Konon, kegiatan rutin mahasiswa pecinta alam
(mapala) itu selalu berkisar pada pendakian gunung, penjelajahan hutan,
penelusuran goa, serta kegiatan cinta lingkungan lainnya. Semua itu dilakukan
rutin tanpa ada catatan perjalanan yang bisa digunakan oleh yuniornya. Itu dulu
sebelum ada kesadaran baru. Ya, jaman itu yang mengemuka adalah kegiatan di alam
bebas dengan punuh canda tawa (sing penting seneng).
Dari cerita beberapa aktivis mapala, kini
kegiatannya sudah mulai di dokumentasikan dalam bentuk tulisan yang dimuat di
majalah kampus, maupun harian umum. Jelas ini sangat menggembirakan, karena
sebagai mahasiswa, mereka diharapkan bisa mendiskripsikan perjalanan dan
kegiatannya dalam sebuah laporan yang dibukukan sehingga bisa menjadi tinggalan
sejarah bagi generasi berikutnya sebagai penerus ideologi kepecinta alaman. Ya,
sudah selayaknya jika mahasiswa harus bisa menulis.
Mereka pun sudah mulai memanfaatkan hobby
bersahabat dengan alam untuk melakukan penelitian sesuai jurusan masing-masing
guna menunjang tugas mata kuliahnya. Bahkan ada yang rajin menuliskan
pengalamannya, termasuk foto-foto pemandangan, untuk kemudian dikirimkan ke
media massa.
Jika dimuat, itu artinya cerita
perjalanannyabisa dinikmati oleh pembaca yang jumlahnya banyak dan tersebar
diberbagai daerah. Penulisnya dikenal, dan yang terpenting dapat hinor
penulisan, cukup untuk beli ‘wedang kopi sak gorengane, dipangan bareng
sak konco ndek sekretariat’. Enak to?, asik to? Kegiatan hobby jalan
terus, pengalaman bertambah dan mendapatkan penghasilan dari aktivitas menulis
artikel.
Di sisi lain, sudah waktunya gerakan mapala
juga semakin peduli dengan issue-isue lingkungan, seperti pembalakan liar,
kebakaran hutan, dan perdagangan satwa liar, serta masalah bencana alam yang
saat ini semakin sering terjadi.
Dalam catatan badan nasional penanggulangan
bencana (BNPB), dikatakan bahwa rupa nusantara sangatlah rawan terhadap
bencana. Kejadian bencana silih berganti di berbagai daerah, ini tidak lepas
dari pengaruh geografis, geologis, dan demografis. Secara geografis, tiga
lempeng tektonik indo Australia, eruasia dan pasifik mengelilingi wilayah
nusantara yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan gempa bumi dan memicu terjadinya
tsunami.
Disamping itu, Indonesia juga dikenal sebagai
wilayah ‘ring of fire’ yang memiliki sekitar 129 gunung api aktif. Sementara,
secara demografis, Indonesia mempunyai penduduk yang sangat besar, sebagiannya
hidup di daerah rawan bencana dengan berbagai mata pencahariannya.
Perlu diketahui pula, menurut UU 24 tahun
2007, tentang penanggulangan bencana, menyebutkan bahwa bencana dikategorikan
menjadi tiga, yaitu bencana alam, non alam dan bencana sosial. Sementara itu,
kejadian bencana berdasar ketiga kategori tersebut, diantaranya meliputi
banjir, longsor, tsunami, gempa bumi, gunung meletus, kekeringan, angin
topan/putting beliung, gagal teknologi, gagal modernisasi, penyakit epidemi,
konflik sosial dan terorisme. Tentunya semua ini penanganannya pun sangat
beragam dengan tingkat kesulitan yang berbeda.
Sebagai salah satu komponen bangsa, wajar
jika mapala juga mempunyai kepedulian terhadap derita sesame yang tertimpa
bencana. Apalagi kemampuan dasar yang dimiliki anggota mapala sudah cukup
mumpuni untuk terlibat dalam kegiatan di lokasi bencana, seperti melakukan
evakuasi, SAR, trauma healing, bantuan dorlog, pendataan, komunikasi dan
sejenisnya sesuai kebutuhan dan komando dari koordinator lapangan.
Kondisi Indonesia yang semakin akrab dengan
aneka kejadian bencana inilah, hendaknya dapat menggugah kesadaran mapala untuk
mengambil peran dalam upaya penanggulangan bencana, dengan jalan ‘merapat’ ke badan penanggulangan bencana daerah (BPBD)
setempat, agar terdata sebagai potensi relawan penanggulangan bencana yang siap
diterjunkan saat tanggap bencana.
Artinya, mapala yang sudah ‘terdata’ akan mudah dihubungi untuk
diikutkan dalam kegiatan pembinaan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan
maupun sarasehan yang diadakan oleh BPBD maupun pegiat penanggulangan bencana
lainnya, untuk meningkatkan kapasitas sebagai relawan yang mumpuni dalam
klasternya.
Hal ini sesuai dengan keputusan kepala Bandan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) nomor 173 tahun 2014, tentang klaster
nasional penanggulangan bencana, yaitu klaster Kesehatan, Pencarian dan
Penyelamatan, Logistik, Pengungsian dan Perlindungan, Pendidikan, Sarana
Prasarana, Ekonomi, dan Pemulihan Dini. Klasterisasi inilah yang harus dimiliki
oleh relawan agar ketika melaksanakan tugasnya benar-benar bisa mandiri sesuai
perannya.
Walau sampai sekarang rencana klasterisasi
relawan belum berjalan efektif, ke depan, akan diberlakukan dengan tujuan agar
tidak terjadi penumpukan personil dalam salah satu klaster saja, tetapi bisa
merata ke semua klater sesuai kapasitas dan arahan komandan pos komando sebagai
penanggung jawab operasi penanggulangan bencana.
Di sisi lain, mapala pun sudah waktunya juga
berpartisipasi melakukan penyuluhan pengurangan risiko bencana kepada
masyarakat yang berdomisili di daerah rawan bencana. Kegiatan ini bisa
dibarengkan ketika melakukan KKN, Bhakti Kampus maupun KKL/PKL. Dengan kata
lain, sebagai ‘agent of change’,
anggota mapala yang telah memiliki berbagai keterampilan hidup di alam bebas,
hendaknya bisa menjadi model untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat
(khususnya generasi muda) terkait dengan keterampilannya, maupun keterampilan
lain yang telah dimiliki, seperti keterampilan sablon, menjahit, melukis, dan
lainnya yang berguna bagi warga setempat.
Mereka pun bisa menularkan virus cinta flora
dan fauna serta lingkungan alam, bersama melakukan mitigasi non struktural
untuk mengurangi risiko bencana, meningkatkan kapasitas dan mengurangi
kerentanan guna menumbuhkan budaya sadar bencana.
Paling tidak, program-program mapala yang telah diputuskan dan disusun
dalam musyawarah anggota, bisa dikolaborasikan dengan upaya pengurangan risiko
bencana, sekaligus aktif menjalin hubungan silaturahim dengan BPBD dan kelompok
relawan lainnya (termasuk alumni/ALB), agar bisa dilibatkan dalam agendan kerja
mereka. Salam Kemanusiaan. [eBas]
Terobosan yang bisa dilakukan saat ini adalah mendirikan "sekolah alam" dibawah yayasan MPA JS. Faktor pendukung sangat banyak, diantaranya (a) MPA JS dibawah naungan UM yang notabene menghasilkan lulusan tenaga kependidikan - tenaga pengajar, administrasi, kurikulum, soal pendidikan a-z sangat tersedia. (b) kebijakan pemerintah kota Malang sangat peduli dengan kelestarian lingkungan diantara instansi yang mendukung: Dinas Kebersihan dan Pertamanan (Dkp), Lingkungan Hidup (KLH), BPBD, maupun instansi terkait, (c) kerusakan lingkungan dimasa mendatang memiliki masalah yang sangat kompleks. Dari faktor yang tersebut di atas dan masih banyak faktor yang lain - sangat memungkinkan "SEKOLAH ALAM" MPA JS segera dimulai. Seperti sekolah alam lain yang sudah berdiri, seperti Sekolah Alam Nusantara, Avaiseina, dll. Masalahnya adalah siapa dulu yang memulai..? Bagaimana pendapat teman-teman...? Terima kasih.
BalasHapusbetul Cak Urip gagasan sampiyan amat canggih perlu disosialisasikan ke adek2 yunior agar cara pandang kepecinta alaman berubah menjadi lebih produktif dan bermanfaat bagi pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat .....
BalasHapus