Kamis, 29 Agustus 2024

MEGATHRUST DAN MEGATRON

 Kalau tidak salah, di bulan Agustus ini muncul istilah baru. Yaitu megathrust dan megatron. Yang satu mengabarkan akan terjadinya bencana yang maha dahsyat dengan dampak hancurnya harta benda dan puluhan mahluk hidup yang akan meregang nyawa karena terlambat menyelamatkan diri.

 Sementara yang satu lagi, mengabarkan tentang sebuah prestasi hebat luar biasa dari seorang perawan kelahiran Jember, yang mengharumkan indonesia dikancah per-voli-an di tingkat nasional maupun di liga Voli Korea.

 Menurut berita yang bertebaran di media, dikatakan bahwa megathrust yang tengah hangat diperbincangkan itu, biasanya terjadi di dasar laut, dan di sepanjang zona subduksi ini. Tekanan akibat pergerakan lempeng yang menumpuk selama ratusan tahun, kemudian dapat dilepaskan tiba-tiba dalam bentuk gempa bumi yang dasyat.

 Ada juga yang bilang bahwa gempa megathrust adalah gempa bumi berskala besar yang bersumber di zona subduksi atau zona megathrust. Sedangkan megathrust itu sendiri merupakan zona pertemuan dua lempeng tektonik bumi. Salah satu lempeng menyusup atau terdorong ke bawah lempeng tektonik lainnya.

 Konon, potensi bencana megathrust itu memang harus diwaspadai, karena berpotensi terjadinya tsunami. Saking bahayanya, lembaga yang punya mandat untuk menginformasikannya, sampai menggunakan kata “tinggal menunggu waktu”. seolah-olah dalam waktu yang tidak lama, dalam hitungan hari atau minggu akan terjadi gempa besar.

 Padahal, Menurut Daryono, seorang pejabat di BMKG, mengatakan bahwa, hingga saat ini belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dengan tepat dan akurat mampu memprediksi terjadinya gempa (kapan, dimana, dan berapa kekuatannya).

 “Sehingga, kita semua juga tidak tahu kapan gempa akan terjadi, sekalipun tahu potensinya,” lanjutnya.

 Penggunaan kata “tinggal menunggu waktu” itu sebaiknya tidaklah digunakan, karena meresahkan. Atau mungkin, ada maksud tertentu dibalik kata “tinggal menunggu waktu”. Ya, semoga tidak begitu.

 Ya, sebaiknya pemerintah yang menangani masalah kebencanaan, mengajak para pihak (dalam hal ini Forum PRB) untuk bersama melakukan  upaya mitigasi secara intensif di daerah yang berpotensi terjadi megathrust. Baik itu di tingkat individu, keluarga, masyarakat, hingga pemerintah, dalam rangka membangun kesiapsiagaan dan ketangguhan menghadapi bencana.

 Melalui sosialisasi PRB, masyarakat diajari tentang apa yang harus dilakukan jika ada bencana, barang-barang apa saja yang harus diprioritaskan untuk diselamatkan dengan menggunakan tas siaga bencana, siapa saja yang harus ditolong saat terjadi bencana dan kemana harus menyelamatkan diri, apa yang harus dilakukan saat ditempat pengungsian, dan apa yang harus dilakukan pasca bencana.

 Sementara, konon, badan nasional penanggulangan bencana (BNPB), dibantu beberapa pihak, sedang, dan akan terus membangun sistem peringatan dini yang tersebar di hampir semua zona megathrust di Indonesia.

 Pembangunan ini meliputi sirene, rambu-rambu evakuasi bencana dan sebagainya, yang tersebar di 182 desa. Selain itu, BNPB juga telah menyiapkan buku panduan tentang aneka bencana, peta evakuasi, mulai dari ancaman, kerentanan, hingga kemana masyarakat harus melakukan evakuasi.

 Semoga, apa yang telah diperbuat BNPB, dapat ditindak lanjuti oleh BPBD di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta para pihak terkait yang punya program memberdayakan masyarakat di tingkat tapak terkait dengan kebencanaan. Itu yang penting, dari pada menakut nakuti dengan kata “tinggal menunggu waktu”.

 Sudah sekitar dua minggu ini, masyarakat berharap-harap cemas menunggu datangnya waktu yang dimaksud. Mungkin juga sebagai bentuk kesiapsiagaan, BPBD dan Instansi terkait juga sudah mulai ‘menggeser logistik’ ke titik yang terdekat dengan lokasi yang diperkirakan akan mengalami kehancuran karena megathrust.

 Sementara itu megatron, sang bintang voli dari Jember konon telah terbang ke Korea untuk membela Daejeon Red Sparks, yang mengontraknya dengan bayaran mahal. Semoga kedatangan Megatron menjadi ancaman bagi lawan-lawannya untuk meraih kemenangan.

 Sedangkan untuk Megathrust, semoga tidak jadi datang, agar masyarakat tidak galau dengan kata “tinggal menunggu waktu”, yang ngeri-ngeri sedap itu. Ngeri bagi penyintas dan sedap bagi mereka yang nantinya memegang proyek rehab rekon pasca megathrust.

 Mari kita nantikan, apakah kata “tinggal menunggu waktu” yang dicetuskan oleh si Anu beberapa waktu yang lalu itu, akan menjadi kenyataan, atau hanya upaya menggugah kesadaran akan adanya potensi bencana besar yang mematikan. [eBas/KamisPon-29082024]  

 

 

 

 

 

Kamis, 22 Agustus 2024

PROGRAM PENANGGULANGAN BENCANA DI TINGKAT TAPAK ITU PERLU DANA

 Hari ini, Kamis Legi (22/08/2024) Rapinter menyimak webinar tentang kebencanaan. Tidak main-main, dua webinar sekaligus disimak lewat laptop dan Gawainya.

 Pertama tentang metode pengukuran pencapaian Peta Jalan PRBBK 2024 - 2044 sebagai Kontribusi dalam Pencapaian Rencana Induk Penanggulangan Bencana, yang diadakan oleh MPBI, dan satunya membahas tentang Praktik Baik HFI  Hub Sumatra Utara dalam Membangun Ketangguhan Masyarakat Pesisir dan Pulau Terpencil Indonesia.

 “Cak Muk, saya tadi ikut dua webinar sekaligus. Materinya bagus banget, dan sangat mungkin untuk di duplikasikan menjadi salah satu program organisasi kita,” Kata Rapinter kepada Mukidi, saat menikmati kopi sore hari di warkop langganan.

 “Wow kok tumben mau ikutan acaranya orang pinter. Emangnya kamu ngerti apa yang dibahas ?,” Kata Mukidi heran. Mengingat Rapinter jarang mau diajak mengikuti diskusi seperti webinar ini.

 “Hehehe …. ya ngerti to, tapi belum paham. Yang penting sudah dapat materinya yang dapat dipelajari sendiri, dan sertifikat elektronik seperti Cak Kaspo, kolektor sertifikat, hehehe,” Kata Rapinter sambil nyruput kopi kesukaannya.

 Sambil berbisik, Rapinter bilang ke Mukidi bahwa Dia sebagai relawan merasa belum pernah dilibatkan atau terlibat dalam penyusunan peta jalan PRBBK. Jangankan nyusun, mendengar saja belum pernah. Karena memang dalam rapat organisasi tidak pernah dibicarakan, apalagi di wacanakan.

 Dia juga berbisik bahwa, banyak Lembaga Swadaya Masyarakat yang memberdayakan sekaligus membangun kesiapsiagaan di tingkat tapak lewat program kebencanaan, seperti destana, ternyata perlu dukungan lembaga donor, terkait dengan pembiayaan operasionalisasi program. Seperti untuk mobilisasi warga yang dijadikan peserta, sarana prasarana pendukung program, menghadirkan pejabat untuk membuka dan menutup program, serta pengadaan konsumsi. Termasuk tindak lanjut pasca program.

 “Hehehe… ya iyalah. Tanpa dana, jelas tidak ada yang mau. Ada dana pun seringkali programnya ya seperti itu. Kalau sudah begini, terus apanya yang mau diukur dari Peta Jalan PRBBK ?,” Kata Mukidi. Jelas Rapinter tidak bisa menjawabnya.

 Mukidi, hanya tersenyum atas kebodohan Rapinter dalam membaca situasi organisasi. Sambil memegang rondo royal, Mukidi bilang kepada Rapinter, bahwa yang dapat menjalankan program seperti yang ada di webinar itu, adalah para pekerja kemanusiaan di bawah lembaga donor, yang pekerjaannya memang lebih banyak mengandalkan olah pikir untuk mencermati serta membuat regulasi dan kebijakan. Termasuk menyusun buku panduan dan sejenisnya tentang kebencanaan.

 “Mereka itu bukan relawan seperti sampiyan yang lebih sering mengedepankan semangat dalam berkegiatan di kebencanaan. Baik itu pada fase pra bencana, tenggap bencana, dan pasca bencana,” Kata Mukidi.

 Dengan kata lain, keberadaan anggaran memegang peran penting untuk menjalankan program sosialisasi dan edukasi pengurangan risiko bencana di tingkat tapak dalam rangka membangun kesiapsiagaan dan ketangguhan. Yang berkesempatan menyelenggaran program beranggaran itu biasanya mereka para pekerja kemanusiaan, yang dibayar sesuai kapasitasnya.

 “Mungkin program merekalah yang nantinya akan dilihat hasilnya melalui monitoring sesuai dengan metode pengukuran pencapaian peta jalan PRBBK. Ini mungkin lho, karena saya sendiri juga tidak paham,” Kata Mukidi sambil tersenyum kecut. [eBas ndleming sore hari jelan buka puasa sunnah senin kamis-22082024]

 

 

 

 

   

 

 

 

 

 

 

Rabu, 21 Agustus 2024

MARI BER-MEGATHRUST DENGAN SUKARIA

 Akhir-akhir ini kata megathrust sedang naik daun, seiring munculnya peringatan dari BMKG (Badan Meteorologi, klimatologi dan geofisika) akan potensi gempa besar atau Megathrust, dengan tingkat kerusakan yang parah, dan tentunya juga akan memakan korban harta, benda dan nyawa.

 Konon, gempa ini paling tidak akan melanda beberapa daerah di pesisir selatan Pulau Jawa. Diantaranya,  Pangandaran, Serang, Cilacap, Gunung Kidul, Pacitan, dan Banyuwangi. Untuk itu, bagi masyarakat yang tinggal di daerah itu diimbau lebih waspada terhadap segala kemungkinan risiko gempa megathrust. 

 Namun hendaknya ada himbauan agar warga tidak perlu panik dan galau. Karena ada BPBD, yang akan dibantu oleh para pekerja kemanusiaan, dan lembaga donor yang sudah paham dengan segala macam teori, regulasi, dan aksi untuk menanggulangi bencana. Baik itu saat pra bencana, tanggap bencana, dan pasca bencana. 

 Belum lagi komunitas relawan (baik yang plat kuning maupun plat merah), pasti akan dengan gagah berani terjun ke lokasi bencana, sesuai kapasitasnya membantu melakukan pencarian, pertolongan, penyelamatan, sekaligus mengelola korban bencana agar terpenuhi kebutuhan dasarnya.

 Untuk itulah, dalam acara webinar tentang ngobrol pintar penanggulangan bencana (Ngopi-PB) 2.0, yang diselenggarakan oleh MPBI dan kawan-kawannya, menjadi penting sebagai media pembelajaran bersama upaya penanggulangan bencana yang senantiasa berubah.

 Ngopi-PB 2.0 kali ini temanya “Bagaimana sebaiknya kita ber-Megathrust”. Rabu (21/08/2024) malam. Salah satu nara sumbernya adalah Kang ET, panggilan akrab Teguh Paripurno, yang menawarkan kiat kiat selamat dari ancaman megathrust. Diantaranya, mulai melakukan pemetaan risko dan kerentanan aset, memulai merencanakan mengurangi kerentanan dengan melakukan mitigasi dan kesiapsiagaan.

 Sementara itu, ada beberapa peserta webinar yang menyampaikan pendapatnya. Diantaranya, Lukas Mansawan, dari BPBD Kabupaten Supiori, Provinsi Papua. Dia bilang, jika Megathrust itu benar datang menyapa, kira-kira pihak mana yang berhak mengeluarkan pernyataan resmi untuk disampaikan kepada masyarakat.

 Sementara, Banu Subagyo, bilang, betapa pentingnya membuat “kemasan Informasi” yang jelas, lengkap, dan mudah dipahami oleh masyarakat. Mungkinkah badan yang mempunyai mandat memberikan informasi (setidaknya BNPB, BMKG, dan Kominfo), berkoordinasi dan mengemas sebaik mungkin “ komunike bersama” sebelum diedarkan  ke masyarakat, sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran dan kegaduhan.

 Ya, rupanya disini kemasan komunikasi dengan bahasa awam sangat diperlukan agar masyarakat dapat ber-megathrust dengan sukaria. Media pembelajaran pun juga sangat diperlukan. Seperti informasi tentang bencana dengan segala penanggulangannya melalui video pendek, komik, infografis, dan buku panduan yang mudah dipahami dan dapat melakukan tindakan yang tepat.

 Masalahnya, adalah masih adanya perbedaan dari para pemegang mandat untuk memberikan informasi bencana dalam menafsirkan megathrust dikarenakan beda tugas, fungsi dan penggunaan anggaran lembaga. Ego sektoral inilah yang harusnya dieliminir.

 Sementara itu, para pihak yang tergabung dalam F-PRB (pentahelix) hendaknya dapat menjembatani terjadinya kolaborasi untuk memberikan sosialisasi pengurangan risiko bencana kepada masyarakat agar terbangun kesiapsiagaan dan mitigasi secara mandiri di tingkat warga. Khususnya yang berdomisili di daerah rawan bencana.

 Jika pihak BMKG sudah mengeluarkan peringatan bahwa datangnya megathrust itu “tinggal menunggu waktu”, maka Pemerintah hendaknya sudah mulai menyiapkan pasukannya, khususnya Tentara dari unsur Batalyon Zeni Tempur, serta Detasemen perbekalan dan angkutan, untuk menyiapkan peralatannya di daerah yang diprediksikan akan disambangi megathrust.

 Begitu juga dengan Kantor/Lembaga lainnya yang memiliki keterkaitan dengan penanggulangan bencana, hendaknya juga bersiap diri. Baik personil, peralatan, dan anggarannya.

 Diakhir wedinar yang dimoderatori mbakyu Tetrie Darwis, muncul harapan agar segera dipasang alat peringatan dini (EWS), dan mendata kelompok rentan yang berada di daerah pesisir, agar mereka paham bagaimana ber-megatgrust dengan baik dan benar penuh sukaria. [eBas/KamisLegi/dinihari-22082024]

 

 

 

 



 

Minggu, 18 Agustus 2024

PERLUKAH KITA MELAKUKAN GIMIK

 Kali ini Mukidi ngopi berdua dengan Rapinter di warkop langganan. Sementara Kaspo beberapa hari ini bersama komunitasnya mengadakan camping ceria di bumi perkemahan, lereng Gunung Penanggungan dari sisi Kabupaten Mojokerto.

 Sambil melihat kemeriahan aneka lomba yang diadakan warga kampung, dalam rangka memeriahkan HUT RI Ke-79, Ratrimo bilang ke Mukidi, bahwa sekarang Kaspo sering melakukan gimik dengan memanfaatkan media sosial yang dimiliki. Baik itu Facebook, Instagram, Tik-tok, Twiter, dan sejenisnya.

 “Lho gimik itu apa to kok saya baru dengar istilah itu ?. Kalau gimik diartikan sebagai pamer foto kegiatan, pamer foto bersama pejabat, pamer dagangan, dan pamer baju baru, menurut saya ya biarkan saja. Sah sah saja, itu haknya,” Kata Mukidi, sambil nyakot rondo royal kesukaannya.

 Mukidi bilang bahwa pamer itu merupakan salah satu sifat manusia untuk menarik perhatian, dan diakui keberadaann. Biasanya mereka akan berusaha dengan segala cara agar dikenal. Itu kalau gimik diartikan sebagai pamer.

 Rapinter, sambil nyeruput kopi, mencoba tanya kepada mBah Gugel arti gimik. Dalam wikipedia, dikatakan bahwa Gimik atau gimmick adalah trik atau alat yang sengaja digunakan untuk menarik perhatian atau membujuk orang untuk membeli sesuatu, menerima, sesuatu, atau terbeli keyakinannya akan sesuatu.

 Dikatakan pula bahwa Gimmick merupakan istilah umum yang merujuk kepada pemanfaatan kemasan, tampilan, alat tiruan, serangkaian adegan untuk mengelabui, memberikan kejutan, menciptakan suatu suasana, atau meyakinkan orang lain.

 “Lha terus apa hubungannya pamer foto yang dilakukan oleh Kaspo dengan istilah gimik itu ya ?. Masak sih foto bisa dijadikan alat untuk mengelabuhi, mempengaruhi, dan membujuk orang ?. kok saya jadi bingung ya,” Kata Rapinter, sambil memperhatikan peserta gerak jalan yang baru melintas.

 Mukidi, waktu rapat warga kampung juga pernah mendengar jika istilah gimik dapat dikaitkan dengan berbagai konteks, termasuk konteks politik. Bahkan sekarang ini banyak pihak yang memanfaatkan gimik diberbagai aktivitas keseharian. Tentu dengan maksud tertentu dan kepentingan yang melatarinya.

 “Mungkinkah gimik berlaku juga dalam konteks kebencanaan ?,” Kata Rapinter mencoba menggali pendapat Mukidi.

 Sebelum menjawab, Mukidi nyruput kopi yang sudah dingin. Kalau masalah gimik kebencanaan, kok tampaknya sulit untuk dimainkan di sana, karena bencana itu masalah kemanusiaan, dan tidak mungkinlah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.

 Jika ada yang tega melakukannya pastilah si oknum itu tidak paham apa itu bencana seperti yang termaktub di dalam regulasi yang ada. Lain lagi jika gimik itu dilakukan secara berjamaah. Tapi rasanya itu tidak mungkin, karena relawan tidak mungkin melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nuraninya.

 “Sungguh sampiyan jangan sampai melakukan gimik dalam kerja-kerja kemanusiaan, apalagi yang bersentuhan dengan anggaran. Itu sangat berdosa dan semua agama pasti mengutuk perbuatan itu,” Kata Mukidi kepada Ratrimo.

 “Apakah gimik itu termasuk penipuan atau kebohongan yang berkonotasi kebaikan dan tidak berdosa ?,” Kata Rapinter.

 “Hus …. jangan bilang begitu. Kata nenek tidak berbahaya, karena gimik itu oleh sebagian pihak memang dipandang perlu, Termasuk kamu jika mau,” Ujarnya.

 Namun, jika kamu sampai tega berbuat nakal melakukan itu, pasti kamu akan dipaido dan diclathu oleh orang sekampung. Bahkan akan dimasukkan “Buku inting-inting” oleh Pak Lurah. Tapi semua itu hanya jika kelakuanmu konangan. Kalau tidak ya amanlah perbuatanmu.

 Namun sejarah hidupmu akan tercatat sebagai relawan yang tega memanfaatkan moment bencana untuk memperkaya diri lewat gimik yang sengaja kamu ciptakan, ingat jejak digital itu sulit terhapus, Kata Mukidi sambil mengajak Rapinter meninggalkan warkop untuk melihat lomba joget gemoy berhadiah sepeda. Salam Nusantara Baru, Indonesia Maju. [eBas/MingguPahing-18082024]


Rabu, 14 Agustus 2024

YANG SEMPAT TERCATAT DARI NGOPI PB 2.0

    Ngobrol pintar penanggulangan bencana yang digelar secara webinar kali ini, rabu (14/08/2024) malam, mengambil topik, Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Tata Kelola Pemerintah Daerah.

    Dalam paparannya, Cahyo dari BNPB mengatakan bahwa RPB dan dokumen PB lainnya yang harus disusun secara lengkap itu sifatnya dinamis menyesuaikan perkembangan jaman, sebagai pijakan dalam penyusunan kebijakan di bidang penanggulangan bencana.

    Dikatakan pula bahwa dokumen itu juga diharapkan dapat mewadahi keinginan berbagai pihak, dan harus dapat mewarnai penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). untuk itulah saat ini sedang disusun perkuatan BPBD dan personilnya melalui beberapa regulasi yang direvisi.

    Untuk itulah, masih kata Cahyo, diperlukan komitmen dari kepala daerah terhadap masalah kebencanaan beserta anggaran pendukungnya, agar dokumen PB itu benar-benar dapat menjadi acuan penyusunan kebijakan. Dengan kata lain, BPBD sebenarnya sudah mempunyai rencana menyusun dokumen, namun pihak Pemerintah daerah kurang menaruh perhatian dikarenakan kebijakan.

    Belum lagi, kebijakan politik lokal biasanya sangat dominan pengaruhnya terhadap penyusunan dokumen PB, dan BPBD serta BNPB pun sering tidak berdaya menghadapinya. Walaupun sudah ada regulasi yang mengatur.

    Hal ini seperti yang dikatakan oleh peserta, bahwa keberhasilan RPB dalam penyelenggaraan PB di daerah, tergantung keberhasilan memadukan RPB ke dalam RPJMD. Pertanyaannya kemudian, bagaimana trik untuk mensukseskan pemaduan RPB ke dalam RPJMD. Sebab, biasanya RPJMD disusun berdasarkan isu-isu strategis dari kepala daerah.

