Edi basuki*
Konon, dalam undang-undang nomor
32 tahun 2009, tentang Lingkungan Hidup,
menjelaskan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, dapat memidanakan dan menuntut ganti rugi para pembakar lahan dan
hutan, baik secara perorangan maupun kelompok.
Tegas sekali pesan yang
tersirat, sayang pelaksananya masih gamang karena adanya kebijakan dan kondisi
lapangan yang bisa mengecilkan nyalinya.Ya, seakan pemerintah tidak berdaya
mengantisipasi timbulnya potensi titik api yang berujung timbulnya kebakaran.
Belum lagi pemerintah telah
menduga bahwa kebakaran lahan dan hutan itu memang sengaja dibakar oleh oknum dalam
rangka membersihkan lahan untuk ditanami. Sebenarnya dengan menggunakan
Undang-undang diatas, petugas sudah bisa menindak tegas, tapi?
Disisi lain, kebakaran lahan
dan hutan selalu muncul setiap tahun. Sepertinya telah menjadi rutinitas yang
menyertai musim kemarau. Ratusan titik api muncul diberbagai daerah di
Kalimantan dan Sumatera, yang kemudian menimbulkan kebakaran yang tidak mudah
dipadamkan.
Sementara, ratusan tentara
juga dimobilisasi membantu memadamkan api. Polisi pun dilibatkan mendukung
petugas penyidik pegawai negeri sipil dan berhasil menangkap puluhan pembakaran
lahan dan hutan. Masalahnya, nantinya mereka pasti dimasukkan ke dalam hotel
prodeo berapa tahun?. Jawabnya tidak tahu, karena jarang sekali ada berita
persidangannya.
Milyaran rupiah dianggarkan
setiap tahunnya untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan. Satuan Tugas Asap pun
dibentuk oleh presiden untuk menanggulangi bencana asap yang juga dirasakan
oleh Negara tetangga. Namun, hanya apinya saja yang padam, sementara oknumnya
masih belum mendapat hukuman yang bisa menimbulkan efek jera. Sungguh pemerintah
tidak bisa bekerja sendiri untuk menanggulangi kebakaran. Harus melibatkan
semua komponen bangsa yang mempunyai kepedulian lebih terhadap masalah kemanusiaan,
seperti yang tercermin dalam lambang segi tiga biru BNPB, yaitu kerjasama
antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam menanggulangi bencana.
Mungkin, dari adanya rutinitas
kebakaran lahan dan hutan itu, anggota ikatan ahli kebencanaan (IABI) bisa turut
serta melakukan kajian atau penelitian, dimana hasilnya diberikan kepada yang
berwenang untuk menyusun kebijakan terkait dengan upaya pemadaman kebakaran
agar tidak menjadi rutinitas yang merugikan kehidupan, termasuk kehidupan flora
dan fauna.
Artinya disini, IABI melalui
hasil kajiannya, bisa mendorong agar pemerintah bisa segera menyusun strategi
untuk menekan luasan lahan dan hutan yang terbakar. Harus ada regulasi yang
kuat agar pengelola hutan bisa melakukan prosesi pembakaran dengan baik dan
benar sesuai aturan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan bencana.
Contohnya, kampus IPB
bekerjasama dengan Columbia University, Amerika Serikat, membangun sistem risiko
kebakaran yang mampu mendeteksi potensi kebakaran hutan, tiga bulan sebelumnya.
Begitu juga dengan ITS, jurusan perkapalan mencoba membuat model perahu fiber
untuk rescue, menggantikan perahu karet yang rawan bocor. Harapannya, peralatan
penanggulangan bencana yang sudah dicoba kembangkan oleh kampus, bisa ditindak
lanjuti oleh pemerintah dengan memproduksinya secara missal.
Begitu juga dengan
keberadaan relawan kampus yang baru saja dikukuhkan. Sebagai mahasiswa yang
memiliki kepedulian terhadap masalah penanggulangan bencana, hendaknya juga
mengadakan kajian tentang kebakaran lahan dan hutan sesuai dengan disiplin
keilmuannya. Dijadikan bahan diskusi maupun seminar dalam rangka memperluas
wawasan sebagai generasi terdidik calon pemegang tongkat estafet masa depan.
Sukur-sukur jika bisa melakukan
gerakan penyuluhan, memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar hutan tentang bahaya
membuka lahan dengan cara membakar. Memberi infirmasi bagaimana memanfaatkan
hutan dengan system tumpang sari tanpa merusak tanaman hutan, serta mendampingi
dan mengadvokasi mereka agar berani melaporkan kepada aparat jika ada oknum
yang sengaja menebang pohon yang bukan haknya secara sembarangan, maupun oknum
yang rutin membakar lahan dan hutan. Karena Indonesia tidak ingin bencana asap
itu menjadi sebuah rutinitas yang memalukan di mata Negara-negara tetangga. Salam
kemanusiaan *[penulis adalah pemerhati masalah sosial kebencanaan, tinggal di surabaya]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar