Kamis, 10 September 2015

Kebakaran Lahan dan Hutan, Sebuah Rutinitas?




Edi basuki*

Konon, dalam undang-undang nomor 32 tahun 2009, tentang  Lingkungan Hidup, menjelaskan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dapat memidanakan dan menuntut ganti rugi para pembakar lahan dan hutan, baik secara perorangan maupun kelompok.

Tegas sekali pesan yang tersirat, sayang pelaksananya masih gamang karena adanya kebijakan dan kondisi lapangan yang bisa mengecilkan nyalinya.Ya, seakan pemerintah tidak berdaya mengantisipasi timbulnya potensi titik api yang berujung timbulnya kebakaran.
Belum lagi pemerintah telah menduga bahwa kebakaran lahan dan hutan itu memang sengaja dibakar oleh oknum dalam rangka membersihkan lahan untuk ditanami. Sebenarnya dengan menggunakan Undang-undang diatas, petugas sudah bisa menindak tegas, tapi?

Disisi lain, kebakaran lahan dan hutan selalu muncul setiap tahun. Sepertinya telah menjadi rutinitas yang menyertai musim kemarau. Ratusan titik api muncul diberbagai daerah di Kalimantan dan Sumatera, yang kemudian menimbulkan kebakaran yang tidak mudah dipadamkan.

Sementara, ratusan tentara juga dimobilisasi membantu memadamkan api. Polisi pun dilibatkan mendukung petugas penyidik pegawai negeri sipil dan berhasil menangkap puluhan pembakaran lahan dan hutan. Masalahnya, nantinya mereka pasti dimasukkan ke dalam hotel prodeo berapa tahun?. Jawabnya tidak tahu, karena jarang sekali ada berita persidangannya.

Milyaran rupiah dianggarkan setiap tahunnya untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan. Satuan Tugas Asap pun dibentuk oleh presiden untuk menanggulangi bencana asap yang juga dirasakan oleh Negara tetangga. Namun, hanya apinya saja yang padam, sementara oknumnya masih belum mendapat hukuman yang bisa menimbulkan efek jera. Sungguh pemerintah tidak bisa bekerja sendiri untuk menanggulangi kebakaran. Harus melibatkan semua komponen bangsa yang mempunyai kepedulian lebih terhadap masalah kemanusiaan, seperti yang tercermin dalam lambang segi tiga biru BNPB, yaitu kerjasama antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam menanggulangi bencana.

Mungkin, dari adanya rutinitas kebakaran lahan dan hutan itu, anggota  ikatan ahli kebencanaan (IABI) bisa turut serta melakukan kajian atau penelitian, dimana hasilnya diberikan kepada yang berwenang untuk menyusun kebijakan terkait dengan upaya pemadaman kebakaran agar tidak menjadi rutinitas yang merugikan kehidupan, termasuk kehidupan flora dan fauna.

Artinya disini, IABI melalui hasil kajiannya, bisa mendorong agar pemerintah bisa segera menyusun strategi untuk menekan luasan lahan dan hutan yang terbakar. Harus ada regulasi yang kuat agar pengelola hutan bisa melakukan prosesi pembakaran dengan baik dan benar sesuai aturan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan bencana.     

Contohnya, kampus IPB bekerjasama dengan Columbia University, Amerika Serikat, membangun sistem risiko kebakaran yang mampu mendeteksi potensi kebakaran hutan, tiga bulan sebelumnya. Begitu juga dengan ITS, jurusan perkapalan mencoba membuat model perahu fiber untuk rescue, menggantikan perahu karet yang rawan bocor. Harapannya, peralatan penanggulangan bencana yang sudah dicoba kembangkan oleh kampus, bisa ditindak lanjuti oleh pemerintah dengan memproduksinya secara missal.

Begitu juga dengan keberadaan relawan kampus yang baru saja dikukuhkan. Sebagai mahasiswa yang memiliki kepedulian terhadap masalah penanggulangan bencana, hendaknya juga mengadakan kajian tentang kebakaran lahan dan hutan sesuai dengan disiplin keilmuannya. Dijadikan bahan diskusi maupun seminar dalam rangka memperluas wawasan sebagai generasi terdidik calon pemegang tongkat estafet masa depan.

Sukur-sukur jika bisa melakukan gerakan penyuluhan, memberikan edukasi  kepada masyarakat sekitar hutan tentang bahaya membuka lahan dengan cara membakar. Memberi infirmasi bagaimana memanfaatkan hutan dengan system tumpang sari tanpa merusak tanaman hutan, serta mendampingi dan mengadvokasi mereka agar berani melaporkan kepada aparat jika ada oknum yang sengaja menebang pohon yang bukan haknya secara sembarangan, maupun oknum yang rutin membakar lahan dan hutan. Karena Indonesia tidak ingin bencana asap itu menjadi sebuah rutinitas yang memalukan di mata Negara-negara tetangga. Salam kemanusiaan *[penulis adalah pemerhati masalah sosial kebencanaan, tinggal di surabaya]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar