Selasa, 04 Agustus 2015

PERAN MAPALA DALAM SOSIALISASI PERUBAHAN IKLIM




Manusia beradaptasi dengan lingkungannya dengan cara mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan, ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas dan peralatan. Beragamnya pola adaptasi terhadap lingkungan hidup diwariskan secara turun temurun menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumber daya alam. Salah satu kearifan lokal yang sangat erat dengan perubahan iklim adalah penghitungan musim berdasar “pranoto mongso” yang ada disetiap wilayah Indonesia. Namun, hitung-hitungan “pranoto mongso” itu, kini semakin sering meleset karena adanya perubahan iklim global.

Disadari atau tidak, dampak perubahan iklim telah dan akan terus terjadi, yang disebabkan oleh berbagai faktor yang berhubungan dengan aktivitas manusia (perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, red). Hal ini, mau tidak mau, masyarakat harus mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim. Pertanyaannya kemudian, bagaimana bentuk sosialisasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim kepada masyarakat, yang mudah dipahami oleh bahasa mereka?.

Ini penting, agar masyarakat yang berada di daerah rawan bencana siap menghadapi dan menyesuaikan cara hidup dengan lingkungan alam, yang senyatanya menyimpan aneka bencana, sesuai konsep ‘Living Harmony With Disaster‘. Sayangnya, sampai saat ini masalah perubahan iklim yang melahirkan banyak potensi bencana, belum banyak disadari oleh khalayak ramai. Semuanya masih dianggap sebagai takdir Tuhan dan baru ditanggulangi jika sudah terjadi bencana dengan berbagai dampaknya.

Seperti diketahui, bahwa dampak perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap multisektoral. Untuk itulah issue perubahan iklim harus ditangani oleh berbagai kalangan, pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, termasuk melibatkan kelompok masyarakat rentan (di kawasan rawan bencana).

Demikian beberapa hal yang mencuat dalam Workshop Memasyarakatkan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, yang diselenggarakan di gedung Rektorat ITS, Surabaya. Senada dengan ungkapan diatas, Agus Supangat, salah seorang nara sumber mengatakan bahwa, perubahan iklim pasti terjadi dengan berbagai dampaknya terhadap kehidupan manusia.

“Kita pasti akan kedatangan tamu yang bernama bencana akibat perubahan iklim. Bagaimana menyiapkan masyarakat agar siap menyambutnya?, itulah tugas kita yang berkumpul disini untuk mendiskusikannya.” Ujarnya bersemangat.

Kegiatan yang diikuti berbagai dinas terkait dan juga dihadiri oleh Komunitas Relawan Indonesia (K.R.I) itu, mengkritisi perubahan iklim yang secara langsung mengancam kesuburan tanah dan air serta berpengaruh pada pelestarian flora fauna. Ini mengisyaratkan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca secara substansial dan berkelanjutan, harus dilakukan oleh semua pihak.

Mantan Presiden Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono, menegaskan persoalan perubahan iklim sebagai persoalan ancaman utama pembangunan yang harus segera memperoleh perhatian prioritas dari pilihan-pilihan strategis pembangunan.

Jelas, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim membutuhkan kerjasama yang kuat diantara sektor-sektor pembangunan dan juga membutuhkan sumber dana yang tidak sedikit. Namun demikian, dengan melakukan upaya pencegahan dini, bisa mengurangi dampak bencana dalam skala besar, yang bisa muncul sewaktu-waktu, kapan saja.

Diakhir kegiatan, peserta sepakat menindak lanjuti dengan rencana membentuk wadah untuk memberi kesempatan kepada khalayak dan lembaga terkait untuk berkontribusi terhadap penanganan perubahan iklim serta sebagai sarana tukar informasi dalam rangka upaya pemasyarakatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dalam bentuk aksi nyata, seperti seminar, sarasehan dan lainnya. Hal ini mengingat bahwa perubahan iklim itu bersifat lokal, masing-masing daerah berbeda, diantaranya sesuai dengan kondisi topografi, demografi, geografi dan budaya setempat.

Pertanyaannya kemudian, peran apa yang bisa dimainkan oleh relawan dan para pegiat cinta alam (mapala, sispala dan pecinta alam)?. Beberapa gunung yang biasa dijadikan aktivitas pendakian, kini semakin diwarnai oleh tumpukan sampah plastik para pendaki, begitu juga tanaman liar yang menjadi cirri vegetasi setempat juga berangsur rusak oleh tangan-tangan jahil para pendaki yang menasbihkan diri sebagai pecinta alam (namun nyatanya malah merusak alam).

Paling tidak para pegiat cinta alam itu bisa bekerja sama dengan relawan kemanusiaan lainnya, termasuk berkoordinasi dengan badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) setempat untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat dalam hal pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim global, melakukan mitigasi kebencanaan serta menanamkan cinta lingkungan serta upaya pelestarian alam flora dan fauna. Jika memungkinkan melakukan kerja sama dengan pemerintah terkait untuk mengadakan gerakan penghijauan dan pembersihan sampah yang menumpuk di beberapa gunung lokasi pendakian.Wallahu a'lam bishowab*[eBas]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar