Manusia beradaptasi dengan
lingkungannya dengan cara mengembangkan suatu kearifan yang berwujud
pengetahuan, ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas dan peralatan. Beragamnya
pola adaptasi terhadap lingkungan hidup diwariskan secara turun temurun menjadi
pedoman dalam memanfaatkan sumber daya alam. Salah satu kearifan lokal yang
sangat erat dengan perubahan iklim adalah penghitungan musim berdasar “pranoto
mongso” yang ada disetiap wilayah Indonesia. Namun, hitung-hitungan “pranoto
mongso” itu, kini semakin sering meleset karena adanya perubahan iklim global.
Disadari atau tidak, dampak perubahan
iklim telah dan akan terus terjadi, yang disebabkan oleh berbagai faktor yang
berhubungan dengan aktivitas manusia (perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, red). Hal ini, mau tidak mau, masyarakat harus mampu beradaptasi
terhadap perubahan iklim. Pertanyaannya kemudian, bagaimana bentuk sosialisasi
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim kepada masyarakat, yang mudah dipahami
oleh bahasa mereka?.
Ini penting, agar masyarakat yang
berada di daerah rawan bencana siap menghadapi dan menyesuaikan cara hidup
dengan lingkungan alam, yang senyatanya menyimpan aneka bencana, sesuai konsep
‘Living Harmony With
Disaster‘. Sayangnya, sampai saat ini masalah perubahan iklim yang
melahirkan banyak potensi bencana, belum banyak disadari oleh khalayak ramai. Semuanya
masih dianggap sebagai takdir Tuhan dan baru ditanggulangi jika sudah terjadi
bencana dengan berbagai dampaknya.
Seperti diketahui, bahwa dampak
perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap multisektoral. Untuk itulah issue
perubahan iklim harus ditangani oleh berbagai kalangan, pemerintah, masyarakat
dan dunia usaha, termasuk melibatkan kelompok masyarakat rentan (di kawasan
rawan bencana).
Demikian beberapa hal yang mencuat
dalam Workshop Memasyarakatkan Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, yang
diselenggarakan di gedung Rektorat ITS, Surabaya. Senada dengan ungkapan
diatas, Agus Supangat, salah seorang nara sumber mengatakan bahwa, perubahan
iklim pasti terjadi dengan berbagai dampaknya terhadap kehidupan manusia.
“Kita pasti akan kedatangan tamu yang
bernama bencana akibat perubahan iklim. Bagaimana menyiapkan masyarakat agar
siap menyambutnya?, itulah tugas kita yang berkumpul disini untuk
mendiskusikannya.” Ujarnya bersemangat.
Kegiatan yang diikuti berbagai dinas
terkait dan juga dihadiri oleh Komunitas Relawan Indonesia (K.R.I) itu,
mengkritisi perubahan iklim yang secara langsung mengancam kesuburan tanah dan
air serta berpengaruh pada pelestarian flora fauna. Ini mengisyaratkan bahwa
pengurangan emisi gas rumah kaca secara substansial dan berkelanjutan, harus
dilakukan oleh semua pihak.
Mantan Presiden Indonesia, Soesilo
Bambang Yudhoyono, menegaskan persoalan perubahan iklim sebagai persoalan
ancaman utama pembangunan yang harus segera memperoleh perhatian prioritas dari
pilihan-pilihan strategis pembangunan.
Jelas, upaya mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim membutuhkan kerjasama yang kuat diantara sektor-sektor
pembangunan dan juga membutuhkan sumber dana yang tidak sedikit. Namun
demikian, dengan melakukan upaya pencegahan dini, bisa mengurangi dampak
bencana dalam skala besar, yang bisa muncul sewaktu-waktu, kapan saja.
Diakhir kegiatan, peserta sepakat
menindak lanjuti dengan rencana membentuk wadah untuk memberi kesempatan kepada
khalayak dan lembaga terkait untuk berkontribusi terhadap penanganan perubahan
iklim serta sebagai sarana tukar informasi dalam rangka upaya pemasyarakatan
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dalam bentuk aksi nyata, seperti
seminar, sarasehan dan lainnya. Hal ini mengingat bahwa perubahan
iklim itu bersifat lokal, masing-masing daerah berbeda, diantaranya sesuai
dengan kondisi topografi, demografi, geografi dan budaya setempat.
Pertanyaannya kemudian, peran apa yang bisa dimainkan oleh
relawan dan para pegiat cinta alam (mapala, sispala dan pecinta alam)?. Beberapa
gunung yang biasa dijadikan aktivitas pendakian, kini semakin diwarnai oleh
tumpukan sampah plastik para pendaki, begitu juga tanaman liar yang menjadi cirri
vegetasi setempat juga berangsur rusak oleh tangan-tangan jahil para pendaki
yang menasbihkan diri sebagai pecinta alam (namun nyatanya malah merusak alam).
Paling tidak para pegiat cinta alam
itu bisa bekerja sama dengan relawan kemanusiaan lainnya, termasuk berkoordinasi dengan badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) setempat untuk melakukan
sosialisasi kepada masyarakat dalam hal pengurangan risiko bencana akibat
perubahan iklim global, melakukan mitigasi kebencanaan serta menanamkan cinta
lingkungan serta upaya pelestarian alam flora dan fauna. Jika memungkinkan
melakukan kerja sama dengan pemerintah terkait untuk mengadakan gerakan penghijauan
dan pembersihan sampah yang menumpuk di beberapa gunung lokasi pendakian.Wallahu a'lam bishowab*[eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar