Rabu, 02 Juli 2025

IBU DIRJEN PAUD MENGGAGAS DIBENTUKNYA MITIGATOR CILIK

 Dalam sebuah Webinar Mitigator SPAB-PAUD 2025, Dr. Nia Nurhasanah, Direktur PAUD, Kemendikdasmen RI, punya harapan gimana menyusun dan melaksanakan rencana aksi spab sesuai kontek lokal, dengan mengenalkan kelas mitigasi untuk meningkatkan kapasitas pendidik dan tenaga kependidikan paud di bidang pengurangan risiko bencana.

 Dalam Webinar dengan tema mengangkat peran guru paud dalam membangun budaya tangguh bencana dengan pelatihan mitigator SPAB, Ibu berkacamata ini juga berharap bagaimana satuan paud bisa melibatkan anak sebagai Mitigator Cilik, dalam membuat program pelatihan dan kesiapsiagaan secara menyenangkan dan edukatif sekaligus membentuk satuan paud sebagai tempat belajar yang nyaman aman dan membentuk karakter tangguh anak indonesia sejak dini.

 Webinar yang diselenggarakan secara daring pada hari senin (30/06/2025), merupakan gagasan cerdas dari seorang ibu pejabat yang menggeluti dunia pendidikan dan peduli terhapat upaya membangun budaya tangguh bencana yang digaungkan BNPB.

 Sejalan dengan gagasan Mitigator Cilik, sebagai sebuah profesi (?), Om Rangga, dalam postingannya di grup whatsapp PRBBK Indonesia mengatakan bahwa Mitigator diambil dari kata mitigasi, serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

 Mitigator juga bisa sebagai Mitigation Facilitator  untuk memudahkan penyebutan para pelaku mitigasi bencana, perubahan iklim, konflik sosial, dan keadaan yang membahayakan manusia. Merekalah Mitigator!," Tulisnya.

Sementara itu, masih menurut Om Rangga, Pak Lilik, yang sekarang menjabat sebagai Deputi 5 Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), yang membidangi koordinasi penanggulangan bencana dan konflik sosial, konon sangat intensif memikirkan bagaimana Tenaga Kebencanaan yang dibutuhkan negara, dapat dikonsolidasi dan difungsikan tidak hanya sebagai relawan, melainkan juga sebagai tenaga terlatih yang bisa masuk ke dalam sistem.

Dari obrolan Pak Lilik dan Om Rangga itu, mungkin (istilah) mitigator, baik dari instansi pemegang otoritas kebencanaan (disaster) dan kedaruratan (emergency) seperti BPBD, BASARNAS, Damkar, Tagana, Puskris, dari NGO lokal-nasional-internasional, kalangan profesional dan pekerja non formal, perlu diangkat untuk membangun ketangguhan masyarakat (sebagai mitigator ?).

Pak Lilik pun juga berharap agar Om Rangga membuat Kelas Mitigasi yang bagus dan dijaga kualitasnya agar para mitigator yang dihasilkan dapat diserap ke dalam sistem. Untuk kemudian juga diterima oleh Kemenpan RB sebagai tenaga fungsional/Jabatan Fungsional Umum (yang dibayar).

Walaupun gagasan ini masih sebatas wacana, tidak ada salahnya jika pengelola program Master Magister Bencana di berbagai kampus untuk segera berancang-ancang membuka jurusan mitigator sesuai jenjang pendidikan yang ada.

Yang jelas istilah baru yang mungkin akan menjadi profesi baru itu bisa saja terwujud. Seperti pendapat Om Avianto dari MPBI, bahwa 10 tahun yang lalu, kita mungkin masih merasa aneh dengar profesi "content creator" atau "data scientist" dan istilah milenial lainnya untuk sebuah profesi tanpa instansi.

“Tapi sekarang udah banyak anak-anak kecil yang punya cita-cita ke profesi ini. So, why not kalau kelak ada profesi yang spesialisasinya adalah tentang mitigasi bencana,” Katanya optimis.

Benar sekali pendapat Om Avianto. Bahkan sekarang sudah banyak anak muda yang sukses berprofesi dengan memanfaatkan kecanggihan gawainya. Seperti tiktoker, olshop, bahkan open BO makin banyak peminatnya karena menjanjikan cuan banyak tanpa dipotong pajak.

