Seperti biasanya, setiap malam minggu, teman-teman Mukidi yang masih jomblo, selalu menghabiskan waktu dengan cangkruk’an di warkop langganan, untuk berbagi pengalaman yang dikemas dalam suasana guyonan.
Kali ini Mukidi menceritakan pengalamannya saat mengikuti seminar tentang tim siaga bencana sekolah (TSBS). Untuk membuka obrolan, Mukidi mengajukan pertanyaan, apakah perlu semua sekolah membentuk tim siaga bencana sekolah ?.
“Ya terserah pihak dinas pendidikan, menurut saya sekolah akan menurut apa kata kebijakan dinas,” Kata Kaspo sekenanya, karena belum paham apa itu TSBS, apalagi program SPAB.
Sambil membuka Google, Sokran bilang bahwa Tim Siaga Bencana Sekolah adalah perwakilan warga sekolah yang telah mendapatkan pelatihan terkait pengurangan risiko bencana. Tim ini bertugas menyebarluaskan praktik budaya sadar bencana di sekolah, melalui kesiapsiagaan pada saat, sebelum dan sesudah bencana.
“kalau mengacu pada definisi yang disebutkan Sokran di atas, maka sekolah wajib membentuk TSBS jika warga sekolah tersebut sudah pernah mengikuti pelatihan kebencanaan. Namun, harus ada program tindak lanjut pasca pembentukan TSBS. Tidak eloklah jika setelah dibentuk kemudian dibiarkan tanpa kegiatan,” Kata Mukidi sambil nyruput wedang Teh campur Jahe geprek.
Mukidi bilang bahwa nara sumber dalam seminar itu mengatakan Peran TSBS pada saat pra bencana, diantaranya ikut pelatihan PRB, menyebarluaskan pengetahuan tentang PRB, mensosialisasikan prosedur tetap bencana yang telah disepakati, dan melakukan simulasi kesiapsiagaan sekolah.
Kemudian, pada saat Tanggap darurat, mereka bertugas membunyikan peringatan dini yang dimiliki dan disepakati sertaturut melakukan evakuasi warga sekolah dan dokumen penting, dan melakukan perlindungan kelompok rentan dengan prioritas layanan.
Sedangkan pada saat Pasca bencana, TSBS melakukan pendataan kepada seluruh warga sekolah, melakukan layanan pendidikan darurat, melakukan layanan dukungan psikososial, serta menghubungi pihak terkait untuk tindakan selanjutnya.
“Dengan banyaknya tugas TSBS, tentunya harus ada upaya pembinaan secara berkala dan berkolaborasi dengan berbagai pihak,” Kata Margo Rasudi, dari komunitas Relawan Rindu Bencana (KR2B).
Masih menurut Bang Jorock, panggilan akrab Margo Rasudi, yang penting pihak sekolah diberi penyuluhan dulu tentang adanya potensi bencana di daerah sekitar sekolahnya, apa penyebab bencana, apa itu mitigasi, serta paham apa yang harus dilakukan jika terjadi bencana secara mandiri.
Setelah mereka paham, maka dibentukkah TSBS, sekaligus merancang program pembinaannya, yang bahannya diambilkan dari modul SPAB yang terdiri dari Modul tentang Fasilitas Sekolah Aman, Modul Manajemen Penanggulangan Bencana dan Kesinambungan Pendidikan, serta Modul Pendidikan dan PRB, dengan segala variasinya.
Hal ini mengingat bahwa upaya penyadaran untuk membangun ketangguhan melalui pembentukan TSBS itu tidak mungkin dilakukan “sekali tembak” (kecuali sekedar formalitas seremonial demi daya serap anggaran). Namun perlu proses panjang dan berkelanjutan, untuk menyadarkan seseorang menjadi lebih sadar dan terbuka terhadap sesuatu hal baru.
Mukidi manggut-manggut, tidak percaya jika gagasannya si Margo Rasudi menarik untuk dikembangkan dalam sebuah diskusi multi pihak. Baik yang dikolaborasikan dengan BPBD maupun diselenggarakan oleh komunitas relawan secara mandiri. Seperti gelaran Arisan Ilmu Nol Rupiah yang menjadi program ikonik dari SRPB Jatim.
Sebelum jagongan malem mingguan bagi para jomblo berakhir, Mukidi usul agar acara “Shodakoh Ilmu” bulan depan materinya tentang perlunya TSBS dibentuk di setiap sekolah. Pembicaranya Margo Rasudi dan salah satu fasilitator SPAB yang bersertifikat. Apalagi jika materi ini dibuat berseri, pasti akan lebih menarik. Wallahu a’lam bishowab. [eBas/JumatPahing-10052024]

Tidak ada komentar:
Posting Komentar