    Padahal, ada yang bilang bahwa isu kebencanaan itu masuk ke dalam isu strategis pembangunan daerah. Karena resiliensi bencana menjadi salah satu dari 17 arah pembangunan yang tertuang dalam RPJPN dan RPJPD Provinsi se Indonesia.

    Mungkinkah masalah ini yang membuat banyak BPBD yang belum memiliki RPB ?. bahkan mungkin, banyak dokumen yang belum disusun sebagai korban kebijakan daerah.

    Apalagi, dikatakan oleh nara sumber bahwa untuk menyusun dokumen itu perlu keterlibatan ahli, pakar, praktisi, akademisi, dan konsultan itu kapasitas dan kwalitasnya masih beragam, namun honorariumnya tidak murah. Untuk itu diusulkan ada standar minimum kompetensi untuk mereka.

    Sementara itu, konon diperlukan anggaran yang tidak sedikit untuk menyusun dokumen PB. Jumlahnya sekitar 50 sampai 100 juta (bisa lebih). sungguh jumlah itu sangat sulit dipenuhi oleh daerah yang masuk kategori terpencil/tertinggal, terdepan dan terluar, dengan sumber daya manusia yang jauh dari cukup.

    Dari anggaran itu, paling banyak habis untuk acara rapat-rapat dan seremonial yang dihadiri para pejabat. Sedang untuk kegiatan FGD dan konsultasi publik, biasanya didukung dana ala kadarnya saja.

    Sehingga, yang sering terjadi, acara seremonial di atas hanyalah formalitas belaka. Di banyak kasus, setelah para pejabat angkat kaki pasca pembukaan, maka terciptalah suasana santai, bahkan ada juga yang ikut balik kanan, yang penting sudah absen (menyerahkan surat tugas, SPPD, dan ambil amplop jika ada).  

    Kalau sudah begini, maka mutu yang dihasilkan ya hanya begitulah, tidak usah mencari kambing hitam, yang penting daya serap anggaran sudah sesuai aturan.

    Sementara itu ada yang menggelitik dari paparannya Didik. S. Mulyono, yang mengatakan agar masyarakat sipil hendaknya mengawal regulasi/kebijakan yang disusun, agar tetap berjalan sesuai jalurnya. Siapakah yang dimaksud dengan masyarakat sipil ?.

    Kemudian, pernyataan menggelitik lainnya dari Didik adalah, banyak anggota legislatif yang berfungsi ganda. Harusnya sebagai pengawas, namun sering juga merangkap sebagai pelaksana yang bermain di belakang layar.  

    Demikianlah catatan yang sempat tercatat. Sebenarnya masih banyak hal yang menggelitikdari acara Ngopi PB. Sungguh semua peserta yang berjumlah sekitar 130 itu pasti punya catatan sendiri untuk bahan cerita kepada anggota komunitas lainnya dalam rangka pemerataan informasi. 

    Semoga catatan ini tidak menimbulkan kegaduhan, dan dipaido secara berjamaah karena dianggap berseberangan dalam hal catat mencatat materi webinar ini. [eBas/KamisWage-15082024]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Selasa, 13 Agustus 2024

GIAT RELAWAN PERLU CUAN TAPI TIDAK HARUS SALING REBUTAN

 Seperti biasanya, Mukidi dengan shohibnya, Kaspo dan Rapinter, cangkruk di warkop langganannya sambil ngobrol ngalor ngidul tanpa topik namun kadang muncul polemik, karena pemahaman yang picik.

 Sambil menunggu pesanan berupa kopi hitam panas pahit, Rapinter membuka obrolan tentang kebencanaan dan kerelawanan. Menurut pemahaman dan pengalamannya, program pengurangan risiko bencana dengan berbagai bentuknya, seperti destana dan spab, itu ternyata harus ada cuannya agar dapat berjalan. Tanpa cuan akan berhenti di persimpangan jalan.

 “ada sebuah guyonan ngawur yang mengatakan, ada cuan program disayang, tak ada cuan program ditendang. Bagaimana merurut sampiyan Cak Di,”

 “Lho … lho …gak bahaya ta ?. guyonan sampiyan ini dapat menimbulkan kegaduhan. Sebaiknya postingan semacam ini sampiyan hapus saja dari memori otak sampiyan,” Kata Mukidi sedikit khawatir dengan pertanyaan nakal Rapinter di alam demokrasi otoriter ini.

 “Jika menyimaknya dengan hati yang cerdas tanpa emosi, harusnya tidak bahaya kok. Karena sesungguhnya praktek program berbasis proyek itu lumrah. Hampir semua kementerian pasti mengalami dan memahami, yang penting daya serap anggaran lancar dan laporannya tidak sekedar membuat sehingga enak dibaca,” Jawab Rapinter sambil nyakot rondo royal kesukaannya.

 Kaspo, yang sedari tadi diam saja menyimak percakapan Rapinter dengan Mukidi, hanya cengar cengir mencoba menganalisa guyonan Rapinter tentang relawan, program dan cuan.

 Dalam hati, Kaspo mengakui pernah mendengar “bisik-bisik” yang beredar, bahwa kebanyakan program itu pelaksanaannya hanya sekali sentuh tidak ada tindak lanjutnya. Keberlanjutannya sangat tergantung kepada penyusun anggaran tahun berikutnya.

 Apakah perlu ada tindak lanjutnya dalam bentuk program penguatan kelompok, program pemandirian kelompok, dan program pembinaan kelompok, atau cukup mengulangi program yang lalu dengan sasaran yang berbeda. Semua tergantung kebijakan.

 Sehingga wajar jika para proyektor (orang yang melaksanakan proyek) senang mengatakan bahwa komunitas/lembaga ini telah resmi mendapat label tangguh setelah mendapat program yang hanya sekali sentuh. Padahal kenyataannya tidak begitu, dan semua sudah tahu.

 “Pantesan program destana dan spab yang pernah saya pegang dulu, sekarang entah gimana kelanjutannya, karena yang tinggal hanya dokumen dan foto kegiatan yang tersompan di Balai Desa dan Sekolah, menunggu dimakan rayap,” Kata Kaspo

 “Hahahaha, Kaspo mulai bersuara. Rupanya nalarnya mulai konek dengan pembicaraan yang menggelitik ini,” Seloroh Mukidi sambil tertawa ngakak, terlihat giginya yang mulai jarang karena sudah tergolong manusia tuwek.

 “Woalah, ternyata sampiyan juga pemain to ?. tapi kan enak to?. Sing penting daya serap anggaran lancar dan laporan diterima tanpa revisi. Ya rekayasa sikit-sikit ga papa lah, tapi ya usahana merata. Hindari minum keringat anggotanya,”  Seloroh  Rapinter sambil tertawa, namun tidak sampai ngakak karena usianya belum begitu tuwek.

 Dari obrolan tiga serangkai di atas, dapat ditarik simpulan bahwa semua kegiatan yang dilakukan relawan dalam upaya edukasi dan sosialisasi pengurangan bencana itu, seyagyanya memang harus didukung anggaran yang signifikan. Tanpa itu gerakannya hanya seporadis. Hangat-hangat tahi asu.

 Pelajaran yang dapat dipetik dari obrolan di warkop embongan yang tidak cerdas sama sekali jika ditinjau dari kacamata akademisi, adalah komunitas relawan harus dapat menggandeng “pihak beruang” dengan baik dan benar agar segala program yang akan dilaksanakan dapat memberdayakan para penerima manfaat, tanpa mengganggu dompet pribadi.

 Abaikan saja jika ada yang bilang, relawan kok minta upah. Ya, memang benar relawan tidak minta upah, namun sesungguhnyalah relawan itu berhak menerima upah dan tidak berdosa untuk mencari upah. Apalagi kegiatannya berskala besar dan ada anggarannya).

 “Ya, kenyataannya memang begitu lho. Tapi kadang malu mengungkapkan, namun nyatane rebutan, melupakan jargon saling menguatkan tanpa meninggalkan,” Kata Mukidi yang sering tersakiti saat melaksanakan aksi, haknya sering dikurangi.

 Mukidi pun juga bilang kepada Kaspo dan Rapinter, bahwa masih ada komunitas relawan yang kegiatannya tidak harus menungguh kebaikan donatur. Cukup saweran seikhlasnya untuk membuat sebuah kegiatan yang menyenangkan bagi semua pihak. Ya itu jenis kegiatan berskala kecil yang tidak mengganggu stabilitas keuangan keluarga. Yang jelas, diakui atau tidak semua kegiatan relawan itu memang perlu cuan. Salam Waras [eBas/RabuPon-14082024]