Ya, semuanya akan dan sedang berproses, berpacu dengan kecanggihan teknologi dan kebebasan berekspresi, dengan dukungan argumentasi yang sesuai nalar demokrasi. Termasuk gagasan tentang mitigator cilik dari Ibu Dirjen yang cantik. Yang penting kebijakan itu harus didukung anggaran, pasti dapat berjalan lancar dan diterima dengan suka cita oleh pengelolanya.

Semoga gagasan ibu Nia (yang ijasahnya asli) tidak bernasib seperti SPAB yang sampai saat ini masih belum banyak pejabat dinas pendidikan di tingkat tapak yang paham dan mengamalkan SPAB dengan masif. Padahal sudah ada aturannya dalam permendikbud nomor 33 tahun 2019, tentang penyelenggaraan program SPAB.  (termasuk upaya pembentukan sekber spab tingkat provinsi dan kabupaten/kota).

 Mengapa kebijakan SPAB kurang diperhatikan oleh pejabat dinas pendidikan ?. salah satunya adalah kebijakan yang diluncurkan dari pusat itu tidak dibarengi dengan penyediaan anggaran pendukung. Sedangkan daerah tidak mempunyai dana.

 Apakah sekolah harus kerja bakti dan narik iuran dari peserta didik untuk menjalankan program spab, atau harus nekat “nyubit anggaran sana sini” untuk menjalankannya, dengan konsekwensi menjadi bidikan BPK (bahkan KPK).

 Sesungguhnyalah, selama ini anggaran pelaksanaan program spab di sekolah itu bukan dari dinas pendidikan (karena tidak ada pos anggarannya), tapi dari lembaga lain seperti BNPB, BPBD, dan lembaga donor (NGO) yang memprogramkan spab beserta anggarannya, dengan model sekali sentuh. Dimana,  sekolah yang sudah mendapat jatah program spab, langsung diberi label Sekolah Tangguh Bencana. Begitu juga dengan program yang terkait dengan kebencanaan milik berbagai instansi lainnya.

 “Program seperti ini yang penting daya serap anggarannya lancar. Masalah hasil, dapat diprogramkan kembali tahun depan. Gitu aja kok repot,” Kata Mukidi sambil nyruput kopi

 Akhirnya, berharap gagasan Ibu Dirjen PAUD segera ditindak lanjuti oleh pejabat dibawahnya yang membidangi pendidikan. Baik pendidikan formal, maupun pendidikan nonformal. Termasuk merancang anggarannya dengan melibatkan para pihak yang paham tentang 'kebencanaan' agar gagasan mitigator cilik terus bergulir menjadi wacana yang menggelitik. [eBas/Rabu-02072025]

 

 

 

3 komentar:

  1. semoga gagasan bu dirjen paud ini sebagai pertanda pejabat kemendikdasmen RI mulai sadar akan pentingnya membangun budaya sadar bencana sejak usia dini.
    tentunya gagasan ini tidak hanya sekedar lontaran sesaat tanpa ditindak lanjuti dengan aksi nyata yang melibatkan para pihak akademisi, dan praktisi kebencanaan

    BalasHapus
  2. Pertanyaannya adalah siapa/lembaga apa yg berhak mengadakan Diklat mitigator ?.
    Siapa yg boleh ikut jadi mitigator?
    Apakah tugas mitigator?.
    Apa hak dan kewajiban mitigator?.
    Apakah mitigator dibayar, dan siapa yg mbayar ?.

    dan seabreg pertanyaan lainnya

    BalasHapus
  3. jika istilah mitigator itu keberadaannya/perannya sekedar seperti Duta Kebudayaan, Duta Lingkungan, dan sejenisnya ........ itu mah hanya plesetan kata tanpa makna karena menjadi seorang mitigator itu tidaklah mudah, perlu pelatihan dan pengalaman yang terus menerus dilatih dan di praktekkan baik itu di lingkungan sekolah dan masyarakatnya.

    sukses untuk ibu dirjen paud
    salam buat om Samto dan om Wartanto ya bu

    BalasHapus