirian  tempat pengungsian, pemenuhan hak dasar, distribusi logistik, pendataan warga terdampak, dan sejenisnya.

Ya, semua warga, termasuk pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik, masih sibuk sendiri, menyelamatkan diri, keluarga dan harta bendanya. Untuk sementara, masalah pendidikan, seperti gedung sekolah beserta sarananya yang rusak, dan berbagai dokumen sekolah yang hilang pun sejenak ‘terabaikan’.

Biasanya, masih menurut relawan yang berjibaku di saat tanggap darurat, seminggu setelah ‘masa panik’, barulah beberapa komunitas relawan mulai mengadakan layanan dukungan psikososial kepada anak-anak di lokasi pengungsian. Dengan berbagai gaya dan cara, mereka berusaha menghibur, mengajak bermain dengan kegiatan rekreatif.

Dari sinilah, kemudian mulai dilakukan pendataan terkait dengan kondisi gedung sekolah beserta sarana prasarananya, berapa peserta didik yang menjadi korban, bagaimana keadaan para pendidik dan tenaga kependidikannya.

Setelah itu, barulah disusun laporan untuk ditindak lanjuti dengan turunnya bantuan berupa alat permainan edukatif, alat tulis, buku bacaan dan lainnya, termasuk tenda baca (atau memanfaatkan mobil perpustakaan keliling). Biasanya kegiatan ini menjadi cikal bakal pendirian SETARA (sekolah sementara). Baik yang diinisiasi oleh Dinas Pendidikan, BPBD, maupun komunitas relawan.

Begitulah siklus kegiatan pendidikan di masa darurat bencana. Selalu saja dinomor duakan. Mengapa bisa begitu ?. jangan-jangan memang harus begitu sesuai skala prioritas, dalam rangka meminimalkan jumlah korban.

Seandainya, program satuan pendidikan aman bencana (SPAB) bisa berjalan dengan baik di semua sekolah, khususnya sekolah yang berada di daerah rawan bencana. Sungguh akan lain ceritanya. Insan pendidikan pasti lebih siap menghadapi bencana, seperti yang tersurat dalam tujuan SPAB.

Diantaranya adalah, meningkatkan kemampuan sumberdaya di satuan pendidikan dalam menanggulangi dan mengurangi risiko bencana. Kemudian, memastikan keberlangsungan layanan pendidikan pada satuan pendidikan yang terdampak bencana,  serta  membangun kemandirian satuan pendidikan dalam menjalankan program SPAB.

Artinya, jika program SPAB bisa berjalan di seluruh jenjang sekolahan, khususnya sekolah-sekolah yang berada di wilayah rawan bencana, maka dapat dipastikan, jika terjadi bencana, insan pendidikan akan dapat melakukan penyelamatan secara mandiri terhadap harta benda sekolah untuk mengurangi kerugian dari dampak bencana.

Mereka juga akan melakukan pendataan dampak bencana. Khususnya yang menimpa peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan yang akan dilaporkan ke atasannya. Untuk kemudian secara proaktif merencanakan sekolah sementara. (pendidikan darurat bencana).

Sungguh, banyak komunitas relawan yang ingin ikut serta mensukseskan gerakan literasi kebencanaan melalui program SPAB. Sayangnya pihak Dinas Pendidikan enggan bersinergi  “memanfaatkan” keberadaan komunitas relawan untuk membangun ketangguhan sekolah menghadapi bencana.

Alasannya selalu saja tidak ada dana. Padahal banyak komunitas relawan yang tidak berfikir masalah anggaran dalam melaksanakan kerja-kerja kemanusiaan. Konon, dalam dunia relawan, kepuasan kerja itu tidak selalu diukur dengan anggaran.

Untuk itulah, tidak ada salahnya jika pengurus Forum PRB membangun kolaborasi dengan Dinas Pendidikan untuk melaksanakan literasi kebencanaan melalui program SPAB. Tentu, disini peran BPBD setempat juga sangat menentukan terbangunnya kolaborasi itu. Hal ini mengingat BPBD mempunyai fungsi sebagai komando, koordinator dan pelaksana dalam penanggulangan bencana.

Jika memungkinkan, perlulah kiranya orang Dinas Pendidikan atau pendidik diundang mengikuti rapat Forum PRB. Agar mereka tahu tentang masalah kebencanaan, PRB dan SPAB. Karena, senyatanyalah banyak pendidik (bahkan orang Dinas) yang belum tahu tentang keberadaan Permendikbud nomor 33 tahun 2019, tentang SPAB.

Sangat memprihatinkan sekali, tidak sedikit dana yang digunakan untuk melahirkan konsep SPAB, namun setelah jadi, tidak ada kelanjutannya dalam bentuk praktik baik yang dapat dijadikan contoh oleh sekolah lain.

Kalau pun ada pihak yang mengatakan bahwa program SPAB telah berjalan sesuai harapan, itu hanya bersifat seremonial saja. Disini yang dipentingkan adalah sekolah sudah pernah ada kegiatan sosialisasi SPAB, lantas diberi label bahwa sekolah tersebut telah melaksanakan SPAB dengan segala programnya yang tidak ada kelanjutannya. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/MingguPon-13032022]  

1 komentar:

  1. sebenernya pihak sekolah (guru dan kasek) itu pasti siap melaksanakan perintah, arahan dan petunjuk dari pejabat atasnya. termasuk giat SPAB. masalahnya pihak atasannya itu yg gak ngerti bahkan belum baca dan belum pernah melihat bentuk fisik permendikbud nomor 33 tahun 2019 ttg SPAB. jadi ya dimaklumi saja kalau mereka masih merasa tidak berkepentingan dengan penyelenggaraan SPAB.

    sementara komunitas relawan sangat berhasrat untuk melakukan sosialisasi SPAB tanpa bayaran alias gratisan. cumak sayangnya pihak sekolah masih takut salah dan disalahkan.

    itulah kenyataannya.

    BalasHapus