Indonesia yang tidak pernah lepas dari masalah bencana di
sepanjang tahun, telah menumbuhkan kepedulian para pegiat kemanusiaan untuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya budaya tangguh bencana. Salah satunya
melalui institusi pendidikan, yaitu sekolah. Sebuah gagasan yang indah namun
tidak mudah membumi karena berbagai faktor yang ada didalamnya. Namun patut
terus dicobakan untuk menjadi nyata.
Konon, Sekolah dipercaya memiliki pengaruh langsung terhadap
generasi muda yang sedang menuntut ilmu (siswa), yaitu dalam menanamkan nilai-nilai
budaya serta menyampaikan pengetahuan dan keterampilan kepada siswa, termasuk
pendidikan pengurangan risiko bencana
(PRB), yaitu usaha sadar dan terencana dalam proses pembelajaran untuk
memberdayaan peserta didik dalam upaya untuk PRB dan membangun budaya aman
serta tangguh terhadap bencana
Dalam berbagai kesempatan diskusi
kebencanaan, dikatakan pendidikan PRB bertujuan untuk meminimalisir risiko bencana
dan meningkatkan kapasitas sekolah dalam melaksanakan pengurangan risiko
bencana, kesiapsiagaan, mitigasi, dan peringatan dini. PRB oleh satuan
pendidikan dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan materi pendidikan PRB dalam mata pelajaran, muatan lokal, dan
ekstrakurikuler.
Terkait dengan PRB, teman-teman dari
Humanitarian Forum Indonesia (HFI), menyodorkan konsep Tiga pilar
sekolah aman meliputi, (1) Pilar
Struktural, seperti lokasi aman, struktur bangunan aman, desain dan penataan
kelas aman serta dukungan sarana prasarana aman. (2) Pilar Non Struktural ;
peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan, kebijakan sekolah aman,
perencanaan kesiapsiagaan dan mobilitas sumber daya, dan (3) Pilar manajemen
bencana di sekolah.
Sungguh,
gagasan membangun budaya tangguh bencana melalui sekolah aman bencana itu perlu
didukung oleh semua pihak, khususnya para pemangku kebijakan di bidang
pendidikan. Merekalah yang perlu diberi kesadaran akan pentingnya PRB, budaya
tangguh bencana dan sekolah aman bencana. Karena merekalah yang bisa mengatur
kebijakan dan anggarannya. Pastilah ini juga dipahami oleh sekretariat nasional
sekolah/madrasah aman bencana (Seknas SMAB).
Apalagi,
dalam seminar penguatan kapasitas guru dalam PRB, tidak dihadiri oleh pejabat
Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, BPBD, dan dinas terkait lainnya. Sehingga
kemungkinan kecil guru berani mulai berbuat dalam PRB untuk meningkatkan
kapasitas komunitas sekolah dalam menghadapi bencana. Sementara pihak sekolah,
dalam hal ini pendidik dan tenaga kependidikan hanyalah objek kebijakan. Kapasitas
mereka hanyalah pelaksana lapangan sesuai petunjuk dari ‘atas’, karena
inisiatif dari bawah sering kali ditolak oleh atasan, bahkan bisa berbuah
petaka terhadap nasib karier pendidik dan tenaga kependidikan itu sendiri.
Disisi
lain, program sekolah aman itu kenyataannya masih sangat tergantung dari adanya
bantuan anggaran untuk menyelenggarakannya, entah itu dari pemerintah maupun
dari pihak swasta (dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat). Kalau hanya
mengandalkan dana BOS, BOBDA, iuran wali
murid dan sejenisnya, kayaknya pihak sekolah tidak akan berani mengambil resiko
yang tidak diinginkan, yang bisa muncul kerena ketidak tahuan.
Saat
tanya jawab, ada yang menggelitik dari konsep tiga pilar sekolah aman, yaitu
terkait dengan bangunan sekolah yang aman. Pertanyaan yang muncul kemudian,
jika gedung sekolah sudah terlanjur dibangu di daerah rawan bencana, apakah
harus dibongkar dan dipindah?. Jika gedung sekolah rusak memerlukan perbaikan,
apakah bisa dilakukan dengan segera, dan anggarannya dari mana?.
Ini
menarik, karena masih banyak gedung sekolah yang rusak hampir roboh, masih
digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dan dibiarkan bertahun-tahun tanpa
renovasi dengan berbagai alas an. Belum lagi masalah lahan yang semakin sulit
dan sempit, juga kepemilikan lahan sekolah yang sering bermasalah. Belum lagi
masalah politik anggaran dan politik lokal yang sarat kepentingan, sedikit
banyak akan menghambat pelaksanaan sekolah aman bencana.
Mungkin,
langkah kecil yang telah diawali oleh Amin Widodo dan kawan-kawan di pusat
studi kebumian bencana dan perubahan iklim, bisa menginspirasi Seknas SMAB lebih giat lagi mendorong pemerintah untuk
segera mewujudkan budaya tangguh bencana melalui sekolah aman bencana. Salah satunya
adalah lebih sering menggelar seminar dan diklat yang beraroma PRB kepada
mayarakat. Salam kemanusiaan. [eBas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar