Kamis, 04 Juni 2015

MAHASISWA PECINTA ALAM (MENUJU ARAH BARU)



Konon, kegiatan rutin mahasiswa pecinta alam (mapala) itu selalu berkisar pada pendakian gunung, penjelajahan hutan, penelusuran goa, serta kegiatan cinta lingkungan lainnya. Semua itu dilakukan rutin tanpa ada catatan perjalanan yang bisa digunakan oleh yuniornya. Itu dulu sebelum ada kesadaran baru. Ya, jaman itu yang mengemuka adalah kegiatan di alam bebas dengan punuh canda tawa (sing penting seneng).

Dari cerita beberapa aktivis mapala, kini kegiatannya sudah mulai di dokumentasikan dalam bentuk tulisan yang dimuat di majalah kampus, maupun harian umum. Jelas ini sangat menggembirakan, karena sebagai mahasiswa, mereka diharapkan bisa mendiskripsikan perjalanan dan kegiatannya dalam sebuah laporan yang dibukukan sehingga bisa menjadi tinggalan sejarah bagi generasi berikutnya sebagai penerus ideologi kepecinta alaman. Ya, sudah selayaknya jika mahasiswa harus bisa menulis.

Mereka pun sudah mulai memanfaatkan hobby bersahabat dengan alam untuk melakukan penelitian sesuai jurusan masing-masing guna menunjang tugas mata kuliahnya. Bahkan ada yang rajin menuliskan pengalamannya, termasuk foto-foto pemandangan, untuk kemudian dikirimkan ke media massa.

Jika dimuat, itu artinya cerita perjalanannyabisa dinikmati oleh pembaca yang jumlahnya banyak dan tersebar diberbagai daerah. Penulisnya dikenal, dan yang terpenting dapat hinor penulisan, cukup untuk beli ‘wedang kopi sak gorengane, dipangan bareng sak konco ndek sekretariat’. Enak to?, asik to? Kegiatan hobby jalan terus, pengalaman bertambah dan mendapatkan penghasilan dari aktivitas menulis artikel.

Di sisi lain, sudah waktunya gerakan mapala juga semakin peduli dengan issue-isue lingkungan, seperti pembalakan liar, kebakaran hutan, dan perdagangan satwa liar, serta masalah bencana alam yang saat ini semakin sering terjadi.

Dalam catatan badan nasional penanggulangan bencana (BNPB), dikatakan bahwa rupa nusantara sangatlah rawan terhadap bencana. Kejadian bencana silih berganti di berbagai daerah, ini tidak lepas dari pengaruh geografis, geologis, dan demografis. Secara geografis, tiga lempeng tektonik indo Australia, eruasia dan pasifik mengelilingi wilayah nusantara yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan gempa bumi dan memicu terjadinya tsunami.

Disamping itu, Indonesia juga dikenal sebagai wilayah ‘ring of fire’ yang memiliki sekitar 129 gunung api aktif. Sementara, secara demografis, Indonesia mempunyai penduduk yang sangat besar, sebagiannya hidup di daerah rawan bencana dengan berbagai mata pencahariannya.

Perlu diketahui pula, menurut UU 24 tahun 2007, tentang penanggulangan bencana, menyebutkan bahwa bencana dikategorikan menjadi tiga, yaitu bencana alam, non alam dan bencana sosial. Sementara itu, kejadian bencana berdasar ketiga kategori tersebut, diantaranya meliputi banjir, longsor, tsunami, gempa bumi, gunung meletus, kekeringan, angin topan/putting beliung, gagal teknologi, gagal modernisasi, penyakit epidemi, konflik sosial dan terorisme. Tentunya semua ini penanganannya pun sangat beragam dengan tingkat kesulitan yang berbeda.

Sebagai salah satu komponen bangsa, wajar jika mapala juga mempunyai kepedulian terhadap derita sesame yang tertimpa bencana. Apalagi kemampuan dasar yang dimiliki anggota mapala sudah cukup mumpuni untuk terlibat dalam kegiatan di lokasi bencana, seperti melakukan evakuasi, SAR, trauma healing, bantuan dorlog, pendataan, komunikasi dan sejenisnya sesuai kebutuhan dan komando dari koordinator lapangan.

Kondisi Indonesia yang semakin akrab dengan aneka kejadian bencana inilah, hendaknya dapat menggugah kesadaran mapala untuk mengambil peran dalam upaya penanggulangan bencana, dengan jalan ‘merapat’ ke  badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) setempat, agar terdata sebagai potensi relawan penanggulangan bencana yang siap diterjunkan saat tanggap bencana.

Artinya, mapala yang sudah ‘terdata’ akan mudah dihubungi untuk diikutkan dalam kegiatan pembinaan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan maupun sarasehan yang diadakan oleh BPBD maupun pegiat penanggulangan bencana lainnya, untuk meningkatkan kapasitas sebagai relawan yang mumpuni dalam klasternya.

Hal ini sesuai dengan keputusan kepala Bandan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) nomor 173 tahun 2014, tentang klaster nasional penanggulangan bencana, yaitu klaster Kesehatan, Pencarian dan Penyelamatan, Logistik, Pengungsian dan Perlindungan, Pendidikan, Sarana Prasarana, Ekonomi, dan Pemulihan Dini. Klasterisasi inilah yang harus dimiliki oleh relawan agar ketika melaksanakan tugasnya benar-benar bisa mandiri sesuai perannya.

Walau sampai sekarang rencana klasterisasi relawan belum berjalan efektif, ke depan, akan diberlakukan dengan tujuan agar tidak terjadi penumpukan personil dalam salah satu klaster saja, tetapi bisa merata ke semua klater sesuai kapasitas dan arahan komandan pos komando sebagai penanggung jawab operasi penanggulangan bencana.

Di sisi lain, mapala pun sudah waktunya juga berpartisipasi melakukan penyuluhan pengurangan risiko bencana kepada masyarakat yang berdomisili di daerah rawan bencana. Kegiatan ini bisa dibarengkan ketika melakukan KKN, Bhakti Kampus maupun KKL/PKL. Dengan kata lain, sebagai ‘agent of change’, anggota mapala yang telah memiliki berbagai keterampilan hidup di alam bebas, hendaknya bisa menjadi model untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat (khususnya generasi muda) terkait dengan keterampilannya, maupun keterampilan lain yang telah dimiliki, seperti keterampilan sablon, menjahit, melukis, dan lainnya yang berguna bagi warga setempat.

Mereka pun bisa menularkan virus cinta flora dan fauna serta lingkungan alam, bersama melakukan mitigasi non struktural untuk mengurangi risiko bencana, meningkatkan kapasitas dan mengurangi kerentanan guna menumbuhkan budaya sadar bencana.

Paling tidak, program-program  mapala yang telah diputuskan dan disusun dalam musyawarah anggota, bisa dikolaborasikan dengan upaya pengurangan risiko bencana, sekaligus aktif menjalin hubungan silaturahim dengan BPBD dan kelompok relawan lainnya (termasuk alumni/ALB), agar bisa dilibatkan dalam agendan kerja mereka. Salam Kemanusiaan. [eBas]   


  

2 komentar:

  1. Terobosan yang bisa dilakukan saat ini adalah mendirikan "sekolah alam" dibawah yayasan MPA JS. Faktor pendukung sangat banyak, diantaranya (a) MPA JS dibawah naungan UM yang notabene menghasilkan lulusan tenaga kependidikan - tenaga pengajar, administrasi, kurikulum, soal pendidikan a-z sangat tersedia. (b) kebijakan pemerintah kota Malang sangat peduli dengan kelestarian lingkungan diantara instansi yang mendukung: Dinas Kebersihan dan Pertamanan (Dkp), Lingkungan Hidup (KLH), BPBD, maupun instansi terkait, (c) kerusakan lingkungan dimasa mendatang memiliki masalah yang sangat kompleks. Dari faktor yang tersebut di atas dan masih banyak faktor yang lain - sangat memungkinkan "SEKOLAH ALAM" MPA JS segera dimulai. Seperti sekolah alam lain yang sudah berdiri, seperti Sekolah Alam Nusantara, Avaiseina, dll. Masalahnya adalah siapa dulu yang memulai..? Bagaimana pendapat teman-teman...? Terima kasih.

    BalasHapus
  2. betul Cak Urip gagasan sampiyan amat canggih perlu disosialisasikan ke adek2 yunior agar cara pandang kepecinta alaman berubah menjadi lebih produktif dan bermanfaat bagi pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat .....

    BalasHapus