Seseorang yang bernama Bejo, menulis di infomitigasi.com tentang masih rendahnya keterlibatan komunitas relawan pada fase pra bencana. Dalam tulisannya yang dirilis hari Kamis, tanggal 27 Juni 2024, dia bilang, ternyata banyaknya komunitas relawan tidak menjamin PRB ( Pengurangan Resiko Bencana ) bisa efektif.
Si Bejo ini juga bilang, PRB belum efektif dilihat dari beberapa variabel, yakni peran relawan di Pra Kebencaan, saat terjadi kebencanaan dan Pasca Bencana. Rerata komunitas di Indonesia ada di saat Bencana dan mulai berkurang aktifitasnya ketika menginjak fase Pasca Bencana.
Dikatakan pula, yang hampir belum tersentuh adalah kehadiran Relawan Komunitas Bencana yang turut hadir di aktifitas Pra Bencana. Ini artinya, peran komunitas di Fase Mitigasi, Kontijensi, dan sejenisnya itu masih belum tampak.
Jumlah Komunitas Relawan Kebencanaan yang ada di seluruh Indonesia dan sudah beraktifitas di Pra Bencana masih kurang dari 5%.
Apa yang dikatakan Bejo itu ada benarnya, tapi tidak semuanya benar. Pertanyaannya, siapa sih si Bejo itu, kok bisa ngomong begitu ?. mungkin si Bejo ini seorang akademisi atau orang awam yang melihat “dunia relawan” hanya dari buku bacaan dan media penyiaran.
Jika si Bejo ini sering menggauli dunia relawan, pasti dia paham komunitas relawan mana yang dapat melaksanakan kegiatan pra bencana dengan paripurna, dan mana yang hanya dapat melakukan semampunya, karena terbatasnya kemampuan dalam arti luas.
Seharusnya, sebelum menulis, si Bejo ini memahami dulu bahwa komunitas relawan itu ada yang murni amatiran, yang hanya mengandalkan idealisme, tekat dan semangat yang didasari rasa peduli kepada kemanusiaan, tapa didukung anggaran yang jelas.
Di sisi lain, ada jenis komunitas relawan yang pergerakannya selalu didukung oleh pendonor sebagai penyemangat kegiatannya. Juga ada relawan yang bergabung dalam lembaga berduit (biasa disebut pekerja kemanusiaan). Golongan inilah yang dapat mengagendakan kegiatan pra bencana dalam arti sebenarnya seperti yang dimaksud oleh si Bejo, karena ada dana operasional yang tidak mengganggu stabilitas dompet pribadi.
Artinya, tanpa dukungan dana, merupakan hil yang mustahal bagi komunitas relawan untuk berbuat banyak di ketiga fase bencana. Karena, senyatanyalah semua itu perlu dana, dan relawan pun juga manusia yang perlu dan butuh dana.
Omong kasong jika ada relawan yang tidak perlu dana untuk melampiaskan idealismenya menolong sesama yang dilanda bencana. Rupanya si Bejo kurang peka tentang ini. Kurang paham tentang adanya keterbatasan komunitas relawan dalam beraksi. Ya, mereka berbuat sesuai kemampuannya, dan si Bejo, tidak melihat kemampuan masing-masing komunitas relawan yang terbatas.
Dalam catatannya yang apik, menarik dan menggelitik itu, juga dikatakan bahwa selama ini, ketika terjadi bencana rerata banyak komunitas berbondong bondong dari berbagai pelosok negeri menuju satu titik bencana.
“Euforia ini sudah selayaknya diubah, menjadi Euforia Komunitas Relawan Kebencanaan yang mulai menggarap aktifitas di Pra Bencana,” Harapnya.
Ya, begitulah kenyataannya, setiap ada kejadian bencana, lokasinya mendadak berubah menjadi wahana wisata bencana. Banyak warga datang berombongan untuk sekedar melihat kerusakan harta benda dan penderitaan pengungsi, sambil berswafoto sana sini.
Lokasi pengungsian pun mendadak menjadi tempat pembuangan baju bekas layak pakai. Sementara para petugas yang ada di lokasi tidak berdaya menghadapi banyaknya wisatawan bencana, yang terkadang membawa bantuan ala kadarnya.
Sayang si Bejo tidak menganggap masalah wisatawan bencana ini termasuk yang perlu disoroti, dalam tulisannya. Entah mengapa, mungkin karena tidak tahu.
Si Bejo dengan cerdas menutup tulisannya dengan mengatakan bahwa masalah kebencanaan yang masih carut marut ini perlu dukungan dan regulasi dari Pemerintah, dalam hal ini BNPB dan BPBD. Tentu ini tidak mudah, karena masih adanya ego sektoral dari masing-masing pihak dalam menangani ke tiga fase kebencanaan. Salam Waras. [eBas/SabtuPahing-29062024]




