Selasa, 29 September 2015

STASIUN KERETA API DAN PERUBAHAN IKLIM



Kini Kereta Api sudah banyak mengalami kemajuan. Dalam hal pelayanan, tidak ada lagi penumpang yang berdiri dan tanpa karcis, juga tidak ada lagi teriakan pedagang asongan yang berbaur dengan copet dan jambret. Dulu Kereta Api terlambat adalah hal biasa, kini sudah mulai dibenahi.

Ya, banyak perubahan yang terjadi, baik di lingkungan setasiun maupun di setiap gerbongnya, kebersihan tempat duduk dan kamar mandi telah mengalami perubahan besar, penumpang juga semakin nyaman dengan adanya pendingin ruangan yang cukup dingin. Keamanan pun juga ditingkatkan, terbukti secara teratur tim keamanan berlalu lalang menjaga keamanan dan kenyamanan penumpang.

Disamping itu kini di masing-masing gerbong tertempel stiker petunjuk jalan evakuasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Begitu juga di stasiun, stiker pemberitahuan jalur evakuasi tertempel di beberapa dinding yang mudah dibaca oleh penumpang kereta. Sungguh ini menandakan bahwa kesadaran akan perlinya kesiapsiagaan menghadapi bencana (dalam hal ini bencana kecelakaan kereta api, longsor, gempa), sudah mulai tertanam di lubuk hati pejabat per-kereta api-an.

Kelakuan pihak Kereta Api tersebut biasa disebut sebagai upaya mitigasi non struktural, yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui  penyadaran dan peningkatan kemampuan mengatasi ancaman bencana. Dalam khasanah relawan penanggulangan bencana, Berbagai upaya mitigasi non struktural itu antara lain melakukan pelatihan, pendidikan, penyuluhan, penataan ruang dan relokasi. Ketika masyarakat, dalam hal ini karyawan Kereta Api dan penumpangnya telah mengetahui resiko bencana melalui usaha-usaha tersebut, maka dampak korban jiwa, minimal dapat dikurangi. Artinya, dengan terpasangnya stiker petunjuk jalur evakuasi, semua yang ada di Stasiun dan Kereta Api akan selalu ingat bahwa bencana bisa datang setiap saat dan diharapkan mereka siap dan tahu apa yang harus dilakukan.

Kemudian, jika dilihat dari luasnya lahan Stasiun Kereta Api, yang sementara ini masih sering dibiarkan ditumbuhi semak belukar. Sejatinyalah bisa dioptimalkan untuk berkontribusi langsung pada upaya mengurangi dampak perubahan iklim. Seperti diketahui kejadian terkait dengan kondisi iklim yang tidak menentu seperti banjir, kekeringan, yang menimbulkan korban jiwa serta kerugian ekonomi dan ekologi, semakin sering terjadi.

Kondisi tersebut perlu disikapi dengan memperkuat aksi nyata di tingkat lokal (dalam hal ini lingkungan stasiun dan masyarakat disekitarnya), terkait dengan konsep adaptasi perubahan iklim. Misalnya dengan memanfaatkan lahan yang luas itu dengan ditanami tanaman produktif dalam rangka mensukseskan program ketahanan pangan, seperti menanam jagung, ubi jalar, ketela pohon dan sejenisnya. Tanaman keras yang produktif, diantaranya pohon Jati, Mahoni, Sengon, Jabon dan kelapa, dimana hasilnya bisa untuk menambah modal koperasi karyawan kereta api. Juga aneka tanaman buah yang berfungsi pula sebagai tanaman pelindung yang membuat lingkungan stasiun sejuk, rindang dan asri sebagai upaya mengurangi proses pemanasan global (gas rumah kaca).

Artinya, upaya mengurangi efek gas rumah kaca itu dengan melakukan gerakan menanam pohon yang lebih banyak. Karena pohon dipercaya dapat menyerap karbon dioksida lebih cepat dan dalam jumlah banyak, memecahnya melalui fotosintesis, maupun menyimpan karbon pada kayunya.

Melihat begitu potensialnya lingkungan stasiun yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung program penghijauan yang dampaknya bisa menyimpan air tanah, mengendalikan banjir dan longsor, maka perlu kiranya pihak manajemen kereta api membenahi dengan mempercantik halaman stasiun dengan aneka bebungaan, memanfaatkan lahan di sepanjang lintasan rel kereta api dengan tanaman keras yang dikerjasamakan dengan penduduk setempat, sehingga keduanya mendapatkan manfaat.

Ya, kalau mau jujur, memang lingkungan stasiun kereta api masih perlu dibenahi, lahan yang begitu luas pun perlu dioptimalkan pemanfaatannya, sampah pun yang berserak di seputar lingkungan stasiun kiranya perlu dikelola bekerjasama dengan masyarakat yang menggantungkan nafkahnya dari stasiun.

Kemudian, ‘bangkai kereta api’ yang sudah rusak dan tidak terpakai, hendaknya tidak dibiarkan mangkrak, termasuk kayu jati bekas bantalan rel yang sudah keropos, tapi dimanfaatkan atau dimusnahkan, agar tidak terkesan kumuh, kotor dan dijadikan rumah setan. Salam.*[eBas]




1 komentar:

  1. kalau kawan2 sempat lewat stasiun jember menuju banyuwangi, maka kawan2 akan mendapati serakan sampah di halaman, lahan kosong, pinggir sungai bahkan mengapung di sungai. sampah pun juga bertebaran di lahan penduduk yg ditanami ketela pohon, dan tanaman lainnya.
    sungguh masalah sampah memerlukan kesedaran (penyadaran)
    masyarakat merasa belum perlu memikirkan sampah dan akibat menumpuknya sampah bagi kesehatan
    tugas siapakah ini? ....

    BalasHapus