Sabtu, 14 November 2015

SEKOLAH AMAN BENCANA, SEBUAH GAGASAN YANG INDAH



Indonesia yang tidak pernah lepas dari masalah bencana di sepanjang tahun, telah menumbuhkan kepedulian para pegiat kemanusiaan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya tangguh bencana. Salah satunya melalui institusi pendidikan, yaitu sekolah. Sebuah gagasan yang indah namun tidak mudah membumi karena berbagai faktor yang ada didalamnya. Namun patut terus dicobakan untuk menjadi nyata.

Konon, Sekolah dipercaya memiliki pengaruh langsung terhadap generasi muda yang sedang menuntut ilmu (siswa), yaitu dalam menanamkan nilai-nilai budaya serta menyampaikan pengetahuan dan keterampilan kepada siswa, termasuk pendidikan pengurangan risiko bencana (PRB), yaitu usaha sadar dan terencana dalam proses pembelajaran untuk memberdayaan peserta didik dalam upaya untuk PRB dan membangun budaya aman serta tangguh terhadap bencana

Dalam berbagai kesempatan diskusi kebencanaan, dikatakan pendidikan PRB  bertujuan untuk meminimalisir risiko bencana dan meningkatkan kapasitas sekolah dalam melaksanakan pengurangan risiko bencana, kesiapsiagaan, mitigasi, dan peringatan dini. PRB oleh satuan pendidikan dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan materi pendidikan PRB  dalam mata pelajaran, muatan lokal, dan ekstrakurikuler.

Terkait dengan PRB, teman-teman dari Humanitarian Forum Indonesia (HFI), menyodorkan konsep Tiga pilar sekolah aman  meliputi, (1) Pilar Struktural, seperti lokasi aman, struktur bangunan aman, desain dan penataan kelas aman serta dukungan sarana prasarana aman. (2) Pilar Non Struktural ; peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan, kebijakan sekolah aman, perencanaan kesiapsiagaan dan mobilitas sumber daya, dan (3) Pilar manajemen bencana di sekolah.

Sungguh, gagasan membangun budaya tangguh bencana melalui sekolah aman bencana itu perlu didukung oleh semua pihak, khususnya para pemangku kebijakan di bidang pendidikan. Merekalah yang perlu diberi kesadaran akan pentingnya PRB, budaya tangguh bencana dan sekolah aman bencana. Karena merekalah yang bisa mengatur kebijakan dan anggarannya. Pastilah ini juga dipahami oleh sekretariat nasional sekolah/madrasah aman bencana (Seknas SMAB).

Apalagi, dalam seminar penguatan kapasitas guru dalam PRB, tidak dihadiri oleh pejabat Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, BPBD, dan dinas terkait lainnya. Sehingga kemungkinan kecil guru berani mulai berbuat dalam PRB untuk meningkatkan kapasitas komunitas sekolah dalam menghadapi bencana. Sementara pihak sekolah, dalam hal ini pendidik dan tenaga kependidikan hanyalah objek kebijakan. Kapasitas mereka hanyalah pelaksana lapangan sesuai petunjuk dari ‘atas’, karena inisiatif dari bawah sering kali ditolak oleh atasan, bahkan bisa berbuah petaka terhadap nasib karier pendidik dan tenaga kependidikan itu sendiri.

Disisi lain, program sekolah aman itu kenyataannya masih sangat tergantung dari adanya bantuan anggaran untuk menyelenggarakannya, entah itu dari pemerintah maupun dari pihak swasta (dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat). Kalau hanya mengandalkan  dana BOS, BOBDA, iuran wali murid dan sejenisnya, kayaknya pihak sekolah tidak akan berani mengambil resiko yang tidak diinginkan, yang bisa muncul kerena ketidak tahuan.

Saat tanya jawab, ada yang menggelitik dari konsep tiga pilar sekolah aman, yaitu terkait dengan bangunan sekolah yang aman. Pertanyaan yang muncul kemudian, jika gedung sekolah sudah terlanjur dibangu di daerah rawan bencana, apakah harus dibongkar dan dipindah?. Jika gedung sekolah rusak memerlukan perbaikan, apakah bisa dilakukan dengan segera, dan anggarannya dari mana?.

Ini menarik, karena masih banyak gedung sekolah yang rusak hampir roboh, masih digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dan dibiarkan bertahun-tahun tanpa renovasi dengan berbagai alas an. Belum lagi masalah lahan yang semakin sulit dan sempit, juga kepemilikan lahan sekolah yang sering bermasalah. Belum lagi masalah politik anggaran dan politik lokal yang sarat kepentingan, sedikit banyak akan menghambat pelaksanaan sekolah aman bencana.

Mungkin, langkah kecil yang telah diawali oleh Amin Widodo dan kawan-kawan di pusat studi kebumian bencana dan perubahan iklim, bisa menginspirasi Seknas SMAB  lebih giat lagi mendorong pemerintah untuk segera mewujudkan budaya tangguh bencana melalui sekolah aman bencana. Salah satunya adalah lebih sering menggelar seminar dan diklat yang beraroma PRB kepada mayarakat. Salam kemanusiaan. [eBas]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar