Kamis, 05 November 2015

BUDAYA K3, SAFETY IS MY LIFE

Konon, saat kesepakatan MEA, masyarakat ekonomi asean di terapkan tahun 2016, maka akan terjadi adu kopetensi diantara tenaga kerja dengan berlomba menunjukkan kemampuan dan kinerjanya yang didukung dengan dimilikinya sertifikat, termasuk pelaksanaan budaya K3. Sudah siapkah bangsa Indonesia menghadapi MEA dengan berbagai dampaknya?.
Pernyataan itu muncul dalam workshop mengenai budaya keselamatan kerja, yang dilakukan oleh ITS bekerjasama dengan Kemenakertrans, di gedung rektorat, kamis (5/11). Apalagi, masalah budaya kerja belumlah familier di masyarakat Indonesia, padahal dampaknya bisa fatal.
Dalam workshop dikatakan bahwa kecelakaan kerja itu tidak dapat diduga dan bisa mengacaukan rencana kerja yang telah disusun, termasuk pembengkaan anggaran dan berubahnya waktu penyelesaian tugas. Kecelakaan terjadi bisa karena human error, sistem maupun bencana alam.  Kecelakaan kerja bisa terjadi kapan saja dan dibidang apa saja, yang bisa dilakukan adalah upaya mencegah dan mengurangi tingkat bahayanya (mitigasi dan antisipasi).
Sementara itu untuk lembaga/pabrik harus mengedepankan perlindungan terhadap keamanan, dan kesehata karyawannya, serta keamanan sarana prasarana yang digunakan untuk bekerja, dan ramah lingkungan. Semua ini bisa terlaksana jika didukung oleh pihak manajemen. Namun kenyataannya, banyak orang bialng bahwa budaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) berkait erat dengan mental dan kebiasaan manusia dan lingkungan dimana pabrik itu berada.
Penerapan budaya K3 tidaklah segampang membalikkan tangan, karena ini menyangkut sikap mental dan kebiasaan personilnya dalam melaksanakan tugas. Sering dijumpai seseorang berperilaku aman dan sehat ketika ada pimpinan (saat ada pemeriksaan), dan ketika tidak ada pimpinan mereka kembali ke kebiasaan yang tidak aman dan tidak sehat yang tidak sesuai prosedur kerja yang telah ditetapkan.
Berbagai literatur mengatakan bahwa K3 merupakan sebuah kesatuan dari tiga aspek yaitu nilai – nilai K3 dan persepsi K3 dari setiap pekerja, aspek perilaku K3 bekerja sehari – hari  dan juga aspek Organisasi dan Manajemen K3 yang ada diperusahaan, termasuk menyadari akan adanya sumber bahaya yang potensial.
Tulisan Bensar dan kawan-kawan, dari Universitas Negeri Yogyakarta, (2012), mengatakan bahwa budaya K3 di suatu perusahaan sebagai bagian dari budaya organisasi perusahaan bisa dilihat dari tiga aspek, yaitu, Aspek pertama, apa yang dirasakan seseorang sangat terkait dengan aspek Pribadi (PERSON), seperti misalnya cara pikir, nilai, pengetahuan, motivasi, harapan, dan lain-lain.
Aspek kedua berkaitan erat dengan perilaku sehari-hari (BEHAVIOUR), seperti misalnya   perilaku   sehari-hari   di   perusahaan,   kebiasaan-kebiasaan   dalam   K3   dan sebagainya. Aspek ketiga berkaitan erat dengan situasi lingkungan kerja (ENVIRONMENT) seperti apa  yang   dimiliki   perusahaan/organisasi  mengenai   K3, contohnya Sistem Manajemen K3, SOP, Komite K3, peralatan, lingkungan kerja, dan sebagainya.
Ketiga   aspek   tersebut   satu   sama   lainnya   saling   berinteraksi   dan   saling mempengaruhi. Budaya K3 yang kuat tentunya akan ditandai dengan kuatnya tiga aspek tersebut. Oleh karena itu, suatu perusahaan diharapkan mempunyai budaya yang selalu meningkatkan K3 secara terus menerus dimana K3 sudah menjadi nilai-nilai pribadi dan tampil dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain, budaya  K3  adalah   sikap dan cara bekerja   dalam   perusahaan, yang menekankan pentingnya keselamatan. Oleh karena itu, budaya k3 mempersyaratkan agar semua kewajiban yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan harus dilaksanakan secara benar, seksama, dan penuh rasa tanggung jawab, demi mencapai tujuan perusahaan, yaitu memperoleh keuntungan dalam arti luas.
Upaya pembiasaan budaya K3 bisa dibangun lewat mengenalkan pembiasaan antri, cuci tangan, menggunakan air efisien, budaya toilet bersih dan kering, lingkungan bebas rokok dan peduli sampah, bekerja sesuai prosedur, selalu berhati-hati dan waspada dan kebiasaan berlatih dan memeriksa sarana prasarana secara berkala.
Mampukah dan siapkah tenaga kerja Indonesia menghadapi MEA, sedangkan stigma sebagai bangsa yang ceroboh masih melekat erat. Inilah salah satu tugas dari kemenakertrans dalam mensosialisasikan K3 lewat kampus, baik dalam kegiatan workshop semacam ini maupun diintegrasikan ke dalam mata kuliah tertentu. [eBas]


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar